"Agatha tidak ada di kamarnya."
Napas Molly tercekat saat berita itu sampai ke telinganya, disampaikan dalam nada lantang dan mendesak. Jantungnya bertalu-talu, masing-masing berdebar karena kekhawatiran dan ... kemarahan?
Bagai didorong oleh kekuatan tak terlihat, tubuh Molly terhuyung mendekat ke sumber suara. Kedua tangan memegang bagian depan rok, mengepal kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menatap manik biru di mata Pandia dengan penuh rasa tak percaya.
"Apa maksudmu dia tidak ada di kamarnya?" Suara Joyce menyeruak dari sisi kanan Molly. Wanita tua itu juga tak kalah terkejutnya.
Hari ini adalah hari pertunangan Agatha, sesuai dengan yang dijadwalkan yaitu dua hari setelah festival musim semi. Memang, semenjak hari itu, dia tidak pernah sekali pun mendapati Agatha keluar dari kamarnya.
Joyce menjinjing rok panjangnya, tergesa-gesa menaiki tangga menuju lantai dua. Ia setengah menggeram ketika mengatakan, "Jangan berbohong, Pandia."
"Sungguh, aku tidak pernah bohong!" Pandia semakin memucat mendengar peringatan dari bibinya. "Aku sudah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam kamar. Lalu aku mengintip dari lubang kunci, kamar itu kosong."
Joyce, masih tidak percaya, melemparkan tatapan penuh kecurigaan. Dia mengetuk pintu Agatha pelan. "Agatha, keluarlah. Sebentar lagi pamanmu akan tiba ke rumah, apakah kau masih belum selesai berdandan?"
Tidak ada jawaban.
Joyce mengetuk pintu dan memanggil nama Agatha kembali.
Tetap tak ada jawaban.
Pandia menoleh kepada Molly dan berbisik, "Agatha tidak ada di dalam, aku tidak melihat essentia miliknya sejak pagi ini." Dahinya berkerut, manik mata birunya membesar, masih bersikeras.
"Berhenti membicarakan hal yang tidak masuk akal, Pandia!" tegur Joyce dengan wajah yang diselimuti oleh kemarahan dan ketegangan. "Ini tidak ada sangkut pautnya dengan sihir. Sihir itu tidak ada! Kau hanya memperkeruh suasana!" Suaranya semakin meninggi. "Tunggu di sini, aku akan mengambil kunci cadangannya."
Tidak perlu, Agatha memang tidak ada di kamarnya.
Molly menjengit mendengar bisikan kasar berasal dari belakang. Alis Pandia berkerut saat bertemu pandang dan mulutnya terbuka membisikkan pertanyaan kepada Molly. Namun, dengan tenang, dia menjawab, "Tidak apa-apa, kita tunggu Bibi kembali."
Baru saja mengatupkan bibirnya, Molly mendengar suara langkah kaki kasar Joyce dari arah tangga. Sang bibi memegang segelintir kunci rumah berwarna hitam, keningnya berkerut saat mengira-ngira kunci kamar Agatha. Setelah mencoba sebanyak tiga kali, akhirnya pintu kamar Agatha terbuka.
Dan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Pandia, kakak mereka tidak ada di kamar.
Ruangan tidur itu kosong. Tidak berpenghuni. Seluruh barang-barang Agatha masih tertata rapi pada meja dan rak bukunya, seperti terakhir kali Molly datang berkunjung sebelum hari ini. Ranjangnya juga tertata seakan tak ditiduri semalaman. Joyce yang marah menarik selimut lusuh itu.
"Tuh, benar apa kataku." Pandia berkata di belakang, sedikit lega.
Molly menoleh ke jendela yang terbuka. Di sana, ia mendapati tanaman hias gantung kecil yang telah mengering dan hampir layu, tanda tidak disiram selama beberapa hari. Alat penyemprot juga masih bertengger di posisi yang sama sejak terakhir kali Molly melihatnya. Apakah Agatha sudah pergi jauh-jauh hari?
"Bukankah kemarin Agatha sempat mengatakan, dia mendapatkan jadwal berjaga di hari pertama dan kedua festival?" Molly bergumam mengingat-ingat perkataan Agatha sekitar empat hari yang lalu.
Pandia mengangkat kedua bahunya, tidak ingat.
Joyce melempar selimut ke lantai, amarah dan kekecewaannya bercampur menjadi satu. "Ini mimpi buruk. Teman pamanmu telah setuju menikahi Agatha, tapi dia malah kabur."
"Mungkin kita bisa mencari Agatha di tempat pelatihan para prajurit," saran Molly sambil mengikuti bibinya. Mereka berjalan cepat menuruni tangga menuju ke dapur.
"Tidak perlu," jawab Joyce singkat, ia cepat-cepat menata cangkir, teko, serta makanan ringan di atas nampan. Membuat Molly heran.
"Apa maksudmu? Bukankah calon pengantinnya adalah Agatha?" Molly memprotes, mengernyitkan dahi karena tak mengerti.
Joyce mengerang dan menjawab sinis, "Kira-kira siapa yang akan menikahi perempuan setua Agatha jika mereka tidak terpaksa?"
"Dia masih muda."
"Agatha berumur dua puluh tiga tahun. Dia sudah tua, Molly." Perkataan Joyce tidak menyisakan ruang bagi Molly untuk menyanggah. "Mungkin, jika pria itu berbaik hati, dia akan memilih salah satu di antara kalian."
Molly membelalakkan matanya, dadanya berdebar menebak-nebak apa yang dimaksud Joyce. "Maksudmu, salah satu dari aku dan Pandia akan menjadi pengantin pengganti?"
Namun tetap saja, Joyce membiarkan ucapannya menggantung di udara, membuat Molly semakin cemas.
Dari lantai atas, Pandia mengumumkan kedatangan Powell dan Vince—lelaki yang meminang Agatha. Joyce cepat-cepat menyuruh Molly dan Pandia pergi ke ruang kerja pamannya.
Kini, Molly berdiri di dekat perapian. Si bungsu menempel erat, tubuhnya gemetaran akibat membayangkan semua kemungkinan terburuk bagi mereka berdua.
Molly pun merasakan hal yang sama. Tatapan Vince membuat bulu kuduknya berdiri saat mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang dingin dan tak menyenangkan dalam pandangan pria tua itu. Ia menangkap bau yang tidak biasa—bukan hanya aroma kayu tua atau cerutu pamannya, melainkan ... bau balsam.
Paman dan bibi berpamitan keluar dari ruangan, diikuti Molly dan Pandia. Begitu Molly menutup pintu di belakangnya, ia mendengar tarikan napas tajam Powell.
"Kalian sudah mencoba mencarinya?" Powell bertanya sedikit menuntut.
"Kami sudah mencari di kamarnya, dia memang tidak ada di sana," jawab Joyce resah.
Powell mengusap muka dengan kedua tangan, kepanikan mengguyur seluruh tubuhnya hingga membuat bibirnya bergetar saat kembali menanyakan, "Sudah kalian coba cari di halaman belakang? Dia tidak mungkin menghilang, Vince ingin meminangnya."
"Agatha tidak ada di halaman belakang, Paman," jawab Molly pelan. Dia sangat yakin, sebab ia sendiri telah mengecek dari jendela kamar Agatha, dan hasilnya memang nihil.
"Ah, dasar tidak berguna!" hardik Powell. Wajahnya memerah menahan amarah, tangannya dikepalkan di samping tubuh. "Anak itu dari dulu selalu memberontak setiap kali aku berusaha mengarahkan apa yang terbaik untuknya!"
"Ada kemungkinan dia berada di kamp prajurit, aku dengar ia mendapatkan tugas berjaga sejak hari festival kemarin." Molly melangkah maju. Jari-jarinya gemetaran tanpa sebab, telapak tangannya berkeringat dan dadanya berdebar-debar. "Aku bisa memanggilkan Agatha sekarang, jika kalian—" Kenapa aku terbata? "Jika kalian mengizinkanku."
Powell menoleh cepat, melemparkan tatapan tajam pada Molly. Bibirnya dikerucutkan saat mendengus, namun tak mengatakan apa pun. Keheningan menyertai mereka berempat di ruangan, tidak ada yang berani mengutarakan satu kata untuk memecah keheningan.
"Sayangku, jika aku diizinkan untuk berbicara—" Joyce mulai berkata.
Tidak!
Namun, sebelum Joyce selesai berbicara, pintu ruang belajar Powell tiba-tiba terbuka, dan Vince melangkah keluar bersama sekretarisnya. Pria tua itu terlihat tenang, matanya memancarkan ketidakpedulian saat ia berkata, "Maafkan aku, tapi aku mendengar pembicaraan kalian dari dalam ruangan."
"Tuan Vince, mohon maafkan kami," ucap Powell dengan nada penuh penyesalan. "Tapi sepertinya Agatha—"
Vince mengangkat tangan kanannya, memberikan kode pada Powell agar menghentikan penjelasanya. "Aku sudah mendengarnya. Agatha memang perempuan yang penuh semangat, dia juga pintar dan memiliki selera yang tinggi. Jadi, aku rasa aku tidak akan cocok dengannya."
Ujung sudut bibir Molly berkedut mendengar pernyataan Vince. Pria tua itu seolah membalikkan suasana dengan bertindak seperti korban, berpura-pura tidak percaya diri setelah sempat membuat Powell menutup mulutnya dengan satu ayunan tangan keriputnya.
Sungguh menjijikkan.
"Agatha mungkin sudah memasuki usia dewasa, tapi pikirannya masih seperti anak remaja," kata Powell, mencoba menjaga kesopanan. "Dia memerlukan banyak belajar dari pria bijaksana sepertimu, Vince."
"Saya sangat menyesal atas tindakan kekanakan Agatha, Tuan," Joyce menambahkan, menyeka air mata buaya. "Agatha terlalu liar sebagai seorang wanita. Kami sangat berharap pernikahan ini bisa menjadikannya wanita terhormat yang memegang teguh sopan santun."
Pikiran Molly kembali berpacu saat melihat raut wajah Vince. Pria tua itu menyeringai, amat tipis, meski hanya sesaat. Matanya berkilat penuh kelicikan dan senyumannya tak sampai ke bagian mata. Dia terlihat tidak hanya arogan, namun juga manipulatif.
"Tidak apa-apa, Powell," kata Vince, "kita masih bisa melakukannya lagi di lain hari, kecuali jika kau memiliki penawaran lain."
Molly menelan ludah susah payah ketika semuanya menoleh ke arahnya.
Vince ingin pengantin pengganti. Pengganti Agatha. Tidak mungkin Molly, kan? Iya, kan?
Tubuh Molly semakin menegang ketika Vince semakin mendekat. Tanpa diduga, pria itu mencondongkan tubuhnya ke samping, menatap sosok yang berdiri bersembunyi gemetaran di belakang punggung Molly.
"Namamu Pandia, ya?"
***
Malam harinya, Molly memberanikan diri mendatangi ruang belajar pamannya. Dia menegakkan tubuh saat mengetuk pintu dan mendorongnya pelan. Ekspresi wajahnya terpaksa dibuat sedatar mungkin hingga tak terbaca, menyembunyikan perasaannya dalam-dalam.
"Apa yang kau inginkan, Mol?" tanya Powell, yang terpantau masih mengerjakan pekerjaannya di bawah cahaya remang-remang lilin.
Selama perjalanan menuju ke ruang belajar, Molly telah melakukan latihan percakapan ini beberapa kali. Namun, ketika melihat wajah dan mendengar suara Powell, seluruh perkataan dan argumen yang ingin disampaikan Molly seketika lenyap entah ke mana, tak tersisa, sukses membuat semangat serta tekadnya anjlok ke titik paling rendah.
"Aku ingin membicarakan tentang Pandia," kata Molly memulai. Suaranya pelan dan penuh kepastian. Kehadirannya membuat kerutan pada kening Powell bertambah. Kemudian, dia melanjutkan, "Tentang pertunangannya dengan Tuan Vince."
"Apa maksudmu?" Powell yang lelah hampir membentak kasar. "Semuanya telah diatur rapi. Vince adalah pasangan yang cocok bagi Pandia. Pria yang memiliki kedudukan tinggi—"
"Pandia masih berumur sembilan belas tahun," sela Molly, untuk pertama kali dalam hidupnya. Tangannya kini gemetaran ketika menyadari suaranya terdengar lebih kuat dari yang diharapkannya. "Dan Tuan Vince—" Jeda, menarik napas tajam. "Beliau cukup umur untuk menjadi ayahnya."
Powell, dengan ekspresi yang teramat letih, pusing, dan jengkel melepaskan kacamatanya. Dia memijat ujung hidungnya sebelum akhirnya menjawab pelan, "Bukan itu poin pentingnya. Tuan Vince bersedia memberikan kita koneksi dan bantuan finansial—"
"Tidakkah ada cara lain?" sela Molly, suaranya bergetar halus, dipenuhi emosi yang tak terbendung. "Pandia tidak menginginkan ini, begitu juga aku. Pernikahan tanpa mengenal pasangan, apalagi dengan perbedaan usia yang begitu jauh—semuanya terasa tidak adil, Paman."
Namun, Powell menanggapinya santai seraya bersandar pada sandaran kursi. Suaranya terlampau tenang meski diwarnai dengusan saat menyahut, "Baiklah. Kalau kau berpikir perjodohan Pandia tidaklah adil bagimu, maka kau yang akan menggantikan posisinya. Masalah selesai. Pergi sekarang dari ruanganku."
"Tidak ... aku tidak mau." Perut Molly melilit. Dia seharusnya dapat menyanggah argumen Powell, ia selalu berhasil melakukannya. Namun, yang satu ini sukses membuat Molly panik. "Ini bukan tentang aku maupun Pandia, ataupun Agatha yang pergi dari rumah—"
"Kau tidak mengerti apa yang terjadi, Molly. Kita tidak memiliki pilihan lain. Keluarga Edagon telah bangkrut." Akhirnya Powell mengatakan yang sejujurnya sembari menggoyangkan kertas-kertas tua—tagihan keperluan rumah tangga. "Kau tahu apa artinya? Aku telah melakukan segalanya untuk mempertahankan rumah mewah orang tuamu, makanan yang bisa disajikan di atas meja, dan menjagamu serta kakak adikmu agar tidak kelaparan."
Molly menelan ludah susah payah, tangannya dikepalkan kuat-kuat menahan ledakan emosi. Tidak, dia harus menghadapinya dengan tenang tanpa ada campur tangan perasaan.
"Aku telah membuat rencana yang sempurna, Mol," lanjut Powell terdengar pahit. "Untuk menikahkanmu, Agatha, dan Pandia kepada lelaki kaya yang bisa membantu kesulitan keluarga kita." Suara Powell berbisik ketika menambahkan, "Serta membantuku untuk mengangkat beban di bahuku."
Kening Molly berkedut. "Beban?"
Powell akhirnya bangkit dari kursi. "Kau pikir mudah bagiku untuk membesarkan tiga perempuan muda yang dilanda gosip, tanpa status tinggi, tanpa nilai mahar yang besar, juga tidak memiliki masa depan? Apa yang harus aku lakukan jika aku tidak menikahkan kalian bertiga, hm? Dan ketika aku mendapatkan momen yang pas untuk menikahkan Agatha, dia malah kabur."
Merasa tak mampu menyanggah argumen pamannya, Molly memilih mengatupkan mulutnya rapat-rapat hingga membentuk garis tipis.
"Aku tidak punya waktu untuk gagasan idealmu, Mol. Kalau kau tidak ingin menggantikan Pandia, ada baiknya pergi dari ruanganku sekarang, sebelum aku memukulmu." Powell hampir menggeram, meremas kertas-kertas tagihan itu.
Mata Molly berkedip-kedip menahan air mata yang mulai mengumpul di pelupuk matanya. "Maksudku, aku dan Pandia telah bekerja—"
"Kau cuma pegawai yang digaji murah," sela Powell sinis. "Uangmu tak akan cukup untuk membayar tagihan rumah, Mol."
Molly kembali menyanggah. "Perjodohan ini ... pernikahan ini ... Agatha dan Pandia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Tidak ada satu pun dari kami yang layak, Paman."
"Lalu, kau mau apa? Menyusul Agatha agar Pandia tidak menikah? Bodoh." Ucapan Powell dingin, tak tahu ampun. "Kelayakan yang kau maksud tidak ada hubungannya dengan kasus perekonomian kita, Molly. Hidup tidak peduli apa yang pantas bagimu. Yang penting apa yang sanggup kau lakukan."[]