“Go! Tunggu, Go!” kejar Lisa di belakang Iago dan Ara yang hendak menaiki tangga.
Iago enggan merespons.
“Go!”
Iago masih mengabaikannya.
Diperlakukan seperti itu oleh Iago, Lisa merenggut bagian bawan gaun yang dikenakan Ara sehingga membuat langkah cewek itu tertahan.
Iago yang merasakan tangannya ditarik-tarik oleh Ara akhirnya berhenti. Dia menghela napas dalam-dalam sekali, kemudian menoleh. “Lo boleh mengacaukan acara ulang tahun gue malam ini, tapi tolong jangan coba-coba buat mengacaukan hidup gue,” hardiknya pada Lisa.
“Gue? Gue mengacaukan hidup lo?” Lisa tertawa sumbang. “Apa gue nggak salah denger?”
“Selama kuping lo nggak bermasalah berarti lo nggak salah denger,” balas Iago sarkastik.
“Tunangan lo itu gue! Bukan dia!” Lisa menunjuk-nunjuk Ara dengan geram.
“Lo nggak denger nama yang disebutkan Papi tadi?” Iago meradang. “Kalau lo nggak denger, gue perjelas sekali lagi. Tunangan Iago adalah Arabella, bukan Lisa!” Usai mengatakan itu Iago menarik bagian gaun Ara yang masih dicengkeram Lisa, melepaskannya dengan paksa. “Jangan sentuh tunangan gue!”
Kedua tangan Lisa mengepal menahan amarah. Cewek itu celingukan, kikuk ketika ada beberapa tamu yang mengarahkan pandangan mereka ke arahnya. “Gue bener-bener nggak habis pikir kenapa lo lebih milih Ara daripada gue. Dilihat dari sisi mana pun, gue jelas lebih unggul daripada dia. Kenapa lo bisa bego banget, Go?”
“Iya. Gue bego.”
Lisa melongo.
“Anggap aja gue emang bego.” Setelah mengatakan itu, Iago memberi isyarat pada Ara untuk mengikutinya. Mengabaikan Lisa yang masih saja melemparkan pandangan penuh kebencian.
Iago tahu malam ini bukanlah akhir dari segalanya. Tindakannya tadi pasti berbuntut panjang. Namun, setidaknya Iago lega karena berhasil menentang Papi. Iago tahu dia seharusnya tidak begitu, hanya saja Papi sudah keterlaluan. Dirinya bukan robot yang bisa dikendalikan sesuka hati.
“Lo mau bawa gue ke mana?” tanya Ara.
“Kamar gue.”
Ara mendelik. “Buat apa?”
“Buat ngerayain ulang tahun gue yang sebenarnya.”
Tak ada sahutan dari Ara. Namun ekspresi cewek itu terlihat was-was. “Gue nggak bakal apa-apain lo kok. Lo itu terlalu baik buat diapa-apain. Lo itu harusnya dijaga.”
Ara menunduk, menyembunyikan senyumnya saat mendengar kalimat Iago. “Oke. Tapi lo bisa bawain gue makanan nggak? Gue belum makan apa-apa sejak tadi siang.”
“Lo nggak dikasih makan sama Kak Inggrid?”
“Guenya yang nggak mau. Takut bajunya nggak muat.”
Iago menggeleng-geleng, tak paham kenapa cewek selalu lebih mementingkan hal-hal sekunder daripada kesehatannya. “Lo mau makan apa?”
“Apa aja yang penting makanan.”
“Gue suru si Mbok bawain.” Iago mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik. “Beres,” katanya usai mengirimkan pesan WhatsApp pada si Mbok.
“Wah, berasa pesan Go Food ya,” ungkap Ara.
Iago hanya mengedikkan bahu dan tersenyum.
Kamar Iago terletak di lantai dua. Luasnya mungkin empat hingga lima kali luas kamar Ara yang sudah cukup luas. Di sisi samping ada balkon yang menghadap ke halaman belakang, tempat acara berlangsung.
Iago langsung duduk di karpet yang terletak di sisi depan tempat tidurnya dan menyandarkan punggungnya. Kedua mata Iago terpejam perlahan. Mulutnya sedikit terbuka seolah-olah dia tidak puas hanya bernapas melalui hidung.
Ara melepas sepatu hak tingginya dan mengambil posisi di hadapan Iago. Selama beberapa menit, mereka melaluinya dalam diam, sama-sama mencari ketenangan dalam keheningan. Untuk sampai pada hari ini, Iago sudah melalui begitu banyak hal. Iago ingin sekali beristirahat, akan tetapi di depan sana masih banyak tembok yang harus dia robohkan.
“Go, menurut lo, jatuh cinta itu bisa dipaksa nggak?”
Pertanyaan Ara otomatis membuat Iago membuka mata. “Kok bisa-bisanya lo tanya hal konyol kayak gitu?” balas Iago yang malah balik bertanya. “Yang namanya perasaan itu mana bisa dipaksa, Ra?”
“Tapi—”
“Tapi lo masih bisa belajar buat jatuh cinta sama seseorang kok,” lanjut Iago, menyela kalimat Ara. Cowok itu mengamati ekspresi Ara yang tampak jelas sedang bimbang. “Sampai detik ini, gimana perkembangan hubungan lo sama Hendra?”
Ara mengedikkan bahu. “Nggak tahu. Gue ngerasa biasa aja, masih sama dengan sebelumnya.”
“Kalau sama gue?” goda Iago.
“Masih sama.” Ara langsung sewot. “Pada dasarnya gue kan emang benci sama lo.”
“Gue dan Hendra sama-sama suka sama lo. Bedanya, Hendra layak mendapatkan cinta lo, sedangkan gue nggak.”
“Gitu, ya?” Ara berpaling, menyembunyikan kekecewannya. Ara tidak tahu kenapa dia merasa kecewa, tapi memang itulah yang tengah berkecamuk dalam dirinya. Lama-lama sesuatu yang harusnya sederhana ini menjadi begitu rumit.
Iago mengangguk. “Ra,” Iago meletakkan tangannya di kepala Ara, mengelusnya lembut, “lo pasti bisa kok jatuh cinta sama Hendra.”
“Kenapa lo bisa yakin banget? Sedangkan gue sendiri aja masih ragu?”
“Apa yang bikin lo ragu?”
Ara tidak merespons.
“Jangan-jangan lo mulai mempertimbangkan gue sebagai cowok yang pantas menerima cinta lo?”
“Ngaco!” Ara refleks mencubit lengan Iago hingga cowok itu mengaduh kesakitan.
“Sebetulnya mau jatuh cinta sama siapa aja itu hak lo kok. Selama cowok itu baik sama lo, bisa bikin lo nyaman, dan yang paling penting bisa menghargai perasaan lo.”
“Menurut lo Hendra cowok yang kayak gitu?”
“Cuma hati lo sendiri yang bisa menjawabnya,” jawab Iago tenang.
Ara bungkam. Bukan karena setuju, melainkan karena ragu. Hendra memang cowok baik, siapa pun tahu akan hal itu, termasuk dirinya. Namun perkara hati memang sulit untuk dipahami. Hingga detik ini, Ara masih tidak yakin jika Hendra adalah ‘cowok kekurangan cinta’ yang tengah dicarinya. Hanya saja di sisi lain Ara juga sudah tak lagi memiliki banyak waktu. Jadi satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah belajar untuk membalas perasaan Hendra.
Iago menepuk-nepuk puncak kepala Ara. “Soal ramalan itu, intinya ada pada lo, Ra. Lo harus bisa memberikan cinta lo pada cowok yang suka sama lo. Berhubung cowok yang suka sama lo nggak cuma satu, lo punya hak untuk memilih.”
Ara tak menyahut. Sebagai gantinya dia menatap Iago, melayangkan sebuah tanda tanya besar yang harus dijawab oleh cowok di hadapannya tersebut.
“Dan dari semua cowok yang suka sama lo, cuma Hendra yang layak buat mendapatkan cinta lo,” lanjut Iago, menjawab pertanyaan tak terucap Ara.
“Jujur perasaan gue kayak terombang-ambing, mengambang nggak punya tujuan. Belakangan ini gue memang sering jalan berdua sama Hendra, tapi hati gue sama sekali nggak tergerak. Rasanya masih aja sama. Dada gue nggak berdebar, kepala gue juga nggak penuh dengan dia.” Ara tersenyum samar. “Kadang-kadang gue bertanya, sebenarnya Hendra yang nggak bisa melampaui garis pertemanan kami atau gue yang nggak mengizinkan dia untuk melaluinya. Gue bener-bener nggak tahu,” lanjutnya.
“Lagi-lagi, cuma hati lo yang tahu jawabannya,” balas Iago.
Ara mengibaskan kepalanya. “Udah. Udah. Jangan dibahas lagi. Hari ini kan hari ulang tahun lo, terus sekarang ini gue pacar lo. Jadi nggak usah bahas soal Hendra.”
Iago melempar seulas senyum. Mulutnya memang tidak berkata-kata, tapi hatinya histeris, kegirangan setengah mati. Walau hanya sampai tengah malam, Iago senang pernah memiliki Ara sebagai pacarnya. Jadi sebisa mungkin, Iago ingin menikmati kebersamaannya dengan Ara.
Tak berselang lama, si Mbok mengetuk pintu untuk mengantarkan makanan. Iago menyuruh si Mbok meletakkan makanan mereka di meja yang terletak di dekat jendela balkon. Ara langsung mencomot roti perancis dan menaburinya dengan gula halus.
Usai makan, rasa kantuk langsung menyerang Ara. Tak bisa dimungkiri, hari ini begitu melelahkan.
“Lo tidur aja sebentar,” kata Iago saat melihat Ara menguap.
“Eh?”
“Atau lo mau pulang sekarang?”
Sontak Ara menggeleng. “Ini kan masih jam sembilan lebih sedikit, sedangkan lo lahir jam sebelas. Literally, ini masih belum ulang tahun lo.”
“Lo nggak apa-apa pulang lewat tengah malam?”
“Gue udah izin kok.”
Iago manggut-manggut. “Oke. Kalau emang lo ngantuk, lo tidur aja dulu.”
“Nggak mau! Ntar lo apa-apain gue lagi?!”
“Ck—”
“Gue mau nonton TV aja.” Ara menyambar remote dan beralih duduk di sofa.
“Oke. Cinderella boleh ngelakuin apa aja. Bebas!”
“Sounds great, Prince!”
*
Iago mengamati wajah Ara yang tengah terlelap. Wajah itu tak kalah lelah darinya. Segumpal rasa bersalah mengganjal di dada Iago. Masalah yang dihadapi Ara sudah cukup berat, tapi dia malah menambah repot cewek tersebut dengan meminta tolong untuk menjadi pacarnya.
Jika dipikir ulang, ini semua sudah berada di luar skenarionya. Dulu Iago berpikir, saat semuanya usai, hubungannya dengan Ara juga akan selesai begitu saja. Namun, takdir tak pernah membuat semuanya mudah. Dalam usahanya meminta tolong pada Ara, takdir malah menyelipkan perasaan cinta di dalamnya.
Lagi, Iago mengamati wajah Ara, pandangannya jatuh pada bibir cewek itu. Iago mendengus. Pikirannya berkecamuk. Kepala Iago sudah terisi oleh gambaran-gambaran apa yang bisa dilakukannya pada Ara. Akal sehat Iago sudah membelok dan sulit untuk dikendalikan. Namun, hati Iago berkata jika sebaiknya dia mengurungkan niat dan menarik diri.
Sekian detik Iago diam. Tidak maju, juga tidak mundur. Sampai pada detik di mana kata hatinya sudah tak lagi bisa didengar.
“Sori, Ra, gue nggak bisa kasih ciuman pertama lo buat Hendra,” desah Iago sebelum akhirnya mengecup bibir Ara. Niat Iago yang hanya mengecup, mendadak berubah saat merasakan betapa lembutnya bibir Ara. Bibir Iago berlama-lama berada di sana, mengecup bibir Ara tanpa gerakan.
Dada Iago berdebar kencang, rasanya seperti jantung di balik rongga dadanya memukul-mukul, memberontak ingin keluar. Iago sontak menarik diri. Dia meremas rambutnya dengan gerakan frustrasi. “Lo bener-bener udah bikin gue gila, Ra,” bisiknya. Iago yang tiba-tiba merasa gerah melepas dasi kupu-kupunya dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Rupanya pilihan Iago membawa Ara ke kamarnya bukanlah hal yang tepat. Harusnya tadi Iago membawa Ara ke tempat lain. Namun, jika ditanya apakah Iago menyesal, maka dengan tegas dia akan menjawab tidak.
Iago menoleh. Pukul sebelas kurang lima menit. Dengan lembut Iago mengguncangkan tubuh Ara. “Ra, bagun.... Udah hampir jam sebelas nih.”
Mata Ara sontak terbuka. Cewek itu langsung menegakkan punggungnya, celingukan seperti orang kebingungan. “Gue ketiduran, ya?”
Iago mengangguk.
“Mampus! Kenapa gue bisa sampai ketiduran di kamar lo sih?”
“Lo kecapekan,” sahut Iago. “Lo nggak usah gugup gitu juga kali, Ra. Gue kan nggak apa-apain lo.”
“Tapi gue nggak mau lo ngelihat gue tidur.”
Iago terkekeh. “Udah terlanjur. Terus gimana dong?”
“Ck....” Ara cemberut. “Eh, udah jam sebelas!” seru Ara, dia tak mau berlarut-larut memutuskan untuk membelokkan pembicaraan. Ara mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi candle. Ara menyanyikan lagu selamat ulang tahun, lalu menyodorkan ponselnya pada Iago.
“Tiup lilinnya,” pinta Ara. Di layar ponselnya ada sebuah lilin yang menyala, apinya bergerak-gerak seolah itu lilin sungguhan.
“Gue baru tahu kalau ada aplikasi ginian,” komentar Iago.
“Yeee.... Ini tuh jadi populer sejak drama Goblin.”
“Gue nggak pernah nonton drama Korea.”
“Oh iya, lo kan tontonannya video 3gp.”
Iago memutar mata.
“Ayo, cepetan dititup. Jangan lupa berdoa dulu.”
Iago memejamkan mata dan berdoa sebelum akhirnya meniup lilin hingga padam.
“Yey!” Ara bertepuk tangan. “Happy birthday, Iagooo!”
“Makasih ya, Ra.”
Setelahnya, suasana berubah menjadi senyap, atmosfer yang membungkus mereka berubah kaku. Iago menatap Ara lekat-lekat, melalui matanya, cowok itu mengungkapkan segalanya.
“Gue boleh peluk lo?” izin Iago, matanya memancarkan ketulusan.
Ara tersenyum, lantas mengangguk. “Gue masih pacar lo.”
Iago merengkuh tubuh Ara dengan canggung. Tak ada yang dikatakannya, semua sudah tersalurkan melalui pelukan. Dalam pelukan Iago, Ara menangis tanpa suara. Bila pelukan biasanya memberi Ara kelegaan, maka tidak dengan pelukan Iago. Sebaliknya, pelukan Iago membuat Ara bisa merasakan apa yang cowok itu rasakan.
Sepi dan hampa.
Semua yang di sekelilingnya tampak, tapi sebenarnya hanya kesemuan belaka.
“Ra, makasih lo udah mau bantu gue. Juga, udah mencerahkan hari-hari gue belakangan ini.” Iago menelan ludah. “Pokoknya gue berterima kasih banget.”
Ara tak membalas. Lidahnya terlalu kelu untuk digerakkan.
“Sayang banget ya urusan kita cuma sampai di sini. Padahal—” Iago menggantung kalimatnya. “Mulai besok, kita udah nggak saling terikat. Lo jalan sendiri, gue jalan sendiri.”
Air mata Ara mengalir kian deras. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya, tapi semua teriakannya tertahan di tenggorokan.
“Lo baik-baik sama Hendra ya. Gue selalu doain yang terbaik buat kalian. Lo juga jangan mikir macem-macem, fokus aja sama perasaan lo ke Hendra. Biar lo nggak mati.” Iago terkekeh, yang di telinga Ara terdengar seperti tawa penyayat hati. “Soalnya kalau lo mati, gue bakal sedih karena nggak bisa lihat lo yang galak.”
“Lo yang ulang tahun, tapi kenapa gue yang didoain?” ucap Ara dengan suara bergetar karena menahan isakan.
“Karena doa gue tadi adalah ngelihat lo bahagia.”
Tenggorokan Ara rasanya kian tercekik. Dia memeluk Iago erat-erat sebelum memutuskan untuk memisahkan diri.
“Yah, kok lo malah nangis sih?” Iago menghapus lelehan air mata Ara dengan ibu jarinya.
“Tenang, make up-nya waterproof kok.” Ara mencoba berseloroh. “Go, sori gue nggak kasih kado buat lo. Gue bingung mau kasih kado apa.”
“Gue udah dapat kado dari lo kok,” balas Iago. “Lo adalah kado gue hari ini. Meski cuma sehari jadi pacar lo, tapi bagi gue itu adalah kado terindah yang pernah gue dapatkan. Dan—”
“Dan...?”
Iago menggeleng, mengurungkan niat untuk mengatakan yang sebenarnya. Sebab kado yang satu lagi bukan merupakan pemberian Ara, melainkan Iago yang mencurinya dari Ara. Ciuman itu akan Iago simpan sendiri dalam ingatannya.
Tak banyak kata selama sisa waktu yang ada. Mereka hanya sesekali berbicara dan lebih banyak berpandangan. Hingga jam menunjukkan pukul dua belas malam.
Iago memeluk Ara sekali lagi dan berkata dengan perih, “Waktunya Cinderella pulang.”
*