"Apa yang kau lakukan pada Virion dan istrinya?"
Molly berjalan cepat menaiki tangga, mengekori Rolan. Langkahnya setengah menghentak, berderap menggema di lorong yang sunyi. Namun, laki-laki aneh ini masih bungkam dan menunjukkan ketidakpedulian.
"Rolan, jawab pertanyaanku," tuntutnya jengkel, masih mengikuti.
Rambut ikal Molly tampak bergoyang saat ia menambah kecepatan langkahnya, mendapati Rolan masuk ke dalam kamar, hendak menutup pintu. Ia berjingkat, menarik napas tajam mirip suara decitan tikus, saat Rolan tiba-tiba berhenti di depan pintu dan membalikkan badan.
Mata sehijau zamrud itu menyipit, sorotnya tajam juga dingin, seolah ada tantangan yang tersembunyi. Kemudian, Molly menyadari bahwa dia telah keliru menilai Rolan, lelaki ini menunjukkan keangkuhan.
Tidak, Molly tak akan terpengaruh.
Selama beberapa detik, keduanya hanya saling memandang dalam diam, tak memulai pembicaraan apa pun.
Dia akan menghindari topik ini. Molly membaca air muka dan gerak-gerik Rolan.
Sekilas tubuh lelaki itu tampak tenang, namun jika diperhatikan lagi, jelas-jelas Rolan menunjukkan rasa enggan, terbukti atas caranya mengalihkan perhatian Molly dengan mengeluarkan seringaian nakal. Mungkin Rolan berpikir Molly akan tergoda saat melihat seringaian itu, padahal .... benar.
Tidak bukan begitu, Molly. Fokus!
"Jadi?" Molly menuntut penjelasan. Tangannya dilipat ke dada, menyembunyikan perasaannya.
"Aku tidak berutang penjelasan apa pun padamu." Seringaian Rolan memudar dalam hitungan detik.
Bukan Molly namanya jika menyerah lebih dulu, dia akan terus mengejar sampai rasa penasarannya terpuaskan. Ada beberapa alasan mengapa ia gencar meminta penjelasan. Yang pertama, Molly curiga jika Virion dan istrinya bukanlah teman dekat Rolan seperti yang dipercayainya. Kedua, setelah melihat perubahan instan pada pasangan itu, sihir kata-kata yang dimaksud mungkin adalah kemampuan untuk mengubah emosi orang lain.
Lalu, munculah beberapa hal yang dikhawatirkan oleh Molly. Bagaimana nasib Virion dan Cecile setelahnya?
"Kau menggunakan sihir kata-kata seperti di surat kabar itu." Molly menuduh.
"Tidurlah, Mawar Merah. Kita harus melanjutkan perjalanan esok pagi." Rolan menjauh perlahan, mengambil jarak. Nada bicaranya mungkin terkesan tenang dan datar, namun kelihatan sekali tengah menutup dirinya rapat-rapat.
"Benar atau tidak?" tuntut Molly. Matanya berkilat penuh ketegasan. Ia mengambil satu langkah maju.
Keheningan kembali tercipta di antara keduanya. Rolan kira, dengan tetap menutup mulut rapat-rapat dan mengalihkan topik pembicaraan akan membuat Molly berhenti. Padahal, bagi perempuan muda itu, sikap diam Agatha dan Pandia adalah yang paling membahayakan, sedangkan Rolan tidak sampai seperempatnya.
"Benar kau menyihir mereka?" tanya Molly, matanya mengunci tajam.
Rolan menghela napas panjang. "Mengapa kau begitu peduli? Kau terlalu suka menyibukkan diri mengurus hal-hal yang bukan tanggung jawabmu."
Molly mengerucutkan bibirnya, namun tetap menganggukkan kepala seolah memahaminya. Sialnya, ada banyak keraguan dan rasa penasaran dalam dirinya.
"Anggap saja aku penasaran," jawab Molly tenang, lebih kepada dirinya sendiri. "Apakah ini ada hubungannya dengan essentia?"
"Kau bahkan tidak tahu apa itu essentia, tapi kau berbicara seolah kau tahu banyak hal." Rolan tertawa pendek.
"Aku tahu banyak hal." Molly membela diri, mengibaskan rambutnya ke punggung. Tanda tak goyah. "Tidak berarti aku harus mengetahui detailnya sedalam yang kau tahu, kan."
Tawa pendek itu terdengar lagi. "Sudahlah, pergi ke kamarmu dan tidur," usir Rolan kesal.
Molly terkesiap saat Rolan mendorong pintu kamar, cepat-cepat dia menyelipkan tubuhnya di antara celah pintu yang masih terbuka.
"Tidak boleh!" Suara Molly membuat Rolan berjingkat lalu mengambil beberapa langkah mundur.
"Astaga! Apa lagi?"
"Aku baru ingat kalau kau masih belum menjelaskan padaku siapa kenalan yang kau maksud." Molly mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. "Kau hanya memberiku peta, tapi tidak dengan namanya."
Rolan memutar matanya jengkel seraya menghela napas panjang seolah menahan diri untuk tak meledak.
"Serius, Mawar Merah?" sembur Rolan. "Kita sudah separuh jalan, dan baru sekarang kau menanyakan detail pentingnya kepadaku?" Ada jeda sejenak untuk Rolan menarik napas frustrasi, sebelum akhirnya dia berdecak dan melanjutkan, "Kau langsung percaya padaku begitu saja dari awal tanpa ragu, itu..." Jeda. "Naif." Dia mendengkus. "Kupikir kau adalah orang yang tenang dan terorganisir, tapi kenyataannya kau lebih impulsif dari yang kukira."
"Oh, mohon maaf sekali ya, Tuan Penyair," Molly mendengus. "Aku lupa kalau kau memang ahli dalam komunikasi. Kalau kau ingin aku menanyakannya dari awal, mungkin harusnya kau yang menjelaskan kepadaku lebih dari sekadar peta murahan."
Sudut kening Rolan berkedut.
"Aku juga bertanya-tanya kenapa kau tidak menanyakan detailnya kepadaku kemarin," erang Rolan seraya menyugar rambut.
"Sekarang aku sedang menanyakannya padamu." Molly mengerjapkan mata pelan, berlagak tak berdosa.
Laki-laki itu memijat ujung hidungnya frustrasi. "Tidurlah. Aku akan menjelaskannya padamu sewaktu di perjalanan besok."
"Kenapa tidak sekarang?"
"Karena aku lelah, Mawar Merah. Kau membuatku kelelahan, oke? Pergi ke kamarmu dan tidurlah," balas Rolan jengkel. Ia tersenyum mesum, matanya bergerak naik turun dengan sengaja. "Kecuali, tentu saja, jika kau lebih suka berbagi ranjang denganku."
Molly tertegun, lantas berdeham seraya meluruskan punggungnya. Ia kemudian menolak halus, "Tidak terima kasih. Ibuku pernah mengatakan, kalau tidak sepatutnya seorang perawan sepertiku tidur satu ranjang bersama orang yang lebih tua."
Mata Rolan menyipit, disusul tawa kecil yang terdengar mengganggu di telinga Molly. "Ibumu memang bijak, sayangnya dia lupa menambahkan satu hal penting." Dia mendekat, tubuhnya menjulang hingga menimbulkan bayangan gelap di hadapan Molly. "Dia lupa memberitahumu untuk tidak percaya dengan orang asing sepertiku."
Pada akhirnya Molly merasa terhina oleh benturan pintu yang terdengar ketika lelaki itu membanting pintu kamar. Suaranya teramat keras menggema ke seluruh penjuru rumah.
"Lalu bagaimana dengan essentia yang kau maksud, Rolan? Apakah kau tidak ingin menjelaskan padaku? Aku Pembisik Daun, dan aku tak tahu bagaimana cara menggunakan kemampuanku," Molly berkata mengetuk pintu Rolan.
Tak ada jawaban dari balik pintu itu.
"Pelit," gumam Molly.
***
Ketika tengah malam tiba, Molly mendapati dirinya masih belum terlelap. Tak seperti Moko yang telah tidur meringkuk di sebelah bantalnya. Dia mengerang, sesuatu mengganggu pikirannya hingga membuat Molly tak dapat memejamkan mata. Ia lalu memutuskan duduk di pinggir ranjang.
Pikiran Molly terus berpacu, tak pernah berhenti. Tentang segalanya: Agatha, Pandia, Rolan, dan apa yang akan terjadi esok pagi. Ia mengacak-acak rambut ikalnya frustrasi.
"Bagaimana kalau Agatha tak selamat? Nasib Pandia akan seperti apa nantinya?" Molly bergumam seraya menggigit kuku pada jarinya.
Besok, Molly berharap kenalan Rolan dapat memberikannya pencerahan, atau, yang paling ia harapkan, kakaknya yang masih ada di sana.
Yang terpenting untuk saat ini, Molly harus mencari cara agar dapat segera terlelap, mengisi ulang energi untuk perjalanan besok pagi. Lantas, pikirannya melesat pada rak buku yang tidak jauh dari ranjang.
Pandangan Molly segera terarah pada buku yang berjudul: Energi Essentia: Sumber Sihir dan Kekuatannya. Buku pengetahuan ini pernah Molly temukan di kamar Pandia, namun tak pernah sekali pun dia sentuh. Timbul penasaran pun juga tidak. Untuk malam ini, merupakan pengecualian.
Secara garis besar, buku itu menjelaskan mengenai essentia sebagai sumber utama kemampuan ajaib, mendalami bagaimana energi ini menjadi fondasi, juga kunci untuk membuka potensi spiritual yang lebih tinggi.
"Benar apa kata Rolan, mereka tidak menyebutnya sebagai energi sihir biasa, tetapi disebut essentia," gumam Molly membuat kesimpulan. "Dan orang-orang yang dapat mengendalikan essentia disebut essentor."
Setiap essentia yang dimiliki essentor adalah unik dan personal, mengacu pada sisi emosional yang paling dominan. Si penulis juga menyebutkan, dalam pelatihan pengendalian essentia harus dibantu oleh seorang essentor berlisensi hitam atau mengikuti pendidikan di Tanah Utama.
Ada juga beberapa jenis essentia kuno dan langka, yaitu essentia yang berhubungan dengan kelahiran dan pertumbuhan. Essentor ini memiliki kemampuan beresonansi dan berkomunikasi dengan alam.
"Sering disebut Pembisik Daun, dan jumlahnya diperkirakan hanya sekitar satu persen di Negeri Selatan." Molly bergumam.
Jari-jari lentik Molly kembali membalik halaman buku, mendapati salah satu jenis essentia yang berhubungan dengan rasa dan ilusi yang memungkinkan para penggunanya untuk membengkokkan keinginan, menggiring emosi, serta menciptakan ilusi guna memanipulasi mental lawannya.
Menurut si penulis, cukup banyak yang belajar jenis essentia ini, namun tidak sedikit yang malah berakhir gila. Untuk itu si penulis menekankan, hanya mereka yang berbakat dan memiliki kecerdasan emosional tinggi yang dapat menguasainya, mengingat tingginya risiko kompleksitas emosi manusia. Para essentor legendaris sepakat menyebutnya sebagai Manipulator.
"Terdengar seperti Rolan," gumam Molly.
Molly.
Dia terkesiap berdiri, suara sayup-sayup datang dari arah punggung membuatnya merinding waspada. Suara lembut bak anak remaja, memanggilnya dengan manis.
Pandangannya beralih menuju jendela, mendapati pohon elm besar yang ditanam di sebelah rumah. Batangnya melengkung seolah mengintip dari balik jendela. Ketika Molly mendekat, pohon itu berayun lembut, seakan tengah menyapanya.
"Kau memanggilku?" Molly berkata, bibirnya bergetar tak percaya.
Pohon itu benar-benar bergerak sendiri. Melengkung tajam, berayun, dan memutar dahan seolah makhluk hidup yang lentur. Lalu mendesah penuh kelegaan ketika Molly benar-benar berada di dekat jendela.
"Kau beresonansi denganku dan aku langsung mengenalimu," pohon itu kembali berkata. Tak hanya di rumahnya, di sini juga, para pohon memanggil namanya seakan mereka saling mengenal selama berabad-abad.
"Aku tidak sedang berdelusi, kan?"
Iseng, dia mengulurkan tangan untuk mengusap dahan pohon elm. Namun, sebelum permukaan kulit Molly benar-benar menyentuh dahannya, pohon itu berayun menghampirinya, seakan tunduk padanya. Ia mengusap dahannya pelan seolah mengusap anak anjing, dan pohon elm ini sangat menikmatinya.
"Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku beresonansi dengan Pembisik Daun." Pohon elm itu berkata, terdengar ceria dan penuh rasa syukur.
Walaupun ini adalah mimpi, Molly berharap agar tidak segera terbangun. "Aku memiliki kekuatan magis," bisiknya, "aku bisa menyihir pohon untuk tunduk padaku."
Seperti yang dilakukannya ketika mengejar Rolan kemarin.
"Ya, seperti yang kau lakukan padaku kemarin," kata Rolan, yang entah sejak kapan menyaksikan Molly dari jendela kamarnya.
Mata mereka bertumbuk dan hati Molly bertalu-talu karenanya, debarannya terlalu nyata hingga membuat perempuan muda itu sadar, kalau dia tidak sedang bermimpi sekarang.
"Kau memiliki bakat alami sebagai Pembisik Daun," imbuh Rolan tanpa memutus kontak matanya. "Tapi kau selalu menyangkalnya."[]