"Kau boleh menyimpan pidatomu." Molly menyipitkan mata, menutupi sebagian dirinya yang terintimidasi oleh Bilena. "Aku akan mendengarkan ocehanmu setelah kau dan Agatha kembali dari cermin."
Bilena tertawa kecil, suaranya mendadak serak dan dalam, berbanding terbalik dengan raut mukanya yang lucu dan menggemaskan. Si kelinci lantas terbang mendekat, menginvasi ruang privasi Molly.
"Molly, aku penasaran, siapa yang membawamu kemari?" Bilena bertanya, namun nada bicaranya tidak jauh berbeda dengan mengofirmasi sesuatu, seolah memang telah tahu jawabannya.
Ketidaknyamanan Molly terhadap si kelinci semakin bertambah, malah meremang dan berdenyut-denyut di bagian hatinya. Dia tidak berencana untuk mengambil jarak, malah menunjukkan keberanian dan tekadnya dengan tetap berada dalam posisi. Tak goyah, tetap berdiri tegak, serta menaikkan dagunya sedikit.
"Apakah itu ada kaitannya dengan Agatha?" Molly balik bertanya, suaranya kental akan kecurigaan.
"Rolan, bukan?" Bilena menebak. Melihat ujung mata Molly yang berkedut mendengar nama si penyair disebut, si kelinci mengangguk pelan. "Kau masih memercayai laki-laki lancang itu?"
"Aku tidak punya pilihan lain."
"Padahal dia orang asing bagimu."
"Awalnya begitu, tapi sekarang tidak." Molly menelan ludah perlahan, berharap Bilena tidak menyadarinya. "Tetapi aku tidak peduli, karena sekarang Rolan tidak ada di sini untuk menggangguku."
"Kau tahu mengapa Cardos memanggilnya ke Lembah Esterdon?"
Molly menyipitkan mata, terheran-heran, dari mana Bilena tahu?
"Aku tidak melihat adanya alasan yang kuat untuk tenggelam dalam urusan orang lain." Molly menjawab cepat.
Si kelinci tertawa pendek.
"Apakah kau tidak curiga bagaimana bisa Rolan mengenal Cardos? Padahal di sisi lain, sang Penjaga Agung Lembah juga menjagaku, si Keajaiban Bilena." Pertanyaan Bilena seolah memancing.
"Apakah itu penting?"
"Ya." Bilena menjawab cepat, matanya menyipit seiringan dengan kesabarannya yang semakin terkikis. "Apakah kau tidak penasaran mengapa aku mengatakan kalau kita pernah bertemu?"
"Aku—" Molly terdiam seketika, menyadari satu hal: Bilena menanyakan hal-hal yang pernah ditanyakan oleh Cardos. Ini adalah sebuah kebetulan yang tidak biasa. Bagaimana mungkin?
Meski begitu, Molly telah bertekad untuk tak ikut campur terhadap masalah orang lain. Tujuannya sekarang sudah jelas, dan tentunya tidak ada hubungannya dengan Rolan.
"Mendiang ayahku selalu mengatakan, rasa penasaran pasti membuka jalan kemalangan. Oleh karena itu, aku tidak akan ikut campur dengan urusan Rolan. Aku tidak peduli, asalkan Agatha pulang bersamaku."
Bilena tertawa kecil, suaranya kali ini terdengar lebih berat dan membawa misteri. "Yah. Baiklah, aku hanya ingin mengingatkanmu."
"Kau tahu, setelah semua ini selesai, aku dan Agatha akan hidup tenang di Nevervale. Urusanku dengan Rolan akan segera berakhir. Dia bukanlah ancaman yang aku prioritaskan."
"Oh, kau harus memasukkannya dalam daftar prioritasmu, Mol," Bilena berkata lancang, "apakah kau tidak mendapatkan tanda-tandanya saat perjalanan ke tempat ini? Apakah kau tidak menyadari suatu hal?"
"Kau sedang menghasutku untuk mencurigai Rolan, ya?" Kening Molly berkerut. "Itu tidak akan berhasil. Kau mungkin membantu Agatha, tapi karena kau menghina kawan seperjalananku, aku tidak tahu apakah aku bisa menghormati dan menghargaimu lagi, Bilena."
"Benar. Kau boleh mengubah pandanganmu padaku, tapi aku hanya ingin memberimu sebuah pencerahan." Jeda. "Molly, ini adalah pertemuan kita yang ketiga, dan untuk pengulangan yang ketiga ini, kau akan tetap gagal membawa Agatha pulang."
Molly terdiam, membeku, matanya membulat memandang Bilena, seolah aliran darah berhenti dan tekanan udara semakin dingin dan berat. Kalimat itu lolos begitu mudah dan ringannya dari mulut si kelinci, seolah itu adalah perkara yang tidak penting.
"Yang benar saja, kelinci," desis Molly, mulai kehilangan kartu kesabarannya. "Kau sedang bermain dengan api—"
"Salah. Kau yang sedang bermain-main dengan api, bukan aku," Bilena menyahut datar. Dia melenggang manja di udara mendekat ke cermin perunggu.
"Aku beritahu, tidak ada untungnya kau mengonfrontasiku," balas Molly dingin. "Jadi, simpan konspirasimu, kelinci."
"Ah, Molly ... selalu yang paling acuh tak acuh, impulsif, dan tidak peka. Terkadang kepolosan itu berbanding lurus dengan sifat keras kepala." Bilena berkata, suaranya terkesan merendahkan, bagai anak remaja yang senang mencari perhatian. Si kelinci membalikkan badan, menatap penuh rasa kemenangan. "Begini saja. Kalau sampai aku dan Agatha tidak kembali, kau bisa bertanya pada Pandia. Dia ... dia berteman dekat dengan Rolan, hihihi."
"Jangan bawa-bawa adikku!" Molly tidak beranjak dari posisinya, namun tangannya dikepalkan kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Kau akan membawanya pulang dan Agatha akan pulang bersamaku. Ti—"
Molly terkejut, tak mendapati Bilena di posisi sebelumnya. Kelinci itu pasti telah masuk ke dalam cermin saat Molly sedang menundukkan kepalanya tadi.
Molly lantas mengedipkan mata.
Hening.
Tak ada tanda-tanda Bilena dan Agatha kembali.
"Tunggu." Molly mengedipkan mata.
Nihil.
Molly bergegas mendekati cermin perunggu, menyentuhnya dengan tangan perlahan.
"Cerminnya mengeras," gumamnya.
Ya, cermin perunggu itu kembali mengeras, tidak seperti genangan air yang dilihat Molly ketika Agatha melompat masuk. Cahaya keemasannya juga meredup.
"Agatha," panggilnya perlahan seraya kedua tangannya mendorong-dorong cermin itu. Suaranya yang pecah menggema di udara, namun cermin perunggu itu tetap membisu.
Bilena dan Agatha berjanji akan kembali dalam satu kedipan mata. Akan tetapi, setelah Molly mengedipkan kedua matanya beberapa kali, keduanya masih belum kembali juga. Rasa panik kembali membungkus seluruh inci bagian tubuhnya, membuat dadanya berdebar bagai genderang perang.
Rambut emasnya bergoyang ketika Molly berdiri perlahan. Dia meremas-remas kedua tangannya, perasaan cemas semakin mendominasi setelah dia berkali-kali mengerjapkan matanya. Dan, hasilnya tetap sama.
Molly menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata lekat-lekat, lalu membukanya cepat-cepat.
"Lho, tidak ada," rengeknya seraya kembali berlutut dan memegang cermin dengan kedua tangannya. "Agatha." Suaranya kental akan kecemasan. "Agatha! Kau berjanji akan kembali dalam hitungan satu kedipan mataku! Agatha!"
Molly memukul-mukul cermin itu.
Tidak mungkin, tidak mungkin aku gagal lagi. Tidak mungkin yang dikatakan Bilena menjadi kenyataan.[]