Di hari berikutnya, Molly mengentakkan kakinya saat kembali ke tempatnya bekerja. Ini adalah jam makan siang, perutnya tengah menuntut agar segera diisi sepotong roti. Sayangnya, kantong uang kebanggaannya pergi entah ke mana—hilang sejak semalam lebih tepatnya.
"Di mana kantong uangku? Aku ingat betul semalam aku menyimpannya ke dalam saku jaketku. Upahku minggu ini ada dalam kantong itu. Jatah makan dan jajanku juga."
Molly menggaruk kepalanya kebingungan. Alhasil, dia hanya duduk di bangku taman pasar sambil menghela napas panjang selayaknya wanita tua yang kelelahan.
Frustrasi akan kondisinya, Molly memilih untuk memejamkan mata, tangannya diletakan di pangkuannya. Ia fokus dengan memorinya, mengingat-ingat di mana terakhir kali dia menaruh benda berharga itu semalam.
Semakin lama memikirkannya, semakin Molly percaya kalau kantong uang itu memang berada di dalam saku jaketnya. Lalu, bagaimana bisa benda itu hilang?
Mengapa akhir-akhir ini Molly selalu dilanda kesedihan? Agatha pergi tanpa kejelasan, lalu Pandia mengurung diri di kamar, sikap dingin paman dan bibinya, dan kini ditambah kehilangan kantong uangnya. Semua itu jatuh membebaninya, terasa sakit hingga meremang nyeri.
Kini pikirannya melesat ke momen pertemuannya dengan Pandia pagi ini. Molly masih mengingat bagaimana ekspresi adiknya yang amat murung. Padahal, Molly selalu mengenal Pandia sebagai pribadi yang ceria dan pemalu saat bersamanya. Hatinya menyusut saat mengingat kesedihan Pandia.
Kalau saja Agatha tak pergi dari desa ... dan dia tak bertindak egois dan menghadapi masalah seperti wanita sejati ... Pandia tidak akan seperti ini. Aku juga tak akan merasa tertekan begini.
Tanpa disadarinya, Molly menggumamkan umpatan, pelan dan hanya bisa didengarkan oleh dirinya sendiri.
Perhatian Molly teralihkan oleh alunan musik kecapi yang dipetik lembut. Nyanyiannya terdengar romantis dan mendayu-dayu. Sejenak, dia terhanyut oleh lantunan suara emas itu, menggema lembut bagai angin senja di musim semi. Ia menoleh, mendapati beberapa Neverian berkumpul di dekat air mancur, bersama-sama menikmati pertunjukkan seorang penyair.
Dan kemudian, Molly tertegun.
Matanya mendelik kaget. Puisi yang sama!
Adalah hal yang wajar bagi seorang penyair menghibur orang-orang di tempat umum. Molly teringat dengan perkataan mendiang ibu sewaktu dia masih kanak-kanak.
Namun, semenjak beredar skandal, banyak penyair yang jarang menghibur di ruang publik. Mereka lebih memilih membuat acara pentas dalam aula besar dan membatasi jumlah penonton yang hadir. Hal itu membuat para Neverian harus merogoh kocek sebesar tiga koin emas agar dapat menyaksikan penampilan megah dan indah. Tak heran apabila banyak orang yang berkumpul menyaksikan penampilan gratis. Apalagi kualitas permainan kecapi dan nyanyiannya tak kalah merdu.
Penasaran, Molly memilih mendekat dan sedikit berjinjit agar dapat melihat siapa penyair yang menyanyikan puisi indah itu.
"Astaga." Merupakan respon pertama Molly saat menyadari dan mengenal siapa penyair yang tengah menyanyikan puisi romantis itu. Lelaki bermata zamrud itu lagi!
'Setiap kata yang keluar dari bibir penyair adalah sebuah puisi yang mengalir lembut dan menyentuh hati. Memikat lawannya dengan sihir kata-kata.'
Molly menelan ludah, benar apa yang dijabarkan dalam surat kabar waktu itu. Terbukti dengan kehebohan di kedai minum semalam, serta hari ini.
Pandangan Molly beralih ke seekor monyet putih yang bertengger di bahu si penyair. Si monyet berpakaian doublet motif kotak-kotak berwarna biru dan merah jambu. Hewan primata putih itu turun dari bahu si penyair dan melesat di antara kaki para penonton, dari bagian depan sampai ke baris paling belakang.
Sejenak, si monyet menggaruk kepalanya, seakan tengah berpikir keras. Tak lama kemudian, si monyet menoleh ke seorang pria tua berbaju rapi yang berdiri tak jauh dari posisinya sekarang.
Molly memutuskan untuk tak beranjak demi mengamati hewan kecil itu. Si monyet mengibaskan ekornya, menunggu sesuatu. Lalu, dia berlari masuk ke dalam kerumunan, mengikuti si pria tua dari belakang. Gerakannya sangat lincah dan lentur, tangannya bergerak cepat ketika dia mengambil kantong uang yang ada di dalam saku jaket si pria tua.
Astaga, apa-apaan si kecil itu? Melihat aksi pencurian itu, Molly sempat tertegun dan menegakkan tubuhnya.
Si monyet terlihat girang saat mendapatkan barang yang dicurinya. Kemudian, dia berlari bersembunyi di sekitar semak-semak yang tak jauh dari sana. Lalu, kembali kepada si penyair, menghibur para penonton dengan atraksi kecil, seolah tak terjadi apa-apa.
Menangkap basah aksi pencurian itu membuat Molly teringat sesuatu. Semalam, saat dia berkunjung ke kedai minum, ia ingat tak hanya tudung yang ia lepas, tetapi juga seluruh jubahnya, yang kemudian disampirkan di lengan kiri.
Di momen dia meninggalkan kedai itu, Molly sempat melihat si lelaki bersandar pada meja bar sambil menikmati ale. Satu hal yang tak disadari oleh Molly, si monyet juga bertengger di bahu seraya menyerahkan benda—yang sudah dipastikan adalah kantong uang Molly.
Bajingan tengik, dia menggunakan ketampanannya untuk mencuri uangku.
Tak berselang lama setelah pertunjukan kecil itu berakhir, si penyair membungkukkan tubuh memberikan salam perpisahan dan ucapan terima kasih. Begitu para penonton pergi, dia berjalan menuju ke semak-semak di pinggir taman.
Di rasa posisinya telah aman, lelaki bermata zamrud itu membungkuk mengambil kantong uang hasil curian monyetnya. Sambil bersiul tanpa dosa, si penyair meninggalkan posisinya. Menuju ke taman dekat hutan desa untuk menghitung koin-koin itu.
Sedangkan Molly kini telah berdiri di belakang si lelaki, melipatkan tangannya di dada. Si monyet putih menyadari keberadaan perempuan muda tersebut dan sempat melongo beberapa detik. Kemudian, setelah mengenali Molly, ia berkikik panik dan menjambak rambut majikannya.
"Moko, hentikan! Aku sedang menghitung uangnya," tegur si penyair kesal. Namun, si monyet memekik kencang, lalu menampar wajah majikannya, tangan kecilnya menunjuk ke belakang. "Apa yang kau—" Mata hijaunya membulat begitu mendapati sosok Molly menjulang di belakangnya. "Oh, halo." Ia melambaikan tangan tanpa dosa.
Molly menunjuk sesuatu yang menggantung di sisi celana lelaki itu. Sebuah kantong uang berhiaskan bordiran bunga mawar merah. "Kantong uang itu cantik sekali, Tuan," sindirnya, "mirip dengan milikku yang hilang semalam. Aku percaya tidak ada lelaki tampan dan gagah sepertimu, yang memiliki kantong uang dengan desain feminim begitu."
"Oh." Si penyair tertegun, tangannya perlahan-lahan menyembunyikan kantong uang yang baru di balik tubuh. "Aku tidak mengerti apa maksudmu, Nona. Apakah kita mengenal?"
Molly membungkukkan tubuhnya hingga jarak mereka tersisa beberapa inci dari wajah si penyair. Tatapan matanya menusuk bagai pisau belati, membuat lawan bicaranya mencondongkan tubuh menghindar.
Raut wajah si lelaki diselimuti oleh ketakutan dan rasa malu. Sedangkan si monyet melingkar di kepala majikannya, ikut gemetar ketakutan.
"Jangan berlagak seperti orang polos, kau mencuri kantong uangku semalam sewaktu di kedai," jelas Molly. Suaranya rendah dan penuh tuduhan. "Kau juga menggunakan keahlianmu untuk mencuri kantong uang dari salah satu penontonmu. Jangan mengelak lagi, aku melihat semua kejadiannya."
Lelaki itu beranjak dari duduknya, tangannya terangkat sebatas dada. "Tunggu, sepertinya kau salah mengira, Nona. Aku tidak—"
"Berhenti meracau, Tuan. Aku ingat betul kalau monyet itu yang menyelinap di belakang tubuhku dan mengambil kantong uang dari dalam jaketku." Molly menyela, nada bicaranya naik satu oktaf.
Biasanya, lelaki bertubuh tinggi tidak mudah terintimidasi oleh Molly yang bertubuh lebih pendek. Hebatnya, perbedaan tinggi itu tak membuat Molly mundur sedikit pun.
"Kembalikan kantong uangku, atau aku akan melaporkan tindakan kalian kepada para prajurit yang berjaga di sekitar sini. Kau bisa terkena pasal pencurian dan dipenjara selama berminggu-minggu."
"Tunggu—"
Tanpa memberikan si penyair kesempatan untuk membela diri, Molly lantas membalikkan badan dan memanggil para prajurit yang kebetulan lewat. Para prajurit itu serempak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Molly. Sayangnya, si penyair dan monyetnya telah melarikan diri masuk ke dalam hutan.
"Hei!" Molly berteriak.
Tubuhnya terhuyung maju mengejar. Kedua tangan memegang bagian depan rok, mengepal kuat-kuat, sementara rahangnya dirapatkan erat-erat. Ia melaju cepat, begitu cepat hingga membuatnya seolah melayang dalam angin.
"Berhenti! Pencuri!"
Molly berlari melewati jalanan berlumpur yang tidak rata. Mendadak, dunia di sekelilingnya menjadi kabur, saat pikirannya berpacu sekencang langkah kakinya. Dia tidak akan melepaskannya begitu saja. Molly harus mendapatkan kembali kantong uangnya dan, jika perlu, menghukumnya.
Kejengkelan dan kekesalannya berputar-putar laksana kepingan sehelai daun yang tertiup angin kencang. Setiap langkah kaki, masing-masing diwarnai oleh amarah.
Semakin cepat usaha Molly untuk mencapai si lelaki dan monyetnya, dia malah semakin kelelahan. Kakinya terasa terbakar, namun dia mendorong semua perasaan negatif dan terus maju, didorong oleh satu keinginan yang sangat mendesak, yaitu kantong uangnya.
Yah, mau dipaksa bagaimanapun, Molly tidak memiliki stamina sekuat Agatha. Juga tidak memiliki kelincahan yang luar biasa sebagai seorang wanita. Langkah kaki Molly perlahan berhenti, sedangkan si lelaki telah berada jauh di dalam hutan.
"Tidak boleh begini, seluruh uangku ada padanya. Aku harus segera menangkapnya!"
Di waktu yang amat singkat, Molly memaksa dirinya agar berpikir lebih cepat. Pandangan matanya menyapu setiap inci hutan, mengira-ngira sesuatu atau seseorang yang dapat membantunya.
Tak lama kemudian, Molly memilih memegang pohon mahoni dengan kedua tangan, mengusap-usap batangnya dengan lembut. Walaupun mungkin terdengar seperti tengah berdelusi, Molly yakin bahwa dia bisa meminta bantuan dari satu-satunya makhluk hidup yang paling dominan di tempat ini.
"Aku sering mendengarkan suara kalian," bisik Molly pelan seolah berbicara dengan teman lama. Napasnya tersengal-sengal saat menambahkan, "Sebagian hatiku yakin kalian juga bisa mendengarku. Kita saling memahami satu sama lain, kan? Aku mohon, tangkap pencuri licik itu."
Sedetik setelah Molly mengatupkan mulut, datanglah angin kencang dari arah belakang, menderu bagai rintihan manusia, memaksanya untuk menunduk melindungi diri.
Dada Molly berdebar dalam intensitas tak wajar, meyakini bahwa doanya didengarkan oleh makhluk-makhluk tak kasat mata. Lalu, dari sudut matanya, dia melihat bumi bergetar—sebuah akar tua tumbuh cepat dari dalam tanah, meliuk-liuk seakan memiliki kehidupan sendiri, menuruti perintah Molly untuk mengejar si penyair licik. Tak hanya itu, dahan-dahan pohon melengkung ke bawah, seperti lengan raksasa yang berotot dan kokoh, berayun tajam hendak menjerat si penyair. Sayangnya, lelaki itu teramat gesit dan lincah, menari di udara dengan penuh gaya yang membuatnya sulit untuk ditangkap.
Secara tak sengaja, pandangan mata Molly bertemu dengan mata si monyet, yang kemudian disambut oleh kikikan melengking seolah mengejeknya.
Geram, Molly mengentakkan kakinya ke tanah, menunjuk si penyair serta monyetnya. Suaranya serak saat berteriak, "Jangan sampai dia lolos!"
Tidak ingin berdiam diri, Molly ikut berlari mengejar, mengabaikan rasa nyeri pada tungkai kakinya.
Perintah Molly diartikan sebagai bisikan ajaib, membangunkan tanaman dan pohon di sekitarnya. Hembusan angin yang ganas, menggugurkan dedaunan segar dan menyeretnya di udara, bertujuan menghalangi pandangan si penyair. Tak hanya itu, sebuah akar tumbuh dari dalam tanah, meliuk-liuk bagai tentakel dan menjegal kaki si penyair licik itu hingga menabrak sebuah pohon yang bergerak melengkung di hadapannya sampai jatuh terjengkang ke tanah.
Ketika Molly hampir sampai, pohon-pohon itu menegakkan batangnya, dan akar-akar tenggelam ke dalam tanah. Semuanya kembali seperti sedia kala, seakan tak terjadi apa-apa.
"Apa-apaan tadi?" Si penyair bangkit, mengerang jengkel.
Namun, Molly berhasil meraih jubahnya dan menariknya kuat-kuat, tak membiarkan lelaki itu pergi. Umpatan terdengar menggema dalam hutan sunyi saat keduanya jatuh bersamaan.
Molly mendesah kesakitan saat punggungnya menghantam tanah. Sedangkan di sampingnya, si penyair licik mengusap bagian kepala belakang seraya mendesis kesakitan.
Pandangan mereka bertumbuk dan bersama-sama melotot kaget. Tanpa basa-basi Molly menyerang lelaki itu. Satu tangan mendorong tubuh si penyair hingga jatuh ke tanah, sementara tangannya yang bebas hendak mengambil kantong uangnya kembali. Namun, lelaki itu berhasil menangkap pergelangan tangan Molly di tengah-tengah usahanya.
"Oi, apa-apaan!" Lelaki itu memprotes, menguatkan cengkramannya pada pergelangan tangan Molly.
"Sebaiknya kau kembalikan uang-uangku sekarang!" Molly mengancam hendak memukul si penyair dengan tangannya yang bebas. Namun, usahanya berhasil ditahan.
Kini, mereka saling beradu kekuatan tangan. Masing-masing melotot mengerikan dan mengerang.
"Atau apa?" tantang si lelaki tanpa dosa yang membuat Molly menggertakkan giginya.
"Kau ... dasar pencuri licik!" hardik Molly.
"Astaga!" tawa si penyair. "Aku pikir kau perempuan terhormat biasa, yang berhati lemah lembut, dan sensitif. Rupanya aku keliru. Kau sangat liar, Nona cantik. Seperti mawar merah liar. Mengejutkan," kekehnya.
Penyair itu menarik pergelangan tangan Molly, membuatnya menjerit saat kehilangan keseimbangan. Namun, dia menahannya kuat-kuat, membuat otot-otot di lengannya mengembang. Ia terkekeh, mendapati ekspresi panik Molly yang menurutnya menggelikan.
Molly menggeram, mendapati kesimbangannya kembali. "Apanya yang lucu?"
Dia menarik napas tajam saat si penyair mendekatkan wajah mereka beberapa inci. Bibirnya dikatupkan rapat-rapat hingga membentuk garis tipis, matanya terus melotot penuh kebencian.
"Aku tidak menyangka akan bertemu essentor di desa ini," kekeh si penyair itu, terhibur dengan semangat yang berapi-api di mata Molly. Napasnya yang panas membelai pipi perempuan muda itu. "Seorang Pembisik Daun, dan para tanaman yang menggemaskan."
"Kembalikan kantong uangku—"
Molly menarik kembali tangannya, namun si penyair menariknya kembali dengan kasar, hingga ujung hidung mereka hampir bersentuhan. Matanya membelalak lebar, mendapati mata seindah batu zamrud itu memerangkapnya, mengamati setiap inci wajahnya dengan tajam. Dadanya bertalu-talu, bukan karena efek berlari, namun sesuatu yang lain—yang tak dapat dinalar oleh Molly.
Ia kemudian meronta. "Lepaskan aku! Kau tidak sopan!" bentaknya dengan suara gemetar.
Waktu seakan berhenti, hanya suara gemerisik daun yang mengisi. Angin berhembus pelan, mengayunkan anak rambut mereka dengan lembut. Napas keduanya menderu, membelai hangat di udara yang tak lazim di antara ketegangan tersebut. Dan debaran itu terus berlanjut, menaikkan suhu tubuh Molly dalam sekejap.
Seumur hidup, Molly tak pernah merasakan hal ini, sangat tak biasa, sangat tak pantas, dan tidak sesuai tata krama. Lelaki di hadapannya adalah pencuri yang tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
"Aku bilang, lepaskan aku!!"
Seolah memahami teriakan Molly, sebatang pohon di belakang si penyair berayun secara tiba-tiba. Dahannya melengkung melingkari pinggang, kemudian menariknya menjauh dari Molly, membuat perempuan itu hampir terhuyung ke depan. Kejadiannya sangat cepat dan tidak terprediksi, membuatnya harus bertindak cepat untuk menopang tubuh dengan kedua tangannya, jika tidak, dia pasti akan mencium tanah.
Kini si lelaki terikat pada batang pohon.
"Oi! Kau tidak boleh menggunakan kemampuanmu sembarangan kalau kau tidak punya lisensi!" Si lelaki berseru seraya meronta, berusaha melepaskan diri dari ikatan si pohon.
Sedangkan Molly, masih duduk melongo, tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Bibir merahnya bergerak, mengumpat pelan.[]