Perasaan Ara gelisah bukan main selama menanti bel istirahat pertama berbunyi. Monic di sampingnya berkonsentrasi menyimak materi, pun dengan Vika yang hampir tidak pernah menoleh ke belakang sejak kesalahpahaman itu terjadi.
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Seperti biasanya, semua langsung menghambur ke luar kelas. Di antara anak-anak yang saling mendahului untuk keluar, ada seseorang yang malah menerobos masuk ke dalam kelas.
Iago.
Cowok yang kali ini tidak mengenakan hoodie-nya itu terlihat keren dalam balutan seragam khas sekolah berupa kemeja putih dengan kelim biru tua kotak-kotak, serta celana panjang yang sama dengan kelim kemejanya. Sampai di dalam kelas, Iago celingukan mencari-cari Ara.
Dion yang mengetahui kehadiran Iago langsung berteriak, “Woy! Cepet banget lo sampai sini? Baru juga bel.”
Yang diteriaki langsung berjalan ke arah Dion.
“Tumben lo main ke kandang gue,” kata Dion lagi.
“Gue boleh pinjem bangku lo sebentar?” tanya Iago pada Dion. “Gue mau ngomong sama mereka bertiga.”
“Ya kan tinggal ngomong aja. Cepet!”
“Tapi lo pergi dulu. Gue ada perlunya cuma sama mereka, bukan sama lo.”
“Njirrr. Gue diusir dari kandang gue sendiri,” gerutu Dion. “Tapi ntar istirahat kedua lo traktir gue makan di kantin, ya?”
“Kantin lo rampok juga sah-sah aja. Nanti biar gue yang bayar.”
“Wuih!” Dion menonjok main-main dada Iago. “Eh, tapi inget, lo jangan apa-apain cewek gue!”
Iago memutar mata. “Gue cuma mau ngomong doang,” tegasnya.
Monic yang semula duduk di samping Ara pindah ke sebelah Vika, mempersilakan Iago untuk menduduki kursinya.
“Jadi lo mau ngomong apa?” sentak Vika tak mau berbasa-basi.
“Pertama gue mau minta maaf, gara-gara gue, lo berdua jadi salah paham ke Ara,” ucap Iago pada Vika dan Monic. “Gue butuh Ara, tapi sayangnya gue nggak bisa kasih tahu alasan gue sekarang, nanti kalian semua juga pasti bakalan tahu kalau Ara nolongin gue. Lalu soal gue bantuin Ara,” Iago menelan ludah, “gue tulus bantu dia.”
“Gue nggak percaya sama lo,” hardik Monic. “Lo itu kurang apa sih, Go? Lo pasti berniat PHP-in Ara dengan bilang kalau lo bisa bantuin dia cari cowok itu.”
“Dan begonya lagi dia percaya gitu aja.” Vika melirik Ara.
Ara menggeram diam-diam, ingin sekali menyudahi semua ini. Menurutnya, penjelasan Iago tidak akan memperbaiki apa-apa.
“Sebagai sahabat harusnya kalian berdua lebih tahu apa yang dirasakan Ara.”
“Lo itu sok tahu banget sih!” Vika menyolot tak terima.
“Karena gue emang tahu,” balas Iago kalem.
Mereka semua terdiam. Vika dan Monic saling bertukar pandang, sementara Ara sibuk menghindari tatapan Iago.
“Ara bakal mati kalau sampai nggak ketemu sama cowok itu,” ujar Monic. “Gue sama Vika cuma nggak mau Ara mati.”
Iago tersenyum miring. “Dengan cara ngejar cowok-cowok yang pernah nembak dia?”
Tak ada yang menyahut.
“Cara gue lebih efektif. Gue bisa cari tahu tanpa perlu Ara balik kucing ke cowok-cowok itu,” lanjut Iago.
Vika menggeleng. “Kalau informasi yang lo dapet nggak akurat gimana?”
“Lo bisa pegang omongan gue.”
Ara yang sejak tadi hanya menyimak akhirnya angkat bicara. “Cukup,” desisnya tertahan. “Gue bakal cari cowok itu sendiri.” Dia bergantian menunjuk Iago, Vika, dan Monic. “Lo, lo, dan lo.... Nggak usah bantuin apa-apa. Toh kalau cowok itu nggak ketemu, yang bakal mati itu gue, bukan kalian. Jadi—”
“Gue nggak mau lo mati, Ra!” geram Iago, tangannya spontan menggebrak meja.
“Lo bilang gitu karena lo masih butuh bantuan gue, kan?”
Iago memasang wajah tak percaya. “Lo beneran mikir gitu ke gue?” tanyanya. “Picik banget sih lo! Gue tulus mau bantuin lo, bahkan gue nggak peduli pada akhirnya lo mau nolongin gue atau nggak. Gue nggak mau lo mati, Ra! Berapa kali sih gue harus bilang itu ke lo?”
Ara tersentak. Belum pernah Iago terlihat semarah ini.
“Lo nggak nolongin gue, gue nggak bakalan mati. Tapi lo.... Lo itu bakalan mati kalau nggak bisa menemukan cowok itu. Lo ngerti nggak sih?!” lanjut Iago lantas berdiri. “Seumur-umur gue nggak pernah mikirin orang yang bukan siapa-siapa gue. Lo yang pertama. Dan lo juga yang pertama ngebuang niat baik gue.”
Perasaan Ara berkecamuk tak keruan. Apa pun yang baru saja terjadi, semua ini di luar perkiraannya. Dan sekarang dia tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiknya. Dalam hatinya Ara sadar, jika dia baru saja menyakiti Iago.
“Makasih udah bikin gue kecewa,” desis Iago sebelum memalingkan muka dari Ara dan berjalan keluar kelas, meninggalkannya bertiga dengan Vika dan Monic yang sama-sama bingung.
Vika yang pertama mengguncang tubuh Ara. “Ra, lo nggak apa-apa, kan?”
Air mata dengan cepat menggenangi pelupuk mata Ara. Tidak pernah hatinya terasa sesakit ini, sampai-sampai rasanya bernapas pun sulit. Hidupnya dulu selalu santai, hanya didominasi oleh bersenang-senang. Namun kali ini kenapa semua di sekelilingnya terasa sangat serius?
“Ra, gue minta maaf,” kata Vika lagi. “Gue sama Monic salah karena udah mikir gitu ke lo, padahal kita nggak tahu lo udah mati-matian nolak Iago.”
“Iya, Ra, jangan nangis dong.” Monic cepat-cepat mengambil tisu dan menyeka air mata Ara. “Setelah gue ngelihat Iago, gue rasa tuh anak ada benernya. Dia bisa dapetin informasi apa pun—sesuatu yang kita nggak bisa.”
Vika mengangguk setuju. “Sori ya, Ra. Kami malah bikin segalanya jadi berantakan.”
Ara menelungkupkan kepalanya di atas meja. Dan menangis. Kesalahpahamannya dengan Vika dan Monic memang sudah selesai, akan tetapi timbul masalah baru antara dirinya dan Iago.
Sungguh, Ara tidak pernah seperti ini ketika berurusan dengan cowok. Bahkan menolak cowok pun dapat dilakukannya dengan mudah. Lantas kenapa dengan Iago semuanya terasa begitu rumit?
Kenapa setelah berhasil menata semua yang berantakan, Ara masih saja merasa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya?
Entahlah.
*
Napas Iago masih memburu ketika dia akhirnya berhasil kembali ke kelasnya. Kecewa di dadanya tak dapat ditangkal. Rasanya tidak sampai sakit, hanya saja ... aneh. Pokoknya tidak wajar.
Mengabaikan tatapan teman-teman sekelasnya, Iago mulai mengingat-ingat kenapa dia bisa menjadi seperti ini dengan Ara. Ketika memutuskan untuk meminta bantuan cewek itu, detik itu juga Iago seperti terikat. Semula yang dikiranya mudah, ternyata jauh lebih sulit. Ara membuatnya mengejar-ngejar, menginvasi kepalanya, terus berputar-putar dan membayanginya
Jangan-jangan....
Tak butuh waktu lama bagi Iago untuk menerka perasaan apa yang tengah merasukinya. Namun bila mengingat begitu gigihnya Ara menolak cowok-cowok yang pernah menyatakan perasaannya, Iago merasa ciut. Selama ini dia yang selalu dikejar-kejar, belum pernah sekali pun menerima penolakan. Hanya Ara. Hanya cewek itu yang dengan terang-terangan menolaknya.
Jika biasanya Iago yang mengecewakan seseorang, kali ini dia yang dikecewakan. Ironis sekali, bukan?
Sempat blank sejenak, pikiran Iago kembali melayang.... Andai saja perasaannya pada Ara terus seperti ini dan semakin dalam, ketika Ara menemukan cowok yang dicarinya kelak, apa yang terjadi pada hatinya?
Iago meringis. Jika memang skenarionya seperti itu, artinya yang dia lakukan saat ini tak ubahnya seperti aksi bunuh diri. Namun jika dia tidak membantu Ara, cewek itu akan mati. Terus terang situasi ini membuat Iago frustrasi.
Kenapa ujung-ujungnya lo tetep harus ngecewain gue sih, Ra?
*