"Bisa tolong jelaskan itu?" Molly menyipitkan mata, sedikit sanksi atas apa yang barusan diucapkan oleh Cardos.
Lelaki itu menyugar rambutnya, mendengkus, membenarkan posisi duduknya yang sekarang jauh lebih lancang—kedua kakinya naik hingga ke atas meja. Cardos lebih mirip seorang raja nakal ketimbang Penjaga Agung Lembah yang dikenal atas kebijaksanaan dan wibawanya.
"Aku akan menjelaskan latar belakang mengapa kakakmu memerlukan Keajaiban Bilena," jelas Cardos, masih menggantung. "Alasan mengapa dia harus bertindak sejauh ini."
"Dia sudah memberitahuku, demi mengontrol essentia-nya, bukan?" Molly melipat tangannya di dada, tidak sabaran dengan penjelasan Cardos.
"Ya. Tapi, kau perlu mendengarkan latar belakangnya." Cardos memegang pipinya, melanjutkan, "Agatha terlahir sebagai essentor dalam wujud essentia berupa api, seperti mendiang ayahmu. Namun, tidak seperti dirimu yang dapat menguasai kemampuan secara natural, Agatha perlu melakukan latihan ekstra untuk menguasainya, makanya dia bergabung militer," imbuh Cardos, "sayangnya, essentia miliknya terlalu liar dan tidak terkontrol. Jadi, dia memerlukan sesuatu yang bisa menjadi pemicu."
"Tetap saja, alasan itu tidak bisa menjadi dasar baginya untuk pergi dari rumah begitu saja, sampai-sampai menjebak Pandia menjadi pengantin pengganti." Molly memiringkan kepalanya, menunjukkan ketidaksetujuan.
"Kau perlu mengorbankan sesuatu hal yang berharga demi mencapai tujuanmu, Mol," Cardos menyahut. Nada bicaranya masih tenang, namun tatapannya sinis. "Sepertimu yang datang ke tempatku, kau perlu mengorbankan Lilin Lintas satu-satunya milik Iefyr."
Molly memutar matanya. "Aku tahu dan aku sangat menyesalinya sekarang. Tapi, apa yang dilakukan oleh Agatha tetap tidak bisa dimaafkan."
"Mungkin kau tidak mengerti, kalau Agatha sampai gagal mengontrol apinya, dia bisa saja mencelakai orang-orang terdekatnya. Bisa jadi kau dan adikmu akan menjadi korban ganasnya essentia api Agatha," sanggah Cardos.
Pandangan Molly terkunci pada mata Cardos, cukup lama, sangat intens, menunjukkan kecurigaan yang terang-terangan. "Kau kedengarannya mendukung tindakan kakakku, Cardos."
"Aku hanya menyampaikan informasi yang perlu kau ketahui saja." Cardos menaikkan bahunya acuh tak acuh. "Lagipula, Agatha yang memintaku agar menyampaikan hal ini padamu."
"Kau dibayar berapa olehnya?" tuduh Molly.
Cardos mengedipkan matanya pelan-pelan, bibirnya dikatupkan hingga membentuk garis tipis, dia benar-benar tersinggung. Kemudian Sang Penjaga Agung tertawa terbahak-bahak. Suaranya cukup kencang hingga memenuhi rongga terkecil menara megah ini. Cardos mengusap air matanya dengan jari telunjuk, menggelengkan kepala pelan heran.
"Astaga, Mol. Aku ini Penjaga Agung Lembah. Aku entitas agung yang menjaga perbatasan dunia kematian, juga tidak bisa merasakan lapar dan lelah. Untuk apa aku menerima uang dari makhluk fana seperti kalian?" Cardos menggelengkan kepala heran.
"Siapa tahu Agatha memang memberimu sesuatu, sampai-sampai kau membelanya," Molly menyahut sinis.
"Aku melakukannya karena memang murni menyampaikan pesan," Cardos membalas, masih setengah tertawa dan mengusap air mata. "Kaum Penjaga Agung tidak memiliki alasan busuk seperti kalian, makhluk fana."
Molly lalu menegakkan tubuhnya dan bedeham, sedikit malu.
"Meskipun begitu, dari penjelasanmu, aku tidak menemukan inti dari pernyataanmu yang sebelumnya, tentang usahaku yang menjadi sisa-sia," Molly berkata, mencoba untuk mengembalikan topik pembicaraan pada jalur awal.
Cardos mengangguk perlahan, dan menambahkan, "Tidak ada yang tahu bagaimana Keajaiban Bilena akan membantu Agatha. Apakah nantinya artefak itu berhasil membantunya, atau malah Agatha sendiri terbakar oleh apinya. Keajaiban Bilena adalah artefak yang labil, dan hanya orang yang tepat yang bisa menggunakannya. Juga—" Jeda. Ia menggaruk lehernya. "Agatha tidak ingin kau tahu kalau-kalau dia gagal menggunakan artefak itu."
Molly menaikkan satu alis tanpa sadar, tanda tak percaya.
"Mol, aku mengerti kau ingin menjemput Agatha pulang," kata Cardos menggaruk keningnya, bingung harus menjelaskan bagaimana lagi. "Setelah aku bertemu dengan kakakmu semalam, aku mengerti satu hal, bahwa Keajaiban Bilena memiliki pengaruh besar bagi Agatha. Kau tahu, benda itu adalah artefak yang sangat kuat, dan kakakmu telah terikat. Kalaupun kau berhasil menjemputnya, bisa saja kakakmu telah terlibat terlalu dalam dengan kekuatan Bilena dan itu akan membahayakan keluargamu."
Molly terus mengamati gelagat Cardos. Sang Penjaga Agung sering sekali memutus kontak mata, kemudian mengusap mulut dan dagunya, menggaruk leher dan tengkuknya bergantian, terakhir yang menyebalkan adalah memberikan jawaban samar yang menggantung dan berbelit-belit, seolah Molly harus memikirkannya sendiri.
"Jadi, kau menginginkan aku agar berhenti menjemputnya lalu pulang dan berharap Agatha kembali dengan kondisi utuh?" Molly mencibir, teringat akan pesan Rolan sewaktu di kedai Anyelir Merah. "Bila itu terjadi, Pandia sudah lebih dulu menikah dengan pria tua bangkotan, Cardos."
Cardos menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seraya menurunkan kaki dari atas meja. "Tadinya aku berpikir kau berbeda dengan Agatha, tapi rupanya kalian sama-sama keras kepala."
"Kami memang berbeda," Molly menyahut, "setidaknya aku melakukan semua ini demi Pandia, sementara Agatha pergi dari tanggung jawabnya hanya karena keegoisannya semata."
"Dia memerlukan artefak itu untuk mengendalikan apinya, Mol—"
"Kenapa harus Keajaiban Bilena?" sergah perempuan berambut emas itu. "Kenapa dia tidak mencari seorang essentor handal di Tanah Utama? Aku yakin ada seribu essentor berlisensi hitam yang tersebar di berbagai penjuru kerajaan di Negeri Selatan." Molly membuka kedua tangannya. "Alasan itu lebih tepat ketimbang menggunakan artefak untuk mencapai hasil instan. Pilihannya terlalu berisiko dan tidak berencana—"
"Karena Keajaiban Bilena sendiri yang memilih Agatha." Akhirnya Cardos berkata jujur.
Bingo! Pernyataan itu mengungkap satu alasan yang sempat mengambang di udara tanpa kejelasan. Molly menyeringai seraya mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Cardos. Matanya berkilat penuh kemenangan.
"Kau bilang hanya orang-orang yang tepat yang bisa menggunakan Keajaiban Bilena," Molly berkata dengan suara rendah. "Berhubung artefak itu memilih kakakku, berarti peluang keberhasilan Agatha menjadi lebih besar."
Cardos bergeming, seolah dimantrai oleh sorot tajam milik Molly. Dia menelan ludahnya, tersadar kalau dirinya baru saja melontarkan sebuah fakta.
Molly tersenyum dan mengucapkan, "Bayangkan, aku menjemput Agatha tepat ketika dia berhasil menggunakan artefak itu. Lalu, kami pulang bersama-sama dan kembali ke Nevervale dalam kondisi selamat. Bukankah itu bagus?"
Cardos memijat ujung hidungnya dan mendesah, "Molly, kau tahu sendiri apa yang terjadi sewaktu kau dan Agatha di Sarang Dalam para druid—"
Molly tertawa sinis. Tentu saja, Sang Penjaga Agung tahu. "Cardos, aku telah menempuh perjalanan jauh dari tempatku berasal. Tidak ada yang namanya sia-sia jika tidak dicoba." Perempuan itu mengangkat dagunya, kepercayaan dirinya memancar dari sorot mata dan gestur tubuhnya. "Aku mungkin pernah gagal di Sarang Dalam, bukan berarti aku akan gagal untuk kedua kalinya. Usahaku tidak akan mengkhianati hasil, Cardos. Aku pasti berhasil membawa Agatha pulang."
Lelaki itu sempat diam tertegun melihat keyakinan matang pada diri Molly. Kemudian, Cardos tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Semangat dan tekadmu mirip Agatha. Tapi, aku hanya bisa berharap, semoga ini yang terakhir kalinya, dan semoga usahamu tidak sia-sia seperti yang sudah-sudah."[]