Harapan adalah hal yang membahayakan untuk Molly. Entah berapa lama dirinya menunggu di dekat cermin perunggu, berapa lama pula dia memanggil nama kakaknya, Agatha tak menunjukkan batang hidungnya.
Perasaan kacau berkecamuk bagai hujan badai dan hampir mengaburkan kewarasannya. Dia gelisah, mondar-mandir seperti seekor singa dalam kandang. Sesekali meremas-remas kepalan tangannya dan menggertakkan gigi. Tidak hanya itu, Molly juga menggigiti kuku-kuku jempolnya tanpa sadar.
"Kenapa mereka masih belum kembali?" Molly bergumam, nada suaranya kental akan kerisauan serta ketidaksabaran. "Katanya, satu kedipan mata, tapi aku sudah berkedip beribu kali di sini."
Angin berhembus sepoi-sepoi mengibarkan poni tipisnya. Alih-alih membuat Molly semakin tenang, angin itu malah malah membuatnya bertambah sedih. Bahunya merosot, napasnya berhembus pelan, dan semangatnya mulai pudar.
Kini dia duduk bersila, menunggu kemunculan kakaknya. Sebagian dalam hati Molly berseru, mungkin saja Agatha dan Bilena memang harus melakukan ritual sungguhan di tempat khusus. Mungkin saja, ritualnya membutuhkan cara-cara ajaib dan spesial sehingga prosesnya berjalan lama.
Atau, bisa jadi Agatha ingin sekalian meningkatkan kemampuannya, sehingga ketika pulang dia bisa menjadi prajurit desa yang kuat dan menjadi kebanggaan adik-adiknya. Pemikiran positif itu diterapkan oleh Molly, diresapi dalam-dalam untuk menepis kekhawatirannya.
"Tenang, Mol, tenang." Molly berkata pada dirinya sendiri.
Agatha tidak akan menarik kata-katanya. Jika dia berjanji kembali pada adiknya, maka dia pasti akan kembali. Agatha telah berjanji untuk berbicara baik-baik tentang Pandia bersama Molly, mencari solusi bersama sebagai saudara kandung sebagaimana mestinya.
"Dia akan kembali," Molly bergumam seraya memeluk lututnya. Pandangannya tak pindah sejengkal pun dari cermin perunggu.
Agatha tidak akan mengecewakannya.
Kakaknya pasti menepati janjinya.
Dan Molly memilih menunggu.
Masih menunggu.
Terus menunggu.
Tetap menunggu.[]