Dita melangkah dengan gontai memasuki gerbang sekolah pagi itu. Ia merasa tidak bersemangat. Dari pintu gerbang sekolah terlihat Angga penandatanganan tangan ke sequencer, namun ia tak membalasnya sama sekali. Angga lalu mendekatinya sambil tersenyum.
“Hai Dit, bagaimana kabarmu pagi ini?” sapa Angga sambil berusaha menggandeng tangannya. Secepat kilat Dita mengempaskannya, lalu buru-buru melangkah masuk ke dalam kelasnya dan duduk di samping Stella.
“Hai Dit,” sapa Stella sambil tersenyum, namun Dita juga tak menggubrisnya. Moodnya benar-benar berantakan pagi ini. Pikirannya kacau balau gara-gara ucapan ibu kemarin. Ia masih mencoba untuk menerima kenyataan bahwa ia harus memendam rasa yang baru saja ia ucapkan pada Angga kemarin. Bahwa ia tak bisa melakukan apa-apa kecuali menerima kenyataan bahwa ia sama sekali tak boleh pacaran hingga nanti ia lulus kuliah.
“Bisa kita bicara sebentar,” ucap Angga setengah berbisik di sampingnya. Segera ia melirik jam di tangannya. Masih pukul 6.45, ia masih punya waktu sekitar lima belas menit lagi untuk berbicara dengan Angga. Ia mengangguk lalu segera melangkah ke luar menuju ruang perpustakaan yang ada di ujung lorong lantai dua. Stella memandangi Dita dan Angga dengan tanda tanya hingga hilang di ujung lorong.
Mereka berdiri di antara rak-rak buku.
“Kita cuma punya waktu sepuluh menit,” ujar Dita sambil melirik Angga yang berada disebelahnya.
"Apa yang Tante Hesti katakan padamu tentang kita setelah aku pulang kemarin?" tanya Angga dengan nada serius.
"Bagaimana kau tahu kalau ibu bicara denganku mengenai kita kemarin?" tanya Dita penasaran.
"Aku sudah bisa menebaknya. Ada sesuatu hal yang belum bisa aku ceritakan padamu sekarang. Tapi aku mohon percayalah padaku. Karena itulah kemarin aku katakan padamu untuk bertahan sebentar dan tetap berada di sampingku," ucap Angga.
"Apa maksudmu? Apakah menurutmu aku harus menunggu tanpa kepastian hingga kita lulus sekolah, bahkan lulus kuliah nanti. Itu bukan sebentar, Ngga. Kamu gila!" ujarku kesal.
"Sedangkan perasaanmu padaku saja belum jelas. Sesaat kau katakan cinta, tapi sesaat kemudian kau menganggapku adik. Ah kau, jangan menanyakan ataupun meminta sesuatu hal yang tidak mungkin dan terasa ambigu seperti itu," ujarku lirih.
Teng... Teng... Teng... Suara bel sekolah pun berbunyi.
“Sudah bel, aku harus kembali ke kelas,” ujarku meninggalkan Angga yang masih tertunduk diam. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, entah mengapa.
Hatiku jadi makin teriris-iris rasanya. Angga tiba-tiba diam seribu bahasa. Tidak ada kata benci ... tidak juga suka ... apalagi cinta. Ah Angga, jangan begini padaku!