Malam harinya, meski setelah pertandingan yang luar biasa itu Manik masih tidak bisa tidur meski mencobanya dengan keras. Bayangan Seynald terus muncul dalam benaknya, ia terus teringat akan kata-kata terakhir temannya yang sangat bahagia itu. Seynald merasa senang dan puas, seolah semua yang terjadi di malam saat ia masih bersama Manik sudah cukup untuk membuatnya merasakan hidup yang begitu ia syukuri.
Manik bangkit dari tempat tidurnya, berjalan menuju meja tulis di sudut kamarnya. Di sana, ia melanjutkan naskah Navaphare, mencoba menulis dengan perasaannya yang campur aduk. Sejenak, Manik yang mencoba merangkai kata itu menghentikan tulisannya. Ia benar-benar tidak bisa menulis apapun, di kamar yang di tinggalinya sendiri itu membuat Manik nyaris berpikiran kosong. Kemudian, mengetuk-ngetukkan pena pemberian Nirluka ke kepalanya, menyerah untuk melanjutkan naskah. Menatap kertas kosong, air mata mengalir di pipinya. Ia menyadari bahwa Seynald tidak menyesali kematiannya, atau setidaknya begitulah pikir Manik karena Seynald seolah telah merasakan kebahagiaan sejati di saat-saat terakhirnya. Namun, bagi Manik sendiri, kehilangan ini adalah luka yang dalam. Sialnya, Manik tidak bisa menulis apapun tentang Seynald tanpa bantuan Nirluka.
Manik teringat sesuatu yang entah itu ia dapati darimana, ia kemudian melompat dari meja tulis, menghentikan aktivitas menulisnya, dan berlari ke lapangan basket seraya mengambil jaket di kenop pintu kamarnya.
.
Ia sampai di pinggir lapangan basket akademi, sendirian, Manik merasakan kehadiran yang familiar. Dalam cahaya redup bulan, ia melihat bayangan Seynald tengah duduk di bangku yang sama seperti saat ia memanaskan bangku cadangan, tersenyum kepada Manik.
"Hei, kawan," kata Seynald dengan suara lembut, "sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang bagiku."
"Apa sebenarnya kau ini," Manik menggenggam mengepalkan tinjunya dengan geram, menahan kesedihan sekaligus kebingungan.
"Aku hanyalah seorang yang payah dalam bermain basket, lalu menikmati momen-momen kecil seperti mendengar mimpi yang kau miliki. Aku akan selalu ada di sini, menunggu bagaimana kau merampungkan Navaphare." Tukasnya, jawaban itu tidak memuaskan Manik.
Dengan senyum yang hangat, bayangan Seynald perlahan memudar, meninggalkan Manik dengan perasaan kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Malam itu, Manik menyadari bahwa pertemanan mereka sejatinya tidak pernah benar-benar berakhir, meskipun dipisahkan oleh kematian, atau lebih tepatnya sebuah ketiadaan. Ia bertekad untuk menghargai setiap momen kecil dalam hidupnya, seperti yang selalu Seynald katakan.
Manik mengambil satu langkah mundur, meyakinkan diri sendiri bahwa kenangan akan selalu menjadi bagian dari dirinya, memberikan kekuatan tersendiri kepadanya. Dari balik kabut tipis di malam hari itu, seseorang berdiri di hadapan Manik, di belakang bangku panjang pinggir lapangan basket, yang sedari awal sosok tersebut berada di tempat itu tanpa Manik sadari.
"Nirluka, sejak kapan kau ada di sini?" tanya Manik, setelah menyadari siapa sosok di balik bayangan tersebut.