Sesekali Angga menyendokkan nasi goreng dari piring yang sama denganku. Benar-benar definisi makan sepiring berdua yang romantis banget. Sejujurnya, aku sedikit terkejut tapi juga bahagia. Terlihat jelas beberapa pasang mata di sekitar kami memandang sambil sesekali berbisik. Mungkin mereka berpikir 'ah romantisnya'. Aku hanya tertunduk malu, sambil sesekali menyuapi nasi goreng ke dalam mulutku.
"Dit, apa kamu sakit? Wajahmu merah begitu," ujar Angga sambil memegangi kening dan juga kedua pipiku. Jantungku berdegub semakin kencang.
“Mungkin hanya kepanasan saja,” ujarku ngasal sambil kemudian memegangi kedua pipiku hingga tanpa sengaja tangan kami saling bersentuhan.
"Yah mungkin kamu hanya kepanasan. Cuaca di luar memang sedang panas banget, tapi AC di dalam sini menurutku lumayan dingin. Jadi seharusnya kamu gak kepanasan di sini," ujar Angga.
“Entahlah … kenapa begini,” jawabku sambil menenggak air mineral dingin, berusaha menutupi rasa grogiku.
"Hmm ... Oke!" guman Angga sambil memandangku lekat. Aku hanya tertunduk diam. Tenggorokanku rasanya seperti tercekat dan tak bisa bicara.
"Tolong deh, Ngga ... jangan begini. Aku takut gak bisa menyembunyikan perasaan ini lebih lama lagi," guamanku dalam hati.
"Dit, wajahmu memerah lagi. Apa kamu alergi?" tanya Angga sambil kembali memegangi kedua pipiku.
"Ya Tuhan, please ... tolong aku. Rasanya ingin sekali teriak dan mengatakan padanya, kalau aku -- kalau aku...argh!" ujaranku dalam hati sambil mendesah panjang. Nafasku mulai turun naik tak karuan.
"Kita pulang aja sekarang, Ngga. Gue nggak sanggup rasanya kalau lama-lama di sini," ujarku sambil berdiri, lalu buru-buru melangkah keluar dari area food court. Angga buru-buru bangkit dari tempat duduknya dan mengejarku.
"Dit, tunggu!" katanya sambil menarik tanganku.
"Kenapa kamu?" tanyanya lagi.
“Gak kenapa-kenapa”, ujarku sambil melepaskan genggaman tangan Angga.