"Ya, Allah! Apa ini?"
Teriakan histeris pecah dari dapur warung nasi pinggir jalan saat matahari tengah menjulang tinggi di langit. Ibu warung, Nyonya Siti, kaget luar biasa melihat Puspa berlutut di lantai dengan pisau dapur di tangan. Darah mulai membasahi pergelangan tangannya.
“Oalah, Puspa! Aku minta bantu-bantu masak, kok malah jadi begini?” tanya Bu Siti yang hanya dijawab dengan kebisuan Puspa yang hanya termangu. Kedua mata perempuan muda berusia 20 tahun itu sudah basah dengan tangis tanpa suara.
Dalam kepanikan, Bu Siti segera membungkus luka dengan kain bersih dan melarikan Puspa ke rumah sakit terdekat, tepatnya Rumah Sakit Jiwa. Bu Siti menganggap itu tempat yang tepat untuk mengobati luka di pergelangan tangan Puspa serta yang tertoreh di kalbunya.
Bu Siti sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Puspa sebelumnya. Perempuan cantik itu datang ke warung beberapa hari lalu untuk berteduh dari hujan. Keadaannya sangat memprihatinkan. Lemah, kedinginan, dengan dandanan yang tak terurus. Karena iba, Bu Siti memberi Puspa makan dan tempat menginap.
Sepanjang hari, tamu tak diundang itu diam saja. Untunglah, saat ditanya nama, dia menuliskan nama lengkapnya, Puspa Dewi Ratna. Namun, ketika Bu Siti menanyakan asal dan alasan pergi sendirian, Puspa hanya menangis. Sejak itu, Puspa semakin murung dan tertutup. Puncaknya, kehebohan siang itu yang membuat Puspa dibawa ke RSJ Jaya Manah.
Di sana, Puspa langsung ditangani oleh Profesor Wijaya, sang psikiater terkenal sekaligus pemilik rumah sakit tersebut. Profesor separuh baya bertubuh berisi itu dengan cermat membersihkan luka Puspa dan menjahitnya dengan hati-hati.
"Syukurlah, lukanya tidak dalam. Tampaknya, Puspa melukai diri dengan ragu-ragu," ujar profesor kemudian kepada Bu Siti. “Berhubung Bu Siti sendiri tidak tahu asal-usul gadis ini, biarlah dia dirawat di sini dulu. Sebagaimana motivasi Ibu memilih membawanya ke rumah sakit ini, kami akan berusaha menyembuhkan luka batinnya, sambil melaporkan ke polisi. Siapa tahu, ada sanak keluarganya yang mengenali.”
Sepeninggal Bu Siti, Profesor Wijaya tidak bisa mengabaikan pandangannya yang penuh tanda tanya. Beliau memperhatikan garis wajah Puspa yang terlihat lelah, tetapi tidak tampak seperti usai bekerja keras. Begitu pun kondisi kulit wajahnya yang halus bersinar untuk ukuran seseorang yang jarang merawat diri seperti keterangan Bu Siti. Juga, rambut Puspa yang lembap bercahaya.
Tiba-tiba, Puspa merasa mual. Buru-buru Profesor Wijaya mengambilkan baskom. Namun, tidak ada apa pun yang keluar dari mulut Puspa. Reflek, Puspa meremas perut. Dengan hati-hati, Profesor Wijaya bertanya, "Puspa, kamu hamil?”
Puspa menatap profesor dengan pandangan penuh ketakutan. Dia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Profesor pun menghubungi rumah sakit terdekat dan mengutus salah satu perawatnya untuk mendampingi Puspa memeriksakan kandungan.
***
Sepanjang masa kehamilan, sudah berkali-kali Puspa terpikir untuk mengenyahkan makhluk di rahimnya. Namun, dia tidak tahu caranya. Melukai diri saja dia gagal. Bagaimana lagi melenyapkan nyawa yang masih bersembunyi dalam perut?
Mengalami banyak ketakutan dan kebingungan membuat Puspa tidak tahu harus melakukan apa. Bayang-bayang kehadiran makhluk mungil tanpa daya dan penuh kebutuhan membuat semuanya terasa semakin sulit bagi Puspa.
Dia merasa tidak mampu memberi dukungan pada anaknya saat dia sendiri sedang berjuang melawan perasaan tak terkendali, sebuah hasil dari perjuangan batin yang tak terbayangkan. Menyadari sang bayi akan tumbuh tanpa ayah, tentu akan membuatnya diliputi perasaan tidak aman dan kesepian yang bisa merobek hati.
Apa lagi, ketika kontraksi rahim yang menderanya terus meningkat intensitas dan frekuensinya. Puspa berjuang keras melawan kehendak tubuh yang sedang mempersiapkan diri mengantarkan bayi ke dunia fana. Batinnya memberontak antara melepaskan atau menahan.
Puspa tahu betul kecamuk kesedihan dan rasa putus asa saat tidak diinginkan, ditinggalkan, dan terluka oleh orang-orang di sekitarnya. Semua perasaan itu kembali menghantam luka-luka lama yang belum sempat sembuh. Bukankah lebih baik dirinya seorang yang menolak kehadiran si bayi, daripada nanti terlanjur dunia nan luas ini yang melakukannya?
Para perawat RSJ sudah menyiapkan satu ruangan untuk membaringkannya. Dokter kandungan yang selama ini memantau perkembangan kehamilan Puspa dan katanya dulu mahasiswa sang profesor pun segera sigap menangani.
Puspa masih teringat ketika mencuri dengar sang dokter bertanya pada perawat pendamping Puspa tentang suami atau kerabat Puspa. Apakah di saat-saat seperti ini memang tidak bisa dilalui sendirian? pikir Puspa kalut.
Seiring dengan semakin hebatnya kontraksi, sakit punggung mulai menjalar bersama perubahan postur tubuh dan tekanan di daerah pinggang Puspa. Tekanan kuat menghujam di dalam panggul akibat sang janin bergerak turun mencari jalan. Bagian itu terus meregang dan menekan, mengirimkan rasa ketidaknyamanan yang sangat.
“Dorong, Bu! Jangan ditahan! Satu, dua, dorong!” ucap sang dokter memberi aba-aba.
Apa jadinya jika kudorong terus? Ini sudah sangat sakit. Jika kutambah lagi, tubuhku akan robek! jerit Puspa dalam hati.
“Nekat aja, Bu! Dorong sekuatnya! Ambil napas panjang, dorong!” tambah bu dokter terus menyemangati.
Ya, aku nekat saja. Apa gunanya hidup? Biar badanku sobek. Biar si bayi jatuh. Biar kami pergi dari dunia ini. Toh, tidak ada yang menginginkan kami, cetus batin Puspa.
Puspa menarik napas sepanjang mungkin dan mengembuskannya lewat mulut sambil mendorong terus sekuat tenaga agar seluruh isi perut termuntahkan keluar. Dia sudah tak peduli lagi dengan segala rasa sakit yang menyayat. Puspa hanya ingin segera melepas jiwanya dari raga.
Satu embusan itu dikeluarkannya tanpa putus. Tak ada lagi tarikan. Semua harus keluar, keluar! Segenap emosi Puspa tumpah bersamanya. Hingga samar-samar terdengar erangan lemah di bawah sana, Puspa terus berusaha meluapkan segala rasa melalui celah rongga mulutnya yang membuka lebar.
“Sudah, Bu! Cukup! Bayinya sudah keluar. Ganteng, sehat,” cetus sang dokter berusaha menyadarkan. Beliau memberi isyarat perawat agar membersihkan tanpa berkomentar tentang muncratan berlebih dari rahim Puspa yang membasahi lantai.
Puspa tertegun. Sosok mini itu berhenti merengek begitu ditengkurapkan ke dadanya. Isapan jempol sang bayi perlahan terlepas dan sang bayi mulai merambat ke sisi dada Puspa. Salah satu perawat datang mengajarkan cara menyusui, sebuah pengalaman ajaib yang membuat Puspa ingin terus menjadi ibu.
Perempuan itu merasa begitu berharga saat melihat bagaimana sang bayi sangat membutuhkan. Tubuhnya bagai magnet yang membuat sang bayi tenang. Pelukan dan belaiannya mampu mengusir kegelisahan si kecil. Serta-merta, segala kegundahan Puspa pun hilang.
Seorang bayi telah lahir di tengah gelapnya perjalanan batin sang ibu, menyergapkan berjuta rasa cinta hanya dengan tangisnya. Puspa jadi ingin terus melindungi sang makhluk polos dalam dekapan, itu saja yang akhirnya merajai pikiran.
Profesor Wijaya tertegun sekaligus gembira mendengar tangisan pertama itu dari ruang kerja. Begitu diizinkan, beliau datang menjenguk dan menggendong bayi mungil itu. Sejenak diamatinya wajah lembut sang bayi yang tertidur lelap.
Beliau memikirkan bagaimana selama ini telah melaporkan ke kepolisian dan mengumumkan keberadaan Puspa melalui aneka media surat kabar dan radio. Beberapa orang datang memastikan, tetapi tak ada satu pun yang mengenali Puspa.
Profesor mencium kening bayi itu, kemudian bertanya, “Apakah Ibu Puspa sudah menyediakan nama untuknya?”
Puspa menggeleng lemah.
Profesor terus menimang bayi itu dalam dekapan seraya berkata, “Boleh saya yang memberinya nama?”
Puspa mengangguk.
“Namanya Jaya Amanah Putra,” ucap sang profesor sambil tersenyum melihat ekspresi menggemaskan si bayi yang sedang menguap, “Jika Ibu Puspa izinkan, saya akan menanggung biaya hidupnya hingga kalian bisa berkumpul kembali dengan keluarga.”
Dengan mata berkaca-kaca seakan-akan menyampaikan terima kasih, Puspa mengangguk setuju.