Loading...
Logo TinLit
Read Story - [END] Ketika Bom Menyulut Cinta (Sudah Terbit)
MENU
About Us  

Aku mencekik Fahmi dengan borgol di tanganku. Itu adalah reaksi spontan, sebuah pertaruhan hidup yang nekat. Cekikanku tidak kuat, tetapi cukup untuk membuat suaranya tercekat. Ia terbatuk, mulutnya menganga, dan tangannya reflek meraih borgolku yang mengencang di lehernya.

Matanya penuh keterkejutan, tetapi tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan. Bekas pukulan dari para penculik telah menyedot habis energinya. Sementara itu, dua pria yang tadi memukulinya kini berdiri terpaku, bingung dengan tindakanku.

"Fahmi, maafkan aku. Aku janji, ini hanya sandiwara..." Aku berbisik, lebih kepada diriku sendiri, mencoba meyakinkan bahwa semua ini tidak salah.

Namun, sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, suara kaki-kaki yang berlari tegas terdengar diikuti teriakan lantang.

"Berhenti! Ini polisi!"

Aku tercekat. Jantungku berdegup berhenti sejenak. Kepanikan melanda, bahkan ke seluruh ruangan. Kedua penculik langsung lari tunggang langgang, meninggalkan aku dan Fahmi.

Polisi datang di saat yang salah. Mata mereka langsung tertuju padaku—aku, yang terlihat seperti penjahat sungguhan yang tengah mencekik seorang remaja tak berdaya.

Beberapa polisi mengejar para penjahat--sungguhan--yang kabur. Sedangkan salah satu polisi mendekat dan langsung meringkusku. Tangannya yang kuat menggenggam tanganku dengan keras. Aku tidak melawan. Apa gunanya? Semuanya sudah selesai.

---

Fahmi diselamatkan oleh polisi, sedangkan aku, di dalam mobil tahanan duduk terdiam. Pandanganku kosong menatap keluar jendela. Banyak sekali kerumunan warga disana-sini. Mereka berkerumun menyaksikan kejadian bom yang meledak tak jauh dari lokasiku di ringkus.

Namun aku tidak peduli semua itu, aku hanya peduli pada nasibku.

"Jadi ini akhirnya?" pikirku. Tidak ada pembelaan, tidak ada cara untuk menjelaskan kebenaran. Yang ada hanyalah kenyataan pahit: aku ditangkap, lagi.

Tiba-tiba mobil berhenti di pinggir jalan. Aku bingung. Ini jelas bukan kantor polisi. Salah satu petugas menerima telepon dan berbicara dengan nada serius. Aku mencoba mendengarkan, tetapi tidak ada yang jelas.

Beberapa saat kemudian, pintu mobil terbuka. "Keluar," perintah salah satu polisi. Aku menurut, meski kepalaku dipenuhi rasa penasaran bercampur takut.

Di belakang mobilku, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Pintu mobil itu terbuka, dan seseorang keluar. Aku menahan napas ketika melihat siapa yang keluar. Meski wajahnya lebam dan tubuhnya limbung, aku mengenali sosok itu.

Fahmi.

Dia mendekat, langkahnya pelan, dibantu seseorang. Kami saling tatap. Aku tidak bisa membaca pikirannya, tapi melihat kondisinya membuat hatiku terenyuh.

Ketika jarak kami sudah cukup dekat, dia berkata pelan, "Terima kasih sudah menyelamatkanku."

Lalu dia berbalik, kembali ke mobilnya.

Aku terpaku. Itu saja? Hanya itu?

Kata-katanya berputar di kepalaku seperti gema. Apakah dia tidak akan mencoba membela diriku? Atau paling tidak menjelaskan bahwa aku tidak berusaha mencelakainya?

Aku kebingungan oleh tindakannya.

Aku dipaksa masuk kembali kedalam mobil.

---

Sesampainya di kantor polisi, aku segera diinterogasi. Pertanyaan-pertanyaan tajam terus dilontarkan: nama, umur, pekerjaan, dan tentu saja, tentang pembunuhan Bu Diana.

"Sudah aku tegaskan aku bukan pelaku pembunuhan, aku tidak tahu apapun. Bahkan ketika aku keluar dari bilik toilet bu Diana sudah tak bernyawa". Sergahku, nadaku ketus. "Lagian semua orang di gedung itu sudah mati karena bom. Apa artinya satu pembunuhan jika dibandingkan semua itu?"

"Tindak kejahatan tetap harus diusut, tidak peduli apa pun yang terjadi setelahnya," jawab polisi di depanku dengan datar. kemudian per tanyaan berlanjut tentang keter libatan ku dalam penculikan Fahmi.

Aku kembali membela diri, bersikeras bahwa aku tidak terlibat ataupun bersalah. Namun lagi-lagi polisi itu tidak peduli dan melanjutkan tulisannya di komputer.
Aku menghela napas panjang. Tidak ada gunanya berdebat. Akhirnya dengan perlahan, aku mulai menceritakan semuanya—tentang bagaimana aku menemukan tubuh Bu Diana, tentang keterlibatanku yang tidak sengaja, dan tentang usaha pelarianku.

Ketika tiba di bagian tentang Fahmi, aku menekankan bahwa cekikanku hanya sandiwara.

"Itu caraku untuk menakut-nakuti penculik. Aku tidak pernah berniat menyakitinya, malah hendak menyelamatkannya," jelasku dengan nada penuh harap.

Namun, polisi hanya mengetik tanpa komentar. Ketika akhirnya mereka mencetak hasil interogasi itu dan memintaku membacanya, aku tidak punya pilihan selain menyetujuinya.

Setelah semua aku konfirmasi kebenarannya. aku diminta untuk menunggu

---

Setelah menunggu, dua polwan mendatangiku. Mereka terlihat ramah, bahkan mencoba menenangkanku.

"Mbak aman kok. Percaya sama kami," ucap salah satu dari mereka, menggandeng tanganku lembut.

Aku tersenyum tipis, merasa sedikit nyaman untuk pertama kalinya. Namun kenyamanan itu hancur ketika aku dibawa dan melihat pintu sel tahanan di depan sana.

"Tidak! Aku tidak bersalah! Aku tidak pantas dipenjara!" Aku mencoba mundur, menolak masuk. Tapi kedua polwan itu tetap mendorongku dengan tenang.

"Mbak sementara di sini dulu ya. Semuanya akan baik-baik saja kok."

Baik-baik saja? Aku hampir tertawa getir mendengar kata-kata itu. Tangisku pecah ketika aku masuk kedalam sel dan pintu sel dikunci.

"Arrrgh." Tangisku.

---

Aku terduduk memeluk lutut di pojokan, ku benamkan wajahku diantaranya.

Orang-orang yang pernah kukenal mulai bermunculan di pikiranku—orangtuaku, rekan-rekan kerjaku, dan... Fahmi. Ya, Fahmi. Entah mengapa, wajahnya mulai menghantuiku.

"Kenapa aku memikirkannya?" bisikku, memarahi diriku sendiri. Tapi tidak ada jawaban.

Cukup lama aku meratapi diri dan  terbenam dalam kesedihan, suara seorang wanita terdengar dari luar sel mengejutkanku.

"Kau akan bebas, asalkan kau mau bekerjasama denganku."

Aku menoleh cepat. Dan kutatap wajah wanita itu lekat-lekat. Aku tidak mengenalnya.

"Siapa kau?".

"Aku ibu dari Fahmi Al Yahya"

"Ibu Fahmi?" tanyaku memastikan, suara ku bergetar.  

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Trip
935      475     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
Premium
Cinta Dalam Dilema
37715      4669     0     
Romance
Sebagai anak bungsu, Asti (17) semestinya menjadi pusat perhatian dan kasih sayang ayah-bunda. Tapi tidak, Asti harus mengalah pada Tina (20) kakaknya. Segala bentuk perhatian dan kasih sayang orang tuanya justru lebih banyak tercurah pada Tina. Hal ini terjadi karena sejak kecil Tina sering sakit-sakitan. Berkali-kali masuk rumah sakit. Kenyataan ini menjadikan kedua orang tuanya selalu mencemas...
Can You Hear My Heart?
432      256     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
A Place To Remember
1043      640     5     
Short Story
Cerpen ini bercerita tentang kisah yang harus berakhir sebelum waktunya, tentang kehilangan, tentang perbedaan dunia, juga tentang perasaan yang sia-sia. Semoga kamu menyukai sepotong kisah ini.
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
8590      2735     4     
Romance
Kisah tentang Adam, pemuda single yang sulit jatuh cinta, nyatanya mencintai seorang janda beranak 2 bernama Reina. Saat berhasil bersusah payah mengambil hati wanita itu, ternyata kedua orang tua Adam tidak setuju. Kisah cinta mereka terpaksa putus di tengah jalan. Patah hati, Adam kemudian mengasingkan diri dan menemukan seorang Anaya, gadis ceria dengan masa lalu kejam, yang bisa membuatnya...
Strange Boyfriend
282      228     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
A CHANCE
1870      846     1     
Romance
Nikah, yuk!" "Uhuk...Uhuk!" Leon tersedak minumannya sendiri. Retina hitamnya menatap tak percaya ke arah Caca. Nikah? Apa semudah itu dia mengajak orang untuk menikah? Leon melirik arlojinya, belum satu jam semenjak takdir mempertemukan mereka, tapi gadis di depannya ini sudah mengajaknya untuk menikah. "Benar-benar gila!" 📌📌📌 Menikah adalah bukti dari suatu kata cinta, men...
Arloji Antik
398      258     2     
Short Story
"Kalau langit bisa dikalahkan pasti aku akan ditugaskan untuk mengalahkannya" Tubuh ini hanya raga yang haus akan pengertian tentang perasaan kehidupan. Apa itu bahagia, sedih, lucu. yang aku ingat hanya dentingan jam dan malam yang gelap.
Bee And Friends
2984      1170     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
Night Wanderers
17793      4179     45     
Mystery
Julie Stone merasa bahwa insomnia yang dideritanya tidak akan pernah bisa sembuh, dan mungkin ia akan segera menyusul kepergian kakaknya, Owen. Terkenal akan sikapnya yang masa bodoh dan memberontak, tidak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Billy, satu roh cowok yang hangat dan bersahabat, dan kakaknya yang masih berduka akan kepergiannya, Ben. Ketika Billy meminta bantuan Julie...