Namaku Maya Suriningsih. Nama yang selalu menjadi bahan olokan teman-temanku. Aku sering bertanya pada Ayah dan Ibu, mengapa memilih nama belakang Suriningsih. Kampungan. "Itu nama nenekmu," jawab Ayah dengan nada tegas. "Dia wanita hebat yang berjasa besar dalam hidup Ayah. Ayah berharap namanya menjadi doa untuk hidupmu."
Namun, itu tak membuatku merasa lebih baik. Nama itu tetap terdengar kampungan.
Bagaimana mungkin aku bisa berjasa untuk orang lain, kalau menolong diriku sendiri saja aku tidak mampu? Aku mendesah dalam lamunan di ruang tunggu yang sunyi.
Dingin.
Kosong.
Suaraku sendiri menggema dalam pikiran, hingga suara ketukan di pintu membangunkan lamunanku. Seorang pria masuk, aku kira itu wanita yang menyebut dirinya ibu Fahmi, namun orang lain. Mengenakan jas abu-abu yang terkesan rapi namun kasual. Dia tersenyum sopan.
"Selamat malam mbak Maya," sapanya. "Perkenalkan aku Detektif Rifqi Maul."
"Oh, bukan wanita tadi ya" balasku singkat. Energi untuk berbasa-basi hilang entah ke mana.
"Maksudmu Ny. Lena, oh aku disini menggantikannya karena dia harus segera kerumah sakit menemani anaknya Fahmi Al Yahya," jelasnya. Mendengar nama itu, aku mengangguk. "Mungkin kau sudah tahu sedikit kalau Ny. Lena ingin menawarkan kesepakatan denganmu."
Aku terdiam. memang benar, namun kenapa?
Detektif Rifqi duduk di depanku, memasang ekspresi serius namun tidak mengintimidasi.
"Kami ingin kau bekerja sama untuk membantu menangkap pelaku penculikan Fahmi. Ini karena polisi telah gagal menangkapnya tadi siang. Sebagai gantinya, Ny. Lena bersedia membantu meringankan hukuman mu. Atau mungkin kau bisa saja bebas dari semua tuduhan."
"Kenapa harus aku?" tanyaku, menahan ketidakpercayaan.
"Karena kau satu-satunya yang melihat wajah para pelaku selain Fahmi," jawabnya lugas. "Fahmi mengatakan kau bisa dipercaya. Dia bahkan bersikeras memilihmu, meski keluarganya ragu." Detektif Rifqi tersenyum tipis. "Fahmi menganggapmu pahlawan, Maya. Meski kau tak menyadarinya."
Aku terdiam, kata-katanya membuatku merenung. Anak itu-Fahmi-ternyata benar-benar serius dengan ucapannya. Tapi, permintaan mereka terasa seperti beban berat. Apa aku bisa membantu?
"Tenang saja," lanjut Detektif Rifqi, seperti memahami keraguanku. "Kami akan melindungimu. Bahkan jika bekerja sama, kau tidak perlu kembali ke penjara. Bagaimana?"
Setelah jeda panjang, aku mengangguk. "Aku setuju. Tapi ada syaratnya."
"Sebutkan," balas Detektif Rifqi sigap.
"Berikan aku tempat yang aman." Suaraku tegas, menuntut.
"Sudah kami siapkan," jawabnya yakin.
Kami berjabat tangan, tanda kesepakatan. Tak lama kemudian, dua Polwan masuk, melepas borgol di tanganku, dan mempersilakan aku pergi bersama Detektif Rifqi.
-
Perjalanan menuju tempat tinggal baruku terasa seperti mimpi. Tadi aku dijemput menggunakan mobil mewah. Mobil yang kutumpangi seolah menegaskan bahwa keluarga Fahmi bukan orang sembarangan. Dalam hati, aku bertanya-tanya siapa sebenarnya mereka, hingga bisa mengatur semua ini. Namun, pertanyaan itu segera memudar. Dalam keheningan, wajah Fahmi muncul di benakku.
"Bagaimana keadaan Fahmi?" tanyaku kepada Detektif Rifqi yang sedari tadi duduk di sebelahku, mencoba terdengar biasa saja.
"Dia baik," jawab Rifqi. "Sedang dirawat di rumah sakit."
"Oh." Jawabku datar.
Sebenarnya aku ingin bertanya lebih banyak, tapi menahan diri. Aku tak mau tampak terlalu peduli, meski hatiku terus bertanya-tanya.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar. Halamannya luas dengan pohon-pohon rindang yang berjajar rapi. Rumah tiga lantai itu tampak megah, nyaris seperti istana.
Aku dipersilahkan turun dari mobil dan masuk ke rumah.
Seorang pria paruh baya menyambut kami di ruang tamu. Tatapannya tajam, penuh wibawa, dan wajahnya sangat mirip dengan Fahmi.
Kami dipersilahkan duduk. Kemudian orang yang ada dihadapanku memulai percakapan tak ramah.
"Oh, jadi ini dia, orang yang menyelamatkan anakku, sekaligus mencoba mencekiknya."
Aku terdiam, jantungku berdebar keras. Detektif Rifqi yang menjawab, mencoba mencairkan suasana.
"Pak, biar saya jelaskan. Maya tidak bermaksud mencelakakan Fahmi. Justru karena keberaniannya, Fahmi bisa selamat." Rifqi melirikku, memberi isyarat agar aku bicara.
"Hmm betul pak, Fahmi bersikeras melawan para penculik," jelasku, suaraku bergetar. "Aku mencoba menolongnya, meski akhirnya salah paham."
Pria itu terdiam sejenak. "Anakku percaya padamu. Aku juga ingin percaya, tapi rasa percayaku tidak gratis." Tatapannya menusuk. "Kau harus membantu kami menangkap para pelaku. Jika gagal, aku akan memastikan kau kembali ke penjara."
Keringat sesaat mengucur dari pelipisku, Aku mengangguk pelan. Apa lagi yang bisa aku lakukan?
-
Setelah percakapan singkat, ayah Fahmi pergi dan menyuruhku mengikuti semua arahan Detektif Rifqi.
Detektif Rifqi bilang kalau sekarang sudah larut dan sebaiknya aku istirahat terlebih dahulu di kamar tamu. Aku mengangguk mengiyakan.
Di sepanjang lorong rumah, aku terus takjub dengan kemewahan yang ada. Ketika pintu kamar dibuka, aku tercengang.
Ruangan itu lebih mirip kamar remaja cowok. Ada gitar-gotar berserakan, konsol game yang menyala, buku komik bertebaran, dan tempat tidur yang tak rapi.
"Ini kamar tamu?" tanyaku heran.
"Iya, tapi mungkin dulu Fahmi sering menggunakannya. Kau tak keberatan, bukan?" detektif Rifqi bertanya sambil tersenyum tipis.
"Baiklah," kataku akhirnya.
Rifqi memperingatkanku untuk tidak menyentuh barang-barang lain, kecuali ranjang. Setelah dia pergi, aku menutup pintu dan mulai mengamati ruangan. Aroma khas seorang remaja lelaki memenuhi kamar, entah mengapa, membuatku merasa nyaman. Aku memejamkan mata dan lagi-lagi membayangkan wajahnya. Wajah Fahmi.
Aku bertanya-tanya, kenapa dia selalu ada di pikiranku. Perasaan apa yang sedang menimpaku, aku belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
Apakah ini yang disebut jatuh cinta? Aku masih mencoba memahami perasaan ini.
Saat aku hendak berbaring, aku menyadari ada benda di bawah selimut. Aku membuka selimutnya dan kudapati sebuah jurnal. Aku membuka halamannya, dan mataku langsung tertuju pada tulisan besar:
"AKU BENCI ORANG TUAKU."
Rasa penasaran membuatku membaca lebih jauh.
"Mereka memaksaku menjadi seperti mereka. Ayah ingin aku belajar di jurusan Geologi, Ibu ingin aku belajar di jurusan Manajemen Perbankan. Mereka bilang itu demi masa depanku. Tapi aku tak peduli dengan itu, yang aku pedulikan hanya bermusik, bermain game dan menjadi diriku sendiri."
"Hari ini Aku benar-benar muak. Mereka sudah keterlaluan, memindahkan semua barangku ke kamar tamu dan mengurungku. Aku lebih baik berada di tempat yang tidak ada mereka. Biarkan mereka tidak pernah menemukan aku lagi."
Aku terdiam, mencoba mencerna isi jurnal itu. Sebuah jurnal yang aku yakin ditulis oleh Fahmi menyentuh hatiku. Ternyata kedua orang tuanya bukanlah orang tua yang baik.
Sekilas aku kembali mengingat cerita Fahmi waktu itu. Apakah dia sebenarnya melarikan diri dan di sergap oleh penculik akibat suruhan orang tuanya? Ah tidak mungkin pikirku.
Namun semakin aku pikirkan semakin keras skenario dalam kepalaku memainkan rangkaian cerita seperti film. Aku tidak bisa tidur. Aku harap aku bisa bertemu dengan Fahmi untuk memastikan semua ini.
Aku memasukan buku catatan Fahmi kedalam saku celanaku, dan mencoba memejamkan mata menunggu hari esok.