Rasa penasaran membuka jalan kemalangan. Mungkin nasihat ayahnya yang satu itu seharusnya diterapkan oleh Molly dalam hidupnya, terutama di waktu-waktu sekarang ini. Sebab, sedetik setelah mulutnya terkatup, si lelaki misterius menghentikan permainan kecapinya.
Mungkin Molly telah menanyakan hal-hal yang sangat sensitif. Rasa penyesalan mengguyur hatinya yang rapuh. Mendadak, dia tak dapat menggerakkan tubuh, seolah dikutuk menjadi batu.
Kecanggungan Molly bertambah saat suasana mendadak menjadi hening. Dia tak mengatakan apa pun untuk kelanjutan dan kejelasan pertanyaan lancangnya. Namun, si lelaki juga tak menanggapi apa pun. Suara gerimis yang menghantam dedaunan dan genangan air menjadi latar belakang, yang anehnya, malah terasa menyiksa dan mencekik.
Kalau dipikir-pikir lagi, Molly sering melihat lelaki itu menghibur di sekitar desa, mendengar puisi yang dinyanyikannya diulang-ulang setiap hari. Ia lupa apa judulnya, namun, Molly dapat memastikan dirinya hafal tiap lariknya beserta nadanya yang cenderung mendayu-dayu.
Keberuntungan tampaknya berpihak pada Molly, mendapati si lelaki tidak menanggapi ucapannya dan lebih memilih untuk menunduk mengamati alat musiknya.
"Ah, senarnya putus satu." Nada suaranya serak basah dan dalam, perpaduan yang unik bagi seorang penyair.
Otak Molly memerintahkan saraf pada tubuhnya untuk segera berjalan, yang untungnya berhasil dilakukan. Dia memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan pulangnya. Di sisi lain, kepalanya berdenyut-denyut dengan perasaan campur aduk, menyesal dan malu adalah yang paling dominan. Namun, ada sedikit rasa lega ketika menyadari si lelaki mengabaikan pertanyaannya.
"Hei, berhenti di sana." Perkataannya datar, tak mirip dengan puisi yang dinyanyikannya barusan. Ditambah pembawaannya yang tidak bersahabat.
Bagai tersihir, Molly menghentikan langkahnya. Ia mengerjapkan mata, bingung pada dirinya sendiri. Sebagian dari dirinya berseru untuk mengabaikan panggilan si lelaki dan pergi begitu saja, berpura-pura tidak mendengar. Namun, sebagian lagi, membuatnya bertanya-tanya, apakah barusan Molly menuruti perintah si lelaki?
"Pinjami aku dua keping koin emas. Senar kecapi milikku putus." Si lelaki kembali berbicara, namun, ia tak beranjak dari posisinya.
Tanpa banyak bertanya, tangan Molly yang semula bersembunyi di balik mantel terangkat untuk merogoh sakunya. Menemukan sebuah kantong koin terbuat dari kulit berwarna cokelat tua, ia lantas mengambil dua keping koin emas.
Molly memutar badannya penuh presisi, lalu berjalan mendekat tanpa mengangkat wajah. Saat tangannya terulur hendak memberikan koin itu, secara tak sengaja mata mereka bertumbuk. Kali ini dengan intensitas yang sama kali berbeda, meskipun sama-sama berlangsung selama tiga detik.
Si lelaki mengambil koin-koin itu dengan gerakan halus dan tenang. Matanya terlihat sangat dalam dan gelap, bagai hutan yang rimbun dan tak terjamah.
Benak Molly dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Dari seribu pertanyaan yang muncul, hanya satu yang membuatnya tersadar: mengapa dirinya menuruti permintaan si lelaki tanpa melakukan perlawanan sedikit pun?
Mereka berdua adalah orang asing, baru saja bertemu tak lebih dari sepuluh menit yang lalu, namun, lelaki itu bertindak lancang meminjam uang dari Molly. Apa-apaan?
"Kau ingat aku menyanyikan puisi yang sama setiap hari?" tanya si lelaki memecah keheningan. Gaya bicaranya lugas dan singkat, tidak bertele-tele dan mendayu-dayu, bukan khas seorang penyair.
"Eh, iya aku mengingatnya." Mulut Molly berbicara di luar keinginan dan kepalanya mengangguk pelan tanpa sadar. Ini bukan sesuatu yang dikehendaki olehnya, sesuatu yang di luar kendalinya ada yang tidak beres.
Mata seindah batu zamrud itu melesat cepat dan bertumbuk dengan mata Molly. Pandangan lelaki itu tajam, seakan tengah menyelami pikiran Molly, memeriksa setiap sudutnya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Si lelaki lantas mengucapkan, "Kau salah mengira, aku baru saja memainkannya hari ini. Ngomong-ngomong, terima kasih untuk koinnya."
Jika si lelaki memang seorang penyair, penampilannya seharusnya mencolok dan nyentrik. Seorang penyair biasanya dikenal atas sikapnya yang periang dan ceria, auranya penuh warna, menebarkan desakan emosional yang positif, membuat siapa pun yang berada di sekitarnya merasakan kegembiraan. Namun, hal itu tidak ditemukan Molly pada lelaki yang berdiri di hadapannya sekarang.
Molly termenung sejenak, seolah baru saja terjerat dalam hipnosis. Tangannya perlahan mengusap wajah hingga ke dagu, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ada sesuatu yang berbeda—entah aura lelaki itu, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam.
Ia menoleh ke sekeliling, mendapati si lelaki telah melenggang jauh menuju tengah desa, menghilang di antara gerimis yang semakin deras. Siulannya masih menggema di jalan alun-alun yang sunyi.
Molly tertegun. Sudah berapa lama dirinya terjebak dalam lamunan di alun-alun? Apa yang membuatnya merasa begitu terperangkap oleh kehadiran si lelaki yang tampak biasa, tapi memiliki sesuatu yang tak terlihat?
Sejenak, Molly merasakan tubuhnya berayun ringan, seolah berhasil mendapatkan kendalinya kembali.
Pikiran Molly melesat pada isi surat kabar yang dibacanya barusan: sihir kata-kata. Mengingatnya saja sudah membuat perut Molly melilit. Apakah barusan dia telah terjerembab sihir si lelaki? Namun anehnya, dia dengan sadar memberikan dua keping koin emas, meskipun sebenarnya ada sebagian tubuhnya yang berseru untuk tidak melakukannya.
Teng. Teng.
Lonceng jam kembali berdentang dari arah menara, membuat Molly berjingkat tersadar. Dia mengusap dada beberapa kali, melihat sekeliling dan mendapati dirinya sendirian di alun-alun sepi dan tertutup kabut. Tidak ingin berlama-lama, Molly memutuskan untuk mengabaikan apa yang barusan terjadi padanya dan berjalan pulang. Mungkin ini adalah bentuk hukuman dari alam, karena aku telah berbicara lancang pada orang asing.
Jalanan menuju ke rumah Molly terbilang cukup jauh. Ia harus melintasi kompleks perumahan dengan gang yang mirip labirin, taman desa yang saat ini tertutup kabut tebal, juga pusat perdagangan. Kakinya melangkah anggun dan halus saat melintasi genangan air di lantai batu jalan.
Beberapa Neverian—sebutan untuk penduduk desa Nevervale—juga terlihat terbalut dalam mantel tebal, berjalan melintasi jalanan yang berair, berlomba-lomba untuk kembali pulang dari tempat kerjanya. Suasana saat hujan memanglah tak meriah ataupun seramai ketika matahari bersinar, namun, selalu berhasil menciptakan ketenangan yang Molly sendiri kagumi.
Kini Molly tiba di pinggiran sungai. Tangannya mulai terasa membeku ketika dia menyusuri aliran air, melangkah menuju jembatan di kejauhan. Langit mendung berganti gelap menuju malam hari, saat ia berhasil mencapai jembatan utama penghubung desa sebelah timur. Matanya mengerjap perlahan saat melihat para prajurit desa menyalakan lampu-lampu jalanan dengan obor yang ditutup dengan penutup kaca. Cahayanya berpendar lembut sedikit temaram.
Setelah berjalan jauh, akhirnya Molly tiba di pinggiran desa. Lebih tepatnya di dekat hutan perbatasan yang memiliki sungai kecil. Tak jauh dari sana, berdiri sebuah rumah megah di tepi sungai yang berkilauan di bawah lampu jalan yang temaram, tempat ia tinggal sejak kecil.
Neverian yang pernah datang ke tempat ini menyebutkan, jika rumah Molly bagaikan sepotong dongeng yang hidup ke dunia nyata. Arsitekturnya, dengan atap melengkung dan jendela-jendela besar yang memancarkan kehidupan dan kehangatan, seolah menyambut siapa saja yang tersesat di dekat hutan. Jembatannya terbuat dari batu berwarna hitam, yang ayahnya sering katakan, kalau batu-batu itu diambil dari bengkel para kurcaci di Tanah Utama. Selain itu, jembatannya juga langsung terhubung dengan teras depan yang tak kalah megah dan rimbun.
Ketika berjalan lebih dekat lagi, bangunan rumah itu dikelilingi oleh tanaman rambat yang menjalar di bagian dinding-dinding. Daunnya bergoyang-goyang seraya dihantam oleh gerimis kecil, senada dengan gemericik air sungai yang mendayu-dayu.
Molly melepaskan mantelnya dan mengibaskannya untuk merontokkan air hujan. Rambut panjangnya separuh basah, bagian bawah roknya juga tak kalah berat akibat beban air. Dia meraih gagang pintu yang mirip tangkai tanaman rambat dari dunia dongeng, berwarna emas dan memiliki ukiran bunga mawar yang tampak hidup di bawah sinar api obor.
"Kau terlambat." Adalah sapaan pertama yang didengar oleh Molly ketika baru saja hendak melangkahkan kakinya ke anak tangga yang pertama.
Mata Molly melesat ke bagian dapur. Seorang wanita paruh baya berambut gelap tengah menggosok piring dan gelas pada bak cucian. Dari gerakan tangannya yang kasar, dan raut wajah yang cenderung ditekuk, tampaknya wanita tua itu dalam suasana hati yang tidak bagus.
"Selamat malam, bibi Joyce. Maaf, aku diharuskan untuk lembur hari ini," sapa Molly. Suaranya mengandung ketenangan dan sopan santun.
Bibi Joyce namanya, wanita yang telah merawat dan membesarkannya. Joyce senantiasa terlihat sinis, dingin, menekuk wajahnya, hingga menimbulkan banyak keriput di sekitar bagian mata dan kedua pipi.
"Perempuan macam apa yang berjalan pulang malam sendirian?" Suaranya amat kasar, bagaikan jalanan terjal bebatuan di dekat pegunungan.
Molly ingin membalas, namun, sebagian dari kewarasannya menyerukan agar dia mengurungkan niatnya. Orang tua memang paling suka menggerutu, mungkin karena pekerjaannya yang teramat berat dan tidak ada yang membantu.
Terombang-ambing antara lanjut berjalan ke kamarnya atau membantu si bibi, alhasil Molly hanya berdiri seraya menggaruk rambut ikalnya yang tidak gatal. Lagi-lagi karena canggung, dia harus mendengkus pelan.
"Pamanmu mengharapkanmu untuk hadir di ruangan kerjanya begitu kau sampai rumah," Joyce berkata lagi tanpa menolehkan kepalanya ke arah Molly. Tangannya masih sibuk menggosok cucian. "Ganti bajumu dan bergabunglah ke sana. Kalian akan membicarakan rencana pernikahan."[]