Lonceng pada menara jam di tengah desa berdentang, menandakan hari telah berganti subuh. Molly menyelipkan kertas yang telah dilipat menjadi empat bagian melalui sela bawah pintu kamar Pandia, sebelum akhirnya mengendap-endap pergi melalui pintu depan rumah. Perlahan, Molly menutup pintu rumah, berharap agar tak ada anggota rumah yang terbangun.
Begitu pintu tertutup dengan bunyi klik, perempuan muda itu memutar badan perlahan. Ia terkejut, mendapati Rolan telah duduk di pagar jembatan, memberi makan monyet yang duduk manis di bahunya—monyet capuchin putih yang Molly yakini bernama Moko.
"Kejutan," kata Rolan datar. Meskipun sebenarnya dia sempat menyeringai geli mendapati Molly memutar matanya jengkel. "Jadi pergi sekarang?"
Molly mendengus, "Tunggu apa lagi?"
Rolan hanya tertawa kecil, kemudian memutar tubuh, memulai perjalanan mereka. Sementara Molly memilih berjalan di belakang, membuntutinya. Keduanya melintasi jalan setapak melintasi taman timur desa, menyeberangi jembatan utama, berbelok ke kiri menuju ke gerbang bagian selatan desa.
Suasana desa terpantau sepi. Matahari belum juga terbit dari ufuk timur. Beberapa orang menyapu halaman depan rumah, sementara para pedagang bersiap-siap menuju pusat pasar untuk menjual hasil bumi mereka.
"Coba kau cek ini," ujar Rolan seraya mengulurkan tangan, memberikan sebuah gulungan kertas perkamen tua.
"Apa ini?"
"Undangan." Rolan menyahut santai dengan nada sinis kental akan sarkasme, semakin mengikis kesan tampan dan baik hatinya.
Molly mengerang jengkel dengan gaya sarkastik Rolan.
Gulungan itu merupakan peta Pulau Nevevale yang digambar di atas perkamen. Jari-jari Molly menelusuri permukaan kertas mengikuti coretan pada kertas itu. Dulu, mendiang ayahnya pernah mengajarkannya cara membaca sebuah peta. Molly tak menyangka akan menggunakan pengetahuan itu sekarang, setelah satu dekade berlalu.
Harusnya membaca peta adalah perkara mudah bagi Molly. Namun, alisnya bertautan saat memeriksa apa yang disebut peta itu. Benda ini sepertinya dibuat asal-asalan. Selain tulisan tangan yang tak rapi dan tak rajin, gambar yang dihasilkan mirip coretan anak kecil yang baru menginjak balita. Peta ini sangat kacau dan tidak fungsional. Ada beberapa tetesan air—entah air apa itu—yang mengaburkan beberapa gambar garis. Kemudian, simbol-simbol aneh yang tak memiliki arti khusus juga ditambahkan dalam setiap sudut garisnya. Benda ini gagal menjadi panduan.
"Kenapa peta ini, um, tidak biasa, ya?" Molly bergumam memiringkan kertas itu, masih bersikeras membacanya. "Sangat..." Jeda. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Beda—unik?"
Rolan berdecak, ia menjawab tanpa menolehkan kepalanya, "Apakah kau meragukan kemampuan kartografi yang aku miliki? Aku membuatnya semalam suntuk. Peta itu dibuat dengan sangat ahli."
Molly mengangkat kedua bahunya. "Oke, lalu apakah garis berlekuk-lekuk aneh di bawah desa kita mewakili sesuatu yang spesifik?"
Lelaki berambut merah itu menoleh sekilas, mengamati dengan mata tajamnya, lalu kembali menatap depan seraya membalas, "Itu adalah hutan."
Setahu Molly, hutan memiliki simbol khusus, yaitu gambar pohon, bukannya garis berliku-liku yang lebih mirip sungai dari pada hutan.
"Aku sangat menghargai usahamu, tapi peta ini ... agak sulit dibaca," kata Molly berusaha diplomatis, ia menggigit bibir bawahnya.
"Pernah berpikiran untuk memakai kacamata?" Rolan mendengus.
Molly menggeleng pelan. "Penglihatanku masih bagus kok."
"Kau tahu dari mana?"
"Karena seorang tabib pernah memeriksa mataku sewaktu aku remaja."
"Kalau begitu, mungkin kau perlu memeriksa ke tabib itu lagi. Siapa tahu penglihatanmu sekarang telah berkurang. Aku dengar, seiring bertambahnya usia manusia, kemampuan penglihatannya pun cenderung menurun."
Molly tertawa kecil, sedikit tersinggung. "Kau pikir permasalahan peta ini ada pada kemampuan penglihatanku? Bukannya dari gaya penggambarannya yang memang tidak jelas?"
"Aku bisa membacanya." Rolan menaikkan kedua bahu acuh tak acuh.
Tentu, peta itu hanya bisa dibaca oleh pembuatnya. Molly menggelengkan kepala, mengatupkan mulut rapat-rapat, tak ingin berdebat lebih lanjut.
Pada akhirnya, dalam perasaan terpaksa, Molly mencoba mengira-ngira apa maksud pada peta itu. Dia menggigit bibir, pikirannya berpacu saat membaca tulisan cakar ayam milik Rolan. Keberuntungan lagi-lagi berpihak padanya, Molly mendapati sebuah tanda lingkaran yang ditambah garis silang dengan tinta merah di bagian atasnya.
Ini pasti rumah kenalan Rolan. Ia mengangguk mengerti.
Untuk mencapai tempat tinggal kenalan Rolan, mereka harus melintasi hutan kecil di pinggiran desa. Dulu, mendiang ayahnya sering menyebut hutan itu sebagai Hutan Nevervale, hutan yang paling dekat dengan desa tempat mereka tinggal. Meskipun tampak seperti hutan biasa, tetap saja di sana terdapat satwa liar berkeliaran.
Menurut pendapat ayahnya, para prajurit sering melakukan patroli di dekat dinding desa, jadi seharusnya areanya cukup aman. Kemudian, mereka akan berjalan melintasi padang rumput dan ... Molly tertegun, ada simbol aneh lagi yang tak jauh dari simbol padang rumput itu.
"Virion," Molly bergumam membaca tulisan Rolan.
Menurut peta milik Rolan, mereka akan melewati tempat bernama Virion dan masuk ke dalam sebuah hutan besar yang disebut Hutan Dar.
Molly menelan ludahnya ketika membaca nama itu.
Hutan Dar adalah hutan terluas di pulau ini. Sebenarnya, seluruh bagian Pulau Nevervale merupakan hutan rimbun yang tak terjamah, sementara desa tempat tinggal Molly hanyalah sebagian kecil dari pulau, terletak tak jauh dari pesisir pantai. Neverian meyakini jika pulau ini hanya dihuni oleh penduduk desa Nevervale, sementara di luar desa hidup hewan-hewan liar yang ganas serta makhluk-makhluk aneh dan ajaib yang berkeliaran.
Rumor menyebutkan, beberapa prajurit pernah melihat raksasa, monster asing, dan makhluk aneh yang tak terdefinisi bentuknya. Untuk itulah, Neverian membangun dinding pembatas setinggi enam meter mengelilingi desa. Meski demikian, masih ada beberapa pemberani yang memilih tinggal di luar dinding.
Namun, semua itu adalah rumor yang masih diragukan kebenarannya. Semuanya terdengar seperti dongeng, sementara Molly bukanlah penikmat dongeng sejati. Baginya, lebih baik memilih percaya pada cerita-cerita tentang satwa liar dan ganas—semut api contohnya.
Masalah utama mereka kini adalah mencari cara agar dapat melewati penjagaan ketat di gerbang perbatasan. Molly terdiam sejenak, membayangkan bagaimana Agatha. Meski sempat bertanya-tanya, ia kemudian mengingat status kakaknya sebagai prajurit. Sudah pasti Agatha memiliki lisensi militer. Lalu bagaimana dengan dirinya dan Rolan yang tak memiliki lisensi?
Dia mengulum bibirnya tanda gugup.
"Kira-kira apa yang ada di balik dinding, ya?" gumam Molly sambil melirik Rolan, berharap dapat mencairkan ketegangan di dalam dadanya.
Tanpa membalikkan badan, Rolan menjawab, "Peri hutan, hewan jadi-jadian, dryad ... apa lagi?" Dia menoleh ke arah Moko, yang hanya menjawab dengan cekikikan.
"Benar sekali, perkataanmu tidak membantu menjawab rasa penasaranku," Molly mengeluh. "Kenapa malah terdengar seperti dongeng?"
"Kenapa bukan terdengar seperti dongeng?" tanya Rolan, mengangkat alisnya, menguji kesabaran Molly. Lelaki berambut merah itu tampaknya memiliki hobi membuat kalimat-kalimat ambigu.
"Kau kan tidak percaya pada dongeng," balas Molly menebak-nebak berdasarkan sikap skeptis Rolan terhadap artefak ajaib yang dicari oleh Agatha. "Kau bilang sendiri kalau kau tidak percaya Keajaiban Bilena. Padahal artefak itu adalah benda bersejarah."
"Aku tidak percaya Keajaiban Bilena, terlepas dongeng atau bukan," jawab Rolan dengan nada sinis. Ia melambatkan langkah kakinya, memungkinkannya berjalan beriringan dengan Molly. Kali ini dia menoleh, memandang wajah lawan bicaranya. "Memangnya kau percaya dongeng?"
"Bukannya tidak percaya." Molly masih menjawab dengan tenang. "Aku hanya lebih berhati-hati terhadap hal-hal yang tidak terduga."
"Kau kedengarannya memiliki banyak rencana, padahal kau tidak punya pengetahuan tentang dunia luar," cibir Rolan. "Aku turut berduka, karena kau telah gagal membuatku terkesan."
Molly tertawa mengejek, mencoba agar tidak terpengaruh atas perkataan Rolan. "Apakah aku kelihatan peduli?"
"Kau harus peduli, sebab aku satu-satunya orang yang dapat kau percaya." Rolan melipat tangannya di dada. "Bersyukurlah kau—"
"Ah, syukurlah aku dibantu oleh orang baik yang gemar mengomel," sela Molly dengan meniru nada sinis dan gaya bicara sarkastik ala Rolan.
Sudut bibir Rolan berkedut, hendak membalas dengan kata-kata yang lebih pedas lagi. Namun, ia mengurungkan niat dan memilih untuk membuang muka.
Kini mereka berjalan memasuki gang yang tak jauh dari area pasar, menapaki jalanan dari batu, sampai akhirnya tiba di sebuah rumah besar. Di luar pagar rumah itu terdapat sebuah kereta barang yang ditarik oleh satu ekor kuda. Seorang pria tua berperawakan tinggi telah duduk di kursi kusir, seolah siap untuk meninggalkan rumah. Namun, pria itu dibuat kebingungan saat melihat Molly dan Rolan menghampirinya.
"Virion, lama tidak berjumpa!" sapa Rolan dramatis seraya mengangkat kedua tangannya ke atas. Lalu, mengulurkan tangannya untuk menjabat pria tua itu.
"Siapa kalian?" tanya si pria tua kebingungan.
Molly melirik Rolan skeptis. "Kau mengenal orang ini?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Molly, lelaki bermata zamrud itu melepas tudung jubahnya dan tersenyum riang. "Dengarkan aku, Virion." Ucapannya membuat Virion menegakkan tubuh cepat, mengejutkan Molly. "Aku Rolan, seorang kawan lama. Semalam aku meminta bantuanmu untuk mengantarku ke peternakanmu di luar desa."
Awalnya pria tua itu masih menatap kebingungan, tapi detik berikutnya, dia tersenyum dan menyambut jabatan tangan Rolan. "Oh, kawanku! Ya, ya! Silakan naik ke bagian belakang."
Merasakan tatapan heran dari Molly, Rolan hanya membalas dengan senyuman secerah matahari di musim semi. Dia hampir tersipu. Kemudian, mereka menaiki bak bagian belakang secara bergantian, lantas, kereta melaju menuju ke gerbang selatan.
Kegelisahan Molly bertambah kuat begitu kereta Virion berhenti di dekat dinding. Dadanya berdebar-debar hebat saat para prajurit menoleh lalu berjalan mendekat.
Ini yang menjadi puncak kecemasan Molly. Dia tidak memiliki lisensi. Keluar dari dinding desa tanpa lisensi bukanlah perkara sepele—itu adalah kejahatan. Mendiang ayahnya dulu pernah berkata, kalau kehidupan di luar dinding tidak untuk manusia lemah. Sebab itulah diperlukan tanda pengenal dari militer agar dapat tinggal di luar dinding. Sementara Molly hanyalah perempuan biasa, seorang pekerja lepas di pasar, bukannya anggota prajurit militer seperti Agatha, pun bukan keturunan bangsawan.
Jika para penjaga curiga—skenario terburuk: mengecek isi tas mereka—rencananya untuk menjemput Agatha akan gagal total.
Saat salah satu penjaga mendekati kereta mereka, dan tentunya meminta lisensi. Tak perlu ditanyakan lagi, Virion sudah pasti memilikinya. Tangannya yang berotot merogoh tasnya, lalu mengeluarkan sebuah plat kecil berbentuk persegi dengan ukiran keemasan. Melihatnya, Molly semakin sulit bernapas, dan tangannya berkeringat dingin.
"Dengar, Mawar Merah," bisik Rolan seraya melingkarkan satu lengannya ke pinggang Molly, menariknya lebih dekat, membuat perempuan itu menarik napas tajam. Rolan mendekatkan bibirnya yang lembut ke daun telinga Molly dan kembali berbisik, "Ingat, kau adalah putri Virion yang sedang sakit."
Gaya bicara Rolan seolah sengaja disampaikan pelan, tiap suku katanya mengandung perintah mutlak yang mengalir ke pembuluh darahnya. Napasnya yang hangat berhembus membelai pipi Molly, mengalihkan perhatiannya, dan membuat dada perempuan muda itu semakin berdenyut hebat. Terlalu cepat dan tak wajar—mungkin Rolan dapat mendengar suaranya.
Pandangan si penjaga jatuh kepada Molly dan Rolan pada bak belakang. Aneh, rasa gugupnya tiba-tiba menghilang dalam sekejap. Virion, yang duduk di depan, ikut menoleh ke belakang yang seharusnya menambah ketegangan dan kecemasan, namun hebatnya, Molly tak terpengaruh. Napasnya berhembus pelan, keringat dingin pada telapak tangannya menghilang, dan ia merasakan ketenangan. Bagaimana bisa?
"Namanya Molly-rose, putri kecil Virion," Rolan memulai aksinya dengan mulus, membuat mata Molly membelalak lebar. "Dia sakit setelah berkeliaran di hutan desa. Kalian tahu semut api? Dia terkena racunnya dan sempat dirawat di desa ini. Dia memang terlihat lemah, tapi ibunya sangat merindukannya di rumah."
Kemudian, seolah tubuhnya mengerti apa yang terjadi, Molly lalu masuk ke perannya. Dia menyandarkan tubuh ke dada Rolan dan mulai berakting, terbatuk-batuk pelan dan berpura-pura lemas.
Sementara Moko, mengamatinya dengan menyipitkan mata, menghakimi akting Molly.
"Iya, kan, Virion?" Rolan mengonfirmasi, nadanya terdengar rendah dan tajam
Seakan mengikuti permainan Rolan, Virion menganggukkan kepalanya tegas. "Iya, betul. Kasihan dia terkena racun. Kami harus segera kembali. Istriku sangat merindukannya."
Keberuntungan berada di pihak mereka ketika si penjaga mengangguk singkat, memercayai akting mereka bertiga. Penjaga itu berseru, meminta agar gebang segera dibuka untuk Virion dan dua orang yang disebut anak-anaknya. Seketika itu, para prajurit berbondong-bondong menarik tuas, membuka pintu gerbang dengan suara derit keras serta menimbulkan gemuruh di dalam tanah. Dengusan kuda terdengar begitu Virion memerintahkan kudanya untuk melaju meninggalkan desa.
Ketika posisi mereka cukup aman, Molly mendorong dirinya menjauh dari tubuh Rolan. Dia mendengus jijik sambil membersihkan jubahnya seolah Rolan membawa kotoran dan kutukan. Si lelaki bermata zamrud hanya menanggapi acuh tak acuh seraya mengeluarkan sebuah pisang dari dalam tas, untuk dinikmati bersama Moko.
"Bagaimana bisa?" Molly bertanya.
Kepalanya dipenuhi kejadian yang tiba-tiba saja terjadi barusan. Sepersekian menit yang lalu, dia merasa seperti bukan dirinya sendiri. Suasana hatinya berubah cepat bagai membalikkan telapak tangan. Dan Molly barusan spontan mengikuti akting Rolan.
"Anggap saja kita memiliki kecocokan yang luar biasa bagus," jawab Rolan penuh gaya dan lancang, setelah mengunyah pisangnya. Dia menyeringai menyaksikan kebingungan yang terlukis di wajah Molly.
Molly mendesis jijik sekaligus tak sudi memiliki kecocokan. Ia lantas membuang mukanya seraya menyilangkan kaki, muak akan seringaian Rolan.
Tepat saat Molly mengalihkan pandangan, matanya mendadak terbuka lebar-lebar. Ini adalah kali pertamanya dia menyaksikan pemandangan di luar dinding desa. Benar apa yang dikatakan oleh mendiang ayahnya, bagian luar dinding identik akan hutan yang tumbuh mengelilingi desa. Sangat indah, sejuk, namun juga mendebarkan.
Tiba-tiba angin berhembus meniup tudung jubah Molly, memungkinkannya melihat hutan dengan lebih jelas. Uniknya, hembusan angin yang satu ini menggelitik kedua pipinya, seolah hidup dan memiliki perasaan. Molly tertegun, mendapati seluruh warna daun dan bunga liar di hutan menyala dalam warna-warna cerah yang berkilauan di bawah sinar matahari.
Senyuman Molly semakin lebar ketika mendengar bunyi gesekan dedaunan pohon—yang seirama—menimbulkan bunyi-bunyian khas yang tak pernah didengar olehnya, seolah tengah menyambut kehadirannya.
"Aneh sekali," gumam Virion tiba-tiba. Ia menoleh kebingungan, keningnya berkerut. "Tidak biasanya suasana di hutan menjadi seceria ini. Seperti sedang merayakan sesuatu saja."
Tak lama kemudian, kereta mereka berhasil keluar dari hutan. Molly membalikkan badan, mengamati pohon-pohon dengan mata yang berbinar penuh kekaguman. Pohon-pohon berayun pelan, daun-daunnya bergesekan lembut, sementara rerumputan turut bergoyang, menciptakan melodi indah dan merdu, dipadu warna-warna cerah yang berkilauan, seolah semuanya mengucapkan selamat tinggal.
"Apakah kau melihat apa yang aku lihat?" Molly menoleh kepada Rolan, menunjukkan kilatan kekaguman dan keceriaan dalam matanya.
Lelaki bermata hijau itu memasang wajah datar, menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak tertarik dengan apa yang dilihat oleh Molly. Kemudian mendengus seraya menyandarkan tubuh. "Tidak."
Gaya Rolan yang acuh tak acuh dan lancang menyulut rasa jengkel dalam hati Molly.
Molly memutar matanya dan menyahut singkat, "Oh."
Kini mereka telah berada di tengah-tengah padang rumput. Mereka disambut oleh rerumputan hijau segar dan berembun, bunga daisy liar yang berwarna-warni berayun seakan menyapa.
Dari kejauhan terlihat sungai yang mengalir segar dengan suara percikan air yang menenangkan hati. Langit pagi terpantau biru pucat, awan-awan tebal berwarna biru muda keemasan. Perpaduan warna biru, emas, dan hijau yang tidak hanya indah, namun juga menyegarkan. Ketika Molly menarik napas dalam-dalam, ia dapat menilai bahwa udara di tempat ini bersih dan menyegarkan.
"Luar biasa," Molly bergumam, senyumannya tak menghilang sedetik pun.
Moko melompat turun dari bahu Rolan, lalu berdiri di dekat Molly. Si monyet berteriak dan menunjuk ke bagian sungai. Molly menyipitkan matanya, mendapati kuda-kuda liar yang berlarian penuh keceriaan. Keduanya terpukau bersama-sama. Sementara Rolan, hanya tersenyum miring mengamati keduanya.
"Kalian terlihat seperti saudara kembar," komentar Rolan mengejek, sukses membuat senyuman Moko dan Molly hilang dalam hitungan detik.
"Berisik," tegur Molly.
Rolan terkekeh seraya membenarkan posisi duduknya. Ia memandangi Molly dalam diam, menyaksikan rambut emas itu berkibar diterpa oleh angin pagi. Sayangnya, hal itu membuat Molly tak nyaman.
"Berhenti memandangku dengan mata itu, Rolan. Kau mirip orang mesum dibanding seorang penyelamat," gerutu Molly, melemparkan tatapan tajam.
Rolan memutar matanya kesal. Ia mendengkus dan mengatakan, "Daripada kau menggerutu begitu, bagaimana kalau kau menceritakan alasanmu menjemput Agatha pulang?"[]