Loading...
Logo TinLit
Read Story - A & A
MENU
About Us  

Pagi itu, langit membentang seperti kanvas biru cerah, tanpa cela. Sinar matahari yang hangat memeluk bumi, membangunkan kicauan burung gereja di ranting pohon yang bergoyang lembut. Namun, di depan sebuah rumah dengan cat krem yang mulai mengelupas oleh waktu, seorang pemuda berdiri diam, seperti terpaku. Alvaro Zebran Pahlevi—dengan rambut yang sedikit kusut oleh angin pagi—menghela napas dalam-dalam. Jemarinya gemetar, ragu-ragu menyentuh tombol bel di dinding.

Dia menarik napas panjang, seperti seseorang yang tengah mengumpulkan keberanian untuk melompat ke jurang tanpa dasar. Pada akhirnya, ia menekannya. Suara bel yang nyaring menggema, membelah harmoni pagi yang seolah tak ingin diganggu. Dentingannya terdengar begitu akrab, namun di telinga Alvaro, suara itu seperti gema dari hatinya sendiri yang berdebar tak karuan.

Sekilas, ia melirik kedua tangannya yang kini disilangkan di depan dada, mencoba menguasai dirinya. Tapi sebenarnya, ia hanya berusaha mengalihkan pikirannya dari gelombang rasa yang menggulung di dadanya. Bagi sebagian besar orang, kisahnya mungkin hanya klise yang membosankan—seorang pria muda jatuh cinta pada teman masa kecilnya. Namun, bagi Alvaro, ini lebih dari sekadar cerita cinta sederhana. Dia adalah gravitasi, pusat segala pikirannya, poros yang membuat seluruh dunianya tetap berputar.

Wajah Alvaro menegang. Keheningan itu terasa menusuk, memaksanya bertanya-tanya, apakah bel itu terlalu pelan? Atau mungkin... gadis itu tidak ingin bertemu dengannya? Ia menggeleng, mencoba menepis pikiran-pikiran liar. Namun, sebelum sempat larut dalam keraguan, suara langkah terdengar dari balik pintu.

Deg.

Jantungnya seolah melompat, denyutnya berirama lebih cepat daripada waktu yang berjalan. Ia berdiri lebih tegap, menata dirinya agar terlihat lebih siap—atau setidaknya mencoba. Saat pintu perlahan terbuka, harapannya melambung. Senyumnya hampir terbentuk di bibirnya, tapi...

“Ah, pagi, Bang!”

Sebuah suara ceria memecahkan suasana. Bukan suara yang ia tunggu, melainkan milik seorang bocah laki-laki. Zakyza Azka Azzaky berdiri di sana dengan wajah berseri, senyum lebar yang memamerkan gigi-gigi kecilnya. Bocah kelas lima itu mengangkat tangannya, melambai seolah bertemu dengan teman lama yang sangat dirindukan.

“Oh, Azka...” Alvaro nyaris kehilangan suaranya, kecewa yang ia rasakan begitu kentara di sorot matanya meski ia berusaha menyembunyikannya di balik senyum kecil. “Pagi,” sapanya singkat.

Azka hanya mengangkat bahu, dengan ekspresi nakal yang begitu khas. “Mau ketemu Kak Aileen, ya? Laporan, Bang. Dia lagi ketiduran. Kali ini parah banget!” katanya sambil menatap Alvaro dengan mata berbinar penuh canda.

Alvaro menekan pangkal hidungnya dengan dua jari, mendesah pelan. “Lagi-lagi...” gumamnya sambil menatap Azka dengan tatapan setengah jengkel, setengah pasrah. “Gara-gara apa kali ini? Main game sampai larut?” tebaknya dengan nada letih.

Azka, yang tampaknya selalu punya bahan untuk membuat suasana lebih ringan, terkikik. “Bukan game, Bang. Semalam Kak Aileen baca Webtoon sampai pagi! Hahaha!” Tawanya pecah begitu saja, tanpa beban, membuat Alvaro hanya bisa memandangnya dengan ekspresi tercengang.

“Webtoon?” gumam Alvaro, nyaris tak percaya. Ia menghela napas lagi, lebih panjang kali ini, lalu mengusap rambutnya yang sudah acak-acakan. “Astaga... Aileen memang nggak pernah berubah.”

“Bang Alvaro,” suara Azka terdengar lagi, kali ini lebih serius, meskipun senyum nakalnya masih menggantung di bibir. “Kenapa nggak Bang Alvaro aja yang bangunin dia? Aku ada urusan penting, nih.” Nada suaranya meninggi, seolah ia hendak menyampaikan sesuatu yang luar biasa.

Alvaro menyipitkan matanya curiga. “Urusan penting apa, Azka?” tanyanya datar, meski di ujung bibirnya ada sedikit senyum terpaksa.

Azka melipat kedua tangannya di dada, ekspresi bangga menguasai wajahnya. “Mau jemput crush aku, Bang! Penting banget, kan?”

Hening sejenak. Alvaro menatap bocah itu tanpa kata, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. “Crush?” ulangnya, setengah memastikan ia tidak salah dengar. Bibirnya terangkat sedikit, dan dia hampir tertawa. “Azka, kamu itu masih bocah.”

“Ya ampun, Bang! Zaman sekarang bocah juga bisa cinta-cintaan, tau!” Azka membalas dengan percaya diri. Senyum lebarnya tak kunjung sirna, seolah dia baru saja memenangkan lotre.

Alvaro menggeleng pelan, menahan tawa kecil. “Ya, terserah kamu, deh...” gumamnya, lalu menunjuk pintu. “Tapi, kalau gitu, aku yang urus Aileen.”

Azka tampak melompat kecil dengan semangat. Ia melambaikan tangan sambil berkata, “Sip, Bang! Kak Aileen di tangan yang tepat! Makasih, ya!” Sebelum Alvaro sempat menjawab, bocah itu sudah melesat pergi, meninggalkan suara langkahnya yang semakin menjauh.

Dan kini, hanya Alvaro yang berdiri di sana, sendiri. Ia menatap pintu yang masih tertutup, matanya seolah menyimpan ribuan pikiran. Perlahan, ia mengangkat tangannya, mengetuk pelan. “Aileen,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Semoga kali ini kamu bangun tanpa drama...”

Tapi, jauh di dalam dirinya, ia tahu. Menghadapi Aileen adalah hal yang selalu membuat jantungnya berdebar lebih cepat, membuat logikanya tercerai-berai. Entah kenapa, untuk seseorang seperti Aileen, ia rela melakukan apa saja. Dan pagi itu, dengan keberanian yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit, Alvaro bersiap menghadapi gadis yang selalu mampu membuatnya kehilangan akal.

Alvaro berdiri di depan pintu, menatap kayu cokelat tua itu dengan tatapan yang lebih berat daripada yang ingin ia tunjukkan. Ia tahu, ini hanya pintu biasa, namun rasanya seperti penghalang yang jauh lebih besar. Tangannya menggantung di udara, ragu-ragu. Ingatan-ingatan kecil muncul di benaknya seperti potongan film usang — tawa riang, suara gaduh yang memenuhi ruang-ruang kosong, hingga janji-janji masa kecil yang kini terasa terlalu polos untuk dipercaya.

Hening lorong itu memerangkapnya dalam jeda waktu. Sebuah pertanyaan tiba-tiba mencuat di pikirannya: apakah Aileen masih sama seperti dulu? Atau, lebih penting lagi, apakah dirinya yang sekarang masih cukup untuk Aileen?

Ketukan pelan akhirnya keluar, hampir seperti desahan yang ia keluarkan tanpa sadar. Tiga kali, cukup untuk memberi isyarat tanpa mengusik keheningan kamar itu. Tidak ada jawaban. Hanya suara kipas angin tua yang berputar malas, menyapu udara yang terasa lebih berat dari seharusnya.

Alvaro menarik napas panjang. "Aileen," panggilnya pelan, suara yang seolah ia simpan khusus untuk memanggil nama itu. Tangannya mendorong pintu, membuka celah kecil yang langsung disambut oleh aroma lavender yang samar. Kamar itu persis seperti yang ia bayangkan — rapi namun tetap berantakan dengan cara yang hanya Aileen bisa lakukan. Di atas tempat tidur, tubuh kecil itu terbungkus rapat dalam selimut tebal, seolah dunia luar tak punya hak untuk menyentuhnya. Ujung rambutnya yang hitam legam menyembul, menyentuh bantal putih yang tampak terlalu bersih.

“Aileen,” ia mencoba lagi, sedikit lebih keras. “Sudah pagi. Bangun.”

Dari balik selimut, terdengar gumaman yang lebih mirip gerutuan malas. “Lima menit lagi…” Nada malas itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Alvaro. Begitulah Aileen. Tidak berubah sedikit pun.

Ia menurunkan tas kecil dari bahunya, membuka bungkusan kertas di dalamnya. Aroma manis kayu manis segera menguar, mengisi udara kamar dengan kehangatan yang familier. “Aku bawa sesuatu,” ujarnya, sambil menatap selimut itu yang masih bergeming. “Cinnamon roll. Buatan Mama.”

Selimut itu bergeser. Perlahan. Sebuah hidung kecil menyembul, diikuti oleh sepasang mata yang masih setengah terpejam. Mata itu, meski kabur, memancarkan rasa penasaran yang tak terbantahkan.

“Cinnamon?” tanyanya, suara serak yang terdengar seperti perpaduan antara mimpi dan kenyataan.

Alvaro tersenyum, matanya berbinar melihat reaksi kecil itu. “Cinnamon,” jawabnya, menekankan kata itu dengan lembut. “Tapi ada syaratnya.”

Mata Aileen menyipit curiga. “Syarat apa?” gumamnya, nada malas itu masih melekat. Tangannya terulur, mencoba meraih bungkusan yang menggoda inderanya.

Alvaro menarik bungkusan itu ke belakang, mengangkatnya tinggi-tinggi. “Mandi dulu,” katanya tegas, senyum kecil bermain di wajahnya.

Aileen mendengus, jelas tidak puas. “Kenapa harus mandi dulu? Aku bisa makan sambil tidur lagi.”

“Aileen,” balas Alvaro, nadanya setengah mengancam namun penuh kelembutan, “kau tahu aku tidak akan mengizinkan itu.”

Dengan gerakan malas, Aileen duduk, selimut tebal itu melorot hingga ke pinggangnya. Rambutnya yang kusut jatuh berantakan di wajahnya, menutupi sebagian besar ekspresi yang sebenarnya tak perlu ia sembunyikan. Matanya bertemu dengan milik Alvaro, dan waktu terasa berhenti sejenak. Di bawah tatapan itu, sesuatu di dalam diri Alvaro terasa mencair, sesuatu yang selama ini berusaha ia abaikan.

“Pagi, Alvaro,” ucap Aileen akhirnya, dengan senyum kecil yang selalu ia simpan untuk orang-orang terpilih. Senyum itu… sungguh sederhana, namun entah bagaimana, memiliki kemampuan untuk menghancurkan pertahanan yang selama ini ia bangun.

Alvaro merasakan panas merambat di pipinya. Ia mengalihkan pandangan, berdeham pelan, mencoba mengendalikan sesuatu yang sudah terlalu sulit untuk dikendalikan. “Pagi,” balasnya pendek, nyaris seperti bisikan.

Namun, sebelum ia sempat mengatakan hal lain, Aileen mulai menarik kaus tidurnya, bersiap mengganti pakaian di tempat itu juga. Alvaro membelalakkan mata, tubuhnya membeku di tempat.

“Eh… Eh, Aileen! Apa yang kau lakukan?!” serunya panik, wajahnya langsung memerah seperti tomat matang.

Aileen menoleh dengan ekspresi tak bersalah yang nyaris menggelikan. “Apa?” tanyanya polos, tangan masih di tepi kaus. “Kau sering ke sini, kan? Bukan pertama kali kau lihat aku…”

“Bukan itu masalahnya!” potong Alvaro cepat, tangannya terangkat menutupi wajah. “Kau—kau tidak boleh ganti baju di depan orang! Apa kau gila?!”

Aileen hanya tertawa kecil, nada cerianya memantul di antara dinding-dinding kamar. “Santai saja, Alvaro. Kau ini berlebihan.”

Alvaro memutar tubuhnya, dengan gerakan cepat membuka pintu kamar. “Aku keluar! Cepat selesaikan urusanmu!” ujarnya, langkahnya tergesa meninggalkan ruangan itu. Suara pintu tertutup terdengar sedikit lebih keras dari yang ia rencanakan.

Di luar, ia bersandar pada dinding, menarik napas panjang sambil menekan kedua telapak tangannya ke wajah. Jantungnya masih berdetak kencang, berdebar seperti genderang yang tak mau berhenti. Ia menggeleng, mencoba mengusir bayangan yang terus mengganggunya.

“Dasar gadis bodoh,” gumamnya pelan, namun ujung bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. Ia melirik pintu kamar itu sekali lagi, dan tanpa sadar tertawa kecil. Aileen selalu punya cara untuk membuat dunia terasa lebih rumit… dan lebih indah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Keep Your Eyes Open
487      332     0     
Short Story
Ketika mata tak lagi bisa melihat secara sempurna, biarkan hati yang menilainya. Maka pada akhirnya, mereka akan beradu secara sempurna.
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5984      1183     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Praha
297      181     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
CEO VS DOKTER
254      210     0     
Romance
ketika sebuah pertemuan yang tidak diinginkan terjadi dan terus terulang hingga membuat pertemuan itu di rindukan. dua manusia dengan jenis dan profesi yang berbeda di satukan oleh sebuah pertemuan. akan kah pertemuan itu membawa sebuah kisah indah untuk mereka berdua ?
Be Yourself
524      354     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better
SIREN [ RE ]
621      344     5     
Short Story
nyanyian nya mampu meluluhkan hati. namanya dan suara merdunya mengingatkanku pada salah satu makhluk mitologi.
When You Reach Me
7440      1975     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Daybreak
3980      1724     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
The Red String of Fate
639      442     1     
Short Story
The story about human\'s arrogance, greed, foolishness, and the punishment they receives.
Gray Paper
540      307     2     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?