Jika semua berjalan sebagaimana mestinya, harusnya sekarang ini Ara sudah melihat titik terang akan keberadaan ‘cowok kekurangan cinta’ yang sedang dicarinya itu. Hanya saja semesta memang suka mempermainkannya, mengubah skenario seenak sendiri.
Waktunya terulur lagi semenjak perselisihannya dengan Iago. Semangatnya untuk mencari ‘cowok kekurangan cinta’ juga ikut menguap entah ke mana. Pikiran dan hatinya kompak tidak tenang. Jauh di dalam dirinya, Ara merasa bersalah.
“Iago masih marah sama lo?” tanya Monic.
Ara mengangguk.
“Kita samperin dia bareng-bareng. Gimanapun juga kita udah salah, mikir kayak gitu ke Iago.” Vika menyilangkan tangannya. “Tapi ngomong-ngomong, Iago punya perasaan ke lo nggak sih, Ra?”
“Dari awal, hubungan gue sama Iago cuma simbiosis mutualisme. Dia bantu gue, gue nolongin dia. Udah. Selesai. Nggak lebih. Nggak kurang,” terang Ara mengambang.
Monic mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk. “Kok gue mikirnya nggak gitu, Ra? Awalnya dia ngejar-ngejar lo biar lo mau nolongin dia. Terus setelah dia tahu masalah lo soal ramalan itu, dia berniat bantuin lo, malah kayaknya dia udah nggak mikirin masalahnya sendiri. Salah nggak sih kalau gue bilang Iago itu suka sama lo?”
“Tapi gue nggak suka sama Iago,” ketus Ara. “Jarak gue sama Iago terlalu jauh untuk lebih dari sekadar dua orang yang sama-sama butuh bantuan.”
Vika dan Monic sama-sama menatap Ara, bertanya-tanya apa maksudnya.
Ara mendesah pelan. “Gue harus kelarin masalah gue sama dia secepatnya biar gue bisa fokus sama masalah gue sendiri.”
“Kayaknya gue sama Vika juga perlu minta maaf sama Prince,” gumam Monic.
“Oke. Nanti kita tunggu Iago di tempat parkir.”
*
Pulang sekolah, Ara, Vika, dan Monic menanti di tempat parkir, berharap Iago segera menampakkan batang hidungnya. Tak berselang lama, cowok yang mencolok dengan penampilannya yang serbaputih tersebut berjalan menuju mobilnya yang juga berwarna putih.
Vika menutup matanya dengan tangan. “Ups! Silau. Gue berasa ngelihat malaikat, tapi sayangnya jutek.”
Ucapan Vika membuat Ara sadar jika wajah Iago memang lebih muram daripada biasanya. Dan ... lebih pucat seperti kurang tidur, kontras dengan rambut hitam berantakannya.
“Go,” panggil Ara.
Cowok bertubuh jangkung itu berhenti sebentar, lalu ketika mengenali suara milik siapa yang memanggilnya, Iago melengos.
Ara mengejar Iago dan mencengkeram bagian belakang hoodie-nya. “Go, gue mau ngomong,” pintanya.
Iago berbalik hingga terlepas dari cengkeraman Ara. Dia membetulkan posisi hoodie-nya yang tidak nyaman karena ditarik oleh Ara tadi. “Kalau gue nggak mau?”
“Gue bakalan ngerecokin lo terus sama kayak lo ngerecokin gue.”
Iago menggaruk belakang kepalanya dan mendesah panjang.
“Gue minta maaf,” ucap Ara buru-buru. “Waktu itu pikiran gue buntu. Gue kacau.”
Ara merasakan mata Iago menyorotnya, menanti kelanjutan kalimatnya.
“Soal lo masih mau bantuin gue atau nggak, itu terserah lo,” lanjut Ara.
Baru saja Iago hendak membuka mulut, tapi sudah disela oleh Vika yang datang bersama Monic. “Gue juga minta maaf, Go. Gue ngaku salah karena asal ngomong. Padahal gue kenal lo aja nggak.”
“Gue juga,” timpal Monic.
Iago mendesah sinis. “Kenapa tiba-tiba gue ngerasa jadi orang jahat gini, ya?” Dia diam sebentar. “Oke deh. Gue terima maaf dari Vika sama Monic, tapi nggak dari Ara.”
Otomatis Ara langsung protes. “Kok gitu?”
“Gue maafin mereka karena gue tahu mereka cuma salah paham ke gue. Tapi lo,” Iago menunjuk Ara, “lo sama sekali nggak ngehargain niat baik gue. Gue masih belum bisa maafin lo soal itu.”
Ara membatu. Dia tahu Iago serius—serius marah padanya. Setelah sekian detik mereka bersitatap dalam diam, Iago memutar badannya, meninggalkan Ara tanpa ada niat untuk menoleh. Jantung Ara serasa melorot, siapa yang menyangka Iago akan semarah ini padanya?
Tanpa sempat berpikir, Ara menyusul Iago yang sudah bersiap masuk ke mobilnya. Ara menutup kembali pintu mobil yang dibuka Iago. Mata cowok itu berkilat tajam, menusuk Ara tepat di ulu hatinya.
Sakit. Tatapan Iago menyakiti Ara.
Mengabaikan rasa itu, Ara bertanya pada Iago, “Gue harus gimana biar lo mau maafin gue?”
Iago memepet tubuh Ara hingga punggungnya menyentuh bagian samping mobil. Cowok itu menelengkan kepala, pelan-pelan mendekatkan wajahnya ke wajah Ara. Dalam jarak sedekat ini, Ara bisa melihat dengan jelas bila Iago memiliki bulu mata yang lebat serta mata berbentuk almond. Sepasang mata itu berkedip sekali sebelum akhirnya wajah Iago melewati wajahnya, membuat pipi mereka bersentuhan ringan.
“Lusa malam lo temenin gue,” bisik Iago, tepat di telinga Ara.
Ara terdiam saking kagetnya. Tangan Ara mengepal erat hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangan, membuat Ara sadar apa yang harusnya dia lakukan.
“Maksud lo apa sih?” bentak Ara, kedua tangannya mendorong tubuh Iago.
Cowok itu sempat tersentak, kemudian dengan cepat memperbaiki posisinya lagi. “Waktu lo ngerasa bersalah sama Alan, lo ngelakuin sesuatu yang dia minta,” kata Iago. “Harusnya lo ngelakuin itu juga sama gue.”
“Kok lo bisa tahu soal itu?”
“Soal apa? Soal lo yang nemenin Alan tanding basket buat menebus rasa bersalah lo?”
Ara menelan ludah. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
“Lo lupa kalau gue selalu bisa tahu apa pun yang pengin gue tahu?”
Oh....
Ara meletakkan tangannya di puncak kepala Iago, menggerakkannya perlahan untuk mengacak-acak rambut cowok itu—sesuatu yang sejak lama ingin dilakukannya. “Lo mau gue nemenin lo tanding basket juga?” tanya Ara main-main. “Oke, kasih tahu gue kapan dan di mana tempatnya.”
Iago mendengus. Kelihatan sekali dia masih marah, tapi dia juga pasrah berhadapan dengan Ara yang baginya cukup ajaib ini. “Gue minta lo temenin gue—”
“Ke mana?”
Ekspresi Iago berubah mendung. “Satu-satunya tempat yang mungkin sebentar lagi nggak bakal bisa gue datangi kalau lo nggak bersedia nolongin gue.”
“Lo harus jelasin dulu tempat apa itu.”
Iago menyipit. “Lo nggak percaya sama gue?”
Ara tak merespons.
“Gue nggak ngerti,” dengus Iago seraya menggeleng-geleng. “Lo itu bener-bener ya....”
Ara balas menyipit pada Iago, emosinya mulai terpancing. “Maksud lo apa sih? Nggak jelas banget?!”
“Setelah kita jalan bareng, setelah gue kasih tahu masalah gue ke lo, bisa-bisanya lo masih ragu sama gue,” Iago berpaling untuk menghindari tatapan Ara, “padahal gue percaya sama lo, gue juga tulus mau bantuin lo, gue—”
Ara meraih pundak Iago. “Go....”
Namun Iago menepisnya. “Udahlah! Mulai detik ini, kita beresin masalah kita sendiri-sendiri aja. Itu yang lo mau, kan?!” Iago mengangguk kasar. “Oke. Gue setuju.”
Dada Ara nyeri tanpa dia tahu dengan jelas apa penyebabnya. Sikap Iago memang tidak seperti yang Ara harapkan, akan tetapi harusnya semua itu tidak sampai membuat dadanya terasa begitu nyeri. Memangnya, siapa Iago bagi Ara?
“Oh ya, mulai detik ini juga gue nggak bakal ngejar-ngejar lo lagi.” Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Iago sebelum dia menutup pintu dan mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat parkir—di mana Ara masih tercenung, berusaha memahami situasi yang dialaminya.
Perlahan, panas merebak di mata Ara. Air matanya mendesak keluar, yang sebisa mungkin ditahannya. Ara tidak ingin menangis, air mata hanya akan membuatnya tampak lemah.
Vika dan Monic yang sedari tadi hanya melihat dari kejauhan akhirnya memutuskan untuk menghampiri Ara. “Gimana, Ra? Kok Iago malah pergi?” tanya Monic dengan mimik khawatirnya.
“Semua nggak berjalan baik, ya?” Vika juga khawatir.
Ara mengembuskan napas panjang sekali, kemudian mengedikkan bahu. “Permintaan maaf gue ditolak,” jawabnya, berusaha keras untuk tetap menahan air mata. “Nggak apa-apa. Yang penting gue udah minta maaf. Pulang, yuk!”
Kedua sahabat Ara itu saling pandang. Jelas, apa yang terlihat tidak sesuai dengan yang dirasakan oleh Ara. Mereka ingin bertanya lebih, ingin mengorek lebih dalam, tapi mendapati Ara yang tertunduk lesu, mereka memilih untuk mengurungkannya. Berharap saja semoga ini tak lama.
“Iya, yang penting lo udah minta maaf,” ujar Monic mencoba membesarkan hati Ara.
Ara hanya meresponsnya dengan anggukan kecil. Bukankah ini yang dia harapkan? Iago berhenti mengganggunya. Lalu kenapa hatinya sama sekali tidak terasa lega?
Semuanya belum selesai.
Satu hal yang Ara pelajari, jika kata maaf tidak serta-merta menghapus kesalahan yang sudah diperbuat. Dan diam-diam, tanpa Ara tahu, seseorang mengamati semua kejadian itu dari kejauhan, merencanakan sesuatu yang membuat Ara semakin dekat dengan bahaya baru.
*