"Kau belum memberitahuku nama orang yang akan kita temui, Rolan."
Molly berlari kecil menyusul Rolan sedikit kesulitan untuk menyamakan langkah kakinya. Kaki Rolan yang panjang memungkinkannya untuk mengambil langkah luas, berbanding terbalik dengan kaki Molly yang pendek.
Rolan menjawab datar, "Namanya Adamus Hyams. Dia adalah orang yang memiliki pengetahuan lebih tentang sejarah. Tempat tinggalnya tidak jauh dari sini, kita akan tiba di sana sebelum sore hari."
Tanpa Molly sadari, Rolan melambatkan langkah kakinya, menjaga agar perempuan muda itu dapat mengikuti dan berjalan di sebelahnya.
"Bagaimana ceritanya kau sampai mengenalnya?" tanya Molly penasaran.
Kini keduanya melanjutkan perjalanan masuk ke dalam hutan, melintasi jalan setapak yang becek. Udaranya semakin lembap. Cahaya matahari siang masuk melalui celah dedaunan, dipantulkan oleh lumut dan rerumputan, menciptakan sinar emas dan hijau yang—kalau dipikir-pikir lagi, mirip mata Rolan saat berkilat penuh rasa geli.
"Seorang teman memberitahuku," jawab Rolan singkat, padat, dan membuat makin penasaran.
Molly mendengus, tak berencana merespon.
Entah benar atau tidak. Yang jelas, setelah kejadian di peternakan Virion, Molly menjadi mudah curiga terhadap perkataan Rolan. Dia tidak bisa semerta-merta memercayai laki-laki ini. Perasaan siaga terus meremang dalam hatinya, takut kalau-kalau Rolan menipunya dengan kemampuan itu.
Dia membuat catatan dalam hati untuk tak percaya pada Rolan sampai mereka bertemu seseorang bernama Adamus Hyams ini.
"Kapan kau akan menjelaskan tentang Keajaiban Bilena?" tanya Molly memecah keheningan, membuat Moko menoleh.
"Ada orang yang lebih ahli yang akan menjelaskan nanti," jawab Rolan singkat. Kini dia terasa lebih jauh, padahal raganya berjalan beriringan dengan Molly.
"Termasuk tentang essentia?"
"Aku pikir kau sudah membaca buku tentang essentia. Apakah penjelasanku tentang Pembisik Daun masih belum cukup?" Rolan melirik tajam. Jika dilihat dari dekat begini, lelaki itu terlihat luar biasa tampan, teramat menggoda dan menawan hingga terasa dosa bagi Molly untuk memutus kontak mata. "Kau juga tidak kesulitan saat berbicara dengan para pohon itu, kan."
Perjalanan mereka terhenti oleh pohon tumbang. Rolan mengusap batang pohon itu perlahan, seolah membaca sesuatu hingga membuat keningnya berkerut.
"Ada apa?" Molly bertanya.
Tangan Rolan menelusuri batang pohon itu, tepatnya pada bagian rongga yang tampaknya sempat terbakar oleh api.
"Rolan?" Molly melangkah mendekat.
Rolan mengusap dagunya. "Seseorang secara tak sengaja menumbangkan pohon ini semalam."
"Bagaimana kau tahu?" Molly menaikkan satu alis.
"Kau tak tahu? Bukannya kau adalah Pembisik Daun? Apa kau tak merasakan apa pun? Seperti kehidupan dalam pohon ini?"
Molly mengamati batang pohon itu. Harus diakui, ia merasa kosong dan hampa dalam batang pohon itu. "Aku tak merasakan sesuatu pada pohon ini. Kosong seolah tak ada kehidupan di dalamnya."
Si penyair menganggukkan kepala pelan, mengerti.
"Apakah sangat membahayakan?"
"Tentu sangat membahayakan." Rolan menjawab santai, matanya menyapu pohon besar di hadapannya. "Kalau kau ada di bawah pohon ini ketika tumbang, tentunya."
Molly memutar matanya jengkel.
Kemudian, Rolan memanjatnya tanpa banyak berkata. Diikuti oleh Molly, dengan susah payah menaiki batang pohon itu serta melompat ke tanah dengan mulus.
"Apakah kau tahu apa yang aku dan para pohon bicarakan?" tanya Molly mengubah topik pembicaraan, menilai dari cara Rolan mengusap batang pohon dan keningnya yang sempat berkerut.
Rolan menggeleng. "Tak ada yang bisa mengerti bahasa pohon selain para Pembisik Daun." Kali ini dia menoleh, masih dalam senyuman lancang dan sinis, dia mengatakan, "Memangnya apa yang kalian bicarakan?" tanyanya, "kalian membicarakan aku?"
Rambut emasnya terlihat bergoyang saat Molly menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak ada yang spesial." Kemudian jeda. "Kau benar, aku membaca buku tentang essentia kemarin malam. Aku juga membaca kalau jumlah para Pembisik Daun hanya satu persen di Kerajaan Musim Semi Tapi, aku juga melihat tentang para Manipulator."
Rolan tidak menanggapi, mata seindah zamrud itu menatap lurus ke depan. Sikapnya yang tak banyak bicara ini membuat Molly menebak-nebak, apakah Rolan memang benar-benar tak peduli dengan cara Molly melakukan pendekatan sebagai teman seperjalanan.
"Essentia-mu..." Ada jeda yang sengaja diciptakan ketika Molly menelan ludahnya. Perasaan ragu merayap di bagian tengkuk, membuatnya tidak nyaman. Namun, bibir Molly membelot, tak mengikuti perintah otaknya dan malah melanjutkan, "Adalah rasa dan ilusi, kan?"
"Rasa dan ilusi?" Rolan hanya tersenyum tipis, namun pandangannya masih lurus ke depan. Cara pengucapannya teramat santai, seolah semua kata-kata barusan adalah angin lalu yang tidak perlu dipikirkan. Dan sesuai yang ditebak oleh Molly, Rolan mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan, Mawar Merah. Apakah itu penting?"
Molly menggeleng cepat, ekspresi sinis melintas pada wajah cantiknya. Pernyataan Rolan jelas gagal menjawab rasa penasaran Molly. Tetap saja akhirnya tak ada jawaban pasti, dan berujung pada misteri.
"Aku hanya berpikir semua penyair memiliki kemampuan itu. Soalnya, mereka pandai membuat orang-orang percaya dan jatuh hati dengan sihir kata-kata mereka—" Molly memotong ucapannya sendiri, mengutuk dirinya. Mendadak rasa bersalah merangkak cepat saat menyadari tengah menginvasi ranah pribadi Rolan. "Lupakan. Yang penting kau mengantarku ke Adamus Hyams."
Seharusnya menanyakan tentang essentia seseorang adalah hal yang wajar sebagai sesama essentor yang tengah melakukan perjalanan bersama. Harusnya topik barusan bukanlah hal yang tabu, namun Rolan memilih bungkam dan tak peduli—membangun dinding pemisah. Seakan tak ingin dikenal dekat oleh Molly.
Tempat yang mereka tuju bukanlah rumah, melainkan lebih mirip sebuah menara. Sebuah tempat yang bersembunyi dibalik bayang-bayang dedaunan lebat hutan. Berdiri megah di tengah Hutan Dar yang sunyi, seolah menyatu dengan pepohonan raksasa yang melingkupinya. Batu-batu tua yang menyusun dindingnya telah diselimuti lumut dan dililit tanaman merambat. Sementara akar-akar besar tampak bagaikan tangan-tangan yang memeluk mesra menara itu.
Molly menengadah, mendapati puncak menara yang runcing, hampir menyentuh puncak pohon tertinggi, seolah sengaja dibangun agar pemiliknya dapat berbicara dengan bintang-bintang. Awalnya dia mengira apakah ada orang yang tinggal di tempat suram dan lembap begini, namun jendela-jendela kecil itu menyala terang, memberitahu Molly bahwa di dalamnya terdapat kehidupan.
Molly menjinjing roknya ketika melangkah mendekat ke pintu. Jalanan becek terasa licin di bawah kakinya. Menilai dari dedaunan yang ada di atas sana, ia tahu jalanan ini tidak akan kering dalam beberapa hari ke depan. Lantaran cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya pepohonan, meninggalkan tanah dalam bayang-bayang lembap tak terjamah oleh cahaya.
Rolan mengetuk pintu depan pelan. Namun tak ada jawaban. Dan ketika dia mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya, mereka mendengar bunyi gaduh yang berasal dari dalam menara. Molly mengernyit keheranan, sedangkan Rolan hanya mendengkus berat. Suara langkah cepat terdengar hingga ke bagian luar, sampai akhirnya pintu dibuka kasar dan penuh semangat.
"Ayah, kau kembali!" seru si pemilik rumah dengan nada penuh keceriaan sekaligus kelegaan. Setidaknya itu yang terjadi sebelum akhirnya senyumannya pudar saat mendapati Rolan dan Molly.
Si tuan rumah merupakan seorang laki-laki muda, mungkin seumuran dengan Molly. Rambut gelapnya yang panjang dikelabang sebagian. Kulitnya kecokelatan eksotik. Penampilannya mirip dengan orang-orang terpelajar dan berwibawa, rapi dan praktis.
Ada keheningan di antara mereka bertiga tepat ketika si tuan rumah menyadari kalau Rolan dan Molly adalah tamunya. Dia menegakkan tubuhnya, mengernyit kebingungan. Tampaknya bukan mereka yang diharapkan si tuan rumah.
"Siapa—" Suaranya tercekat ketika melihat ke wajah Rolan, kemudian gantian mengamati Molly. Seolah menggabungkan puzzle, dia berpikir. Detik berikutnya dia membuka mulut lebar-lebar dan berseru, "Kau yang menculik Ayahku!"[]