Harusnya, ketika semua sudah kembali ke titik awal, rasanya akan sangat melegakan. Namun, apa yang dirasakan Ara justru sebaliknya. Ada ruang kosong yang tersisa, seolah dulunya memang sudah ada sesuatu di sana. Ruang kosong yang mestinya bisa menjadi tempat bagi seseorang yang baru, malah begitu rapat menutup pintunya. Entah memang pintu itu tidak bisa dibuka ataukah memang ruang itu lebih baik dibiarkan kosong oleh pemiliknya.
“Baik. Kita buka halaman 117, paragraf kedua. Arabella, silakan dibaca.”
Hening. Tak ada reaksi.
Monic menyikut lengan Ara sambil mendesis, Ra....”
“E-eh?”
“Kamu nggak menyimak Bapak bilang apa?” Pak Waluyo mengamati Ara dari depan sana.
“Menyimak kok, Pak,” jawab Ara buru-buru. “Saya cuma kepengin bersin.”
Guru senior yang makin hari rambutnya semakin jarang itu mendesah. “Ya sudah. Kalau begitu ... Dion, kamu yang baca.”
“Mampus,” umpat Dion spontan. “Buku paket saya ketinggalan, Pak,” jawabnya jujur tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Pak Waluyo meletakkan buku yang dibawanya dan menggeleng-geleng. “Kamu cari pinjaman sana, tapi lari dulu keliling lapangan sepuluh kali.”
Dion langsung lemas, cowok itu menoleh pada Ara. “Gara-gara lo sih, gue jadi dihukum.”
“Loh? Kenapa lo malah nyalahin gue?” Ara tak terima. “Kan salah lo sendiri nggak bawa buku paket!”
“Lo pakai mau bersin segala.”
“Gue pilek, Dion!”
“Berhenti kalian berdua!” sentak Pak Waluyo. “Dion cepat lari keliling lapangan sepuluh kali, setelah itu kamu cari pinjaman buku paket ke kelas lain.” Lalu guru senior itu berpaling pada Ara. “Ara, kalau kamu sakit lebih baik istirahat di UKS. Saya tidak suka dicuekin kalau sedang mengajar.”
“Baik, Pak,” sahut Ara dan Dion bebarengan.
Dion langsung melesat keluar kelas, sementara Ara masih menutup buku-bukunya dan bersiap-siap keluar kelas. “Lo butuh ditemenin?” tanya Monic.
“Nggak usah,” jawab Ara. “Gue cuma flu, bukan mau mati.”
Ara keluar dari kelas. Sembari berjalan menyusuri koridor yang akan membawanya ke UKS, Ara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Belakangan ini ada yang aneh dengan dirinya. Ara selalu merasa ada yang kurang sekalipun tengah berkumpul bersama teman-temannya. Ara tertawa, tapi dalam hati dia merasa kosong.
Saat hendak berbelok menuju koridor yang akan membawanya ke ruang UKS, Ara berpapasan dengan gerombolan anak 11 IPA-1 yang hendak menuju ke laboratorium kimia. Ara melihat Hendra dan Brian, serta Iago yang berjalan sendiri.
“Ara? Lo mau ke mana?” tanya Hendra spontan ketika dirinya melihat Ara.
“UKS,” jawab Ara singkat.
Hendra menyentuh kening Ara. “Agak demam. Gue anterin ke UKS, yuk!”
Ara menggeleng seraya menyingkirkan tangan Hendra dari keningnya. “Gue bisa sendiri, Hen. Jangan bolos pelajaran cuma demi nemenin gue.”
“Gue khawatir sama lo.”
“Gue nggak apa-apa.” Ara lantas tersenyum. “Nanti aja kita pulang bareng.”
“Oke. Kalau ada apa-apa segera hubungi gue ya.”
Ara mengangguk.
Setelah Hendra dan Brian berlalu, Ara baru teringat jika seseorang baru saja mengabaikannya.
Ya, Iago.
Cowok itu sama sekali tidak menoleh pada Ara. Hanya melewatinya seolah keduanya memang tidak pernah saling kenal sebelumnya. Ara tak pernah mengira bila rasanya akan seperti ini. Tak ada lagi Iago yang dengan keras kepala mengejar-ngejarnya, tak ada lagi Iago yang selalu mengusik hari-harinya. Sejujurnya, ini membuat Ara merasakan sepi.
Ara mematung, memandangi punggung Iago yang semakin terlihat kecil di matanya. Sosok itu sama sekali tidak menoleh. Kini, dirinya dan Iago benar-benar sudah sepenuhnya menjadi orang asing.
“Lo sakit beneran?” Dion, yang seharusnya tengah berlari mengitari lapangan malah bersandar dengan santainya di dekat kotak mading. Tak seperti biasanya yang jenaka, kali ini cowok itu kelihatan serius.
“Cuma flu doang, bukan leukimia yang bisa bikin gue mati,” balas Ara sekenanya.
“Oh iya, lo jadi pacaran sama Hendra?”
Ara mengangkat bahu. “Entahlah.... Gue sama Hendra masih belum resmi pacaran kok.”
“Lo suka sama Hendra?”
Ara tak menjawab.
“Kalau lo nggak suka, jangan kasih dia harapan. Hendra itu jelas-jelas suka sama lo dan lo sering banget jalan berdua sama dia.”
“Emang.” Ara tak mengelak. “Jalan bareng nggak harus selalu pacaran dulu, kan?”
Dion nyengir. “Saran gue, lo mending jujur sama perasaan lo sendiri deh. Jangan buang-buang waktu.”
“Maksud lo?”
“Ya lo pikir aja sendiri.”
“Tapi gue nggak bisa mikir. Kepala gue berat,” kata Ara terus terang. “Sebenernya gue lebih suka hubungan yang begini-begini aja sama Hendra. Gue nggak mau terikat dengan status pacaran. Gue berusaha buat menghargai perasaan Hendra buat gue, sebisa mungkin gue nggak mau dia kecewa.”
Seumur-umur Ara tidak pernah curhat pada Dion, sebab sepupu jailnya itu memang sulit sekali untuk diajak bicara dari hati ke hati. Hanya saja saat ini semuanya seperti tidak dapat ditahan lagi.
“Pada akhirnya Hendra bakalan kecewa saat tahu perasaan lo ke dia nggak bisa lebih dari temen,” balas Dion.
“Sekarang ini gue sedang belajar buat suka sama Hendra.”
Dion mendengus. “Lo kira perasaan itu kayak akuntansi yang bisa dipelajari?” Dion menggeleng-geleng. “Yah, gue tahu kok, bukan porsi gue ngomong kayak gini ke lo. Tapi gimanapun juga, jangan sampai lo bohongin perasaan lo sendiri.”
Ara diam dan mencerna kalimat Dion.
“Ya udah deh, gue mau ke kantin dulu,” lanjut Dion sambil berjalan mundur.
“Bukannya lo harusnya lari keliling lapangan?”
“Iya, gue ke kantin cuma mau beli minum dulu,” sahut Dion sembari berlarian kecil meninggalkan Ara.
“Ck, dasar!”
Di UKS, sembari tiduran, Ara menelisik kembali ke dalam hatinya, merenungkan sepenggal nasihat dari Dion tadi. “Emangnya gue selama ini nggak jujur, ya?” gumamnya lirih.
Tak ada yang salah dengan hari-harinya bersama Hendra. Status mereka memang belum pacaran, tapi mereka sudah selayaknya orang pacaran. Berangkat dan pulang sekolah bersama, makan di kantin bersama, sibuk dengan kegiatan OSIS bersama, nonton film horor bersama, serta menghabiskan uang jajan mereka di Timezone bersama.
Apa yang salah dengan itu?
Ara memejamkan mata, menggali lebih dalam lagi mengenai perasaannya sendiri. Dia bahagia dengan Hendra. Semuanya berjalan begitu mulus—begitu sempurna. Mereka tidak pernah ribut atau bertengkar, sama sekali tidak ada keterikatan emosi di antara mereka.
Ara membuka mata dan menyeringai. “Gue baru sadar kalau hubungan yang tanpa hambatan kayak gini jatuhnya malah nggak ada rasanya,” gumamnya pelan. Hubungannya dengan Hendra sama sekali berbeda dengan hubungannya dengan Iago. Dengan Hendra, Ara merasa semuanya baik-baik saja. Sementara dengan Iago, setiap detiknya selalu bergejolak penuh emosi. Entah itu benci, marah, atau malah iba. Jika diingat-ingat lagi, hampir tak ada tawa antara dirinya dan Iago. Namun, itulah yang membuat berbeda. Ara yang selama hidupnya baik-baik saja, kini mulai mengenal sebuah kehidupan yang rumit.
“Sebenernya, perasaan gue sama Iago itu namanya apa?” tanya Ara, masih menggumam sendiri. “Gue yakin itu bukan cinta.” Sebab, Ara meyakini jika perasaan cinta tidak seperti ini. Cinta pasti akan membuatnya bahagia. “Gue bahagia kok sama Hendra, tapi....”
Ah!
Malas berpikir, Ara memutuskan untuk tidur. Akan tetapi sejenak sebelum kesadarannya hilang, bayangan cowok itu melintas di benaknya....
Prince.
*
Pikiran Iago kalut, kepalanya dipenuhi asap abu-abu yang menghambatnya untuk berpikir jernih. Pemberontakan Iago pada Papi tempo hari masih belum mendapatkan serangan balik. Papi tenang-tenang saja, secara tidak langsung menyetujui untuk tidak saling ikut campur urusan masing-masing. Iago masih melihat Papi bersama Laura, akan tetapi Lisa yang biasanya ikut serta sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Walau begitu, Iago merasa masih terlalu dini untuk menarik napas lega.
Ketika bel pulang berbunyi, Iago buru-buru meninggalkan kelas. Saat pikirannya tengah berantakan seperti ini, Iago lebih suka berdiam diri di kamarnya sembari mendengarkan musik. Musik membuatnya merasa lebih baik ketimbang mendengar nasihat dari orang lain.
Namun, perasaan Iago juga seketika berantakan saat mendapati Ara dan Hendra berjalan bersama menuju parkiran. Dada Iago mencelus. Tadi, sewaktu Iago berpapasan dengan Ara saat menuju ke laboratorium kimia, dia berhasil mengabaikan cewek tersebut. Berhasil melaluinya begitu saja tanpa menoleh sedikit pun. Sekarang, ketika Ara muncul di hadapannya, Iago tidak bisa lagi menghindar.
Wajah Ara sedikit pucat, terlihat sangat tidak bersemangat. Iago tak tahu apa yang Ara dan Hendra bicarakan, akan tetapi keduanya tampak nyaman satu dengan yang lain. Iago meringis, mengasihani dirinya sendiri. Dia bukan Hendra yang bisa membuat Ara merasa nyaman, kehadirannya adalah masalah bagi Ara. Walau rasanya sakit dan tidak rela, Iago tetap berusaha menerimanya.
Semua ini seperti tidak berada pada tempatnya. Iago ingat, ketika mengejar-ngejar Ara dulu, dia sama sekali tidak menyangka akan jatuh cinta pada cewek itu. Pikiran Iago saat itu sangatlah sederhana, Ara membencinya. Jadi, dia tidak akan kerepotan. Namun, siapa yang menyangka bila dirinya malah jatuh cinta pada Ara?
“Ini salah gue sendiri,” desis Iago pelan. Meski begitu dalam hati Iago sama sekali tidak menyesalinya. “Dari awal, gue sama Ara emang nggak ditakdirkan untuk bersama.” Iago tersenyum kecut, lantas memantapkan langkah untuk sekali lagi berpapasan dengan Ara.
*