Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan.
...Read More >>"> SECRET IN SILENCE (Bab 10) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU 0
About Us  

Mereka beradu pandang dalam keheningan. Molly mengalihkan pandangannya, menyapu seluruh bagian hutan di sekitar. Tak ada yang berbeda, kecuali pohon yang mengikat si lelaki juga monyetnya.

Pikiran Molly berputar, berusaha mengurai kejadian yang baru saja berlangsung tak lebih dari lima menit lalu. Ia mengingat dengan jelas bagaimana pohon-pohon di sekitarnya merespons perintahnya, melengkung, berayun, dan menyerang serta menjerat lelaki itu dalam cengkeraman akar-akar mereka.

Permohonannya, yang ia pikir hanyalah ledakan putus asa, ternyata ditanggapi sebagai perintah mutlak oleh makhluk-makhluk diam ini. Dan, demi para leluhur yang baik hati, Molly baru saja menyadarinya sekarang!

Dalam benaknya yang sebesar biji sawi, Molly meyakini, dirinya dapat mendengar suara tanaman dan pohon. Namun, Molly terlalu takut untuk mengakuinya, takut apabila nanti dicap sinting seperti Pandia, dan takut mendapatkan bentakan dari Powell dan Joyce seperti Agatha. Jadi, dia sering menyangkal dan mengabaikannya, menganggap dirinya tengah berhalusinasi. Lalu, yang baru saja terjadi ... apakah itu mimpi?

Pelan-pelan, Molly melirik si penyair.

Lelaki berambut merah itu mengangkat dagunya angkuh, mata seindah batu zamrudnya menatap dingin. Dia mendengus saat pandangan mata mereka bertumbuk.

"Hei." Dia memulai pembicaraan, memecah keheningan. "Asal kau tahu, menggunakan kekuatan essentia tanpa lisensi adalah bentuk kejahatan."

Pandangan mata Molly yang semula diliputi kebingungan berubah menjadi tajam dan penuh kebencian. Meski begitu, dia tetap berhasil mendapatkan ketenangannya.

Lantas menyahut, "Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan." Atau setidaknya itu yang Molly percaya, mengundang keheranan dan kerutan di dahi si lelaki. "Sangat lucu kau menuduhku melakukan tindakan kejahatan sementara kau sendiri juga melakukannya."

Molly berdiri dan merapikan roknya.

"Apa yang kau lakukan tadi adalah kekuatan essentia, Nona, kemampuan luar biasa yang berasal dari jiwamu. Kau adalah salah satu essentor yang berbakat," ujar si penyair datar. "Dan mereka yang menggunakan energi essentia tanpa memiliki lisensi bisa terjerat hukuman minimal dua tahun kurungan penjara di Tanah Utama dan denda tujuh ratus keping emas."

Molly melangkah mendekat, lalu merogoh pinggang penyair itu untuk mengambil kantong uang miliknya. Molly menggoyangkan kantong uangnya di muka lelaki berambut merah itu.

"Menurutmu, apakah perbuatan mencuri kantong uang milik orang lain bukan termasuk tindakan kejahatan juga? Entah mana yang benar, aku rasa kita berdua akan mendekam di penjara bersama-sama."

Sudut bibir si penyair berkedut, menunjukkan seringaian geli. Dia menganggukkan kepala pelan dan tertawa kecil sebagai bentuk apresiasi atas ucapan Molly yang lancang dan menghibur. Matanya tertuju pada Molly yang tengah menghitung koin miliknya.

"Kau memakai uangku? Banyak sekali! Apakah kau mentraktir kawan-kawanmu di kedai semalam dengan uangku?" Molly menyipitkan mata, menuduh. "Kau berutang padaku, mencuri uangku—"

"Jangan salah paham, Nona," si penyair menyela. "Aku hanya meminjam. Termasuk uang-uang milik si pria tua tadi, aku meminjamnya untuk bertahan hidup."

"Para penyair memang pandai berbicara, aku tidak akan terbuai dengan perkataanmu." Rambut Molly berayun saat menunjuk muka si lelaki, membuat sepasang mata zamrud itu berkedut. "Aku akan memanggil prajurit datang ke sini agar mereka bisa segera menyeretmu ke penjara."

Setelah mengucapkan hal itu, Molly membalikkan badan, berencana pergi.

Tubuh si penyair menegang, matanya membulat dan dadanya berdebar. Ia meronta dan berseru, "Hei! Hei!"

Sementara Molly terus berjalan, tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti maupun membalikkan badan. Dia terus memanggil-manggil Molly, sampai-sampai kepanikan berhasil mengaburkan penilaian dan melukai ketenangannya, si lelaki itu kembali menyerukan, "Berhenti, kau perempuan rambut karatan!"

Molly hampir tersandung jatuh saat mendengarkan olokan dari si lelaki. Dia membalikkan badan cepat, matanya melotot. "Siapa yang kau panggil rambut karatan? Rambutku berwarna emas, bukan karatan!"

Si lelaki bermata hijau itu tertawa. "Pft, warna-warna yang begitu lebih mirip besi yang karatan atau emas kotor." Dia berpura-pura jijik. Namun Molly mengabaikannya, memilih untuk menjaga kewarasannya dengan cara menjauh. "Hei, Mawar Merah!"

Molly menghentikan langkah kakinya dan memutar badan penuh presisi. "Berhenti mengganti namaku, aku punya nama sendiri!"

Lelaki itu mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. Dia tampan, sungguh tampan jika saja wajah itu tidak dilapisi rasa congkak. "Kau tidak menyebutkan namamu padaku."

"Kau juga tidak bertanya namaku," sergah Molly berjalan mendekat lalu melipat tangannya di dada.

Lelaki itu menggeliat, begitu pun monyet kecilnya. "Bagaimana kalau kau lepaskan aku dulu, baru kita bicara?"

Suaranya lembut dan penuh sopan santun untuk orang yang memohon untuk diampuni.

Si penyair masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam, hanya dibalut jubah panjang berwarna hijau tua yang penuh debu. Molly sempat mengira dia adalah sosok yang kaya raya—mungkin seorang bangsawan, atau setidaknya dari kalangan terpelajar—terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah seorang penyair. Namun, bayangannya tentang lelaki itu kini hancur tak bersisa, terkoyak oleh penampilannya yang lusuh dan sikapnya yang jauh dari standar sopan santun.

Tunggu, laki-laki ini kan mengenal seseorang yang tahu keberadaan Keajaiban Bilena.

Sudut bibirnya berkedut dan Molly menganggukkan kepalanya, mulai memikirkan sebuah rencana. "Kalau kau bersedia mengantarku ke tempat kenalanmu yang kau sebutkan semalam, mungkin aku akan melepaskanmu."

Molly berdiri manis memanfaatkan bola matanya yang besar agar terlihat tak berdosa.

"Tidak akan." Si lelaki mendengus. "Tempat tinggal kenalanku ada di luar desa, yang berarti kau membutuhkan banyak perbekalan, keahlian khusus, serta kawan dekat yang dapat dipercaya untuk bisa melintasi hutan lebat di pulau ini. Dan sekilas info: hutannya sangat berbahaya." Lelaki itu menjelaskan.

Seringaian Molly menghilang dalam sekejap. Perkataan lelaki itu lebih terdengar seperti cicitan dibanding penjelasan, kalau saja dia tidak memasang wajah lancang dan sinis begitu. Tak hanya menolak tawarannya, namun si lelaki juga tidak merasa bersalah setelah mencuri kantong uang Molly.

"Lagipula saudarimu sudah pergi dari rumah selama berhari-hari, bukan?" Si penyair berkata. "Kalaupun kau ingin mengejarnya, sudah pasti tidak terkejar. Skenario terburuk, dia mungkin ditangkap oleh para bandit dan dijual ke Tanah Utama, atau mungkin ditangkap oleh harimau hutan dan menjadi camilan di siang bolong."

"Baiklah," dengkus Molly. Dia membalikkan badannya kembali, berencana untuk pergi. "Aku akan melepaskanmu setelah para prajurit datang kemari. Sampai aku kembali, jaga dirimu dari semut api. Aku dengar, banyak yang mati gara-gara gigitan beracunnya."

Molly tidak sedang membual. Nevervale bukan sekadar desa kecil, tempat itu lebih pantas disebut kota kecil dengan jumlah penduduk yang besar, terletak di pinggiran hutan lebat di sebuah pulau terpencil di sebelah selatan Tanah Utama.

Berbicara mengenai hutan di sekitar desa, yah, hutan tersebut bukanlah hutan biasa—banyak hewan ajaib, aneh, dan berbahaya ditemukan berkeliaran di sekitar. Molly masih ingat, saat itu dia masih terlalu muda untuk menyadari bahwa dirinya telah digigit oleh semut api. Racunnya menyebar cepat, membuatnya terkena demam tinggi selama dua hari. Jika bukan karena pertolongan cepat dari mendiang ibunya, mungkin kondisinya akan lebih parah.

"Hei! Tunggu! Tunggu!" seru si lelaki ketakutan. "Lepaskan aku! Aku tidak mau sakit demam dan berhalusinasi di tempat ini!"

Mendengar teriakan keputusasaan itu, Molly menyeringai tipis, namun dia cepat-cepat menyembunyikannya.

"Kalau begitu bawa aku ke kenalanmu itu," sahut Molly dari kejauhan. "Aku akan melepaskanmu." Ia melangkah mendekat, suaranya rendah dan serius. "Aku juga akan melupakan utang-utangmu. Para prajurit juga tidak akan tahu kalau kau adalah pencopet. Ba-gai-ma-na?"

Lelaki bermata zamrud itu menggeleng geli. Disadari atau tidak, tawaran itu sebenarnya menguntungkan satu pihak saja. Prosesnya hanyalah mengantarkan, lalu dia terbebas dari tuduhan, dan perempuan itu akan bungkam tentang bisnisnya. Entah mungkin Molly yang bodoh atau bagaimana.

Si penyair kemudian mengatakan, "Baiklah. Aku akan mengantarmu ke kenalanku. Sekarang lepaskan aku sebelum aku digigit hewan-hewan kecil itu."

Hati Molly membengkak penuh rasa syukur, namun ia menjaga wajahnya tetap datar. "Senang kalau kita berhasil mencapai kesepakatan."

"Cepat!"

Molly mengingat-ingat bagaimana dirinya meminta bantuan para pohon untuk mengejar dan menjerat si penyair ini. Ia mengusap batang pohon mahoni itu dan berbisik, meyakini kalau pohon itu mendengarnya. Dalam kepalanya, Molly membayangkan pohon itu bergerak perlahan-lahan melepaskan tawanannya. Namun, ketika ia membuka mata, tidak terjadi apa-apa.

Alis Molly bertaut, matanya terangkat, bertemu dengan tatapan tajam mata hijau itu. Lelaki itu menyipitkan pandangannya, penuh curiga dan ketidaksabaran.

"Lepaskan. Aku," katanya, nadanya tegas dan kesal.

"A-aku sedang berusaha," jawab Molly gugup, mengusap batang pohon di hadapannya.

Panik menyergapnya. Molly yakin telah melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Mungkinkah kali ini bisikannya kurang tulus, hingga pohon itu tak mendengarnya? Molly memejamkan mata, mencoba lagi untuk berbisik.

Namun, tetap tidak ada reaksi.

"Hei, Mawar Merah." Si penyair lagi-lagi memanggilnya lancang. "Kalau kau lamban begini, mungkin aku akan menjadi bagian dari pohon ini sebelum kau berhasil melepaskanku."

Ucapannya mempertegas ketidaksabarannya meskipun ada sedikit nada sindiran.

"Berisik! Kau tidak memberikan aku waktu!" sembur Molly yang tersulut amarahnya. Tetap saja, kebingungan dan kepanikan terlukis jelas di wajahnya.

Mata hijau itu menyipit. "Ah, maaf sekali. Tentu kau membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan sesuatu yang bahkan tak bisa kau kuasai."

Percuma, usaha Molly yang ketiga kalinya juga tidak berhasil. Dia menggaruk kepala kebingungan sambil berjalan mundur. "A-aku rasa ... aku akan memanggil tukang kayu untuk melepaskanmu. Tunggu sebentar, ya."

"Kau tidak bercanda, kan?" Si lelaki membelalak. "Tadi kau bisa memerintah mereka untuk mengejar dan menangkapku, sekarang kau tidak bisa melepaskanku? Kau itu berbakat sebagai Pembisik Daun, harusnya melepaskan seseorang dari jeratanmu adalah perkara yang mudah!"

Molly membuka mulutnya, berniat untuk mendebat, namun tidak ada satu pun kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Kau punya kemampuan ajaib, Mawar Merah, dan kau tidak bisa melepaskanku," geram si lelaki sambil terus meronta frustrasi. "Luar biasa sekali hidupku ini!" Sindirnya masih dengan mata menyipit. "Apa susahnya mengulang apa yang kau lakukan?"

"Kau terlalu banyak bicara," balas Molly ketus, suaranya mulai tegang dan serak, tanda akan kehilangan kartu kesabaran. "Kalau aku bisa mengulang apa yang kulakukan, kau sudah tergeletak tidak berdaya dari tadi."

"Kalau begitu, cepat lepaskan aku." Si lelaki berambut merah itu menggeram jengkel.

"Aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi aku pasti akan melepaskanmu, makanya bersabarlah, aku akan mencari bantuan." Molly juga ikut menggeram jengkel.

"Jadi, kau akan meninggalkanku di sini sendirian?"

"Kan ada monyetmu di sampingmu." Molly menunjuk si monyet kecil yang juga terikat, yang terdiam menyaksikan keduanya beradu mulut. "Tunggu sebentar, tukang kayunya tidak jauh dari sini, kok. Aku tahu jalannya."

"Mungkin kau akan menemukanku menjadi tulang belulang begitu kau kembali!"

"Tidak akan!"

***

Sesuai janji, Molly membawa dua orang tukang kayu bersama peralatan lengkap. Selama proses evakuasi, si penyair dan Molly saling beradu pandang dalam diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Masing-masing memasang wajah datar dan acuh tak acuh, tidak ingin terlihat bodoh, serta masih menyipitkan mata penuh kebencian.

Tak berselang lama setelah dua tukang kayu itu pergi. Lelaki itu merapikan baju juga rambut ikalnya. Dia membuang sehelai daun dari rambutnya, lalu menghela napas panjang penuh kelegaan.

Sedangkan si monyet putih duduk di potongan dahan pohon, hewan primata itu mendengkus lesu. Sementara Molly masih bergeming, melipat tangan di dada dan memperhatikan dalam wajah datar khasnya.

"Jadi..." Suara Molly mengambang, namun berhasil memecah keheningan.

"Kau telah melepaskanku, akan sangat tidak sopan bagiku jika tidak berterima kasih." Si lelaki bermata hijau itu memutar bola matanya, lalu membungkukkan badan dengan penuh gaya. "Terima kasih, Mawar Merah. Namaku Rolan." Jeda. "Hanya Rolan."

"Namaku bukan Mawar Merah." Molly mendengkus. "Tapi, Molly."

"Molly-rose kalau begitu." Rolan menegakkan tubuhnya, lalu melakukan peregangan.

Mata Molly lagi-lagi memperhatikan Rolan, mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia menyadari jika tubuh Rolan terlihat lebih ramping dan jauh lebih tinggi dari yang disadarinya. Dari belakang, punggungnya lebar dan tegap, seolah merayu Molly agar menempelkan tubuhnya di sana.

Tidak, bukan begitu. Jangan begitu, Molly!

Sejak dulu, Molly memang jarang memperhatikan penampilan laki-laki mana pun. Dia adalah tipikal perempuan yang acuh tak acuh terhadap orang selain kakak dan adiknya.

Perut Molly semakin dibikin mulas saat Rolan membalikkan badannya dan menyeringai, seolah merendahkan lawan bicaranya. Dan kalau diperhatikan baik-baik, Rolan memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh laki-laki di Nevervale pada umumnya.

Dia.

Punya.

Lesung pipi.

Sialan.

Ah, musim semi memang identik dengan cuaca yang tidak menentu. Kadang cerah, kadang dingin, ada kalanya turun gerimis, dan terkadang panas terik seperti siang ini. Dan sepertinya, yang terakhir lebih cocok digunakan sebagai alasan bagi Molly. Sebab, dia merasakan rasa panas yang merambat dari dadanya naik hingga ke bagian leher, serta hendak menyebar ke pipinya.

Cukup, Molly! Kau bertingkah seperti seorang remaja! Dia adalah putri Edagon yang paling pandai mengatur reaksi emosi dibanding dua saudarinya yang lain. Alhasil, wajahnya tetap tenang alih-alih tersipu malu.

"Kau lagi-lagi memandangku dengan mata itu." Rolan berjalan mendekat, sedikit membungkukkan tubuhnya untuk mendekatkan diri. "Apakah kau menganggapku lebih tampan dibandingkan semalam?"

"Istilah tampan terlalu berat untuk didengarkan di siang yang panas," jawab Molly datar. "Tapi, jika kau tetap memaksaku untuk menjawab, aku lebih senang menilai seseorang dari kepribadiannya."

Demi para leluhur Nevervale! Molly lupa kalau Rolan adalah tipikal lelaki yang narsis.

Rolan memutar matanya, muak atas sikap Molly yang mengabaikan pesonanya.

Molly mengalihkan pandangannya, menghela napas berat, sambil memasukkan tangannya ke dalam saku rok. "Jadi, kita sudah membuat kesepakatan, kan? Kau akan membawaku ke kenalanmu yang ada di luar desa."

"Apakah aku punya pilihan lain?" Rolan mendengus sinis.

Lalu, entah bagaimana kelanjutannya, yang jelas, mata seindah batu zamrud itu turun ke pergelangan kaki Molly yang dibungkus rapi oleh sepatu bot hitam tua bertali. Sepatunya tinggi hingga menghilang di balik terusan polos tanpa bordiran. Itu adalah baju kesayangan Molly sejak masih remaja, dan anehnya masih cukup dipakai sampai hari ini.

Kedua alis Rolan naik bersamaan, sudut bibirnya yang mengernyit muak, namun mata hijaunya masih terus naik hingga ke bagian dada, berlama-lama di sana, dan ke rambut ikal emas yang dikuncir ekor kuda lengkap berhiasan jepit bunga mawar palsu sebagai hiasan.

Molly terpaksa menahan perasaan terhina dari raut wajah Rolan sekarang. Dia pernah mendengar jika para penyair memang memiliki selera tinggi. Bila dipikir-pikir lagi, menilai dari cara pakaian Rolan, yang mirip seperti penyair miskin, dibandingkan penyair yang ada di surat kabar, tak seharusnya dia yang merasa terhina. Sebab, paling tidak, baju Molly jauh lebih rapi.

Rolan memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dan bertanya, "Kau punya rencana?"

"Ya," jawab Molly sambil mengangguk, membuat anak rambutnya berayun. "Pergi menemui kenalanmu, menemukan Agatha, dan menyeretnya pulang."

Sangat singkat, padat, dan jelas.

"Kalau terjadi sesuatu selama perjalanan?"

Mulut Molly terbuka membentuk huruf O, namun suaranya tak kunjung keluar. Yang menandakan: Molly tidak memiliki rencana cadangan. Rolan mengangguk pelan, namun pandangan matanya terlihat sinis sekaligus bosan.

"Kita bisa menggunakan kemampuanmu sebagai Pembisik Daun." Rolan berkata, masih memandang Molly dengan tajam dan dingin. "Tak masalah jika tidak memiliki lisensi."

"Aku tidak memiliki kemampuan sihir—"

"Essentia," Rolan meralat, sedikit mendengus bosan.

"Baiklah, apa pun itu yang kau maksud." Molly menyipitkan matanya. "Aku tidak bisa melakukannya lagi dan tidak akan bersedia melakukannya lagi."

Rolan menaikkan kedua alisnya. "Kenapa begitu?"

"Karena sihir itu tidak ada," Molly menjawab tajam. "Itu hanyalah bentuk delusi serta halusinasi, dan aku bukanlah orang sinting yang percaya hal-hal di luar nalar begitu."

Mendengar pernyataan Molly, Rolan terkekeh geli. Dia mengusap dagunya. "Bukannya bangga menjadi seorang Pembisik Daun, kau malah menyangkalnya."

Pandangan Molly menajam, wajahnya menegang dalam hitungan detik. "Aku mengatakan yang sejujurnya."

"Yah, tidak apa-apa," balas Rolan santai. "Berhubung tak ada satu pun di desa ini yang berbakat menguasai essentia, jadi aku memahami apa maksudmu. Tapi, seriusan, Mawar Merah. Bisakah kau menjelaskan padaku secara logis kejadian sekitar satu jam yang lalu? Sewaktu kau berteriak memerintah para pohon untuk menjeratku, hm?"

Oke, yang satu itu adalah kelemahan Molly. Dia sendiri juga tak dapat menjelaskannya secara logis. Alhasil, Molly hanya terdiam, mengalihkan pandangannya, menghindari sorot mata seindah batu zamrud itu.

Rolan kemudian mengambil langkah mendekat, membuat Molly dalam kondisi siaga, bersiap untuk berjalan mundur—mengambil jarak.

"Rolan—"

"Lupakan pembicaraan kita barusan. Aku akan menjelaskannya saat di perjalanan nanti," sela Rolan tajam. "Sekarang, aku ingin mendengar rencana cadanganmu."

Lagi-lagi, Molly tak memberikan respon. Ia menggigit bibir bawahnya dan menundukkan kepala.

"Dengarkan aku," kata Rolan dengan suara tegas, rendah, dan dalam. Seketika itu, Molly mengangkat kepala, mendengarkan. "Aku akan membantumu, tapi kau harus mendengarkan perintahku selama di perjalanan. Kau harus tahu, saat bersamaku, aku memberlakukan empat aturan."

Molly mengunci pandangannya pada mata Rolan, menunggu penjelasan dari lelaki itu.

"Pertama, membuat rencana, seperti yang kau sebutkan," Rolan menjelaskan peraturannya, "kedua, mengeksekusi rencanamu. Ketiga, berharap semuanya berjalan lancar, dan jika tidak, buang rencana itu jauh-jauh. Artinya, kita perlu rencana cadangan kalau-kalau Agatha tidak ditemukan alias tewas." Nadanya mencemooh keyakinan Molly, semakin mengikis kesan tampannya. "Kalau kakakmu memang masih hidup, dia seharusnya kembali dalam waktu yang singkat, karena dia sadar kalau Keajaiban Bilena itu tidak ada."

"Tapi, kenalanmu tahu di mana posisi artefak itu."

"Percayalah, dia hanya suka membaca buku, dan karena kau masih bersikeras ... baiklah, aku akan mengantarmu. Tapi pahamilah, tidak ada yang bisa menjamin keselamatan kakakmu."

"Kau salah," sergah Molly cepat. 

Keyakinannya akan Agatha disampaikan dengan lembut namun tegas. Molly ingat bagaimana kakaknya selalu berlatih pedang dan memanah bersama mendiang ayahnya ketika mereka masih remaja. Agatha bukan perempuan biasa, semangat dan kekuatannya bagai api abadi yang tak pernah padam. Dan api itu juga bersemayam dalam dada Molly. 

"Agatha pasti masih hidup."[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mahar Seribu Nadhom
4659      1603     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
Secret Garden
260      220     0     
Romance
Bagi Rani, Bima yang kaya raya sangat sulit untuk digapai tangannya yang rapuh. Bagi Bima, Rani yang tegar dan terlahir dari keluarga sederhana sangat sulit untuk dia rengkuh. Tapi, apa jadinya kalau dua manusia berbeda kutub ini bertukar jiwa?
KSATRIA DAN PERI BIRU
146      123     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
Blue Island
105      92     1     
Fantasy
Sebuah pulau yang menyimpan banyak rahasia hanya diketahui oleh beberapa kalangan, termasuk ras langka yang bersembunyi sejak ratusan tahun yang lalu. Pulau itu disebut Blue Island, pulau yang sangat asri karena lautan dan tumbuhan yang hidup di sana. Rahasia pulau itu akan bisa diungkapkan oleh dua manusia Bumi yang sudah diramalkan sejak 200 tahun silam dengan cara mengumpulkan tujuh stoples...
Evolvera Life
9499      3261     28     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
603      423     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Holiday In Thailand
75      70     1     
Inspirational
Akhirnya kita telah sampai juga di negara tujuan setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia.Begitu landing di Bandara lalu kami menuju ke tempat ruang imigrasi untuk melakukan pengecekan dokumen kami pada petugas. Petugas Imigrasi Thailand pun bertanya,”Sawatdi khrap,Khoo duu nangsue Daan thaang nooi khrap?” “Khun chwy thwn khatham di him?” tanya penerjemah ke petugas Imigras...
My World
583      387     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Detective And Thief
3868      1194     5     
Mystery
Bercerita tentang seorang detektif muda yang harus menghadapi penjahat terhebat saat itu. Namun, sebuah kenyataan besar bahwa si penjahat adalah teman akrabnya sendiri harus dia hadapi. Apa yang akan dia pilih? Persahabatan atau Kebenaran?
The Red Eyes
21785      3089     4     
Fantasy
Nicholas Lincoln adalah anak yang lari dari kenyataan. Dia merasa dirinya cacat, dia gagal melindungi orang tuanya, dan dia takut mati. Suatu hari, ia ditugaskan oleh organisasinya, Konfederasi Mata Merah, untuk menyelidiki kasus sebuah perkumpulan misterius yang berkaitan dengan keterlibatan Jessica Raymond sebagai gadis yang harus disadarkan pola pikirnya oleh Nick. Nick dan Ferus Jones, sau...