Vika langsung menghambur ke arah Ara begitu melihatnya keluar dari stan Madam Maris. “Gimana? Gimana?” tanya Vika antusias.
“Bukan yang jelek-jelek, kan?” Monic menyusul di belakang Vika, wajah cewek berkacamata itu lebih terlihat cemas daripada penasaran. “Lo sampai pucat gitu. Nih, minum dulu.” Monic menyodorkan bubble milk tea pesanan Ara tadi.
Ara menerimanya dan menyedot isinya sedikit. Perasaannya masih tak keruan, pikirannya amburadul. Sampai-sampai dia bingung dari mana harus memulainya.
Kematian.
Duh!
Percayalah, mengetahui waktu kematianmu sendiri bukanlah hal yang bisa diterima dengan lapang dada. Ara masih merasa jika semua hal tadi begitu konyol, akan tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan apa yang diucapkan oleh Madam Maris tadi. Oh ayolah, bisa saja kan jika Madam Maris hanyalah orang iseng yang asal bicara?
Vika mengguncang bahu Ara. “Ra, lo ... nggak apa-apa, kan? Orang tadi bilang apa sama lo? Lo kelihatan shock berat.”
Ara menarik napas sekali. Dia akan bercerita, hanya saja tidak sekarang. Sebab dia sendiri masih mencari alasan untuk percaya pada ramalan itu. Lagi pula mana tega dia merusak antusiasme kedua sahabatnya? Mereka sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menonton festival musik ini—bahkan butuh waktu hampir seharian untuk memilih baju apa yang akan dikenakan.
“Nggak terlalu bagus sih,” Ara mengangkat bahu, coba untuk acuh tak acuh, “jadi nanti aja ceritanya. Kita have fun aja dulu.”
“Ra....”
Melihat Vika dan Monic yang keberatan, Ara buru-buru melanjutkan, “Gue janji bakalan cerita.”
“Jangan sampai ada yang dikurang-kurangin,” ancam Monic.
“Iya, gue bakalan ceritain lengkap-kap-kap-kap! Kalau perlu gue tambahin kata pengantar dulu.”
“Emang mau bikin karya ilmiah?”
Ara terkekeh.
“Kita masuk aja, yuk!” Vika melihat jam tangannya. “Sebentar lagi mulai nih.”
“Yuk!”
Sebenarnya, daripada memikirkan bersenang-senang bersama kedua sahabatnya, Ara lebih memikirkan dirinya sendiri. Tak lebih dari lima belas menit dia duduk di dalam sana, tapi semua perkataan Madam Maris seakan telah merenggut kesenangannya. Dalam sekejap, semua bayangan menyenangkan di benak Ara bermutasi menjadi kengerian.
Ara menarik napas, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Jika memang ramalan itu benar, biar saja waktunya di dunia berkurang satu hari. Toh masih ada delapan puluh sembilan hari lagi yang tersisa untuk mencari siapa ‘cowok kekurangan cinta’ itu.
“Eh, ngomong-ngomong band dari sekolah kita tampil kapan?” tanya Vika, setelah mereka melewati gerbang utama SMA Nusantara.
Monic mengangkat bahu.
“Katanya sih pas penutupan,” sahut Ara.
Vika kelimpungan. “Yah, berarti masih lama dong. Kalau pulang di atas jam dua belas gue bakalan dikunciin sama nyokap.”
“Lo tidur rumah gue aja kalau dikunciin. Bilang aja sama nyokap lo kalau ada acara tahun baruan sama temen-temen.”
“Gue ikutan dong.” Monic tak mau ketinggalan.
“Oke. Malam ini lo berdua nginep di rumah gue.”
Monic mengangguk. “Sekalian dengerin cerita lo.”
“Iya. Iya.... Bawel banget sih lo!”
Lapangan upacara SMA Nusantara sudah disulap menjadi arena konser, para penonton dari sekolah lain juga sudah berkerumun di depan panggung yang masih kosong.
“Eh buset, kok pada banyak yang bawa lightstick?” komentar Vika sembari menunjuk cewek yang memegang lightstick merah berbentuk tongkat bisbol.
Ara langsung histeris. “Astaga! Ada iKONIC[1] di sini. Harusnya tadi gue bawa juga ya.” Sebagai salah satu iKONIC, Ara kegirangan karena menemukan teman ‘sebangsanya’. Well, Ara, Vika, dan Monic memang sama-sama penggemar K-Pop, hanya saja mereka bertiga menyukai idol grup yang berbeda. Untungnya meski berbeda, tidak pernah terjadi fan war di antara ketiga sahabat tersebut.
Monic mendekatkan bibirnya ke telinga Ara dan mencibir, “Emang lo mau nonton siapa? Di sini nggak ada June Oppa, nggak ada!”
Ara memutar mata menanggapi godaan sahabatnya. “Ya kaliii. Ngayal dikit boleh dong,” balasnya membela diri.
“Ketinggian khayalan lo!”
“Ya kalau nggak tinggi itu namanya kenyataan.” Ara menjulurkan lidahnya pada Monic.
Monic masih hendak membalas, tapi Vika mendahuluinya. “Eh, itu ada yang bawa lightstick-nya BTS juga,” pekik Vika girang sambil melompat-lompat kecil. “Kayaknya gue perlu samperin deh, kan sesama ARMY[2].”
“Itu juga ada yang bawa Aeri Bong[3] juga,” Monic menujuk benda berbentuk segi enam yang dibawa oleh seorang cewek berjaket abu-abu, “tapi gue B aja tuh. Kenapa kalian berdua norak amat sih?!”
“Kan wajar, Mon, namanya juga ketemu rekan se-fandom,” balas Vika penuh antusias.
Ara mengangguk setuju. Memangnya siapa sih yang nggak seneng ketemu sama temen seper-Oppa-an?
“Iya, gue tahu! Tapi ini bukan konsernya Oppa-oppa kita. Ini adalah festival musik SMA Nusantara dan kita kemari bertiga. Kalau kalian nyamperin temen se-fandom kalian sendiri, terus ngapain dong kita tadi berangkat bareng?” Monic merengut, masih terlihat tidak terima dengan kalimat Vika.
Hening sebentar.
“Udah. Udah.” Ara menengahi dengan memosisikan diri di antara kedua sahabatnya. “Monic bener kok, tapi Vika juga nggak salah. Emangnya lo nggak pengin jingkrak-jingkrak gitu, Mon, kalau ketemu sama sesama EXO-L?” tanya Ara pada Monic.
Monic tersenyum malu-malu. “Ya pengin sih....”
“Tuh, kan!” Vika menyentil pelipis Monic.
Ara terkekeh. “Lagian emang agak ganjil juga sih. Festival musik sekolah berasa kayak festival musik K-Pop.” Kening Ara berkerut, mengamati sekelilingnya yang mayoritas membawa lightstick milik idol grup kecintaan mereka masing-masing.
“Semacam identitas kali,” celetuk Vika. “Biar orang tahu kalau mereka itu Carat[4], VIP[5], atau apalah!”
“Bisa jadi....” Monic dan Ara manggut-manggut.
“Lagian kata si Dion bebas kok mau bawa apa aja, asal bukan barang-barang yang bahaya kayak senjata tajam gitu. Ya kali aja nanti ada yang perform lagu-lagu K-Pop,” lanjut Vika berharap.
“Eh, ngomong-ngomong soal Dion, tuh anak di mana? Kok nggak kelihatan batang hidungnya sama sekali?” Ara menyenggol lengan Vika dengan sikunya.
“Nggak tahu. Kami tadi janjian buat ketemu di sini,” jawab cewek berambut ikal tersebut. “Coba lo telepon dia.”
Ara mendecih. “Kok gue? Kan lo pacarnya.”
“Tapi lo sepupunya.”
Ketiganya mundur, menarik diri dari kerumunan. Ara mengeluarkan ponselnya dan menelepon Dion. Lama, tidak juga diangkat. Setelah beberapa kali mencoba, barulah ada jawaban dari seberang sana.
Ara mengaktifkan loudspeaker. “Lo di mana?”
“Di SMA Nusantara. Lo sendiri di mana?”
“Gue juga udah di TKP. Barengan Vika sama Monic.”
“Gue di belakang panggung barengan Brian sama Hendra. Lo bertiga di mana? Jangan ke mana-mana dulu, biar gue aja yang samperin ke sana.”
“Di depan panggung, tapi ini lagi senderan di depan kelas...” Ara mendongak, “10-D.”
“Oke. Tungguin bentar.”
Lalu panggilan telepon berakhir.
*
[1] iKONIC : Sebutan untuk para penggemar iKON.
[2] ARMY : Sebutan untuk para penggemar BTS.
[3] Aeri Bong : Nama lightstick milik idol grup EXO.
[4] CARAT : Sebutan untuk para penggemar Seventeen.
[5] VIP : Sebutan untuk para penggemar Big Bang.