Teriakan melengking Molly teredam tepat saat dirinya terjun ke air sungai, menghapus rasa panas lilin yang sempat membakar tangannya. Susah payah, ia berenang ke permukaan, namun arus sungai seolah menarik bagian kakinya hingga ke bagian dasar. Molly meronta, sekuat tenaga berenang ke permukaan. Namun dia tetap berada di tempat, tak sejengkal pun pindah dari sana. Satu hal yang baru diingatnya: Molly tidak bisa berenang.
Demi para leluhur, aku akan mati! Aku tidak mau mati!
Molly semakin panik. Dadanya terasa panas, tubuhnya hampir menyerah. Namun, sebagian hatinya menyalak, ia harus bertemu Agatha, demi Pandia.
Molly terus berenang, meraih permukaan meski mustahil.
Hingga tiba-tiba, sebuah tangan besar membungkus pergelangan tangannya, menariknya ke permukaan. Udara dingin menyeruak di bagian paru-parunya. Molly cepat-cepat menyingkap rambut basahnya yang menutupi pandangan.
Gemuruh terdengar dari langit gelap dan muram. Badai membuat aliran sungai semakin deras. Tetesan hujan sebesar batu kerikil menghantam kepala Molly, membuat perempuan itu semakin gelisah bukan main.
"Tolong!" Molly merengek panik, pikirannya kalut dan satu tangannya mencoba menggapai pegangan yang tak terlihat. Gerakannya kasar dan tidak terarah. "Tolong aku!"
"Aku sudah memegangimu!" Rolan menarik tubuh Molly dari belakang. "Tenangkan dirimu!"
"Aku tidak bisa berenang!" Molly membuka mulutnya lebar-lebar, mengerahkan seluruh tenaganya untuk berteriak.
"Aku tahu, makanya tenangkan dirimu!" Rolan membentak. Tangannya yang besar menarik Molly hingga ke pinggiran sungai. Dia mengerang, mengabaikan rasa sakit yang meremang di bahunya.
Molly awalnya tak dapat berpikir, akal sehatnya dikaburkan oleh kepanikan akan ketidakmampuannya. Lalu, dia melihat cairan biru pada bahu Rolan, teringat dengan luka robekan akibat anak panah, dan itu membuat Molly memaksakan diri untuk lebih tenang.
Jika aku terus meronta, maka Rolan akan kesusahan menyelamatkanku. Aku harus tetap tenang. Tenangkan dirimu, Mol. Rolan pasti menyelamatkanmu. Rolan tahu cara melindungimu. Molly mengulang-ulang kalimat itu layaknya mantra. Selama itu juga, tubuhnya dipaksa untuk tenang dan menaruh semua kepercayaan kepada Rolan.
"Cepat," rengek Molly menahan tangis.
"Aku tahu, kau aman bersamaku," balas Rolan.
Susah payah Rolan menarik tubuh Molly ke daratan, kemudian memeluknya erat-erat. Tubuh Molly gemetaran, terbatuk-batuk mencoba untuk memuntahkan air yang sempat ditelannya. Perempuan itu sesekali mengusap-usap wajahnya cepat, namun matanya tetap terbelalak lebar.
"Atur napasmu pelan-pelan." Meskipun hujan masih terus turun, anehnya suara Rolan terdengar bagai angin sepoi-sepoi kala pagi buta. Ia merengkuh tubuh Molly dengan begitu hati-hati, tangannya yang besar dan hangat mengusap lengannya perlahan. Bisikannya luar biasa menenangkan. "Kau aman bersamaku, aku ada di sini, tidak ada yang akan menyakitimu."
Molly menggigil, meringkuk dalam pelukan Rolan, mencari perlindungan. Kedua tangannya yang membiru memegangi dadanya, memeluk dirinya sendiri, seakan hanya itu yang dapat menenangkannya dari kecemasan dan ketakutan.
"Ssh, kau aman bersamaku," Rolan berbisik lembut.
Moko, monyet yang setia, memanjat punggung Molly dan ikut mengusap-usap bagian belakang kepala perempuan itu. Dia merengek seolah sedang membisikan kata-kata penenang.
Molly cukup lama meringkuk dalam pelukan Rolan sampai akhirnya ... ia mendapatkan kesadarannya kembali. Tubuhnya pun menegang. Jika ia diperbolehkan mengumpat, ia akan melakukannya sekuat tenaga, meski petir yang menggelegar dari langit akan membalasnya. Posisi ini keliru, seratus satu persen keliru.
Cepat-cepat Molly mendorong tubuh Rolan menjauh darinya, membuat lelaki itu terjengkang ke belakang. Moko juga ikut jatuh berguling di tanah.
"Kasar sekali!" Rolan mengaduh seraya memegangi luka di bahunya.
"Aku baik-baik saja!" Molly merapikan rambut untuk menutupi kegelisahannya. Perasaan gugup dan salah tingkah membuatnya keliru mengartikan perkataan Rolan.
"Aku sempat bertanya-tanya kenapa perempuan seumurmu masih lajang, rupanya kau ada keturunan barbarian!" Rolan mendesis, perlahan-lahan bangkit dari tanah sambil memegangi bahunya, darah biru yang bercampur air hujan menetes dari ujung jarinya.
"Tidak ada hubungannya antara garis keturunan dengan status lajangku." Molly melangkah mundur anggun, mengambil jarak.
Rolan memutar matanya jengkel. "Suka-sukamulah." Ia lantas menyugar rambutnya yang basah dan memutar tubuh. "Kita cari tempat berteduh dulu."
"Sebelum itu, kita ada di mana?" Molly mengangkat kepalanya, pandangannya mengedar ke seluruh sisih tempatnya berdiri.
Hal pertama yang dilihat Molly adalah padang rumput, dengan bebatuan besar yang muncul di permukaan dataran. Kabut tebal menghalangi pandangannya, namun sekilas Molly dapat melihat dataran tinggi yang jaraknya mungkin berpuluh-puluh meter dari posisinya. Bayangan pohon-pohon cemara dan pinus terlihat berayun akibat angin kencang. Tempat ini seperti dalam kondisi tidur dengan berselimutkan hujan dan kabut.
"Di mana lagi memangnya kita sekarang?" Rolan menggelengkan kepalanya, keheranan. "Ini Lembah Besar Esterdon."
Mulut Molly menganga, tidak menyangka jika dia benar-benar tiba di lembah ini, tempat yang katanya merupakan perbatasan para leluhur—dunia lain yang tak dijangkau manusia biasa.
Diluar dugaan Molly, dia pikir tempat ini akan berupa lembah yang memiliki banyak patung batu para leluhur. Atau mungkin teramat sunyi, menenangkan, serta penuh rahasia. Rupanya tidak jauh berbeda dengan lembah pada umumnya. Dan yang membuat Molly tertegun lagi adalah intensitas hujannya yang tak wajar. Semakin mereka berjalan menjauh dari sungai, semakin deras pula hujan yang mengguyur.
"Rolan!" Molly berteriak, tangannya menggigil saat memeluk Moko kuat-kuat, menyembunyikan monyet itu di balik jubahnya.
"Ikuti aku, jangan sampai terpisah!" Rolan menolehkan kepalanya.
Sejauh mata memandang adalah hujan dan kabut. Sesekali, Molly dan Rolan hanya melihat bayangan pohon dan batu, namun wujudnya seolah ditelan bumi begitu mereka mendekatinya. Hal ini tidak terjadi sekali dua kali.
"Kita tidak bisa menemukan tempat berlindung, kabut ini menipu pandangan kita," kata Molly berusaha untuk berbicara keras-keras meskipun menggigil kedinginan.
"Itu masalahnya, kita terlalu berharap, padahal kita baru saja berjalan beberapa langkah menjauh dari sungai." Rolan menjelaskan. Tangannya juga terlihat gemetaran saat mengusap air pada wajahnya.
Molly menolehkan kepalanya cepat, bingung. "Apa maksudmu?"
Rolan menunjuk punggungnya, lebih tepatnya ke bagian sungai yang rupanya tidak jauh di belakang mereka. Mulut Molly menganga, matanya berkedip beberapa kali, benar-benar syok.
"Aku pikir kita telah berjalan jauh, Rolan." Molly berkata seraya menggigit bibir bawahnya.
Mata hijau Rolan melirik Molly, pandangannya jatuh ke bibir perempuan itu. Ia terdiam sejenak tanpa kata, sebelum kemudian mata mereka bertumbuk sekilas dan lanjut berjalan.
"Lembah ini terkutuk bagi orang-orang yang masih hidup," jelas Rolan. Dia melirik Molly kembali ketika perempuan itu berhasil berjalan beriringan dengannya. "Kabut dan hujan ini memastikan kita untuk tidak jauh-jauh menyusuri lembah."
"Hanya orang-orang yang sudah mati dan para leluhur yang bisa melihat arah jalannya?" Molly menebak sambil mengusap air di wajahnya.
"Ya." Rolan bergumam seraya terus melanjutkan perjalanan. Baru berjalan beberapa langkah, entah mengapa ia menghentikan langkah kakinya.
Napas Molly tersengal-sengal saat berhenti tepat di hadapan Rolan. Matanya terus mengedar ke segala penjuru, berharap menemukan sesuatu yang dapat membantunya. "Jadi kita harus bagaimana?"
Baru saja Molly mengatupkan mulutnya, tiba-tiba Rolan memuntahkan darah dari mulutnya.
"Rolan!"
Belum sempat Molly menggapai tubuh Rolan, lelaki bermata hijau itu memejamkan mata dan jatuh tersungkur ke tanah. Moko yang menyaksikannya ikut menjerit.
"Kau kenapa?" Molly membelalakan matanya, terkejut atas jumlah darah yang mengalir dari bahu Rolan.
"Kemarin—" Rolan memulai seraya terengah-engah. Dia mengusap dagu dan mulutnya. "Kemarin saat kau membersihkan lukaku, apa kau tidak mencium bau racun?"
Molly menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak mencium bau apa pun. Aku juga tidak melihat ada yang aneh dari lukamu."
"Apakah kau tidak melihat sesuatu yang janggal dari lukaku?" tanya Rolan sekali lagi, matanya kini setengah terbuka. "Sesuatu yang berwarna hijau—"
"Tidak, sungguh aku tak melihatnya."
"Coba cek lukaku sebentar," Rolan perlahan-lahan menyingkap jubahnya. Jari-jarinya meraba bagian kancing kemejanya. Dia kini terbatuk lagi, memuntahkan darah birunya ke tanah.
Molly lantas mengintip luka di bahu Rolan. Betapa terkejutnya dia mendapati bagian bahu lelaki itu telah ditumbuhi oleh benda aneh. Sesuatu yang bertekstur lembut kehijauan dalam jumlah yang tak sedikit, bentuknya kecil dan halus. Anehnya, lumut itu hanya di sekitar luka robekan dan kini telah tumbuh bunga kecil berwarna kuning.
"Lu-lukamu ditumbuhi lumut!" Molly berteriak ngeri. Moko yang melihatnya ikut memekik dan bersembunyi di balik baju Molly. "Ba-bagaimana bisa?"
"Bagus sekali. Sesuai yang kita harapkan," gumam Rolan menyindir, "anak panah itu beracun. Iefyr sialan."
"Bagaimana bisa, Rolan? Padahal aku sangat yakin luka-lukamu—"
"Tenang." Rolan kini terduduk di tanah, tubuhnya membungkuk dan napasnya pendek. Ia memerintahkan Molly untuk tenang, sementara dirinya sudah berada di ambang ketidaksadaran. "Ini racun lumut khas para druid. Kita hanya perlu bertemu dengan Cardos, teruusss—"
Gaya bahasanya lebih mirip ocehan orang mabuk yang, kata-katanya terputus ketika Rolan jatuh tersungkur ke pangkuan Molly. Lelaki itu kini benar-benar tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya membiru. Sementara itu, bunga kuning pada lumut itu tiba-tiba mekar dan berdenyut pelan. Ini adalah kali pertamanya Molly melihat kondisi manusia yang menjadi makanan tanaman, benar-benar mirip mimpi buruk.
"Bangun, Rolan!" Molly menggoyangkan tubuh lelaki itu. "Oh, bagaimana ini?" gumamnya penuh kekhawatiran. "Moko, aku harus bagaimana? Beritahu aku!"
Moko sendiri hanya menjerit sebagai respon tidak tahu. Dia ikut serta menepuk-nepuk pipi Rolan, meskipun mungkin tidak berasa apa pun.
Dalam kondisi panik dan sendirian, Molly meraba sepatu bot Rolan, menemukan belati dan cepat-cepat merobek roknya cepat untuk kembali membalut luka Rolan.
"Aku harus membawamu ke mana, Rolan?" Molly menolehkan kepala, mencari-cari posisi yang aman dari guyuran hujan serta suara petir yang menggelegar.
Dia mengerucutkan bibir, menahan air mata yang mulai mengaburkan pandangannya. Mendadak Molly, merasa sangat kecewa pada dirinya sendiri. Mendapati Rolan yang tak berdaya setelah menyelamatkannya, membantunya, serta menolongnya. Rasa bersalah merangkak kasar dari bagian punggung menyebar hingga meresap ke hatinya.
"Harusnya aku membawa penawar sebelum berangkat, kenapa aku sangat ceroboh dan tak punya persiapan, sih? Kenapa aku tidak memikirkan risikonya sampai ke bagian detail terburuk?" Molly mulai terisak, mengamati genangan air di sekitarnya mulai membiru. "Maafkan aku telah bersikap bodoh, Rolan. Maafkan aku telah bersikap impulsif tanpa rencana. Aku akui, pengetahuanku tentang dunia sangatlah minim. Padahal tadinya aku telah bertekad untuk lebih berencana, tapi sekarang .... aku memang tidak berguna. Bangun, Rolan. Buka matamu."
Ketika Molly tengah memfokuskan pikirannya dengan menyalahkan diri sendiri. Moko terlihat mematung di dekatnya. Monyet itu menengadah, mulutnya menganga, dan bulu di tubuhnya berdiri tegak mirip seekor kucing.
"Ada apa?" Molly ikut menolehkan kepala.
Jauh dalam kabut tebal terdapat bayangan tubuh raksasa yang mengerikan. Mirip monster dalam mimpi buruk. Tubuhnya kurus, membungkuk, memiliki empat tangan panjang dengan duri runcing di sekitar tangannya. Tanduknya menari-nari mirip sensor hidup. Dua matanya menyala berwarna hijau terang. Ketika membuka mulut, gumpalan asap putih pekat keluar dari sana. Molly yakin makhluk itu berada di kejauhan, namun sosoknya yang begitu besar menjulang dapat terlihat jelas dari posisinya sekarang.
Lembah Besar Esterdon adalah lembah terkutuk bagi mereka yang masih hidup, sepertinya itu memang pernyataan yang pas untuk apa yang dirasakan oleh Molly sekarang. Tidak hanya hujan dan gemuruh petir yang menakutkan, ataupun ilusi kabut yang menyesatkan, yang membuat Molly cemas, namun juga makhluk raksasa yang ada di balik kabut itu yang membuat seluruh tubuhnya lemas.
"A-apa itu?" Molly menelan ludahnya.[]