Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love 90 Days
MENU
About Us  

Ara terus menatap jam dinding yang terletak di depan kelas. Pandangannya ke depan, tapi sama sekali tidak menyimak pelajaran bahasa Indonesia yang sedang dijelaskan oleh Pak Budi. Dalam hitungan menit pelajaran akan berakhir dan Ara akan menjadi pacar Iago sampai pukul dua belas malam nanti.

Bel pulang akhirnya berbunyi, dengan lambat Ara mengemasi buku dan alat tulisnya kemudian memasukkannya ke dalam tas. Perasaan Ara gelisah membayangkan apa yang akan dihadapinya nanti. Iago bukan anak dari keluarga biasa, pasti pesta ulang tahunnya juga tidak seperti ulang tahun ke-17 pada umumnya.

Kira-kira akan seperti apa acara ulang tahun Iago nanti?

Benak Ara langsung terisi dengan salah satu adegan drama Korea yang pernah ditontonnya. “Ya, mungkin bakal kayak gitu,” gumamnya, membayangkan acara ulang tahun Iago yang mungkin saja mirip dengan acara ulang tahun Gu Jun-pyo, hanya saja Ara memastikan dirinya tidak akan memainkan piano seperti Geum Jan-di.

“Lo kenapa? Ekspresi lo nggak jelas banget?” Monic menyikut lengan Ara, keheranan memandangi teman sebangkunya.

Ara mengembus napas panjang, kemudian meletakkan kepalanya di atas meja. “Gue gugup,” lirihnya.

Monic menyipit. “Ra, lo nggak bener-bener suka sama Iago, kan?”

Ara menggeleng lemah.

“Lo yakin?”

Ara mengangguk sekali.

“Ya udah, kalau gitu lo nggak perlu gugup. Kan semuanya cuma pura-pura?”

“Iya sih....” Ara menggigit bagian dalam pipinya. “Tapi, Mon, Iago itu bukan cowok sembarangan. Gue nggak tahu harus pakai baju apa, harus bersikap kayak gimana, harus kasih kado apa....”

“Gue rasa lo nggak perlu kasih dia kado,” kata Vika yang sudah bersiap untuk meninggalkan kelas. “Iago punya segalanya. Dia nggak butuh apa-apa.”

Monic manggut-manggut. Sangat setuju.

Itu tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Dari segi materi Iago sama sekali tidak kekurangan apa-apa, bahkan berlebih. Hanya saja Ara tahu jika ada sesuatu yang membuat hidup Iago tertekan.

“Iago nggak bahagia,” lirih Ara.

Vika dan Monic saling melempar pandang. Apa yang dipahami oleh Ara tentang Iago, mungkin saja tidak bisa langsung dipahami oleh orang lain.

“Eh, itu ‘pacar’ lo udah dateng,” beri tahu Monic saat Iago berjalan memasuki kelas mereka.

“Kami berdua duluan ya, Ra. Lo baik-baik sama Iago. Jangan bertengkar melulu,” pesan Vika sebelum akhirnya menarik paksa Monic, membawanya meninggalkan kelas. Vika sama sekali tidak peduli dengan ekspresi keberatan Monic yang masih ingin tinggal dan tahu lebih banyak.

Iago menduduki kursi Monic, kemudian bertopang dagu dan mengamati wajah Ara.

“Kalau lo ngelihatin gue kayak gitu, gue tambah gugup,” ucap Ara dengan wajah cemberut.

“Lo gugup?”

Ara mengangguk.

“Gugup kenapa? Gugup karena pacar lo ini ganteng banget?”

“Ck, kepedean lo!”

Iago tergelak. “Baru kali ini gue ngelihat lo gugup. Biasanya lo galak banget.”

Ara mendelik.

“Ah! Anggap aja gue nggak pernah ngomong,” kata Iago yang seketika mengambil ‘langkah mundur’. “Ehm, ngomong-ngomong lo gugup kenapa?”

Ara menautkan jemarinya. Gelisah. “Gue.... Duh, bingung gue gimana ngejelasinnya.”

“Ra,” Iago meletakkan tangannya melingkupi jemari Ara, lalu meremasnya lembut, “lo nggak usah mikir yang aneh-aneh. Nanti, lo cuma perlu berdiri di sisi gue sampai rencana gue selesai. Lo nggak perlu ngomong apa-apa, juga nggak perlu berbuat apa-apa. Lo nggak perlu maksain diri buat senyum kalau lo nggak pengin senyum.”

Ara diam, menatap jemari mereka yang kini saling bertaut. “Go....”

“Hm?”

“Setelah hari ini, tolong jangan cari gue lagi ya.”

Hening. Kalimat sederhana yang baru saja terlontar dari mulut Ara itu terasa begitu menusuk. Iago bungkam, pun dengan Ara yang enggan mendesak. Keduanya diam, membiarkan suara-suara di luar mendominasi suasana. Suara langkah kaki, obrolan para siswa yang terdengar ricuh, serta seorang guru yang tengah mengomel pada salah satu siswanya ... semua itu berbaur, menggerus hening di antara Iago dan Ara.

Iago mengembus napas berat. Dirinya jelas keberatan. Hanya saja apa pun alasannya, janji harus ditepati. Toh tak ada gunanya memaksa untuk mengejar seseorang yang jelas-jelas sudah menolaknya.

“Iya, gue janji nggak bakal cari lo,” sumpah Iago dengan nada sesantai mungkin. Kemudian Iago menoleh pada Ara. “Tapi kalau suatu saat gue nggak tahan terus cari lo, jangan ditanggapi ya. Anggap aja gue sinting.”

Ara meringis. “Lo emang sinting, kan?”

“Iyain aja deh.”

“Go, sori ya, gue belum siapin kado apa-apa buat lo. Gue juga nggak tahu nanti harus pakai baju apa.”

“Dan parahnya lagi lo belum ucapin selamat ulang tahun sama gue,” sambung Iago yang serta-merta membuat cewek di sebelahnya salah tingkah.

Ara menarik tangannya dari Iago dan menyembunyikannya di kolong meja. “Belakangan ini gue sibuk,” jelas Ara. “Lo tahu kan, kalau sebentar lagi OSIS bakal ngadain acara keakraban? Terus ... akhir-akhir ini gue juga lumayan sering jalan sama Hendra.”

Hendra. Ketika nama itu menyentuh gendang telinganya, raut wajah Iago sontak berubah. Seberapa keras Iago menyangkal, dia tak bisa memungkiri bila nama itu memberikan efek yang tak biasa untuknya.

“Baguslah!” Iago berpaling untuk menyembunyikan ekspresinya, lalu berdiri dan memasukkan masing-masing tangannya ke saku celana. “Sekarang lo ikut gue!”

Ara mendongak. “Ke mana? Bukannya acara ulang tahun lo masih nanti malam?”

“Gue bawa lo ke suatu tempat.”

“Ke mana?”

“Ayo!” Iago menggapai tangan Ara dan menariknya, mengajak cewek itu bergegas meninggalkan kelas.

Sekali lagi pandangan Ara tertuju pada tangannya dalam genggaman Iago. Genggaman Iago tidak pernah terasa lembut, malah sebaliknya. Genggaman Iago cenderung dingin dan protektif. Entah apa sebabnya, Ara merasa jika suatu hari nanti dirinya akan merindukan genggaman Iago.

“Go, lo lahir jam berapa?” tanya Ara.

“Jam sebelas malem,” jawab Iago cepat. “Kenapa?”

Ara menggeleng sembari menahan senyumnya.

“Jangan buat gue penasaran di hari ulang tahun gue.”

“Biarin!”

Iago membuang napas pendek. Menyerah. “Terserah deh!”

“Oh iya, gue harus gimana biar kelihatan kayak pacar lo sungguhan?” tanya Ara.

“Cukup jadi diri lo sendiri aja,” jawab Iago.

*

 

Di mobil, Ara mendapati ekspresi Iago berubah-ubah. Sebentar terlihat lega, dua menit kemudian berubah gelisah, lalu menit berikutnya tampak sedang berpikir keras. Praktis semua itu membuatnya penasaran akan isi kepala cowok ber-hoodie putih tersebut.

“Lo mau bawa gue ke mana, Go?”

“Ke tempat kakak gue, Kak Inggrid,” jawab Iago.

“Hah? Buat apa?”

“Buat persiapan nanti malam. Saking gugupnya, gue yakin lo sama sekali belum siap-siap. Iya, kan?”

“Iya, tapi—”

Belum juga Ara menuntaskan kalimatnya saat mobil Iago sudah berbelok memasuki kompleks pertokoan. Tepat di depan butik yang merangkap sebagai salon, mobil yang ditumpangi mereka berhenti.

“Ini punya kakak gue,” beri tahu Iago.

Iago mengajak Ara masuk. Sesosok perempuan cantik yang bentuk wajahnya menyerupai mami Iago muncul dari dalam dan langsung menghampiri mereka. Perempuan itu mengamati Ara dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kok bisa lo dapet pacar yang modelannya kayak gini?” tanyanya pada Iago.

Iago baru akan buka suara, tapi sudah didahului oleh kakaknya, “Gimana ceritanya lo yang cantik gini bisa mau sama adik gue?” Kali ini pertanyaannya ditujukan pada Ara. “Adik gue ini nggak pernah sisiran, baju juga itu-itu aja. Menariknya di bagian mana sih?”

Ara berusaha keras menahan tawanya. “Gue.... Eh, mungkin gue yang halu. Jadi ngelihat dia kayak ngelihat June Oppa.” Kalimat itu terlontar begitu saja tanpa bisa ditahan.

Wait, lo demen iKON juga?”

Ara mengangguk. “iKONIC garis keras.”

“Sama dong. Lo nonton konsernya juga kapan hari?”

“Nonton dong.”

“Enak banget. Gue nggak bisa nonton gara-gara nggak dapet tiket,” ujar kakak Iago dengan cemberut. “Oh ya, kenalin gue Inggrid, kakak dia yang nomor empat. Berhubung gue masih dua puluh lima tahun, lo boleh panggil gue Inggrid aja biar kelihatan seumuran.”

“Gue Arabella, dipanggilnya Ara biar nggak kepanjangan.”

“Terserah kalian berdua mau saling manggil apa,” serobot Iago dengan nada agak sebal. Dia menoleh pada kakaknya. “Kak, gue minta tolong bantu Ara siap-siap buat nanti malam. Bisa?”

Kening Kak Inggrid mengerut dalam. “Lo jadi jalanin skenario pemberontakan lo?”

Iago mengangguk yakin.

“Bagus deh! Gue dukung lo. Papi emang kelewatan, jangan sampai nasib kita kayak ketiga kakak kita yang lain. Gue dan lo berhak bahagia dengan pilihan kita sendiri.”

Ara hanya diam dan mendengarkan, berusaha mengerti pembicaraan antara Kak Inggrid dan Iago. Ara tahu ini bukan porsinya, perannya hanya sebagai pacar Iago, hanya saja isi percakapan kakak beradik itu membuat Ara luar biasa penasaran.

“Kalau gitu gue tinggal dulu ya. Nanti malem gue jemput lo lagi,” kata Iago pada Ara.

“Oke.”

Lalu Iago pun berlalu, meninggalkan Ara tanpa menjelaskan apa-apa.

“Yuk, ikut gue!” Tanpa permisi Kak Inggrid menggandeng Ara, mengajaknya masuk ke ruangan dalam.

Ara yang masih asing hanya bisa menurut. Toh setelah hari ini, semuanya akan benar-benar terasa asing.

*

 

Ara menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun biru langit bermodel off shoulder yang dikenakannya terasa ketat membungkus tubuh, kontras dengan bagian bawah gaunnya yang terkesan jatuh dan longgar. Untungnya gaun ini tidak banyak dihiasi brokat yang sering membuat kulit terasa gatal. Rambut Ara ditata sederhana, bagian ujungnya dibuat ikal dan dibiarkan tergerai dengan tambahan aksesoris mutiara yang membuat penampilannya terlihat elegan.

“Kak, gue susah napas,” ujar Ara pada Kak Inggrid yang tengah mengencangkan tali gaunnya.

“Lo cuma belum terbiasa,” sahut Kak Inggrid. “Coba lo tarik napas panjang, terus lurusin punggung lo.”

Ara melakukan apa yang dikatakan oleh Kak Inggrid.

“Gimana?”

Better.

“Nah, selesai!” Kak Inggrid senyum-senyum, merasa puas dengan hasil karyanya. “Gue yakin dua lalat itu bakalan minder ngelihat penampilan lo.”

Kening Ara otomatis mengerut. “Dua lalat?”

“Lisa sama Laura.”

Ara tahu siapa Lisa, tapi tidak dengan Laura. “Ehm, Laura...?”

“Kakaknya Lisa. ‘Peliharaan’ bokap gue.”

Oh! Ara jelas terkejut dengan informasi yang baru saja didengarnya, meski begitu dia memilih untuk tidak memberikan tanggapan apa-apa. Cukup sampai di sini, Ara tidak mau tahu lebih banyak daripada yang diketahuinya sekarang. Karena semakin banyak tahu, dirinya akan terlibat lebih jauh.

“Gue nggak tahu seberapa banyak yang Iago ceritakan sama lo, tapi yang pasti gue nggak pengin adik gue menderita,” cerita Kak Inggrid, tatapan perempuan itu menerawang. “Hubungan gue sama Iago adalah yang paling deket. Tiga kakak kami yang lain cenderung penurut, nggak pernah ngebantah saat hidupnya diatur oleh Papi. Tapi gue sama Iago, kami berdua punya mimpi dan kami nggak mau menyerah sama mimpi itu. Jadi walau harus menentang Papi, gue sama Iago yakin kalau apa yang kami lakukan itu nggak salah.”

Ara tertegun. Setiap orang memang memiliki kisah rumitnya sendiri. Dirinya, Iago, bahkan Kak Inggrid sama-sama sedang berjuang di jalurnya masing-masing. Entah demi hidup, mimpi, atau hal lainnya. Dalam waktu yang singkat ini Ara memahami, jika apa yang selama ini terlihat baik, tetap saja menyimpan sebuah persoalan di baliknya.

“Udah, omongan gue tadi nggak usah diambil pusing.” Kak Inggrid menepuk-nepuk bahu Ara. “Gue emang baru pertama kali ketemu sama lo, herannya gue ngerasa kalau lo itu cewek baik. Ke depannya gue harap lo bakalan baik-baik aja sama Iago.”

“Gue harap juga gitu,” balas Ara gamang. Dia tersenyum samar demi menyembunyikan keraguannya. Sebab dirinya hanya akan bersama Iago hingga pukul dua belas malam nanti. Dan besok, Ara dan Iago akan benar-benar kembali ke titik awal. Keduanya akan sepenuhnya menjadi orang asing.

Ada sebercak kesedihan di hati Ara. Hubungannya dengan Iago memang terlihat tidak pernah akur, walau begitu entah mengapa Ara tidak ingin kehilangan saat-saat seperti itu.

“Kak, nanti kira-kira acaranya bakal kayak gimana, ya?” tanya Ara.

Kak Inggrid menyipit. “Iago nggak kasih tahu ke lo?”

Ara menggeleng pelan.

Perempuan yang kini rambut panjangnya sudah dicepol menjadi satu di puncak kepala itu mendesah panjang. “Semacam private party aja sih sebenarnya. Intinya bukan di ulang tahun Iago, tapi lebih ke perjodohannya.” Kak Inggrid diam sebentar. “Lo tahu kan soal itu?”

“Tahu kok.”

“Gue sendiri nggak tahu secara detail apa yang udah direncanakan sama Iago, jadi lo percaya aja sama dia.”

Ara mengangguk. Mulutnya bungkam karena sudah tak lagi sanggup berkata-kata. Dalam beberapa detik berjalan, Ara merasa begitu bodoh karena bersedia membantu orang tanpa tahu apa-apa. Namun di sisi lain Ara tidak bisa mengabaikan hatinya yang mengiba.

Perasaan ini sungguh-sungguh membingungkan.

“Adik gue pernah salah milih pacar, tapi kali ini gue yakin dia nggak salah pilih,” kata Kak Inggrid yang direspons Ara dengan sebuah senyuman samar.

*

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Po(Fyuh)Ler
995      550     2     
Romance
Janita dan Omar selalu berangan-angan untuk jadi populer. Segala hal telah mereka lakukan untuk bisa mencapainya. Lalu mereka bertemu dengan Anthony, si populer yang biasa saja. Bertiga mereka membuat grup detektif yang justru berujung kemalangan. Populer sudah lagi tidak penting. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah persahabatan mereka akan tetap bertahan?
Trust Me
123      112     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
The First
547      400     0     
Short Story
Aveen, seorang gadis19 tahun yang memiliki penyakit \"The First\". Ia sangatlah minder bertemu dengan orang baru, sangat cuek hingga kadang mati rasa. Banyak orang mengira dirinya aneh karena Aveen tak bisa membangun kesan pertama dengan baik. Aveen memutuskan untuk menceritakan penyakitnya itu kepada Mira, sahabatnya. Mira memberikan saran agar Aveen sering berlatih bertemu orang baru dan mengaj...
Manuskrip Tanda Tanya
6259      1973     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
CATCH MY HEART
3004      1210     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Seberang Cakrawala
148      133     0     
Romance
sepasang kekasih menghabiskan sore berbadai itu dengan menyusuri cerukan rahasia di pulau tempat tinggal mereka untuk berkontemplasi
PALETTE
555      307     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
When I Met You
658      383     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Rain
605      440     4     
Short Story
Hujan mengubah segalanya dan Hujan menjadi saksi cinta mereka yang akhirnya mereka sadari.
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...