Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan.
...Read More >>"> SECRET IN SILENCE (Bab 31) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU 0
About Us  

Molly menyipitkan mata, masih belum mengerti. Dia memang meminta bantuan Rolan untuk membawanya ke Lembah Besar Esterdon, di sisi lain, Molly juga penasaran dengan cara apa Rolan membawanya ke sana.

Dan sekarang, Rolan memberikan sebatang Lilin Lintas. Kerutan pada kening Molly bertambah, tetap belum mengerti. Bagaimana bisa sebatang lilin membawa mereka ke sebuah tempat?

"Kau kelihatannya kecewa sekali, Mawar Merah." Rolan menaikkan satu alisnya, menanggapi respon Molly yang diam mematung.

"Bukan begitu, tapi aku baru tahu kalau ada benda bernama Lilin Lintas. Maksudku, apakah benda ini benar-benar bisa membawa kita ke sana?" Molly memiringkan kepala, mengamati lilin seraya jari-jarinya menelusuri tulisan kuno itu.

"Itu benda langka, hanya essentor hitam yang bisa membuatnya." Rolan memperbaiki posisi duduknya, lalu menyandarkan kepala untuk beristirahat. "Dan, ya, benda itu dapat membantu kita."

"Bagaimana kau tahu kalau Iefyr punya benda ini?"

Rolan mendengus, lalu menjawab, "Karena aku bertanya padanya."

Ah, Molly hampir lupa kemampuan Rolan.

"Tapi, dari mana Iefyr mendapatkan benda ini? Dan untuk apa dia menyimpannya? Bukankah para druid ditakdirkan untuk tetap berada di hutan tempat mereka lahir dan dibesarkan?" Suara Molly dipenuhi oleh rasa penasaran. "Dia tak mengatakan apa pun tentang Lilin Lintas kemarin."

"Iefyr tak mengatakan apa pun padamu, karena, dia sendiri juga berencana menggunakannya untuk bertemu mendiang ibunya." Rolan melanjutkan acuh tak acuh. "Dan tentang dari mana dia mendapatkannya, sudah pasti seseorang pernah mendatanginya dan memberikan benda itu."

"Benda ini rupanya sangat berarti baginya," gumam Molly seraya menggenggam erat lilin itu. Mendadak rasa bersalah menyeruak dari dalam dadanya.

"Kau tidak enak hati hanya karena sebuah lilin, ya?" tebak Rolan lancang sekaligus sinis.

"Sejujurnya, iya." Molly meringkuk seraya memeluk kedua lututnya. "Maksudku, hanya dengan lilin ini Iefyr bisa bertemu mendiang ibunya. Lalu kita malah mencuri benda yang harapannya."

Dan di sinilah Molly, memegang benda berharga milik orang lain, hanya untuk mencapai tujuannya. Dia memahami bagaimana rasanya rindu pada orang tua sendiri. Bagai terperangkap dalam ruang kosong yang hampa. Memanggil pulang dalam setiap hembusan angin di luar jendela, meskipun tahu kalau panggilan itu tak akan pernah terjawab sampai akhir hayat.

Rolan berdecak dan mengatakan, "Simpan urusan sentimentalmu, Mawar Merah. Kau sendiri juga memerlukan benda itu untuk menyusul Agatha, begitu pun denganku. Ini adalah pilihan yang terbaik."

Molly memutar matanya kesal. Namun, apa yang dikatakan Rolan memang benar. Andaikan ada cara lain selain menggunakan benda berharga orang lain, mungkin Molly akan menggunakan cara itu.

Perempuan berambut emas itu menghela napas panjang, bahunya merosot seolah menyerah pada kondisi. Ia menyandarkan tubuh lemah, masih mengamati lilin itu.

"Setiap keputusan selalu membawa konsekuensi. Tapi, kita tidak mungkin mencari opsi lain terus menerus tanpa membuat pergerakan." Rolan berucap, seolah menggurui Molly. "Terutama saat kita sadar, waktu kita tidak sedikit."

Rolan menggoyangkan tangannya pelan, menunjukkan kutukan Rantai Ikat pada tangannya.

"Apa boleh buat," gumam Molly, menyetujui apa yang disampaikan oleh Rolan. "Mungkin, begitu perjalanan ini selesai, aku bersama Agatha akan mengirimkan lilin yang baru."

"Lilin itu seharga satu bagian kaki manusia," ucap Rolan melanjutkan. "Kalau kau cukup yakin untuk mengorbankan kakimu, belilah di pasar gelap sewaktu kita berhasil pulang dari sini."

Sangat konyol jika harus mengorbankan satu kaki Molly hanya untuk sebuah lilin. Namun, mendengar kemampuan lilin ini, sudah pasti membutuhkan banyak pengorbanan yang tidak masuk akal agar dapat membuat satu buah Lilin Lintas. Molly cukup yakin dia memiliki banyak uang di kamarnya untuk membeli benda langka ini.

"Bagaimana cara kita menggunakan lilinnya, Rolan?" tanya Molly, seraya memasukkan lilin itu ke dalam tas. Semoga tidak ada ritual khusus.

Tak ada respon apa pun dari Rolan.

Sewaktu Molly mengamatinya, lelaki berambut merah itu telah lebih dulu tertidur. Matanya tertutup rapat, suara hembusan napasnya terdengar pelan dan rileks, dadanya bergerak naik turun lembut, dan tangannya bertumpu pada tubuh Moko yang tertidur di pangkuannya.

Molly menempelkan dagunya pada kedua lutut. Ia tidak mengatakan apa pun maupun berusaha membangunkan Rolan. Hujan masih turun deras di luar, dan hari semakin gelap. Molly terus terjaga selama beberapa jam, dan selama itulah dia terus mengamati Rolan.

Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa memalingkan wajahku dari Rolan. Sesuatu yang aneh dan tidak terdefinisi, seolah aku pernah mengenalnya.

Sayangnya, Rolan adalah tipikal yang tertutup. Hampir tak pernah menceritakan apa pun tentang dirinya. Lelaki berambut merah itu juga lebih banyak mendengarkan ocehan Molly ketimbang adu nasib seperti orang lain.

"Dia bukan seorang penyair, dia essentor rasa dan ilusi, dan benci topik tentang keluarga," Molly bergumam seraya menghitung apa saja yang dia ketahui tentang Rolan. Mulutnya mengunyah sebuah apel yang dibawanya dari Sarang Dalam. "Dia punya mata hijau, rambut merah, dan kulit berkilauan di bawah sinar matahari. Lalu, dia mengenal seseorang bernama Cardos. Hm ... sudah cukup."

Sudahlah, Mol. Toh, kita hanya bertemu karena suatu kebetulan. Setelah ini aku akan berpisah dengan Rolan, jadi aku tak memiliki kewajiban untuk mengenalnya lebih dekat. Molly menganggukkan kepalanya, menyetujui kata hatinya. Lantas memutuskan untuk memejamkan mata.

***

Esok paginya, langit terpantau mendung, gerimis masih mengguyur hutan, tak ada cahaya yang menghangatkan udara, membuat perjalanan mereka terasa suram. Molly menghela napas kecewa, padahal tadinya ia berharap dapat melihat matahari pagi yang menembus celah-celah dedaunan saat membuka mata, namun nyatanya langit masih terlihat mendung.

Dalam perjalanan mereka menyusuri hutan, Molly kerap kali medesis kesakitan, terutama karena kaki kirinya masih terasa nyeri akibat pelarian kemarin, ditambah jari kelingkingnya yang lecet dan kemerahan. Sementara itu, Rolan sesekali berhenti menunggu, meski wajahnya terlihat kesal.

Mereka tiba di sebuah tanah lapang terbuka di tengah-tengah hutan. Di tengah-tengahnya, terdapat batu-batu besar yang ditancapkan ke bumi secara vertikal. Batu-batu besar itu memutari sebuah menara yang terbuat dari batu yang ditumpuk rapi menjulang.

"Kuil druid lama," gumam Rolan seolah menjawab rasa penasaran Molly. "Dahulu para druid pernah tinggal di sekitar sini dan membangun sebuah kuil."

"Aku tak melihat ada bekas bangunan di sekitar sini." Molly bergumam seraya mengingat perjalanan mereka beberapa saat yang lalu.

"Mereka membawa serta bangunan rumah mereka," Rolan berkata santai, mengejutkan Molly.

"Maksudnya?"

Rolan menaikkan satu alisnya. "Maksudnya?" ulangnya menatap Molly kebingungan, seolah apa yang dikatakan sangat jelas. "Apakah perkataanku masih belum jelas?"

Lelaki berambut merah itu mendengkus panjang, mengusap dadanya—menahan rasa kesal—ketika memandang Molly mengangguk cepat, membuat ikatan rambutnya memantul.

"Para druid membawa serta bangunan rumah mereka dengan bantuan Penjaga Agung Hutan." Rolan menjawab santai. Molly hendak menanggapi, namun ia lebih dulu menyela, "Kalau kau pikir prosesi pemindahannya mirip siput ... kita sepemikiran. Tapi, tak ada yang tahu selain kaum druid."

Molly mengamati sekelilingnya, menyadari kesunyian dalam tempat ini. Hanya ada suara angin dan gesekan dedaunan yang mendominasi, seolah berada dalam suaka. Burung kecil banyak yang bertengger pada batu-batu itu, namun tidak ada satu pun dari mereka yang berkicau.

"Mengapa mereka meninggalkan tempat ini?" Molly bertanya.

Keduanya kini menjejakkan kaki di atas tanah yang padat, menghindari beberapa bagian yang becek dan berlumpur. Rolan lantas berkata pelan, "Pohon Javarash memiliki energi dan kekuatan yang jauh lebih besar dan bermanfaat bagi mereka, dibandingkan benda mati seperti batu-batu ini."

"Terdengar masuk akal bagiku," Molly menyetujui, mengingat bagaimana Pohon Javarash memberikan kehidupan yang alami bagi para druid, serta memudahkan untuk mendedikasikan diri mereka pada Penjaga Agung Hutan.

Rolan mengambil langkah mendekat ke menara batu. Merogoh isi tas kecilnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kulit hewan keras. "Sial, koreknya basah."

"Mungkin kita perlu menjemurnya, semoga angin bisa mengeringkannya." Molly menunjuk sebuah batu yang memiliki permukaan datar.

Lelaki berambut merah itu mendongak, lalu mengumpat lembut, memandang langit yang masih dalam kondisi mendung.

"Apa boleh buat." Rolan mendengkus seraya meletakkan korek-koreknya perlahan-lahan. "Beruntung sekali gerimis sudah berhenti."

Molly berjinjit, penasaran bagaimana Rolan menata korek-korek itu.

"Jadi, kita hanya perlu menyalakan lilinnya, lalu kita dapat berteleportasi ke sana?" tanya Molly penasaran, gaya bicaranya mengundang dengusan panjang dari Rolan, lagi.

"Ya, memang begitu caranya. Apa yang kau harapkan? Muncul monster yang akan membawa kita ke alam baka atau bagaimana?" Rolan menjawab kesal, lalu menggelengkan kepalanya—antara ingin membentak namun kewarasan dan kesabarannya lebih dulu menguasai bagian terdalam otaknya. Detik kemudian, seringaian sinis terlukis di wajah tampan itu, membuat perut Molly tersengat kembali.

Molly memutar matanya ikutan kesal. "Maksudku, apakah ada mantra khusus?"

"Tidak ada," jawab Rolan singkat. "Kau hanya perlu membayangkan tempat yang kau tuju."

"Memangnya kau tahu bagaimana gambaran Lembah Besar Esterdon secara nyata?" Molly kembali bertanya.

Rolan bermain dengan rambut merahnya perlahan seraya menjawab, "Memangnya kau tidak tahu?"

Lelaki bermata hijau itu menanyakannya seolah Lembah Besar Esterdon adalah hal yang sangat jelas, yang memang telah dituliskan dalam sejarah, dan Molly terlalu bodoh bila sampai tak mengetahuinya. Benar apa kata Rolan, polos dan naif memiliki garis pemisah yang hanya setipis kesabarannya sendiri.

Molly hanya mengangkat kedua bahunya sebagai respon.

Lelaki itu menyentuh pipi dengan satu tangannya, sorot mata hijau itu terlihat jelas tengah keheranan. Dia lantas menjawab, "Kau terlalu polos untuk dunia yang jahat ini. Aku sarankan kau perlu banyak-banyak membaca buku, Mawar Merah. Aku dengar, buku adalah jendela dunia."

"Dan kau terlalu sombong karena enggan berbagi." Molly melipat tangannya di dada. "Aku dengar-dengar, membagi informasi sama halnya dengan membagi ilmu pengetahuan, dan itu adalah pekerjaan yang paling dihormati di Nevervale"

"Tentu aku akan membantumu," jawab Rolan membuka satu tangannya lancang. "Tapi kalau kau berjanji untuk tidak akan membuatku bosan dengan kepolosanmu yang berlebihan."

Molly mengerang jengkel. "Kenapa kau tidak memberitahuku saja sekarang?"

"Kau akan tahu begitu kita sampai di sana," Rolan menyahut seraya menyeringai. "Sampai saat itu tiba, coba tebak-tebakan saja."

"Atau jangan-jangan kau terlalu lemah untuk mendeskripsikannya?" Molly memegang dadanya dramatis. "Oh, aku turut berduka, Rolan. Rupanya ilmu pengetahuanmu menjadi tidak berguna di depanku."

Rolan membelalakkan matanya, sedikit terkejut dengan balasan Molly. Seolah ingin membalas memakai kata-kata yang lebih pedas, namun yang ada bibirnya berkedut membentuk seringaian sekaligus memamerkan lesung pipinya.

"Kau tahu huruf 'S' pada namaku berarti 'Sabar', kan?" Rolan menggoyangkan jari telunjuk ke wajah Molly. Matanya menyipit, tampak menantang.

"Tapi tidak ada huruf 'S' dalam namamu," sahut Molly, masih kebingungan, mencoba menangkap maksudnya.

"Benar sekali." Rolan mendengus. "Dan aku heran mengapa kau selalu mengusikku."

Setelah mengucapkan hal itu, Rolan memilih untuk berjalan menjauh, meninggalkan Molly yang cemberut di dalam kuil lama.

***

Dibutuhkan berjam-jam sebelum akhirnya korek kayu yang dijemur oleh Rolan benar-benar dapat memercikan api. Namun, sebelum korek itu benar-benar dicoba untuk dinyalakan, lelaki berambut merah itu tiba-tiba saja menengadah menatap ke langit.

"Ada apa?" Molly ikut menengadah ke langit.

Rolan tidak merespon, namun dari raut wajahnya yang pucat dan kening yang bertautan, sudah pasti dia sedang memikirkan sesuatu, atau menyadari sesuatu.

Tidak ada yang salah, gerimis telah berhenti, mendung juga perlahan-lahan menghilang, menyisakan langit cerah berwarna biru yang megah di atas sana.

"Rolan." Molly menyenggol lengan atas lelaki itu.

"Aku mendengar derap kaki pasukan," gumam Rolan tiba-tiba. Kemudian dia menggelengkan kepala dan mulai mencoba koreknya.

"Seriusan?" Molly cepat-cepat mengeluarkan Lilin Lintas dari dalam tas. Ia memegang lilin itu kuat-kuat, matanya mengedar ke seluruh penjuru bagian kuil lama. Rasa takut mendadak merambat hingga ke belakang punggung. "Apakah ada seseorang yang akan menyerang kita? Iefyr? Kalau iya, cepat nyalakan lilinnya."

"Ketika sumbunya menyala, aku ingin kau menutup matamu, jangan pikirkan apa pun," kata Rolan seraya menyalakan lilin. Lengannya dilingkarkan kuat-kuat ke pinggang Molly, dan satu tangannya yang bebas memegang lilin.

Moko cepat-cepat memegangi kunciran rambut Molly dan meringkuk di bahunya.

"Apa maksudmu untuk tidak memikirkan apa pun?" tanya Molly kebingungan. Dadanya berdebar-debar tanpa sebab, meskipun matanya telah ditutup rapat-rapat.

Sementara api terus melahap sumbu lilin, bagian batangnya mulai meleleh, membasahi tangan keduanya. Rasanya luar biasa panas, seolah tengah menggenggam batu bara yang masih merah. Di rumah, Molly sering terkena tetesan lilin sewaktu menyalakan lampu, namun rasanya tidak sepanas dan semenyakitkan ini.

Molly membuka matanya, mendesis kesakitan. "Aduh!"

"Aku bilang tutup matamu, jangan pikirkan apa pun!" desak Rolan memelototi Molly. Lengannya yang memegang pinggang Molly terangkat cepat menutupi mata perempuan itu.

"Tapi, bagaimana caranya?"

"Pikirkan saja aku!"

"Apa?"

Semuanya berjalan terlalu cepat, api terus membakar sumbu, cahaya lilin menjadi seterang matahari, dan angin berhembus seolah menghisap tubuh mereka ke dalam kekosongan. Detik berikutnya, tanah yang mereka pijaki memudar begitu saja, dan Molly merasakan sesuatu menarik tubuhnya dari bawah.[] 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mask of Janus
18069      3192     9     
Fantasy
"Namun, jangan pernah memberikan topeng kepada mereka yang ingin melakukan hal-hal jujur ... karena mereka akan mengambil dunia dari genggamanmu." Vera van Ugde tidak hanya bermain di depan layar sebagai seorang model internasional, tetapi juga di belakang layar di mana dunia gelap berada. Vera adalah seorang mafia. Hanya saja, sekelompok orang--yang memanggil diri mereka sebagai par...
PurpLove
277      242     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
Paw On The Path To Joy
163      102     4     
Inspirational
Ini adalah kisah Molly, anjing dari ras mini pomeranian yang menceritakan seluruh kehidupannya. Dimulai saat dia tinggal di tempat penampungan hewan, rumah Nona Rambut Ikal, hingga akhirnya dia bisa tinggal di rumah baru sekaligus rumah terakhirnya. Bagaimanakah kisah perjalanan Molly? Ikuti selengkapnya dalam cerita ini.
The Maiden from Doomsday
10303      2259     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
The Golden Prince
64      56     1     
Fantasy
*Nggak suka cerita Aksi-Fantasi? Coba dulu ini! nggak nyoba nggak akan tahu!! *BUKAN TERJEMAHAN, cerita ini ori hasil ketik tangan penulis, jadi please jangan plagiat!! [Blurb]------------------------------ Ini tentang seorang Kesatria muda, seorang Master Pedang paling cemerlang di Kerajaannya - yang terlempar ke masa depan, ke 10 tahun di depan. Dunia yang dikenalnya telah berubah, lo...
Exerevnitis
17      17     2     
Fantasy
Setiap orang memiliki rahasianya masing masing, tapi bagaimana jika dibalik rahasia itu ada hal lain yang menanti?. Fannia memiliki sebuah rahasia besar yang ia rahasiakan dari orang lain, tapi tanpa ia ketahui dibalik semua itu terdapat rahasia tersembunyi dan dibaliknya ada seseorang yang selalu mengawasianya. Tiba-tiba sebuah kejadian datang kepadanya dan mengubah hidu...
Petualang yang bukan petualang
1771      822     2     
Fantasy
Bercerita tentang seorang pemuda malas bernama Ryuunosuke kotaro yang hanya mau melakukan kegiatan sesuka kehendak nya sendiri, tetapi semua itu berubah ketika ada kejadian yang mencekam didesa nya dan mengharuskan dia menjadi seorang petualang walupun dia tak pernah bermimpi atau bercita cita menjadi seorang petualang. Dia tidaklah sendirian, dia memiliki sebuah party yang berisi petualang pemul...
Blue Island
105      92     1     
Fantasy
Sebuah pulau yang menyimpan banyak rahasia hanya diketahui oleh beberapa kalangan, termasuk ras langka yang bersembunyi sejak ratusan tahun yang lalu. Pulau itu disebut Blue Island, pulau yang sangat asri karena lautan dan tumbuhan yang hidup di sana. Rahasia pulau itu akan bisa diungkapkan oleh dua manusia Bumi yang sudah diramalkan sejak 200 tahun silam dengan cara mengumpulkan tujuh stoples...
Secret Garden
260      220     0     
Romance
Bagi Rani, Bima yang kaya raya sangat sulit untuk digapai tangannya yang rapuh. Bagi Bima, Rani yang tegar dan terlahir dari keluarga sederhana sangat sulit untuk dia rengkuh. Tapi, apa jadinya kalau dua manusia berbeda kutub ini bertukar jiwa?
DestinaRE: The Destination
110      88     5     
Fantasy
Naito Midoriya awalnya hanya pemuda biasa yang menjalani kesehariannya hanya pergi kuliah pagi-pagi, kemudian pulang saat sudah tidak ada jadwal. Tidak suka merepotkan diri, mottonya hanya kuliah, lulus tepat waktu, dan dapat pekerjaan layak. Tapi semua berubah sejak hari di mana dia mendengar suara aneh. Dunianya dalam sekejap terbalik, berpindah ke tempat dimana tidak ada kedamaian. Situasi dun...