Gedung ini dulunya dirancang untuk menjadi mal terbesar di Palangka Raya. Namun proyek itu dihentikan oleh pemerintah tanpa alasan yang jelas, meninggalkan puing-puing gelap nan kosong. Kini, gedung terbengkalai ini menjadi sarang aktivitas kriminal, termasuk penyekapan korban penculikan.
Di sudut salah satu ruangan gelap itulah aku bertemu dengan Fahmi Al Yahya, seorang pemuda tampan, anak pemilik bank ternama di kota ini. Tubuhnya yang terlihat kelelahan duduk di antara puing-puing. Sorot matanya menelusuri diriku dari kepala hingga kaki, membuatku risih.
“Kenapa lihat-lihat?” tegurku dengan nada tajam.
“Maaf. Aku cuma heran... kenapa kamu diborgol?” tanyanya polos.
Dadaku berdebar. Jika Fahmi tahu siapa aku sebenarnya—tersangka pembunuhan yang sedang dalam pelarian—aku bisa saja dilaporkan ke polisi. Tapi dia juga korban di sini, sama sepertiku.
“Hmmm... aku dituduh membunuh seseorang, lalu ditangkap, dan melarikan diri,” jawabku singkat dan lirih, mencoba terdengar meyakinkan.
Fahmi terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku percaya.”
Aku tertegun. Secepat itu?
“Gampang sekali kamu percaya” tanyaku penuh curiga.
“Seorang pembunuh tidak akan menyelamatkan orang lain bukan. Lagian kalau kau benar-benar si pelaku, kau pasti sudah meninggalkanku atau malah membunuhku juga,” jawabnya tenang, membuat hatiku sejenak merasa teduh.
“Makasih,” ucapku sambil tersenyum kecil.
Namun keheningan itu tak bertahan lama. Fahmi duduk di lantai, menghadap satu-satunya sumber cahaya di ruangan, dan mulai bercerita.
“Aku sedang dalam perjalanan pulang dari kampus waktu itu, sekitar jam sepuluh malam. Tiba-tiba sebuah mobil menghadang motorku. Dari mobil itu keluar seorang pria. Dia mengancamku dengan pisau, memaksa aku masuk ke mobilnya. Aku tak punya pilihan.”
Matanya memancarkan rasa takut saat mengingat kejadian itu.
“Setelah aku masuk, mereka memaksaku meminum sesuatu, lalu aku tak sadarkan diri. Ketika terbangun, aku sudah berada di gedung ini.”
Aku mendengarkan dengan cermat, menyadari betapa trauma itu masih membekas di dirinya.
“Kau ingat sesuatu kalau-kalau itu jadi petunjuk untuk menemukan mereka?” tanyaku hati-hati.
“Sopirnya. Dia kelihatan ketakutan... usianya sekitar tiga puluhan, seorang wanita dengan wajah bulat dan ada luka seperti terbakar di tangan kirinya” jawabnya tegas.
Suara langkah kaki tiba-tiba memecah percakapan kami. Senter menyala dari kejauhan, cahayanya menyorot dinding ruangan.
“Sepertinya bantuan datang!” seru Fahmi penuh harap.
Namun berbeda denganku. Jantungku berdegup kencang. Bagaimana jika itu polisi?
Kami tetap diam, mendengarkan suara pria dan wanita berbicara di kejauhan.
“Kau yakin anak itu itu masih di sini?”
“Tentu. Tidak mungkin dia kabur.”
Fahmi menegang, matanya menatap tajam ke arah suara itu.
“Suara itu... aku mengenalnya. Itu mereka,” bisiknya penuh amarah.
“Kalau gitu kita harus pergi sekarang!” desakku, panik.
“Tidak. Ini kesempatanku untuk menangkap mereka,” jawabnya dingin.
“Kalau kau ditangkap lagi bagaimana? Lebih baik kita kabur!”
Namun Fahmi tidak mendengarkan. Dia memungut sebatang kayu di lantai dan berdiri menunggu.
Orang-orang yang kami dengar suaranya akhirnya muncul. Satu orang pria dan wanita dengan wajah ditutupi masker serta menggunakan jaket tebal. Sorotan senter mereka menembus kegelapan, langsung mengarah ke wajah kami. Aku refleks menutup mata karena silau. Tapi Fahmi, dengan keberanian yang entah dari mana, langsung menyerang mereka dengan kayu di tangannya.
“Dasar anjing kalian semua!” teriaknya sambil mengayunkan kayu ke arah mereka.
Panik, aku mencoba mencari cara untuk membantu. Namun dengan tangan terborgol, aku tak bisa melakukan apa-apa. Fahmi berhasil mengenai pinggang dari seorang pria diantara mereka, tapi pukulan berikutnya meleset. Membuat pergulatan antara dua lawan satu dimulai.
Pria itu berhasil merebut kayu dari tangan Fahmi, membuat Fahmi tersungkur ke lantai.
Si wanita bermasker dengan sigap mengunci tubuh Fahmi dari belakang. Pukulan pertama menghantam tubuh Fahmi.
BUG!
Aku menahan napas, mendengar suara tulang yang seolah retak.
Pukulan berikutnya menghantam perutnya. Fahmi tersentak, tubuhnya membungkuk seperti tercekik rasa sakit. Namun pria itu tak berhenti. Pukulan bertubi-tubi menghantam wajah dan tubuhnya tanpa ampun.
“Berhenti!” teriakku, panik. Air wajahku begitu cemas.
Namun mereka itu tak peduli.
Aku memungut batu dari lantai dan, dengan sekuat tenaga, menghantam kepala seseorang yang memegangi Fahmi dari belakang. Dia tersentak, melepas pegangan, lalu terhuyung seperti mabuk.
Aku menyeret Fahmi menjauh. Tubuhnya terasa berat, hampir tak berdaya. Namun langkah kami terhenti ketika salah seorang pria berdiri menghadang di depan kami.
“Jangan lari!” bentaknya.
Dadaku seperti dihantam palu. Nafasku tercekat, sementara mataku mencari celah untuk kabur. Tapi pria itu maju selangkah, membuatku semakin terpojok.
Aku menoleh ke belakang. Si wanita mulai bangkit, darah mengalir dari pelipisnya. Dia memblokade jalan kami. Tak ada jalan keluar.
Desakan ketakutan memaksa otakku berpikir gila.
Aku mengalungkan tangan yang terborgol ke leher Fahmi, berpura-pura mencekiknya.
“Jika kalian mendekat, aku akan membunuh bocah ini! Dia yang kalian mau bukan?” Ancamku dengan suara bergetar.
Kedua penjahat itu terdiam. Sorot mata mereka penuh kebingungan dan kemarahan. Namun sebelum mereka sempat bergerak, suara keras menggema di ruangan.
“BERHENTI! INI POLISI!