Mengikuti instruksi Cardos, Molly tiba di lantai atas dan menyusuri koridor gelap, dia langsung menemukan satu obor yang menyala di samping sebuah pintu. Terdorong oleh hawa dingin yang menggigit, Molly memilih untuk langsung membuka pintu itu tanpa harus mengetuknya.
Begitu Molly melangkah ke dalam ruangan, suhu hangat dalam ruangan itu menyambutnya lembut, bagai dalam selimut. Ruangan ini nyaman dan aman, kontras dengan yang dirasakannya di luar beberapa menit yang lalu.
Ruangan ini terlihat mewah dibandingkan kamarnya di rumah. Ranjang yang besar nan empuk, yang mungkin dapat memuat Molly dan dua saudarinya. Kerangkanya dililit oleh tanaman rambat berhiaskan bunga berwarna merah. Karpet tebal dan hangat yang membentang seluas ruangan, ketika ia melangkah, karpet itu membungkus kakinya lembut dan meredam rasa nyeri yang meremang sejak pagi ini. Kemudian, ada meja dan kursi yang mewah dan nyaman di dekat jendela tinggi di ujung ruangan—memungkinkan Molly menikmati pemandangan hujan badai dari jendela. Pencahayaan di ruangan ini tidak menggunakan lilin, namun ada beberapa jamur ajaib yang tumbuh di dinding dan menyala terang berwarna kehijauan.
Molly mengintip ke ruangan yang ada di dekat pintu masuk. Tempat itu adalah kamar mandi, dengan bak mandi khusus terbuat dari batu granit bercorak alami dan klasik.
"Cardos benar-benar menyiapkan semuanya bahkan sebelum menjemput kami?" Molly bergumam, penasaran. Sebab air dalam bak mandi itu terjaga kehangatannya.
Cepat-cepat Molly membantu Moko melepaskan bajunya yang basah, kemudian mengambil handuk kecil yang memang telah disiapkan. Ia juga mengambil seember air hangat dari bak mandi untuk monyet itu berendam. Diikuti oleh dirinya sendiri yang langsung berendam.
Luar biasa, ini adalah kali pertamanya Molly merasakan air hangat setelah sempat berhari-hari jauh dari rumah. Dia bahkan lupa kapan terakhir kali dapat mandi dengan air wangi begini.
Air hangat ini sukses menghilangkan rasa lelah dan letih dalam tubuhnya. Tak hanya itu, rasa nyeri pada kakinya juga berangsur-angsur membaik. Dulu, Pandia pernah memberitahu Molly tentang ramuan khusus yang berbau manis guna menyembuhkan rasa lelah pada tubuh. Mungkin, ramuan ini yang dimaksud adiknya.
Begitu selesai membasuh tubuh, Molly melangkah keluar kamar mandi. Sesaat setelah mengeringkan tubuh, ia baru mengingat bahwa dia tak punya baju pengganti. Namun, betapa terkejutnya Molly mendapati sebuah gaun baru yang telah ditata di atas ranjang, lengkap dengan sepatu selop. Tidak hanya itu, dia juga mendapati makanan hangat telah ditata di atas meja di dekat jendela tinggi.
Aneh sekali, padahal Molly yakin benda-benda itu tak ada di sana sebelumnya.
Lantas, siapa yang menyiapkan barang-barang ini?
Apakah Cardos memiliki seorang pembantu? Kalaupun benar, anehnya, Molly tidak mendengar suara seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.
Iseng, Molly berlari ke kamar mandi hanya untuk mendapati gaunnya yang basah, sepatu botnya yang kotor, dan jubahnya telah menghilang dalam sekejap. Air hangat dalam bak mandi dan ember masih belum terkuras, namun handuk bekas dipakai oleh Moko telah menghilang.
"Siapa yang kira-kira membawa baju-bajuku pergi?" gumamnya.
Molly penasaran, sungguh. Namun rasa lelah dan lapar telah mendominasi. Untuk itu, dia cepat-cepat memakai gaunnya. Gaun itu hanyalah gaun putih sederhana dengan potongan berbentuk hati di bagian dada, memamerkan bahu dan garis tulang selangkanya yang mulus. Bagian dada dan pinggangnya diperketat oleh korset putih tulang bercorak sulaman bunga mawar. Ia juga memakaikan baju berwarna hijau bergaris untuk Moko, dan memberikan semangkuk buah-buahan.
Stew yang dibuat rasanya lebih sedap dibanding masakan Molly di rumah. Rotinya juga terasa lembut di bagian dalam. Dia menyantapnya dengan lahap, seakan tak pernah memakan makanan enak selama berhari-hari. Begitupun Moko yang rakus memakan pisang dan buah anggur bersamaan.
"Setelah makan, kita cek Rolan bersama-sama, setuju?" Molly menarik senyuman hingga ke matanya, membuat ujung matanya menyipit lembut.
Moko meringis, menunjukkan gigi-giginya yang besar, sebelum kembali menyantap makanannya tergesa-gesa.
***
Hujan terpantau masih terus mengguyur daratan Lembah Esterdon, hingga kini waktu telah berganti malam. Molly, begitu selesai menyantap makanannya, dia berjalan menuruni tangga besar, berharap untuk mengecek kondisi Rolan dan Cardos. Namun, setibanya di lantai dasar, dia tidak mendapati kedua lelaki itu.
"Di mana mereka?" Molly bergumam.
Moko, kawan yang cerdas, memekik dan menunjuk ke bagian ruangan yang ada di seberang. Tidak menunggu lama, Molly berjalan mendekat.
"Cardos," Molly memanggil pelan.
"Hm?" Cardos tengah menumbuk ramuan di meja kerjanya, memunggungi Molly. Dia sibuk mencabuti berbagai jenis tanaman obat juga buah-buahan liar, kemudian menumbuknya dan mencampurkannya dengan air berkilauan.
Sedangkan Rolan berbaring tengkurap di sofa, masih belum sadarkan diri. Ketika Molly mengeceknya, dia menarik napas lega, karena lumut dan bunga kuning telah dicabut dari bahu lelaki itu. Dia juga mendapati sebuah baskom besar yang berisikan lumut dan bunga kuning yang telah layu di dekat sofa. Molly sempat meringis ngeri saat melihat serat-serat akar yang menggeliat hidup pada dasar baskom.
"Kau berhasil mencabutnya? Keren sekali, pekerjaanmu sangat teliti," Molly berkata penuh kekaguman.
"Aku telah melakukannya berkali-kali dalam keabadianku, jadi ini adalah pekerjaan yang mudah." Cardos menjawab lembut, masih sibuk menumbuk. "Kondisi Rolan lumayan membaik, tapi dia membutuhkan waktu sekitar dua hari untuk bisa benar-benar pulih kembali."
"Boleh aku bantu membersihkan lukanya?" Molly meminta izin.
"Sayangku, aku berharap kau bisa membantuku, tapi akan sangat disayangkan kalau sampai darah biru Rolan mengotori gaunmu." Cardos menjawab dengan sangat sopan dan penuh tata krama, menunjukkan betapa tuanya dirinya.
"Tidak apa-apa, seseorang harus menghentikan pendarahan pada bahu Rolan," Molly cepat-cepat mengambil kain bersih yang ada di dekat sofa. Kemudian mencelupkannya ke baskom yang berisikan air hangat, perlahan-lahan dia mulai membersihkan luka Rolan.
"Kau bisa melakukannya?"
"Ya. Dulu kakakku sering sekali terluka saat melakukan latihan bersama, dan aku satu-satunya yang bisa membantunya membalut luka," jelas Molly. Bibirnya tersenyum saat memikirkan masa lalunya, tepat ketika Agatha yang menggerutu gara-gara kalah dalam latihan gabungan di kamp prajurit desa.
Berbicara mengenai Agatha, Molly mulai bertanya-tanya, apakah mungkin kakaknya sempat bertemu dengan Sang Penjaga Agung? Namun, rasanya tidak mungkin bila kakaknya tidak bertemu.
"Kalau kau tengah mengurus sesuatu, fokuslah pada hal yang ada di hadapanmu sekarang. Jangan biarkan pikiranmu mengembara ke mana-mana." Cardos menegur dari belakang, tangannya yang hangat menepuk bahu Molly, mengagetkan perempuan itu.
Molly menjengit dan cepat-cepat berdiri, memberikan ruang untuk Cardos memeriksa kondisi Rolan. "Maaf, aku tidak bermaksud—"
"Tidak apa-apa, aku tahu kalau para makhluk fana pasti memiliki banyak hal yang dipikirkan." Cardos menyela penuh pengertian. Perlahan, ia mengoleskan ramuan kental hasil tumbukan beberapa bahan—yang anehnya tercium segar daripada pahit—pada luka Rolan.
Suasana hening kembali melanda dalam sekejap, akibat Molly terlalu gugup dan khawatir untuk memulai pembicaraan. Tidak hanya itu, Cardos sepertinya juga fokus dengan kegiatannya sampai tak mengatakan apa pun.
"Kau berbeda dengan kakakmu, ya." Cardos akhirnya berkata, tanpa memalingkan pandangannya.
Kata-kata Cardos berhasil membuat Molly mengangkat kepalanya. Membandingkannya dengan Agatha, menjadi bukti kuat bahwa kakaknya pernah ke tempat ini.
"Maksudmu Agatha?" Molly berlutut, mencari-cari wajah Cardos, berharap kalau lelaki itu tidak sedang membual. Hingga saat mata mereka bertemu, Molly dapat merasakan lelaki ini mengatakan kebenaran. "Kau bertemu dengannya?"
Cardos mengangguk pelan. Kini, dia berbicara santai selayaknya kawan dekat saat mengatakan, "Ya, dia juga sempat tinggal selama sehari di sini."
"Su-sungguh?" Molly menaikkan nada bicaranya, menuai lirikan tajam dari Cardos.
"Kita bicarakan nanti. Aku akan mengurus Rolan dulu," kata Cardos seraya mengambil perban dari kotak kayu yang tidak jauh dari sofa. "Tunggu aku di ruangan belajarku, Mol."
Molly menelan ludahnya, sadar telah membuat kesalahan dengan bersikap antusias tanpa memikirkan bagaimana kondisi Rolan sekarang. Rasanya juga tidak bijak apabila membicarakan orang lain di dekat seseorang yang tengah membutuhkan perawatan.
"Aku tidak tahu ruangan belajarmu," Molly akhirnya berucap, bangkit dari posisinya dan berjalan ke arah pintu.
"Kau akan tahu, karena hanya ada satu obor yang menyala di dekat pintu itu."
Lagi-lagi, pintu yang dimaksud oleh Cardos benar-benar memiliki satu obor yang menyala, sementara obor pada koridor yang lain padam. Molly mendorong pintu dan melangkah masuk.
Ruangan ini tampak biasa saja, meja besar dan kokoh, kursi empuk dengan ukiran yang sederhana, kemudian rak-rak yang dipenuhi oleh buku-buku tua berdiri menjulang di ujung ruangan berselimutkan debu tipis. Ruangan ini terangi oleh jamur yang bersinar dan cahaya dari pendiangan, menambah kesan nyaman dan hangat.
Selama menunggu, Molly memilih untuk mengamati buku-buku koleksi Cardos. Penjaga Agung adalah entitas abadi—mungkin saja lebih tua dari Kerajaan Musim Semi—sudah pasti lelaki itu memiliki banyak koleksi buku dari semenjak beribu-ribu tahun yang lalu.
Molly bergumam, membaca setiap judul buku yang berjejer rapi pada rak. Sampai akhirnya, perhatiannya jatuh kepada sebuah buku yang berjudul: Springcrest yang Abadi: Sejarah, Tradisi, dan Budaya.
Dia tersenyum, teringat momen masa kecilnya ketika mendiang ibunya membacakan buku ini. Buku ini berbicara mengenai Desa Nevervale yang masih di bawah pemerintahan monarki yang sama dengan Kerajaan Musim Semi di Tanah Utama. Hanya itu yang diingatnya.
"Maaf membuatmu menunggu lama," kata Cardos tiba-tiba, membuat Molly menjengit kaget. "Aku sudah memindahkan Rolan ke kamar di sebelah kamarmu. Dia hanya perlu istirahat sampai energinya pulih."
Lelaki berambut gelap itu mengelap tangannya dengan kain bersih begitu masuk ke dalam ruangan. Molly cepat-cepat menutup buku yang diambilnya dan meletakkannya ke atas meja nakas yang tak jauh dari rak buku.
"Tidak apa-apa," Molly menjawab lembut.
"Um, sampai mana kita tadi?" Cardos membuang kain bekas darah Rolan ke tempat sampah tak jauh dari meja belajarnya.
"Tentang Agatha."
Cardos menepuk tangannya. "Ah, iya. Tentang Agatha."
"Jadi, benar Agatha sempat datang ke tempat ini?" Molly berjalan mendekat, dadanya berdebar oleh rasa penasaran dan antisipasi.
Lelaki itu mengangguk. "Ya, Agatha kemari. Sepertimu, dia tersesat di tengah-tengah lembah. Lalu aku merawat luka bakar di sekitar tangannya. Sepertinya essentia dari patung milik para druid mengaktifkan api dalam diri Agatha, sampai melukai lengannya."
Molly kembali teringat bagaimana Agatha sempat terbakar api dan terjatuh dari ketinggian waktu itu. Dadanya berdenyut nyeri, namun di sisi lain ada perasaan lega, karena akhirnya Agatha berhasil selamat dan bertemu Cardos.
"Kalau begitu, kau tahu kalau Agatha sedang mencari Keajaiban Bilena, kan?" Molly memiringkan kepalanya, mencari-cari mata Cardos yang sempat menghindari tatapannya. "Apa namanya? Labirin Hijau?"
"Aku tahu, dan aku yang memberitahunya," jawab lelaki itu santai. "Dan ya, Labirin Hijau namanya."
"Di mana tempat itu?" Molly melangkah mendekat, tangannya hampir menyentuh lengan lelaki itu.
Cardos mengangkat kedua tangannya, menghindari sentuhan dari tangan Molly. Dia juga mengambil beberapa langkah menjauh seraya mengucapkan, "Wow, wow. Santai, Mol."
Gigi Molly beradu kuat saat mengatakan, "Aku tidak bisa santai jika berurusan dengan Agatha. Perempuan egois itu harus pulang bersamaku."
"Sebelum aku memberitahumu, ada beberapa hal yang perlu aku sampaikan padamu," kata Cardos sambil duduk di kursinya.
"Jabarkan itu." Molly melipat tangannya di dada, matanya berkilat penuh tuntutan, dan nada suaranya terbilang tidak sabar.
"Yang pertama—" Cardos menatapnya sejenak, lalu mengatakan, "Aku berfirasat, perjalananmu ke lembah ini akan berakhir sia-sia."[]