Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan.
...Read More >>"> SECRET IN SILENCE (Bab 14) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU 0
About Us  

Langit siang ini terlihat berwarna biru terang dihiasi awan-awan putih bagai tanaman kapas. Setelah berpamitan dengan Virion dan istrinya, Molly dan Rolan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan masuk ke dalam hutan.

Neverian menyebutnya Dar. Mendiang ayah Molly pernah mengatakan, kalau tempat ini sering melahirkan makhluk-makhluk aneh, seperti peri hutan jahat, manusia setengah hewan, juga pohon yang dapat berdiri dan berjalan sendiri.

Awalnya Molly membayangkan Hutan Dar sebagai rawa-rawa yang suram, gelap, becek dan berair. Ia juga mengira tanaman di hutan ini memiliki batang hitam dan banyak hewan yang mati. Namun, saat melihatnya secara langsung, hutan ini mirip deskripsi dalam buku-buku dongeng yang sering dibacakan oleh mending ibunya.

Mereka berdua melintasi jalan setapak yang membentang di antara pohon-pohon tinggi yang saling berdempetan. Sinar matahari siang menembus celah dedaunan pohon dengan lembut, membentuk lukisan bayangan indah dari dahan dan ranting pohon di atas tanah padat dan lumut hijau.

Selama perjalanan, Molly tak henti-hentinya mengagumi pemandangan di sekitarnya. Meskipun pohon-pohonnya berdiri berdempetan, angin masih berhembus lembut membawa wangi tanah basah dan kesegaran khas hutan.

Setiap Molly melangkah, hutan ini seolah hidup, warna-warnanya semakin cerah dan segar. Suara gesekan daun dan ranting terdengar merdu, kemudian bunyi burung-burung yang berkicauan mengumandangkan nyanyian alam. 

Molly terkesiap ketika mendapati embun yang jatuh dari permukaan daun menghantam bahunya keras. Saat mengusap bahu, dia mendapati kristal kecil yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Begitu Molly mengangkat kepala dan mengamati sekitarnya, matanya terbelalak lebar-lebar mendapati seluruh embun pada tanaman berupa kristal dan berpendar, menciptakan titik-titik bayangan cahaya emas yang berkelip.

"Wah, cantiknya!" Molly bergumam, menutup mulutnya dalam kekaguman.

Rolan menghentikan langkah, menoleh dari bahunya. Di saat yang bersamaan, Molly juga menatapnya. Cahaya embun yang mengkristal berpendar membayangi wajah Rolan yang juga tak kalah berkilauan. Bagaikan patung manusia yang terbuat dari batu pualam yang hidup. Sempurna dan menarik perhatian, jika saja ekspresi sinis dan lancangnya hilang.

"Kau terlihat seperti manusia yang baru saja keluar dari gua," komentar Rolan mencemooh.

Molly memutar matanya kesal, sedikit tersinggung juga. Ia kemudian berlari menyusul. "Kan aku memang belum pernah ke sini."

"Bagus sekali, kau harus berterima kasih pada Agatha begitu kalian bertemu," sahut Rolan.

Molly melirik tajam penuh kebencian. Ia lantas mencibir dengan meniru ucapan Rolan, sama persis. Membuat lelaki bermata hijau itu melotot jengkel. Meski begitu, mereka kembali melanjutkan perjalanan mengikuti suara aliran sungai.

Tak lama kemudian, Molly dan Rolan tiba di dekat sungai yang membentang dari bagian timur hutan hingga ke barat. Penasaran, Molly mencondongkan tubuhnya, mengintip ke dalam sungai. Airnya jernih hingga ia dapat melihat ikan-ikan berenang cepat menghindar darinya dengan gerakan yang begitu lincah. Ketika ia menyipitkan matanya, kembali ia terkejut oleh batu-batu kerikil yang bersinar dalam warna-warna terang yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

Molly menegakkan tubuh, hendak mengajak Rolan bergabung menyaksikan apa yang barusan dilihatnya. Namun, wajah si penyair memasang wajah 'kita di sini tidak untuk berlibur' menuai respon anggukkan singkat dari Molly.

Tak jauh dari posisi mereka, keduanya mendapati sebuah jembatan yang dibangun untuk melintasi sungai besar ini. Rolan kemudian mengarahkan tujuan mereka ke jembatan.

"Kau tahu, barusan aku melihat batu agate," Molly berkata, memecah keheningan. "Mendiang ibuku dulu sering mengoleksi batu-batu itu."

"Tidak heran." Rolan membalas datar tanpa menoleh. "Ibumu adalah Pengikat Batu, seorang essentor juga."

"Aku tidak berpikir ibuku juga seorang essentor, beliau tak pernah menunjukkan kemampuannya semasa hidupnya dulu. Mungkin kau keliru," Molly membalas.

"Aku sangat yakin aku tidak keliru," Rolan menjawab santai, memiringkan kepala seolah berpikir. "Pembisik Daun hanya lahir dari pasangan sesama essentor, meskipun kemungkinannya sangat kecil."

Apakah itu artinya mendiang ayah Molly juga merupakan essentor? Begitu juga dengan kakak dan adiknya?

Molly tertegun dan tak mampu merespon banyak, hanya sekadar balasan, "Oh."

"Kau kelihatannya kecewa, Mawar Merah."

"Aku tidak yakin," jawab Molly, "paman dan bibiku tidak percaya sihir."

"Bisa dimengerti. Mereka mengatakan itu karena mereka bukanlah seorang essentor," Rolan membalas seraya mendengkus panjang. "Seperti kataku, essentor yang tak berlisensi tak diizinkan mengeluarkan kekuatannya di tempat umum."

"Untuk menghindari kekacauan?"

"Memangnya apa lagi kalau bukan itu?" Rolan memutar matanya bosan.

"Apakah itu artinya paman dan bibiku bisa mengendalikan essentia juga?"

"Apakah mereka bersedia untuk berlatih? Jika iya, maka mereka dapat belajar di Tanah Utama. Jika tidak, mereka adalah manusia biasa seperti Neverian pada umumnya."

"Jadi siapa pun bisa menjadi essentor asal bersedia berlatih? Aku kira kemampuan itu berasal dari bakat." Molly mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk, berpikir.

"Hanya Pembisik Daun yang disebut essentor berbakat. Kau berbakat." Rolan menghentikan langkah, menggaruk tengkuknya tanda frustrasi ketika mendapati jembatan satu-satunya di tempat ini telah runtuh.

"Jembatannya hancur, apakah tempat ini sempat kebanjiran?" Molly bergumam seraya mengamati debit air sungai.

"Aliran airnya memang deras sejak dulu," kata Rolan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Molly tertegun. "Dulu? Memangnya berapa kali kau ke tempat ini?"

Cepat-cepat dia membalikkan badan, sayang si penyair tak ada di sampingnya. Lelaki itu telah berada di dekat sebuah pohon tak jauh dari sungai.

"Mawar Merah," panggil Rolan tanpa dosa. Mulut Molly terbuka untuk memprotes, bersiap menegaskan bahwa dia harus dipanggil dengan namanya yang benar. Namun, belum sempat dia mengeluarkan suaranya, Rolan berujar santai setengah memerintah, "Coba kau suruh pohon ini membangunkan jembatan untuk kita."

"Apa maksudmu menyuruh pohon itu untuk membangunkan jembatan?" Molly mengernyit tak mengerti.

Rolan berdecak dramatis. "Kau kan Pembisik Daun, essentia milikmu berkaitan erat dengan alam, coba bicara dengan pohon ini."

Mengapa orang tinggi, tampan, dan berkharisma seolah merasa berhak memerintah, seperti yang dilakukan Rolan? Molly memang sering disuruh-suruh Joyce di rumah, dia selalu senang membantu kakak adiknya. Namun, jika yang memerintah adalah Rolan, ia malah merasa enggan dan melakukannya setengah hati.

Molly mendekat ke sebelah kiri pohon, kakinya setengah dihentakan kesal. Meski begitu, Rolan tetap bersikap acuh tak acuh di belakang.

"Bagaimana caranya?" tanya Molly menoleh memandang mata si penyair.

Rolan menaikkan kedua bahunya.

Molly melanjutkan, "Kau tahu kemarin aku gagal melepaskanmu, sekarang kau memintaku untuk berbicara dengan mereka lagi."

Rolan menaikkan satu alisnya, namun tidak berencana untuk beranjak dari tempatnya berdiri. "Lalu, bagaimana bisa pohon elm melengkung ke kamarmu semalam?"

Kini giliran Molly yang mengangkat kedua bahunya.

"Kejadian di hutan mahoni di desa juga tidak tahu?" Rolan bertanya kembali. Ia melipat tangan di dada tanda tidak percaya.

Dengusan Rolan terdengar kasar ketika mendapatkan respon anggukkan kepala dari Molly.

"Pohon elm itu memanggil namaku, dan ketika aku mengintip, ia sudah melengkung begitu saja." Molly menjelaskan, membuat dahi Rolan semakin bertautan. "Aku tidak tahu bagaimana melakukannya."

Rolan mendengus kembali. "Tidak mungkin semuanya terjadi begitu saja, pasti ada pemicunya. Apakah kau tidak ingat kau melakukan sesuatu sebelum semua itu terjadi?"

"A-aku rasa begitu," jawab Molly. Namun, ia lantas terdiam, teringat akan sesuatu. "Sepertinya, kejadian di hutan mahoni kemarin, terjadi karena aku meminta dengan sopan. Tapi, itu tidak menjelaskan mengapa pohon elm melengkung—"

"Coba kau minta dengan sopan," sela Rolan kasar.

Molly mendengkus, lantas memposisikan kedua tangannya. Walau masih dalam keraguan, ia mencondongkan tubuh ke batang pohon dan berbisik, "Tolong, bangunkan jembatan untukku."

Setelah mengucapkan hal itu, Molly berjalan mundur, menengadah menunggu reaksi pohon dalam harap-harap cemas.

Namun, tidak terjadi apa-apa.

Dengusan frustrasi terdengar dari arah Rolan berdiri, begitu pun suara cekikikan Moko.

"Kau benar-benar tidak tahu bagaimana menggunakannya, ya?" Rolan menyipitkan matanya, nadanya sinis, dan penuh sindiran.

Molly mengerucutkan bibirnya kecewa. Dia mungkin telah membaca sedikit penjelasan tentang essentia semalam, namun ia belum sempat masuk ke penjelasan cara praktiknya. Meskipun begitu, Molly mencoba untuk yang kedua kalinya, tetap tidak terjadi apa-apa. Pohon itu tidak menunjukkan pergerakan sedikit pun, entah itu melengkung atau berayun seperti yang pernah dilihatnya.

"Polos dan naif memang beda tipis," ejek Rolan terang-terangan, membuat Molly semakin cemberut. Ia berjalan cepat, setengah menghentak akibat frustrasi. Kemudian, dia mendorong tubuh Molly mendekati pohon hanya dengan satu tangannya.

"Kau mau apa?" Molly terkesiap.

"Tempelkan tanganmu ke pohon," perintah Rolan.

Namun instruksi Rolan disertai sentuhan lembut ke lengan Molly. Tangannya yang besar dan hangat membungkus pergelangan tangan perempuan itu, jari-jarinya saling mengait di antara jari-jari mungil Molly.

Menarik napas tajam, Molly dapat merasakan dada Rolan menempel pada punggungnya, hingga ia dapat merasakan napas lelaki itu menggelitik belakang telinga. Sejenak waktu terasa berhenti, penjelasan yang disampaikan Rolan terdengar lebih jauh dari yang dipikirkannya. Hanya suara deru angin serta dentuman dada yang tak berhenti—malah semakin cepat.

Saat ini, Nevervale sedang mengalami musim semi, di tengah-tengah hutan yang harusnya berudara sejuk, lalu mengapa Molly merasa kepanasan?

Suara Rolan serak dan dalam saat mengatakan, "Itu lima hal yang harus kau ingat sebagai Pembisik Daun. Jadi, untuk memerintah pohon ini, kau tidak boleh meragukan koneksi spiritualmu dengan alam. Jangan menyangkal kemampuanmu dan fokus pada energi. Essentor harus memiliki kemampuan konsentrasi tinggi—kenapa tanganmu gemetaran?"

Molly mengerjap berkali-kali menyadari hal yang sama. Sungguh, tangannya gemetaran dan jari-jarinya bergerak-gerak gelisah, dan bahunya juga tanpa sadar menegang. Parahnya, Molly baru sadar jika sejak tadi ia menahan napas.

"Kau tidak menyimak penjelasanku?" Rolan menaikkan satu alisnya.

Molly menggeleng cepat lalu menjawab terbata, "A-aku mendengarkan kok."

Sialnya, Rolan malah tersenyum dalam senyuman yang menyebalkan yang pernah dibuatnya. Mungkin dia mengira kebodohan Molly amat menggemaskan. Kemudian, dia melepaskan kaitan tangannya perlahan dan amat pelan, seolah disengaja agar kulitnya bergesekan pada punggung tangan Molly. Dan ... terkutuklah, Rolan. Gesekan itu menimbulkan sengatan aneh dalam perut Molly.

"Jangan lupa bernapas," ucap Rolan mengingatkan dari belakang, setengah menyindir.

Tak terlepas Moko yang berseru, entah menyemangati atau ikut mengejek seperti majikannya.

Dimulailah usaha Molly yang kedua. Ia menutup mata dan memposisikan diri senyaman dan serileks mungkin. Menarik napas dan menghembuskannya sebanyak tiga kali, kemudian ... kemudian apa?

Kemudian menerapkan lima aspek. Alis Molly bertautan, mengingat-ingat lima hal yang disampaikan oleh Rolan. Tidak boleh menyangkal, percaya pada essentia, tak boleh ragu, serta fokus pada konsentrasi ... dan apa? Gara-gara terlalu fokus dengan Rolan, dia sampai lupa apa aspek kelimanya.

"Melakukan resonansi energi." Pernyataan itu disampaikan dalam suara dalam serta menggema. Bagai gemuruh yang muncul dari bawah tanah, bergetar lembut dari telapak kaki Molly, lalu dialirkan ke seluruh tubuhnya.

Penasaran, Molly memutuskan membalikkan badannya, mengamati Rolan yang meskipun ada kerutan ketidaksabaran pada wajahnya.

"Maksudnya, essentia-mu harus selaras dengan alam—Ah, tapi kau kan tidak bisa mendengar suaraku."

Suara yang sama terdengar lagi, datang dari atas Molly, tepat di bagian kepalanya. Ia perlahan-lahan mengangkat kepalanya, mendapati pohon besar di hadapannya melirik ke arahnya.

Ya, pohon itu memiliki mata.

Matanya yang sempat menyipit kini terbuka lebar-lebar saat bertemu pandang dengan Molly. Keduanya membuka mulut lebar-lebar, sama-sama terkejut.

"Pembisik Daun muda, akhirnya kau mendengarku. Aku ... telah menyaksikan ... musim-musim berlalu ..." Suaranya kental akan kebijaksanaan, penuh misteri, bagai puisi yang dinyanyikan berulang kali. Ia berbicara amat pelan, saat melanjutkan, "Juga mendengar ... gemuruh angin dari punggung gunung ... bahwa ada Pembisik Daun muda ... yang datang kemari ..."

Kemudian ia terbatuk, merontokkan daun-daunnya dan terkekeh.

Molly mundur beberapa langkah. "Kau bisa bicara?"

"Maksudmu kepada seorang Pembisik Daun sepertimu? Tentu saja!" Si pohon mengayunkan dahan, seolah memiringkan kepala. "Jika kau meohon, maka alam akan menjawab. Pohon-pohon, akar-akar, daun-daun ... mereka semua adalah makhluk hidup dan memiliki suara. Kenapa kau terkejut kalau kau sering mendengar suara-suara kami?"

Molly membuka mulutnya bersiap untuk menjawab, namun tak menemukan alasan yang pas. Raut wajahnya berubah murung seraya menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak berbicara.

Mengerti pergolakan batin Molly, pohon itu lantas berdeham memecah keheningan dan bertanya, "Jadi, apa yang kau inginkan dari kehidupan tua sepertiku, wahai Pembisik Daun muda?

Seketika itu, Molly teringat dengan tujuan utamanya. Ia lalu menunjuk ke arah jembatan dan menanyakan, "Apakah kau bisa membantuku membuatkan jembatan?"

Si pohon menyipitkan mata, bagai orang tua yang kesulitan melihat dari jarak jauh. Dia mengayunkan dahan lagi seakan tengah menggaruk kepalanya dan berkata, "Jembatannya rusak lagi? Ya ampun, padahal baru dua hari yang lalu diperbaiki. Baiklah, aku akan bantu buatkan jembatan."

Seakan manusia sungguhan, pohon itu membungkukkan tubuh, yang Molly tafsirkan sebagai 'hendak berdiri.'

"Tunggu, Opiris." Sebuah suara lain muncul dari punggung Molly. Satu pohon besar rupanya membuka matanya lebar-lebar. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut dan lebih feminim. Sinar matanya teduh dan penuh kelembutan ketika bertemu pandang dengan mata Molly.

"Ada apa, Nettie?" Pohon tua pertama, yang rupanya bernama Opiris bergumam.

"Kau sudah terlalu tua, biarkan aku yang melakukannya untukmu," kata Nettie seraya mengayunkan dahannya. "Aku tertarik dengan essentia gadis ini. Dia melambangkan musim semi dan hujan."

Tubuh Nettie bergetar, membuat burung-burung yang bertengger di atasnya berterbangan.

"Hmm, ya lakukanlah." Opiris menyetujui.

Tanah bergemuruh, bergetar hebat saat Nettie mencabut akar-akarnya dari dalam tanah. Burung-burung berteriak, dedaunan bergesek hidup, angin berhembus, serta hewan-hewan hutan memekik bersahutan-sahutan. Tanah yang dipijak Molly terbelah, membuatnya berjalan menghindar beberapa langkah. Namun, langkahnya diliputi kepanikan, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Untungnya ada Rolan yang menangkap tubuhnya kuat-kuat.

Moko sahabat monyet yang paling setia berteriak dari bahu Molly, seraya berpegangan pada kunciran rambut Molly.

"Kerja bagus, Mawar Merah," puji Rolan penuh rasa bangga. Tangannya yang besar dan hangat menepuk bahu Molly, mengirimkan sengatan liar pada perut bagian bawah Molly.

Nettie akhirnya berdiri menjulang sambil melakukan peregangan.

"Ikuti aku, Pembisik Daun," ajak Nettie melangkahkan kakinya menuju ke pinggir sungai. Langkah kakinya menggetarkan tanah pijakan Molly dan Rolan.

Pohon itu duduk berlutut, dahannya yang kokoh mengusap-usap tanah di bawahnya. Entah apa yang dibisikan oleh Nettie, yang jelas tiba-tiba saja muncul akar-akar besar dari dalam tanah. Akar-akar itu menggeliat bagai tentakel hidup yang elastis. Kemudian saling berkaitan satu sama lain, membentuk dua anak tangga, berlanjut melengkung membentuk pijakan jembatan beserta pegangannya. Suara deraknya silih berganti, bagai nyanyian penuh semangat membara seorang tukang kayu.

Keduanya mendekat, tertegun saat akar-akar itu saling bekerja sama dalam satu ritme yang sama, seperti satu organisme yang bernapas dan bergerak dengan kesadaran sendiri. Setiap bagian akar menyatu sama lain, membentuk struktur yang kokoh, dan mengeras saat jembatan itu berhasil dibentuk. Detik berikutnya, suara derak akar-akar itu perlahan-lahan mereda, tergantikan oleh suara deru air sungai dan dedaunan yang bergesek.

"Jembatan sudah selesai," Nettie berkata sambil menepuk-nepuk tanah yang ada di dekat kakinya. Dia tersenyum bangga, seolah baru saja melakukan pekerjaan yang teramat mudah. Saat menoleh, senyuman lembut terlukis pada wajahnya, mendapati Rolan dan Molly terperangah melihat hasil kerjanya.

"Bagaimana—" gumam Molly menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Pemandangan yang disaksikannya mirip dalam cerita dongeng, namun kali ini dia mengalaminya secara nyata. Luar biasa, alam selalu punya rahasia.

"Wow," gumam Rolan, yang juga tidak kalah terkejutnya.

"Baiklah, terima kasih, Nettie. Kau sangat membantu," ucap Molly penuh rasa syukur. Ia tersenyum lebar menunjukkan giginya, lantas menyusul Rolan menaiki jembatan.

Nettie menoleh pada Molly, lalu duduk berlutut kembali dan membungkukkan tubuhnya seolah memberikan penghormatan. "Molly, apakah itu namamu?"

Molly menghentikan langkahnya di tengah-tengah jembatan. Matanya bertumbuk dengan mata Nettie yang teduh dan bijaksana. "Ya?"

"Molly si Pembisik Daun muda, aku bisa membaca isi hatimu dari gelombang essentia-mu," Nettie menambahkan, "Kami tahu kau bisa mendengar dan berbicara dengan alam sejak dulu, namun kau menyangkalnya."

Mata Molly membulat mendengarnya. Pohon ini tahu?

"Tidak apa-apa, itu merupakan salah satu proses berkembang." Nettie menggoyangkan dahannya perlahan membelai angin. "Ketika kau menyadari bahwa darahmu mengalir sebagai Pembisik Daun, terimalah kemampuanmu dalam penuh keyakinan. Ingatlah, meski hanya dalam bisikan, kami selalu dapat mendengarmu."[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gadis Kecil Air Tawar
469      333     0     
Short Story
Mulailah berbuat baik terhadap hal-hal di sekelilingmu.
Iblis Merah
8804      2369     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
The Last Cedess
808      544     0     
Fantasy
Alam bukanlah tatanan kehidupan makroskopis yang dipenuhi dengan makhluk hidup semata. Ia jauh lebih kompleks dan rumit. Penuh dengan misteri yang tak sanggup dijangkau akal. Micko, seorang putra pekebun berusia empat belas tahun, tidak pernah menyangka bahwa dirinya adalah bagian dari misteri alam. Semua bermula dari munculnya dua orang asing secara tiba-tiba di hadapan Micko. Mereka meminta t...
Forestee
453      320     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
Hidden Path
5425      1415     7     
Mystery
Seorang reporter berdarah campuran Korea Indonesia, bernama Lee Hana menemukan sebuah keanehan di tempat tinggal barunya. Ia yang terjebak, mau tidak mau harus melakukan sebuah misi 'gila' mengubah takdirnya melalui perjalanan waktu demi menyelamatkan dirinya dan orang yang disayanginya. Dengan dibantu Arjuna, seorang detektif muda yang kompeten, ia ternyata menemukan fakta lainnya yang berkaita...
Tyaz Gamma
1119      756     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
A.P.I (A Perfect Imaginer)
128      109     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
GLACIER 1: The Fire of Massacre
574      456     2     
Fantasy
[Fantasy - Tragedy - Action] Suku Glacier adalah suku yang seluruhnya adalah perempuan. Suku damai pengikut Dewi Arghi. Suku dengan kekuatan penyegel. Nila, anak perempuan dari Suku Glacier bertemu dengan Kaie, anak laki-laki dari Suku Daun di tengah serangan siluman. Kaie mengantarkannya pulang. Namun sayangnya, Nila menjatuhkan diri sambil menangis. Suku Glacier, terbakar ....
ETHEREAL
1452      651     1     
Fantasy
Hal yang sangat mengejutkan saat mengetahui ternyata Azaella adalah 'bagian' dari dongeng fantasi yang selama ini menemani masa kecil mereka. Karena hal itu, Azaella pun incar oleh seorang pria bermata merah yang entah dia itu manusia atau bukan. Dengan bantuan kedua sahabatnya--Jim dan Jung--Vi kabur dari istananya demi melindungi adik kesayangannya dan mencari sebuah kebenaran dibalik semua ini...
Reality Record
2654      917     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...