Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan.
...Read More >>"> SECRET IN SILENCE (Bab 40) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU 0
About Us  

Gerbang Bilena terbuka perlahan, bunyi deritnya membawa gemuruh dari bawah tanah, bergetar hingga membuat tanah yang dipijak Molly retak. Angin sejuk berhembus membawa debu juga pasir. Molly harus mempertahankan keseimbangan tubuhnya agar tidak terpental oleh tekanan angin.

Begitu gerbang benar-benar terbuka lebar, dia mendapati suasana mendadak menjadi sunyi, hanya ada derit besi yang menggema. Dadanya berdebar-debar, matanya masih membulat penuh takjub, ini adalah kali pertamanya dia mendapati sebuah gerbang raksasa yang terbuka lebar dan menimbulkan bunyi asing dan mencekam.

"Wow, akhirnya kau berhasil membukanya!" celetuk Nyssa, mulutnya masih terbuka lebar karena takjub.

Molly menggumamkan hal yang sama. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, dia menyaksikan gerbang raksasa ini muncul dan terbuka dalam sekejap. Iseng, ia melangkahkan kaki mendekat untuk mengecek ke dalam. Sejauh mata memandang, semuanya tampak gelap, tidak ada bunyi-bunyian khusus, selain suara angin yang menderu bagai bunyi peluit.

"Masuklah," Nyssa berkata seraya berteleportasi ke dekat gerbang.

Rambut ikal Molly bergoyang saat dia mengangguk. "Kau tidak ikut denganku?"

Nyssa menggelengkan kepalanya. "Tempatku di sini. Lagipula kau yang mendapatkan izin masuk ke dalam gerbang, bukannya aku."

"Ah, aku mengerti. Baiklah, aku akan masuk sekarang.

Nyssa mengangguk, tersenyum lebar, memamerkan gigi-gigi kecilnya. "Berhati-hatilah dengan para serigala kayu, mereka tidak ramah terhadap pengunjung."

"Serigala kayu?" Molly mengulang, mengernyitkan mata. Mungkin hewan-hewan penjaga artefak. "Baiklah, aku akan berhati-hati."

Kegelapan menyelimutinya begitu Molly benar-benar telah masuk ke dalam. Dia tidak merasakan apa pun, hampa dan kosong. Sedetik kemudian ia mencium bau lembap yang dicampur bau segar pepohonan. Ketika Molly mengambil satu langkah ke depan, seluruh dunia di sekitarnya, yang bermula berwarna hitam, berubah menjadi pepohonan.

"Apa-apaan ini?" Molly bergumam, menyadari betapa cepatnya perubahan lingkungan sekitarnya.

Pandangannya mengedar ke segala penjuru, mulai dari pohon raksasa berjejer yang membentuk pelengkung, daun-daun yang rimbun hingga menutupi cahaya dari langit. Kemudian bau dedaunan yang tertimbun hingga tercium busuk, dicampur wangi khas lumut serta tanaman pakis.

Molly melangkah melintasi pohon-pohon pelengkung itu. Matanya menatap lurus ke ujung jalan, berharap dirinya tiba di sebuah tempat lain, atau mungkin langsung bertemu dengan Agatha.

Di ujung jalan, Molly mendapati dirinya berada di atas tebing di dekat air terjun. Langit tempat ini senantiasa dalam kondisi mendung, bahkan cahaya matahari keemasan tidak berhasil menembus awan kelabu, seolah memang sengaja agar terkesan suram dan sakral.

Di bawah, terdapat sebuah labirin megah nan luas, yang memiliki tiga tingkatan yang dipisahkan oleh tangga. Batu bata penyusun labirinnya telah diselimuti oleh lumut dan tanaman pakis, sehingga lebih mirip seperti semak-semak yang dibentuk sedemikian rupa.

"Labirin Hijau," Molly bergumam takjub.

Pandangan Molly kemudian tertuju pada sosok perempuan muda, yang tengah berlari berputar melintasi labirin. Di bagian punggung perempuan itu terdapat pedang api yang menyala.

Itu Agatha.

Kakak Molly tengah berlari sekuat tenaga disertai teriakan kekhawatiran seolah tengah dikejar oleh sesuatu yang tercipta dari dinding labirin. Entah apa itu.

"Agatha!"

Kekhawatiran akhirnya menghantui, merayap dari bagian kaki hingga ke punggung, dan meremang di bagian dada. Molly mengambil langkah seribu menuruni anak tangga dan nekat masuk ke dalam labirin. Dengan menggunakan instingnya juga kekuatan keberuntungan, dia berlari melintasi lorong labirin.

"Agatha!" teriak Molly mencari posisi kakaknya.

"Molly!" Agatha menyahut dari kejauhan. Suaranya lantang dan keras, diwarnai kepanikan, memungkinkan Molly untuk melacak keberadaannya.

Seluruh bagian dinding labirin terlihat sama, masing-masing ditumbuhi lumut dan tanaman pakis, tanaman rambat, juga terdapat timbunan dedaunan yang telah membusuk. Derap kakinya meneriakkan rasa kekhawatiran juga antisipasi. Pikiran Molly bekerja lebih cepat mengambil keputusan, debaran di dadanya seolah memberitahunya untuk terus berlari.

Ini adalah ketiga kalinya Molly memilih jalan, dan semua jalan yang dipilihnya selalu menuntunnya ke jalan buntu. Dia menjerit memanggil Agatha, berteriak sekencang-kencangnya hingga paru-parunya terasa sakit.

"Berpikir, Mol, berpikir!" Molly meneriaki dirinya sendiri. Seolah tengah melempar dadu keberuntungan, dia kembali lari melintasi lorong yang lain.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, Molly berhasil menemukan jalan yang benar. Dia mendapati sebuah anak tangga yang menuju ke bagian tingkatan labirin yang kedua.

"Agatha ada di sekitar menara," gumam Molly mengatur napasnya.

Dia berhenti sejenak seolah menyadari sesuatu. Menara? Molly mendongak, matanya mendelik terkejut. Sejak kapan ada menara? Padahal, sebelumnya dia sangat yakin tak ada menara saat ia ada di atas tebing.

"Apa-apaan?" Molly bergumam. Kemudian, ia memekik kaget, mendengar suara dentuman keras tak jauh di dekat menara. "Agatha!"

Tak ada jawaban, malah semakin mengkhawatirkan.

"Aku hanya perlu mengingat jalannya." Napasnya tersengal-sengal, menghafal posisi sesuai ingatannya. Menggunakan imajinasi dalam kepala, Molly mulai menyusun jalan keluar dari labirin ini sesuai pemandangan labirin yang dilihatnya dari atas. Tidak perlu menunggu lama, dia lantas tersenyum dan bergumam, "Ketemu."

Molly bergegas masuk ke dalam labirin, berlari melintasi lorong menyesuaikan imajinasi dalam kepalanya. Dia kembali meneriaki nama Agatha, mendapatkan sambutan dari suara kakaknya, Molly tersenyum karena jalan yang dipilihnya memang benar.

Begitu keluar dari labirin kedua, Molly mendapati batang dan dahan pohon yang hangus menjadi arang. Entah apa yang telah terbakar, yang jelas, melihat ada api di tempat ini, sudah bisa dipastikan kalau Molly berada di jalan yang benar.

"Demi para leluhur, dia berencana menghanguskan tempat ini?" gumam Molly.

Memasuki labirin ketiga, Molly melihat beberapa ranting dan akar yang juga hangus terbakar. Mendapati jejak kaki Agatha, dia lantas mengikutinya.

Mencapai setengah perjalanan Molly merasakan gelombang angin aneh dari arah yang ditujunya. Angin panas menggulung cepat, menerpa tubuhnya, membuat perempuan itu nyaris jatuh terjengkang. Sesuatu telah terjadi pada Agatha, dia harus berlari lebih cepat lagi.

Di momen Molly keluar dari labirin, ia mendapati Agatha telah berada di atas menara bersama seseorang. Kemudian, cahaya menyilaukan berdenyut dari arah menara, menambah intensitas kepanikan Molly. Seolah tak kehilangan tenaga, dia berlari menyusul menaiki tangga batu di hadapannya.

Tiba di puncak menara, rupanya Agatha telah bersama seekor kelinci putih. Sambil membungkuk mengatur napas, Molly mengamati dari kejauhan. Mendapati ekspresi kakaknya yang tajam dan penuh amarah, sepertinya si kelinci dan Agatha tengah beradu argumen. Dia memutuskan untuk mendekat. Secara tidak sengaja, Molly menginjak ranting kering, membuat kelinci itu berjingkat kaget.

"Wah, wah, wah, kita kedatangan tamu." Kelinci itu mengalihkan pandangannya, menatap Molly dengan pernik mata merahnya yang intens. Wajahnya diwarnai oleh keceriaan ala anak remaja.

"Molly, sedang apa kau di sini?" Agatha menuntut. Bola mata birunya membulat, bahunya menegang, dan rahangnya dikatupkan rapat-rapat, tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Tenang, aku tidak bermaksud mengganggu tujuanmu, aku kemari untuk menjemputmu pulang." Molly menjelaskan perlahan.

"Dengar, aku tidak akan pulang sebelum aku berhasil menguasai apiku," Agatha berkata, masih teguh pada tekad dan tujuan awalnya.

Molly menganggukkan kepala cepat, memahami perasaan kakaknya. "Ya, aku tahu. Aku datang hanya untuk menjemputmu. Kau boleh melanjutkan ritual—atau apalah itu yang kau butuhkan. Tapi setelah itu, kita pulang bersama-sama, ya? Setelah itu kita bicarakan lagi baik-baik masalah Pandia, oke?"

Mendengarkan penjelasan Molly, bahu Agatha merosot, sejenak kemudian dia mengangguk pelan. Perempuan berambut merah itu mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya penuh frustrasi, sebuah kebiasaan untuk menahan diri agar tidak meledak-ledak.

"Jadi, bagaimana, Bilena? Aku sudah datang sesuai panggilanmu." Agatha akhirnya menanyakan kejelasan setengah menuntut kepada si kelinci.

Molly tertegun, mulutnya terbuka, dan matanya berkedip beberapa kali. "Tunggu, dia Bilena? Keajaiban Bilena? Artefak yang misterius itu?"

Jadi, Bilena bukanlah artefak berbentuk senjata kuno, buku-buku dengan segudang mantra, perhiasan, atau mungkin benda kecil yang misterius seperti kristal. Artefak yang dimaksud bukanlah benda mati, melainkan benda hidup berupa kelinci. Kelinci putih dengan telinga lebar yang mirip seperti sayap.

"Kejutan!" Bilena mengangkat kedua kaki depan yang lebih mirip tangan. Ekornya yang pendek dikibaskan penuh semangat, ia juga mengepakkan telinganya hingga kakinya kini tidak menapak tanah. "Ekspresi kagetmu masih sama seperti terakhir kali kau menemuiku."

Molly dan Bilena saling beradu pandang dalam keheningan yang membingungkan. Tatapan intens itu berakhir saat Agatha berdeham.

"Hei, kelinci. Ini bukan waktunya untuk bercanda." Agatha kembali menuntut.

"Kau tidak bisa bersabar ya," Bilena mengerang seraya memutar matanya penuh rasa jengkel. "Aku akan membantumu seperti yang sudah-sudah. Tapi, aku ingin tahu, balasan apa yang kau tawarkan padaku?"

Agatha menyipitkan mata, menatap tajam. "Kau ingin bernegosiasi denganku, padahal kau sendiri yang memanggilku. Aku membantumu, lalu kau membantuku menguasai apiku. Bukankah itu sudah adil? Atau apakah itu masih belum cukup?"

Bilena mendengus, melipat tangan ke dada. "Butuh pengorbanan yang tidak sedikit agar aku bisa mengabulkan permintaanmu. Tujuanku mengundangmu ke sini juga bukan karena itu."

Kini giliran Agatha yang memutar mata jengkel. "Jadi sekarang ada dua perkara, begitu? Kau artefak yang menyebalkan, aku heran kenapa aku datang ke tempat ini."

"Karena memang sudah seharusnya begitu. Aku yang memanggilmu dan kau datang karena takdir yang mengaturnya," Bilena mendengus tersinggung. Kedua kaki depannya menunjuk dua saudari itu bergantian. "Sangat lucu melihat kalian berdua berdiri berdampingan begini. Padahal, terakhir kali yang kuingat, kalian selalu beradu argumen. Bahkan, sampai waktu terulang untuk kedua kalinya pun, kalian masih bertengkar."

Molly dan Agatha mengerutkan kening bersamaan, penasaran dengan apa yang dimaksud oleh makhluk kelinci bersayap itu. Mereka saling melirik, berusaha untuk memahami apa yang dikatakannya.

"Aku selalu mendengar kalau Bilena memang sering berbicara tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dia perwujudan remaja labil," Agatha berbisik kepada Molly, seolah meminta agar adiknya memahami ketidakjelasan dari si kelinci. "Jadi, bagaimana?"

Bilena memutar matanya kesal. "Oke, baiklah. Aku akan membantumu, tapi, kau harus ikut denganku."

"Baiklah—"

Molly menginterupsi, mengambil selangkah ke depan seraya memegang lengan atas kakaknya. "Tunggu, apa maksudmu kau ikut dengannya, Agatha? Ke mana kalian akan pergi?"

Kelinci itu memiringkan kepalanya. "Ke tempat di mana Agatha bisa menguasai apinya dengan instan. Ke mana lagi?"

"Kau tidak melakukan ritual atau semacamnya untuk membantunya meningkatkan kemampuannya, tapi kau malah membawanya pergi ke tempat lain?" Molly memprotes.

"Ritual? Ha!" Bilena memutar matanya kembali, kali ini lebih dramatis disertai goyangan kecil pada pinggulnya. "Maafkan aku, Nona naif, tapi Agatha lupa membawa lilin-lilin wangi, buku mantra, dan beberapa barang-barang yang dibutuhkan untuk melaksanakan ritual ala dukun murahan. Sayangnya, menjadi dukun bukanlah gayaku. Aku tidak suka yang seram-seram." Dia kemudian memegang pipinya yang bulat dan melanjutkan, "Agatha ingin hasil cepat, yang artinya kita tidak butuh drama, tapi butuh tindakan. Dan tindakan yang dibutuhkan sekarang adalah membawanya pergi bersamaku ke tempat yang tepat. Ada pertanyaan lagi?"

Molly membuka mulutnya, hendak menukas. Namun, dia terkejut ketika Agatha melangkah mendekati Bilena dan berkata, "Tidak masalah. Aku akan ikut denganmu."

"Luar biasa! Aku tahu kau akan setuju!" Bilena mengangkat kedua tangan ke udara sebagai bentuk selebrasi.

Tangan Molly mencengkeram lengan kakaknya kuat-kuat. "Agatha, kau setuju untuk pulang bersamaku hari ini. Kau tidak bisa—"

"Ya. Aku setuju pulang bersamamu setelah urusanku dengan kelinci ini selesai," sela Agatha seraya menaikkan dagunya. "Kau bisa menunggu di sini kalau kau mau."

"Tidak!" Molly bersikeras.

Rasa tidak percaya merayap ke seluruh inci relung hati Molly, apalagi setelah mendapati kelinci itu menarik seringaian tipis di ujung bibir sebelah kanan. Tubuh Molly merinding, ia mampu merasakan hal buruk, seolah Bilena memiliki rencananya sendiri.

Tidak. Molly tidak ingin melepaskan kakaknya lagi, kali ini dia harus benar-benar memastikan Agatha tidak lepas dari genggamannya seperti di Sarang Dalam. Matanya menyala penuh tekad.

"Kau keras kepala," Agatha berkata, menepis tangan adiknya. "Kau tidak mendengarkan perkataanku, tunggu aku di sini, Molly. Aku hanya pergi sebentar, setelah itu aku pasti akan kembali. Percayalah padaku."

Mata biru Agatha menatap dalam-dalam milik Molly. Ia tersenyum dan memberikan genggaman tangan yang meyakinkan. Harus diakui, Molly benci melihat tingkah lembut kakaknya, yang selalu tahu bagaimana meyakinkan hatinya.

"Kau pandai bernegosiasi, Agatha. Mintalah Bilena untuk melakukan ritualnya di sini. Aku tidak percaya dengan kelinci itu. Dia menyeringai penuh maksud," Molly membalas, nada suaranya hampir memohon. "Kalau kau pergi dan tidak kembali, bagaimana dengan Pandia di rumah? Dia akan menikahi pria tua itu. Bagaimana denganku? Aku tidak sepandai kau ketika menghibur adik kita."

"Jangan khawatir, Molly," Bilena akhirnya angkat bicara. "Aku akan melindungi kakakmu."

"Bukan masalah itu, aku percaya kakakku kuat untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi, berapa lama kalian akan pergi?" Molly setengah memohon, tangannya berhasil meraih pergelangan tangan Agatha.

"Tidak akan lama. Mungkin setelah kau melihat kami pergi, lalu kau mengedipkan mata, kami sudah ada di sini dalam kondisi sehat sentosa." Bilena menyahut santai dengan senyuman tipis, seolah tidak menanggapi serius reaksi khawatir Molly.

Molly mengerutkan kening, memindai raut wajah Bilena saksama, berharap menemukan sesuatu yang bisa menguatkan rasa tidak percaya dan kekhawatirannya kepada si kelinci. Ia bisa saja memaksa Agatha pergi sekarang, tetapi dibutuhkan alasan yang masuk akal dan mendesak agar Agatha berada di pihaknya.

Pada akhirnya, Molly tidak tahu harus berkata apa. Dia bukanlah Rolan yang dapat meyakinkan lawan bicara dengan kekuatannya, juga bukan Iefyr yang dihormati oleh kaumnya, sehingga ucapannya senantiasa diindahkan. Perlahan, ia melepaskan cengkraman pada pergelangan tangan kakaknya, sebuah isyarat diam jika Molly akhirnya membiarkan Agatha pergi.

"Terima kasih telah mengerti, Mol," Agatha berbisik, lalu menarik adiknya dalam pelukan erat. Ini hanyalah pelukan sederhana, bentuk syukur seorang kakak kepada adiknya, namun entah mengapa terasa berbeda bagi Molly. "Aku akan kembali tepat pada kedipan mata pertama."

"Ya. Berhati-hatilah dengan Bilena," Molly berbisik penuh harap.

Agatha mengedipkan matanya genit, berharap dapat mencairkan ketegangan pada bahu adiknya. "Percayalah, aku tidak mudah terlena dengan bujuk rayu orang lain, selain adik-adikku sendiri."

Dengan begitu, Agatha akhirnya menganggukkan kepala kepada Bilena, tanda agar kelinci itu bisa memulai perjalanan mereka.

Si kelinci terbang menuju ke tengah-tengah menara, tepat di dekat sebuah cermin perunggu kuno yang tertanam pada lantai. Perlahan, Bilena merapalkan mantra ajaib, membuat lapisan cermin yang teroksidasi terkelupas perlahan dan menghilang di udara. Cahayanya berwarna emas terang menembus ke langit mendung.

"Kita bisa pergi sekarang," Bilena berkata sambil menunjuk ke dalam cermin perunggu.

Agatha menoleh, tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol pada Molly. Kemudian, melompat masuk ke dalam cermin, menimbulkan gelombang seolah permukaan cermin adalah genangan air.

Dia akan kembali. Molly berkata dalam hatinya, tangannya mengepal rok kuat-kuat. Agatha akan pulang bersamaku begitu Bilena masuk dan aku mengedipkan mataku.

Sampai beberapa detik kemudian, Bilena hanya melayang di dekat cermin perunggu. Molly mengernyit, bertanya-tanya mengapa si kelinci tidak segera menyusul Agatha.

Kemudian, pandangan mata mereka bertemu dalam intensitas yang tidak wajar. Tatapan si kelinci tidak bisa ditebak, datar tanpa ekspresi. Namun, semakin lama semakin menajam dan mengintimidasi. Jantung Molly bertalu-talu waspada. Ada yang aneh dari Bilena.

"Kau tidak menyusul kakakku, Bilena?" Molly akhirnya bertanya, memecah keheningan.

"Aku ingin berbicara denganmu sebentar."[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The pythonissam
356      274     5     
Fantasy
Annie yang harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang penyihir dan juga harus dengan terpaksa meninggalkan kehidupanannya sebagai seorang manusia.
PATANGGA
710      493     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Evolvera Life
9499      3261     28     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
Aria's Faraway Neverland
3342      1071     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Dark Fantasia
4715      1433     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
Puncak Mahiya
554      399     4     
Short Story
Hanya cerita fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh. Cerita bermula ketika tria dan rai mengikuti acara perkemahan dari sekolahnya, tria sangat suka ketika melihat matahari terbit dan terbenam dari puncak gunung tetapi semua itu terhalang ketika ada sebuah mitos.
Glad to Meet You
264      203     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...
A.P.I (A Perfect Imaginer)
127      108     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
HAMPA
388      268     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
ETHEREAL
1452      651     1     
Fantasy
Hal yang sangat mengejutkan saat mengetahui ternyata Azaella adalah 'bagian' dari dongeng fantasi yang selama ini menemani masa kecil mereka. Karena hal itu, Azaella pun incar oleh seorang pria bermata merah yang entah dia itu manusia atau bukan. Dengan bantuan kedua sahabatnya--Jim dan Jung--Vi kabur dari istananya demi melindungi adik kesayangannya dan mencari sebuah kebenaran dibalik semua ini...