Saat hendak pulang, Ara dan Iago mendapati Daniel tengah duduk sendiri di ruang tamu sembari bermain game di ponselnya. Acara telah usai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang tinggal di sana. Kebanyakan itu adalah rekan-rekan bisnis papi Iago.
“Lisa udah cabut sambil ngamuk-ngamuk. Laura lagi nempel terus sama bokap lo kayak koyo cabe,” beri tahu Daniel, padahal tak satu pun dari Iago maupun Ara yang bertanya.
“Oh....” Iago hanya meringis. “Dan, gue bisa minta tolong nggak?”
Daniel tampak berpikir. “Tergantung.”
“Lo bisa anterin Ara pulang nggak?”
Ara sontak mengarahkan pandangannya pada Iago.
“Tergantung juga,” respons Daniel datar.
Iago menyipit, melemparkan pertanyaan tak terucapnya.
“Tergantung Ara mau atau nggak,” jelas Daniel.
“Dia mau kok. Harus mau.”
“Gue nggak mau!” tolak Ara langsung. “Lo nggak inget kalau Daniel pernah—”
Iago buru-buru memotong, “Gue nggak akan pernah melupakan malam itu, Ra. Tapi masalahnya gue nggak bisa anterin lo.”
“Kenapa?”
“Ini udah jam dua belas lewat. Waktu gue udah habis.”
“Oh....” Ara kecewa, tapi dia berusaha untuk mengerti.
“Gue minta maaf, Ra. Karena kalau gue tetep maksa buat nganterin lo, gue nggak yakin bisa ngelepasin lo.”
Kalimat Iago terasa menusuk-nusuk dada Ara. Sakit. Sakit sekali. “Oke. Biar Daniel aja yang anterin gue pulang.”
Iago mengangguk sekali, bibirnya mencoba untuk melengkungkan senyum.
Ara berpaling. Melihat wajah Iago membuatnya sedih. Seingat Ara, dirinya tidak pernah merasa sesedih ini. “Gue ... pulang dulu ya, Go,” pamit Ara dengan suara tercekat. Tenggorokannya mendadak seperti terganjal sesuatu.
“Hati-hati di jalan.”
Ara mengangguk.
Daniel mendecak, “Ck, kalian berdua ini kayak nggak bakal ketemu selamanya aja.”
“Bisa jadi,” sahut Iago yang jelas menyisakan sebuah tanda tanya besar di benak Daniel. “Gue titip Ara ya. Jangan diapa-apain.” Iago menepuk-nepuk pundak Daniel tanpa menghiraukan ekspresi Daniel yang masih menuntut penjelasan.
Daniel menggeleng-geleng, mencoba untuk tidak ambil pusing dengan apa yang dilihatnya. Tangannya terulur, meraih bagian belakang gaun Ara. “Ekor gaunnya ribet, gue bantu pegang biar lo nggak kerepotan,” beri tahu Daniel saat Ara hendak protes.
“Oke.” Hanya itu yang Ara ucapkan. Dirinya sudah terlalu lelah untuk berbantah-bantahan.
Setelah itu, tak ada lagi yang berbicara. Ara dan Daniel berjalan menuju pintu depan, sementara Iago hanya mematung tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Ketika Ara dan Daniel sudah benar-benar menghilang dari pandangannya, Iago membalikkan badan, kemudian berjalan kembali menuju kamarnya.
Dulu, patah hati rasanya tidak seperti ini.
Sakit karena dikhianati dan sakit karena tidak memiliki kesempatan untuk bersama adalah dua hal yang sangat berbeda. Sakit hati karena tidak memiliki kesempatan untuk bersama, rasanya seribu kali lebih sakit daripada dikhianati.
Di malam yang menjadi hari ulang tahunnya ini, mungkin Iago akan menangis.
*
“Lo kenapa nggak jadi pacar Iago sungguhan aja?” tanya Daniel saat mereka berada di perjalanan.
Mulanya Ara enggan menjawab, sebab dia pun sudah merasa tak ada gunanya lagi membicarakan hal tersebut. Semua sudah selesai. Namun, tak tahu kenapa tiba-tiba mulut Ara malah menjawabnya, “Gue sama Iago emang nggak ditakdirkan buat pacaran.”
Daniel meringis. “Lucu!”
Ara menoleh pada Daniel.
“Bukannya yang bisa menentukan takdir lo dan Iago adalah kalian sendiri? Takdir itu fleksibel, Ra, bisa berubah sesuai dengan kemauan lo.” Lanjut Daniel. “Contohnya, waktu ada ulangan, nilai lo akan bagus ketika lo belajar. Sebaliknya, kalau lo sama sekali nggak belajar, nilai lo bakalan jelek.”
Ara mendesah. “Nggak ada hubungannya.”
“Lo beneran nggak ngerti apa yang gue omongin?”
Ara menggeleng lemah.
“Astaga!” Daniel menepuk dahinya sendiri. “Takdir itu mengikuti pilihan lo. Jadi, lo yang seharusnya mengendalikan takdir, bukan malah sebaliknya.”
Diam. Ara sama sekali tak menjawab. Benaknya berusaha mencerna apa yang Daniel katakan. Namun, setelah beberapa saat terdiam, Ara menyadari sesuatu.
“Masalahnya gue udah tahu apa yang bakal terjadi kalau gue memaksakan kehendak gue. Lagi pula, gue nggak punya perasaan semacam itu sama Iago,” kata Ara.
“Bohong banget lo!” Ekspresi Daniel berubah kesal. “Coba lo jujur sama diri lo sendiri tentang apa yang lo rasakan. Apa yang kalian berdua lakukan tadi bikin mata gue sakit.”
“Kok lo malah sewot? Urusan gue dan Iago sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama lo.”
“Emang.” Daniel masih sewot. “Gue sama Iago juga bukan temen deket,” Daniel mendecak, “jangankan temen deket, temen aja bukan. Tapi gue tahu siapa Iago. Saat dikhianati sama Lisa, itu nggak sesakit ketika lo ngelepasin tangannya.”
Panas di mata Ara mulai merebak. Sedari tadi dirinya sudah berusaha menahan air mata. Selain untuk menguatkan hatinya sendiri, Ara juga tidak ingin siapa pun melihatnya menangis, apalagi Daniel. Hati Ara terasa sakit. Ara tahu itu gara-gara Iago, tapi dia yakin jika itu tidak ada kaitannya dengan cinta. Dirinya tidak mungkin jatuh cinta pada Iago. Itu adalah hal yang paling mustahil terjadi dalam hidupnya. Sebab, Ara yakin jika cinta tidak mungkin seperti ini. Jika rasanya pada Iago adalah cinta, Ara pasti bahagia, bukan malah capek setengah mati seperti ini.
“Iago bakal gorok leher gue kalau lo nangis di mobil gue,” kata Daniel sembari mengambil kotak tisu dari laci dasbor untuk disodorkan pada Ara.
“Gue nggak nangis,” bantah Ara.
“Beberapa detik lagi lo pasti nangis. Jadi saat air mata lo tumpah, buruan lo seka pakai ini, biar gue—”
Ara menyambar tisu dari tangan Daniel. “Makasih. Terus, gue minta lo mendingan diem aja. Gue capek dan nggak mau denger apa-apa lagi.”
Daniel tak menjawab. Cowok itu melakukan apa yang diminta oleh Ara hingga mereka sampai di tujuan. Ara yang baru saja menyadari sesuatu, langsung menanyai Daniel, “Lo tahu rumah gue?”
Daniel mengangguk. “Iago nggak mungkin minta tolong sama gue kalau gue nggak tahu apa-apa.”
Ara meringis. Tak sepenuhnya mengerti bagaimana bentuk hubungan Iago dan Daniel. Sudahlah, Ara enggan terlibat lagi. Mulai detik ini, Ara harus belajar menepikan Iago dari kepalanya. Iago serta semua masalah yang pernah menghampiri hari-hari Ara kini sudah berlalu. Sekarang, saatnya memikirkan diri sendiri.
“Makasih udah anterin gue pulang,” ucap Ara seraya membuka pintu mobil.
“Sama-sama,” balas Daniel, matanya tak luput memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh Ara. “Ra,” Daniel mencekal pergelangan lengan Ara, “gue minta maaf ya. Gue sama sekali nggak berniat ngelakuin hal itu sama lo, tapi gue nggak punya pilihan. Lisa selalu mengintimidasi gue, ngancam-ngancam gue.”
Ara menutup telinganya. “Cukup, Dan! Gue terima maaf lo, tapi nggak dengan alasan yang lo punya. Gue udah bersusah payah lepas dari belenggu masalah rumit kalian, gue nggak mau terlibat lagi. Jadi tolong berhenti ngomongin itu.”
Daniel mengangguk. Mengerti. “Kita masih temenan, kan? Ada kalanya gue kangen chatting-an sama lo kayak dulu.”
“Iya, kita masih temenan kok. Tapi, gue lebih suka ada jarak di antara kita.”
“Oke. Gue bisa terima itu. Suatu hari nanti, kalau lo butuh bantuan gue, ngomong aja. Lo temen gue meski ada jarak di antara kita.”
Ara tak langsung menjawab, hanya saja karena malas berpikir, akhirnya dia mengiyakan.
“Ra, gue boleh ucapin sesuatu?”
“Boleh.”
“Selamat, karena lo udah terbebas. Mulai sekarang lo bisa hidup dengan santai tanpa dikejar-kejar Iago lagi.”
Bebas?
Ara tercenung. Daniel benar, dirinya memang sudah terbebas dari Iago serta masalah yang dimiliki cowok itu. Namun, apakah memang seperti itu?
Entahlah. Saat ini Ara hanya ingin fokus pada dirinya sendiri.
“Gue masuk dulu.”
*