Sungguh, Molly berharap agar dapat beristirahat sendirian. Setelah disapa dengan perasaan jelek dan ketus dari bibinya, hatinya terus bergemuruh memintanya untuk tidak bergabung di lantai bawah—ke ruangan belajar pamannya. Sayang, dia adalah tipikal keponakan yang terlalu penurut dan tak pandai menolak permintaan, terutama dari keluarganya sendiri.
Tangan Molly berayun malas saat mengikat pita pada rambutnya. Tampaknya gemuruh dalam hatinya berhasil membuat saraf di bagian lengannya melemah, memaksa agar Molly tetap tinggal di kamar dan membiarkan waktu berlalu mengalir tenang.
"Ayo, cuman sebentar kok, Mol." Molly bergumam lirih.
Bibirnya mengerucut saat Molly menarik napas dalam-dalam, lalu ditarik paksa untuk membuat senyuman palsu, dan menepuk-nepuk kedua pipi perlahan demi memberikan efek merona alami. Bahunya yang sempat merosot akibat kelelahan bekerja sengaja dipaksa untuk tegap.
Molly harus tampak tenang dan berkepala dingin. Wajib santai namun bijaksana. Begitu selesai menemukan sisi terbaiknya, Molly membalikkan badan dan meninggalkan kamar tidurnya.
Menuruni tangga, Molly mengintip ke bagian dapur, masih mendapati bibi Joyce sibuk mengerjakan pekerjaan dapur. Jari telunjuknya menggaruk pelipis kiri ketika pikirannya menyerukan agar membantu Joyce membersihkan dapur. Dengan penuh kesopanan, Molly menyampaikan niatnya, sayangnya, dia malah menuai tatapan tajam yang tak bersahabat.
"Pergilah. Jangan buat pamanmu menunggu, sebentar lagi aku akan menyusul kalian," Joyce berkata menggunakan nada sedingin air hujan di luar rumah. Meski sebenarnya Molly tahu, bibinya tidak benar-benar akan bergabung bersama.
Walau begitu, Molly dituntut untuk menurut. Jadi, dia mengangguk singkat, lantas berjalan pergi meninggalkan dapur.
Langkah kakinya terasa lebih berat dibanding ketika dirinya berjalan pulang sore ini. Kakinya menyeret lantai, membuatnya terlihat enggan menemui pamannya.
Langkahnya berhenti tepat ketika Molly tiba di depan pintu berwarna cokelat tua di ujung koridor rumah. Dia menggerakkan otot-otot wajahnya, menepuknya pelan, agar semakin rileks, sebelum akhirnya mengetuk pintu perlahan.
"Masuk."
Terakhir kali Molly masuk ke ruangan ini adalah sekitar akhir musim panas tahun lalu. Dulu ruangan ini merupakan ruangan belajar milik mendiang ayahnya, sementara itu tatanannya masih sama seperti dulu.
Rak-rak buku menjulang berjejer di dekat dinding kayu. Di dekat jendela yang mengarah ke halaman samping rumah, terdapat sebuah meja kokoh dari kayu ek hitam—tempat ayahnya dulu bekerja.
Di bagian tengah ruangan terdapat sebuah meja kecil dikelilingi oleh kursi empuk bermotif bunga peony berwarna perak. Tak jauh dari meja kecil terdapat pendiangan yang senantiasa memberikan kehangatan pada ruangan. Namun, aromanya tak sama seperti dulu. Selain bau buku-buku tua, kayu mengilat, dan tembakau, ada juga aroma yang unik—ketegangan.
Di tengah-tengah ruangan, tepatnya di kursi panjang di dekat pendiangan, seorang perempuan muda tengah duduk menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, tangannya disilangkan di dada, dagunya diangkat menunjukkan ekspresi wajah yang pemberani, memancarkan keberanian. Perempuan muda itu adalah Agatha, kakaknya.
Sedangkan tidak jauh si kakak, seorang gadis muda terduduk lesu, tubuh dan kepalanya hampir meringkuk nyaris tak mengangkat pandangan, dan tangan pucatnya meremas-remas rok panjang di bagian pahanya. Gadis itu adalah Pandia, adik bungsu Molly.
Kemudian, tepat di hadapan kedua saudarinya, duduklah seorang pria paruh baya bernama Powell, paman yang merawat dan membesarkan Molly dan saudari-saudarinya.
"Salah satu kutukan yang sangat ditakuti oleh Neverian adalah Kutukan Perawan Tua. Kabarnya, kutukan tersebut membuat para korbannya akan mendapatkan kesialan seumur hidup, berupa tak kunjung mendapatkan jodoh." Powell membawa selembar koran di tangan kirinya, koran dari redaksi yang sama yang dibaca oleh Molly sore ini.
Pria tua itu melirik dua perempuan muda di hadapannya sekilas, kemudian, kembali membacakan paragraf berikutnya.
"Hal ini dapat terjadi apabila korban kutukan menolak pinangan laki-laki yang berniat untuk menikahi korban. Dikatakan, wanita yang terkena kutukan ini akan menjadi sumber kesialan bagi keluarganya. Salah satu yang menjadi pembicaraan terkenal oleh kalangan Neverian adalah tiga putri dari keluarga Edagon." Powell mendengus.
Molly lantas berjalan anggun, duduk di antara Agatha dan Pandia. Tangannya refleks melayang ke punggung tangan adiknya. Jari-jarinya dikaitkan ke jari-jari Pandia, membuat si adik mengangkat kepala.
"Dan, apakah karena gosip itu Paman ingin bicara dengan kami?" Agatha menaikkan satu alisnya, penasaran.
"Benar." Si paman mendengkus. "Karena kalian telah berkumpul, aku akan langsung pada intinya saja," Powell berkata dingin, sedikit mengatur posisi duduknya agar terlihat superior di antara ketiga keponakannya. "Aku akan menikahkan kalian bertiga."
Powell sempat mengernyit, menunggu respon dari ketiga keponakannya sambil menghisap dalam-dalam asap tembakaunya. Namun, hingga beberapa saat kemudian, dia tak mendapatkan respon apa pun.
Sebenarnya pembicaraan ini telah disampaikan beberapa kali oleh Powell. Berawal di hari ulang tahun Agatha, lalu berlanjut hingga di awal musim gugur tahun lalu, dan sekarang kembali diutarakan. Saat itu, ketiganya menolak tegas secara serempak. Kemudian, ada momen di mana Powell diabaikan, hingga hari-hari berlalu sampai hari ini.
Ketiganya membuat kesepakatan agar tidak membuat keributan mengenai perjodohan, dengan cara mengabaikan ucapan Powell. Namun, sepertinya mereka tak bisa terus-terusan lari dari topik perjodohan. Terbukti dengan kejadian hari ini.
"Aku bilang, aku akan menikahkan kalian bertiga," Powell kembali berucap, namun kali ini ditambah dengusan singkat, asap dari tembakau meluncur mulus di ujung bibirnya yang kehitaman. "Keluarga kita tidak bisa terus menerus menjadi bahan obrolan warga desa, hanya karena kalian masih lajang di usia yang telah sedewasa ini."
Masih tak ada respon dari ketiganya, membuat Powell menggaruk pelipis frustrasi.
"Kalian tidak perlu khawatir, aku telah memilihkan pria-pria terbaik yang sesuai dengan status keluarga kita." Powell menambahkan.
Agatha, masih menyilangkan tangannya di dada, berkata lancang, "Terima kasih, Powell. Tapi, aku dan adik-adikku sepakat untuk melajang sampai kami berhasil mewujudkan impian kami. Lagipula, berdasarkan ucapan Paman kalau kami bukanlah anak-anak lagi, jadi, harusnya Paman tidak perlu repot-repot mengatur, apalagi sampai membuatkan rencana pernikahan."
Sudut alis Molly berkedut kaget. Ada perasaan yang bercampur dengan antisipasi dalam hatinya.
Ibunya sering menyebut Agatha sebagai kembang api. Emosinya mudah sekali terpancing, dan setiap kali amarah Agatha tersulut, suasana di sekitar mereka dapat berubah menjadi warna-warna baru dalam sekejap. Dia memiliki kemampuan untuk membuat suasana menjadi tegang dan panas hanya dengan kata-kata tajam dan reaksi yang cepat. Karakteristiknya dipengaruhi oleh ayah mereka yang tegas.
Untuk saat ini, Molly hanya dapat diam, mendengarkan, dan mengobservasi sambil berdoa agar tak terjadi drama.
Powell menghisap lagi pipa cerutunya, masih berusaha bersikap tenang.
"Kau terlalu idealis, Agatha," kata si paman sinis, membuat ketiga bersaudari itu menyipitkan mata bersamaan. "Kalian ini telah dewasa, sudah saatnya kalian memikirkan keluarga. Pernikahan diperlukan untuk melindungi diri kalian dari hinaan, gosip, dan cemooh orang-orang seperti yang disebutkan dalam surat kabar hari ini."
Pria tua itu mendengus, suaranya tegas ketika melanjutkan, "Ini bukan tentang cinta dan kebebasan yang sering kalian bawa-bawa ketika sedang duduk bertiga di perpustakaan. Ini tentang tanggung jawab sebagai orang yang telah dewasa."
"Simpan ucapan sok bijakmu, Powell," sahut Agatha cepat, sudut alisnya mulai berkedut.
Molly menggaruk pelipisnya sambil menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Agatha ada benarnya, mungkin yang dikatakan Powell dibalut perasaan kekhawatiran, namun, raut wajah pria tua itu lebih mirip menghakimi.
Agatha lantas menambahkan, "Tangan kami sendiri sudah mampu untuk menanggung tanggung jawab tanpa perlu didikte oleh seorang pria. Kita bertiga memang perempuan dewasa, dan tentunya, berhak untuk menentukan jalan kehidupan sendiri."
"Kalian harusnya malu melihat teman-teman seumuran kalian yang telah menikah dan hidup bahagia bersama keluarga mereka masing-masing." Pernyataan Powell mengandung hinaan.
Agatha, masih yang paling vokal menyergah, "Standar kehidupan orang berbeda-beda. Kalau mereka ingin buru-buru membangun keluarga, silakan, aku dan adik-adikku tidak akan menghalangi—apalagi sampai menimbulkan perasaan iri dan cemburu. Perasaan malu timbul ketika kami gagal mencapai impian kami, Powell. Untuk itulah, kami ingin fokus pada diri sendiri dahulu, pernikahan adalah hal yang paling terakhir yang ingin kita capai."
"Dan pada akhirnya kalian menjadi topik hangat di kalangan penduduk desa," imbuh Powell tepat ketika keponakannya selesai mengatupkan bibir. "Tidak hanya itu, rumor-rumor buruk tentang kalian telah bertebaran di penjuru desa: Tiga dara Edagon yang dikutuk. Membersihkan nama melalui pernikahan adalah cara yang mudah yang bisa kalian lakukan sebagai seorang perempuan."
Sebelum Agatha sempat melayangkan balasan, Powell lebih dulu menginterupsi, "Kalian ini sudah bukan anak kecil lagi, umur kalian sudah melebihi 18 tahun." Tangannya berayun di udara menunjuk tiga keponakannya satu per satu sebelum akhirnya melanjutkan, "Dunia di luar sana terlalu kejam bagi seorang perempuan yang tidak terlindungi."
Momen yang membuat Molly malas dan enggan, adalah ketika Agatha dan Powell berdebat seperti saat ini. Tidak, ini bukanlah perdebatan yang menimbulkan suara keras dan saling menghardik, melainkan ketegangan dan juga tekanan dalam ruangan yang ditimbulkan membuat Molly dan Pandia menjadi tak nyaman.
Agatha menaikkan satu alisnya, masih pada melipat tangan di dada. Nada suaranya naik perlahan-lahan, tangannya mencengkeram bagian lengan atasnya, berusaha untuk tak meledak. "Kami mampu melindungi diri sendiri, bahkan jauh lebih baik daripada siapa pun yang kau pilihkan."
"Perempuan itu ada waktu kadaluarsanya, Agatha," balas Powell, yang kali ini berhasil membuat Agatha yang semula bersandar pada kursi menegakkan tubuhnya.
"Seluruh manusia di muka bumi ini memiliki waktu kadaluarsanya, Powell! Kehidupan dan kematian terus berjalan beriringan, apakah kau yakin tidak keliru berbicara begitu?" sahut Agatha, masih mencoba mempertahankan ketenangannya, meskipun sudut bibirnya berkedut frustrasi.
Molly melirik, menyadari satu lilin yang berada di meja kerja Powell tiba-tiba menyala dan api pendiangan menyala terang.
Pandia tampak cemas, matanya yang ditutupi oleh poni membulat besar penuh ketakutan. Dia mengalihkan pandangannya dari Agatha lalu ke Powel, dan kembali ke Molly, mencari perlindungan. Beruntungnya, genggaman tangan Molly berhasil melindunginya dari perasaan tertekan.
Powell, menyadari kegelisahan Pandia, kini mengalihkan pandangannya kepada si bungsu. "Jadi, bagaimana, Pandia? Apakah kau tidak ingin menikah, hidup berkeluarga bersama seorang pria sejati yang bisa melindungimu dari—"
"Dari siapa?" sela Agatha curiga. "Darimu, istrimu, dan putramu?"
Powell tidak menanggapi, hanya menyipitkan mata jengkel.
Molly melirik Pandia, menyaksikan bibir pucat si bungsu gemetaran saat menjawab, "Tidak. Aku masih ingin belajar sihir."
"Belajar sihir? Maksudmu berbicara dengan tubuh tak bernyawa di rumah duka tempatmu bekerja itu? Oh, ayolah, jangan bercanda," kata Powell sambil mengetuk-ngetuk pipa cerutunya.
"Pandia bisa melindungi dirinya dari keluargamu, Powell." Agatha menegaskan sambil mengibaskan rambut panjangnya ke belakang punggung.
"Kalian harusnya paham, pernikahan itu adalah sebuah keharusan." Suara Powell hampir memaksa, meski dengan kata-kata yang terkesan bijaksana.
Pernyataan itu berhasil membuat alis Agatha berkedut. Kemudian, dia menurunkan tangan ke paha, berencana untuk berdiri.
"Kami tahu, makanya pernikahan berada di urutan yang paling akhir, yang artinya masih belum menjadi prioritas." Pada akhirnya Molly berkata, tidak membiarkan Agatha untuk memulai pertengkaran hebat. "Kami akan tetap menikah, tapi tidak sekarang."
Powell meremas sandaran tangan pada kursinya, jari-jarinya tenggelam ke bagian terdalam busa kursi. Otot-otot di bagian keningnya menegang menahan rasa marah dan frustrasi.
Dia lalu membalas, "Kalian tidak punya pilihan lain. Aku akan tetap menikahkan kalian. Dimulai dari Agatha, pertunangannya diadakan dua hari setelah festival."
"Kalau saja orang tua kami masih hidup, mereka tak akan setuju dengan perjodohan ini, Powell." Agatha menggeram.
"Mereka semua telah meninggal, Agatha," belas Powell.[]