Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU
About Us  

Konon, Rantai Ikat merupakan sebuah media sihir kuno yang diciptakan oleh Permaisuri Tanah Selatan Pertama, Galenia, guna mengikat perjanjian atau sumpah antara pemimpin keluarga Vakalyn dengan keluarga bangsawan lain kala itu.

"Setahuku, para essentor hampir tak pernah memakai Rantai Ikat, karena taruhannya yang terlalu tinggi," Aldir berkata lembut, memaparkan sepenuh hati, tidak menghakimi dan malah memahami ketidaktahuan Molly.

Sementara perempuan berambut emas itu menggigit bibirnya, menanggung betapa beratnya kesalahan yang tak sengaja dibuatnya. Pandangannya melesat kepada Rolan, yang berjalan tidak jauh darinya. Kerutan kening di wajah tampannya bertambah setiap kali mereka bertemu pandang, membuktikan bahwa dia masih marah. Keduanya terus terdiam bahkan setelah beberapa jam mereka berjalan menyusuri hutan.

"Perjanjian kalian disegel oleh darah masing-masing, yang artinya melibatkan kehidupan juga. Tak peduli apakah kalian menepati janji atau melanggarnya, kutukan itu akan terus menyebar," Aldir menambahkan. "Seingatku ada beberapa tahap, tapi yang kuingat adalah tahap terakhir pada kutukan Rantai Ikat, yaitu menghancurkan esensi roh."

Perut Molly berputar tak berhenti, isi perutnya memberontak hendak melompat keluar dari kerongkongannya. Ia masih menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan ngeri yang membuat tubuhnya merinding.

Mendengarnya saja membuat Rolan muak. Dia berdecak dan membuang mukanya, tak ingin memandang Molly dan Aldir lagi. Sementara Moko, masih setia dengan majikannya, menatap penuh kekhawatiran dan kecemasan.

Molly merenungi telapak tangan kirinya, luka goresan itu kini terlihat menghitam juga berdenyut perih. Matanya mendelik ketika mendapati sebuah serabut hitam yang mulai bermunculan di sekitar lukanya. Dia tak mengerti apa maksudnya, namun ada satu hal yang jelas: ini adalah bencana, sebuah penghancuran diri yang terselubung dalam kesepakatan.

"Menang jadi abu, kalah jadi arang," gumamnya pada diri sendiri, seraya mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat. Dan Molly terlalu ceroboh mengikatkan Rantai Ikat pada Rolan.

Hari menjelang siang tepat saat mereka tiba di pinggir Sungai Berlian. Sungai yang dimaksud adalah sungai yang sama seperti yang dilihat oleh Molly saat di perjalanan mengunjungi Menara Hyams. Hanya saja yang satu ini berwarna jauh lebih biru dan hijau, serta lebih jernih. Permukaan airnya tenang, ketika Molly berjalan melintasi jembatan tua, dia bisa melihat ikan-ikan yang berenang penuh suka cita di bawah air. Cahaya matahari yang berpendar menciptakan bayang-bayang kecil berbentuk permata biru di udara.

Sejenak Molly melupakan penyesalannya. Sangat indah, bagai dalam dongeng. Terlalu indah untuk tak diceritakan kepada orang lain.

Kini mereka melintasi jalur setapak di antara pepohonan tinggi yang menjulang, menyusuri hutan. Suhunya lebih hangat dibanding hutan dekat menara. Warna-warna di hutan ini terpantau cerah dan keemasan, seakan dibelai oleh cahaya lembut matahari siang. Sepanjang perjalanan, mereka disambut oleh lumut hijau yang melapisi batu-batu dan batang pohon.

"Jadi, druid itu memang ada?" gumam Molly memecah keheningan ketika mereka memasuki jalur yang lebih mirip perjalanan menuju ke kuil di tengah-tengah hutan. "Mendiang Ibuku pernah bercerita kalau mereka adalah sekelompok orang yang dapat berubah menjadi hewan."

"Mereka memang ada, Mol." Aldir menghela napas panjang mengamati jalanan setapak yang semakin curam di depan, mirip mendaki gunung. "Hanya saja mereka jarang terlihat keluar dari hutan. Para druid adalah sekelompok orang yang melindungi alam, mereka terikat secara spiritual pada tanah yang mereka jaga." Jeda. "Dan kehidupan mereka telah menjadi bagian dari hutan itu sendiri."

"Jadi mereka adalah sekumpulan manusia, begitu?" tanya Molly lagi seraya menyeka keringatnya.

"Ya, mereka juga seorang essentor namun tak sama seperti kita. Mereka yang memiliki essentia berupa keseimbangan dan harmoni, lalu dapat mengubah wujud menjadi hewan sesuai garis keturunan leluhur," sahut Aldir lembut.

Molly menganggukkan kepala mengerti. Ini adalah pengetahuan baru yang tak ditemukannya pada buku yang pernah dibacanya di rumah Virion.

"Dan, untungnya, Ayahku memiliki seorang teman di sana. Kita bisa meminta bantuannya untuk bermalam sambil menentukan rencana kita selanjutnya." Aldir menambahkan seraya menyeka keringatnya.

Molly menurunkan tudungnya dan membalas, "Syukurlah. Tadinya aku berharap kalau kita buta arah lagi." Dia terkekeh canggung. Matanya melirik Rolan yang masih berjalan dengan mengatupkan mulutnya. "Apakah mereka berbahaya?" Molly kembali bertanya, suaranya nyaris berbisik, seakan takut jawabannya akan mempengaruhi suasana perjalanan mereka.

"Berbahaya?" Kali ini Rolan yang menyahut. Dia menaikkan satu alisnya sinis, dan dengan nada lancang khasnya, melanjutkan, "Mereka bisa menjadi tidak ramah, terutama bagi mereka yang mengganggu keseimbangan alam. Bagi druid, setiap pohon, setiap aliran air, dan setiap makhluk hidup adalah benda suci. Jika kita melanggar harmoni itu, mereka tidak akan segan-segan bertindak tegas."

Molly menelan ludah, kepalanya dipenuhi oleh cerita-cerita mistis yang pernah didengarnya semasa kanak-kanak. Seperti sekelompok suku pedalaman kanibal yang memakan daging orang jahat dengan cara yang primal dan mengerikan.

"Contohnya Agatha dan Adamus," imbuh Rolan untuk yang terakhir kalinya. Setiap kata diselingi oleh dengusan jengkel. "Ada baiknya kau bersiaga, Mawar merah. Mereka bisa saja menuduhmu yang macam-macam."

Gaya bahasa Rolan yang lancang namun penuh perhatian. Molly menyunggingkan senyuman kecil, tak kentara namun ada. Perempuan berambut emas itu merasa lega, itu tandanya, Rolan memperhatikan perbincangan mereka sejak tadi.

Satu rekor lagi, Rolan kini membuang muka ketika pandangan mata mereka bertumbuk.

"Kau benar," Aldir ikut menimpali. "Jika Agatha dan Ayahku ada di sana, dan mereka terbukti membuat kekacauan, sudah pasti Molly akan menjadi sasarannya."

"Kenapa begitu?" Molly menghentikan langkah kakinya. Dadanya berdebar hebat penuh siaga.

"Karena kalian berdua mirip," balas Rolan singkat. Tangannya yang semula dilipat di dada, terulur menunjuk masuk ucapannya, yaitu wajah Molly. "Kecuali warna rambut."

"Jangan khawatir, teman Ayahku akan membantu kita," Aldir berkata, menenangkan kepanikan Molly seraya menepuk bahunya lembut, menuai dengusan tajam dari Rolan.

Perjalanan kali ini benar-benar menguras energi. Selain jalanannya yang curam ke atas, jalanan setapak yang berlumut dan licin, panas terik matahari yang menyengat, ditambah tak adanya angin yang berhembus, membuat ketiganya kerap kali menyeka keringat dan mengeluh kepanasan. Namun, usaha mereka terbayar tepat saat mereka berhenti di tepat di ujung jalan setapak.

Di bawah, tepat di tengah-tengah hutan raksasa, di mana pepohonan menjulang menembus langit, sebuah desa bersembunyi berdiri kokoh di antara akar-akar tua yang membentuk jembatan alami dan jalan setapak. Rumah-rumahnya berarsitektur kayu lancip yang dibalut oleh lumut dan tanaman rambat, seolah telah menjadi bagian hutan sejak lama. Jendela-jendelanya terlihat mengintip dari balik bangunan, seolah mengamati dunia luar dengan penuh kerahasiaan.

Pepohonan yang besar dan tua melindungi desa itu. Dahan-dahannya yang lebar dan kokoh melindungi tempat dengan penuh kesejukan, menyelimuti seluruh bagian desa dengan nuansa hijau yang mistis. Suara gemericik air sungai yang mengalir terdengar bagai alunan musik, diapit oleh jembatan kayu kokoh berliku-liku yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lainnya. Tempat ini menawarkan ketenangan dan kenyamanan alam.

Para druid sangatlah ramah, atau mungkin terlalu ramah hingga mereka tak memiliki gerbang atau dinding tinggi untuk melindungi tempat tinggal mereka. Terpantau hanya dua orang penjaga yang malah ketiduran di dekat jalan masuk desa.

Kegiatan di desa ini tidak ada bedanya dengan yang ada di Nevervale. Hanya saja di sini, waktu seperti berhenti, membiarkan desa itu hidup dalam keharmonisan yang hampir tak tersentuh oleh dunia luar. Para penduduknya masih memakai baju yang terbuat dari kulit hewan keras, masih kuno namun tetap terlihat rapi dan berkelas. Alat-alat yang mereka gunakan untuk bekerja juga terbilang primal.

Mereka melintasi jalan setapak yang terbuat dari batu dan kayu yang diukir klasik khas sulur daun dan bunga. Selama dalam perjalanan, ketiganya sempat memperhatikan anak-anak kecil yang memamerkan kemampuan mereka dalam mengubah diri menjadi hewan. Ada yang menjadi kucing kecil, anjing, dan ada yang menjadi gagak.

Berhenti tepat di tengah-tengah desa, Molly dan Rolan mendongak bersamaan, terkagum-kagum pada pohon raksasa yang menjulang di kejauhan. Akar-akarnya yang besar membentang luas bagai naga purba ke penjuru pedesaan. Di bawahnya, terdapat beberapa penduduk yang berdoa dan memberikan persembahan. Sepertinya itu adalah pohon yang dituakan.

Molly terkesiap ketika Rolan mengangkat tudungnya untuk menyembunyikan wajahnya. Dia ingin memprotes namun mata zamrud itu melirik ke belakangnya. Molly membalikkan badan, mendapati para penjaga yang sedang berpatroli.

"Hanya perasaanku, apakah banyak yang patroli di sini?" Aldir berbicara dengan nada yang hanya bisa didengar oleh ketiganya. "Dulu tempat ini sangat terbuka terhadap pengunjung. Hari ini banyak yang berpatroli."

Rolan menjawab, "Tentu saja mereka berjaga, Agatha dan Adamus kan sempat membuat keonaran di tempat ini." Mata hijaunya mengedar penuh waspada. "Kita sebaiknya segera pergi ke rumah kenalanmu, Aldir."

"Ya. Kau benar," kata Aldir melanjutkan langkah kakinya, memimpin di depan.

Molly mengekor di belakang Rolan, setengah menempel punggung si penyair. Dadanya berdebar penuh antisipasi, berharap para pengawal tidak menyadari keberadaannya.

Setelah cukup lama berjalan melintasi jembatan, ketiganya tiba di sebuah rumah tua besar yang ada di ujung jalan. Aldir mendorong pintu ganda perlahan. Tempat ini adalah penginapan sederhana, lengkap dengan kedai minum kecil. Walau begitu, pengunjungnya cukup padat untuk seukuran kedai kecil di desa yang terisolasi dari peradaban.

Ketiganya berjalan bersama menuju meja bar, yang tak jauh dari tangga besar yang menghubungan ke lantai dua. Seolah menjawab ketakutan Molly, ia merasakan tatapan penuh kecurigaan menusuk punggungnya, membuatnya tak nyaman dan mencari perlindungan di balik punggung Rolan.

Dan seolah amat peka atas situasi dan perubahan sikap Molly, Rolan sengaja membiarkan perempuan itu menempel padanya.

Seorang pria paruh baya tengah berdiri di dekat meja bar, seraya menuangkan segelas—entah minuman apa itu, tercium bau herbal namun berwarna hijau pekat dan berbusa—pada pelanggannya. Dia tersenyum dan menyapa dengan penuh semangat.

"Halo, Erdan." Aldir menyapa mendorong tubuhnya turun.

Ketika pria tua itu menyadari siapa tamunya, Erdan membelalakan matanya dan menunjuk wajah Aldir.

"Kau, putra Adamus," ucap Erdan terkejut.

Aldir mengangguk singkat sebagai respon. Tubuh Erdan menegang dalam sekejap. Ia melirik ke sekitar kedai, lantas mencondongkan tubuhnya mendekat.

"Apa yang kau lakukan di sini? Dua hari yang lalu Adamus sempat datang, bersama seorang wanita berambut merah. Mereka menyewa satu kamar di lantai atas." Menilai dari cara bicaranya yang hati-hati, Erdan takut jika ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Seharusnya kau tidak datang ke tempat ini. Ayahmu telah melakukan keonaran. Di sini sangat berbahaya untukmu. Pulanglah segera."

"Aku juga mendengarnya, makanya aku kemari," Aldir membalas dengan hati-hati pula. Berharap tak ada yang tahu identitasnya. Dia menunjuk kepada Molly di bahu. "Aku juga bersama adik si perempuan berambut merah."

Erdan meneliti Molly dari ujung rambut hingga ujung sepatu. "Sial, wajah mereka sangat mirip." Dia kemudian menarik kerah baju Aldir dan kembali mengucapkan, "Dengar, Adamus dan perempuan itu telah mencuri patung Penjaga Agung dari Aula Pemujaan para druid."

Tak hanya Aldir, Molly dan Rolan yang tidak sengaja menguping pembicaraan mereka ikut melotot terperanjat juga. Agatha dan Adamus dituduh dalam tindakan pencurian patung Penjaga Agung, yang senantiasa dikagumi dan disembah oleh kaum druid.

"Kenapa malah terdengar seperti Agatha bagiku?" Rolan mendengus seraya melipat tangannya di dada. Dia juga memutar bola matanya dramatis, jengkel, namun masih dapat ditahan.

"Bagaimana bisa?" Molly, yang tak sabaran, akhirnya berjalan mendekat dan ikut bergabung dalam pembicaraan.

Erdan mengangkat kedua bahunya. "Aku juga tak tahu, Nona," jawabnya singkat. "Semua penduduk membicarakan hal itu. Bahkan ada yang mengatakan kalau yang perempuan telah mencoba melarikan diri semalam. Akibatnya, mulai hari ini penjagaan semakin diketatkan. Sebelumnya, kami menerima orang asing dengan tangan terbuka, karena kami menuruti ajaran alam. Tapi, semenjak kejadian itu, banyak penjaga yang berlalu-lalang untuk mengecek kondisi desa. Aku pun juga menjadi was-was, sebab aku yang menawarkan mereka menginap."

Aldir lantas berkata, suaranya tenang dan meyakinkan. "Tidak apa-apa, Erdan. Aku sangat berterima kasih dengan kebaikan hatimu pada Ayahku. Kami berjanji tidak akan membuat keonaran yang lain, karena kami kemari untuk menyusul mereka kembali pulang."

"Apakah ada cara di mana kami bisa bertemu mereka, Tuan Erdan?" Molly bertanya, terdengar jauh lebih khawatir dibanding sebelumnya.

Erdan mendengkus, dan menjawab, "Aku tak tahu apakah aku bisa membantu banyak. Tapi, yang aku tahu, semua penjahat dikurung di penjara bawah tanah di Sarang Dalam." Dia keluar dari balik meja bar, berjalan mendekat ke jendela. Tangannya yang kekar menunjuk ke pohon raksasa. "Sarang Dalam ada di dekat pohon Javarash. Kalian hanya perlu menuruni jembatan utama di seberang kedai ini, setelah itu menyusuri jalan setapak hingga kalian menemukan tangga yang terbuat dari batu. Kalian turun melalui tangga batu itu, dan di ujung jalan kalian akan menemukan gerbang utama Sarang Dalam."

"Bagaimana dengan Aula Pemujaan? Apakah ada penjaga di dalam Sarang Dalam juga?" Aldir bertanya, untuk memastikan.

"Tak banyak yang bisa masuk ke sana, aku rasa," tebak Rolan dalam nada lancang khasnya. Dia menggaruk keningnya yang tidak gatal, tanda tengah berpikir. "Sarang Dalam adalah tempat Druid Agung tinggal, dan setelah kekacauan yang dibuat Agatha, penjagaannya tak jauh beda dengan dompet para bangsawan."

Molly ikut mengusap dagunya, berpikir. "Bagaimana caranya Agatha bisa menyelinap masuk ke Aula Persembahan? Maksudku, sebelum kejadian pencurian itu, sudah pasti tempatnya dijaga ketat oleh penjaga, bukan?"

Erdan menganggukkan kepalanya pelan. "Sayangnya aku juga tidak mengerti."

Rolan mengernyitkan keningnya, lalu menegakkan tubuh dan mengatakan, "Bagaimana dengan kamar yang disewa oleh mereka berdua? Pasti mereka meninggalkan barang-barang di sana."

"Ah, benar juga." Aldir mengangguk sependapat dengan Rolan. "Izinkan kami untuk mengintip kamar yang dipakai oleh Agatha dan Ayahku, Erdan."

"Tentu saja, tapi kamar itu telah dibersihkan kemarin malam," Erdan membalas sopan. Yang artinya, tidak ada petunjuk yang tersisa. "Sepertinya istriku menemukan sesuatu di kamar itu. Tunggu sebentar, akan kuambilkan barangnya."

Sementara Erdan pergi ke ruang para staf disusul oleh Aldir, Molly memandang ke luar jendela, lebih tepatnya ke bagian pohon Javarash raksasa. Pikirannya masih berputar, tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh kakaknya. Semakin mereka menelusuri jalan yang dilalui oleh Agatha, semakin kacau pula kejadiannya. Andaikan Molly tahu lebih awal apa yang direncanakan Agatha sebelum pergi dari rumah, dia pasti melarang dan menghentikannya saat itu juga, meski harus bertengkar sekalipun.

Dia terlalu tenggelam dalam pikirannya, hingga tanpa sadar, pandangan Molly bertemu dengan sepasang mata besar yang menempel batang pohon Javarash. Selayaknya manusia, wajahnya tampak tua, tenang, dan penuh kebijaksanaan. Dahan pohonnya berayun, memanggil Molly untuk mendekat kepadanya.

Molly tentu penasaran, karena pohon Javarash tampak mengenalnya. Entah mungkin mendapatkan pesan dari angin dan tumbuhan yang disampaikan ke telinganya, atau dari burung-burung yang bersenandung. Hanya saja, Molly merasa terpanggil ke sana. Seolah dia harus ke dekat pohon Javarash sekarang juga.

"Aku mendapatkannya," kata Aldir tak lama kemudian. Dia menggoyangkan sebuah buku catatan kecil di tangan kirinya. "Ayahku meninggalkan buku catatannya. Sudah kuduga, dia menungguku untuk menjemputnya."

Rolan memutar tubuhnya ringan dan bertanya, "Jadi?" Sedikit tidak sabaran, mengabaikan kelegaan yang sempat tergambar di wajah Aldir.

"Ternyata Ayahku membuat catatan tentang kebiasaan para druid." Aldir menjelaskan seraya membuka halaman yang dimaksud. "Termasuk upacara pemujaan bersama yang diadakan petang hari, sesaat setelah matahari tenggelam. Kita bisa ke sana setelah ini."

"Bagus, tinggal membuat rencananya saja." Rolan menarik kursi di belakang Molly, mengambil posisi duduk yang nyaman dengan menyilangkan kakinya secara elegan. Bersiap untuk berdiskusi.

Mengikuti arahan Rolan, Aldir juga menarik kursi untuk dirinya sendiri dan bersiap berdiskusi. Diikuti oleh Molly yang paling terakhir, duduk di sebelah Rolan.

Aldir mengambil sebuah pena bulu untuk menuliskan catatan. "Oke, yang pertama, kita harus mencari tahu di mana letak penjara bawah tanah sebenarnya—"

"Aku akan bertanya kepada para penjaga," Rolan menyela dengan penuh percaya diri.

"Tunggu, apakah kita akan membebaskan mereka diam-diam?" Molly menyipitkan matanya.

Sepertinya dua lelaki ini membuat rencana yang tidak akan dimengerti olehnya. Dua lelaki itu saling berpandangan sejenak, kemudian melirik Molly bersama-sama.

"Apakah kau ingin menghadap Druid Agung dan meminta sopan kepadanya secara langsung?"[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
GLACIER 1: The Fire of Massacre
782      580     2     
Fantasy
[Fantasy - Tragedy - Action] Suku Glacier adalah suku yang seluruhnya adalah perempuan. Suku damai pengikut Dewi Arghi. Suku dengan kekuatan penyegel. Nila, anak perempuan dari Suku Glacier bertemu dengan Kaie, anak laki-laki dari Suku Daun di tengah serangan siluman. Kaie mengantarkannya pulang. Namun sayangnya, Nila menjatuhkan diri sambil menangis. Suku Glacier, terbakar ....
Sistem Kekayaan zero
28      26     1     
Fantasy
Kisah seorang pemuda yang bernama xai yang diputuskan oleh kekasihnya Yolanda, Yolanda lebih memilih pria lain yang statusnya lebih tinggi dari xai, akan tetapi xai mendapatkan sistem zero yang mengubah kehidupan nya .
Gadis Kecil Air Tawar
496      357     0     
Short Story
Mulailah berbuat baik terhadap hal-hal di sekelilingmu.
Glad to Meet You
303      235     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...
The Wire
10005      2182     3     
Fantasy
Vampire, witch, werewolf, dan guardian, keempat kaun hidup sebagai bayangan di antara manusia. Para guardian mengisi peran sebagai penjaga keseimbangan dunia. Hingga lahir anak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup dan mati. Mereka menyebutnya-THE WIRE
Petualangan Angin
271      228     2     
Fantasy
Cerita tentang seorang anak kecil yang bernama Angin. Dia menemukan sebuah jam tangan yang sakti. Dia dengan kekuatan yang berasal dari jam itu, akan menjadi sesuatu kekuatan yang luar biasa, untuk melawan musuhnya.
PurpLove
368      302     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
Dark Fantasia
5119      1530     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
Beternak Ayam
282      232     1     
Fantasy
Cerita tentang Bimo dan temannya, yang belajar untuk beternak ayam dengan kakek Kutokuto. Mereka bisa mengetahui cara beternak ayam untuk menghasilkan uang.
Tyaz Gamma
1450      911     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...