Aku mencoba tuk bersikap biasa saja, tapi nyatanya tidak bisa. Aku benar-benar merasa takut. Takut ... kalau tak bisa mengendalikan perasaanku di depan Angga, jika berada di tempat ini lebih lama lagi. Sikapnya, kata-katanya, dan terlebih lagi perhatiannya... benar-benar membuatku tersiksa.
"Kamu kenapa sih, Dit? Ada apa sebenarnya sama kamu? Cerita ke aku?" ucap Angga sambil menggenggam erat tanganku. Sementara aku hanya menggeleng lemah tak berdaya.
"Aku gak kenapa-kenapa, aku hanya capek. Bisa kau antar aku pulang sekarang," pintaku memelas. Angga pun mengangguk sambil tersenyum, lalu menyentuh kedua pipiku dengan lembut.
“Dita, kamu tuh benar-benar membuatku khawatir. Oke … kita pulang sekarang,” ujar Angga sambil memakaikan helm di kepalaku.
***
Perasaanku makin nggak karuan, sampai-sampai tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku segera naik di boncengan.
"Dit, pegangan yang erat ya. Aku takut kamu jatuh," ujar Angga sambil menarik kedua ke pinggangnya. Aku hanya bisa pasrah dan berharap segera tiba di rumah.
Sesampainya di rumah, buru-buru aku turun dari motor dan melangkah masuk. Angga mengikutiku dari belakang.
"Kamu istirahat ya, Dit. Jangan lupa minum obat atau vitamin biar gak lemes," ujar Angga sambil mengusap lembut kepalaku.
"Iya. Terima kasih," ujarku sambil sesekali memegangi dadaku.
"Kayaknya kamu besok harus ke dokter deh, dari tadi aku perhatikan, kamu terus-terusan memegangi dadamu. Apa jantungmu terasa berdebar? Nafasmu agak berat? Perasaanmu tak karuan? Apa pikiranmu juga terasa kacau?" tanya Angga. Aku pun mengangguk pelan mengiyakan semua yang dia katakan.
"Fix ... itu tanda-tanda kamu lagi jatuh cinta," ucapnya sambil tersenyum dan mencolek gemas pipiku. Seketika mukaku langsung memerah. Benar-benar keterlaluan si Angga ini. Bisa-bisanya dia menggodaku di situasi genting seperti ini. Apa dia tidak mengerti bagaimana perasaanku saat ini. "Ya Tuhan, tolong kuatkan aku."