Pintu telah tertutup, sedikit mengintip dari tirai jendela. Aku menemukannya. Punggung yang terlihat sedih milik bos pemarah yang sedang termenung menatap bulan.
Dear seseorang di tahun 2001
Apa kau tahu?
Peristiwa tadi siang cukup mengejutkanku. Bermula dari adik dan ibuku yang datang ke kafe tempat aku bekerja. Tian adikku, senang dengan aroma donat, ia asyik menggoda senior yang memegang baki berisi bertumpuk donat manis. Semanis senyum senior yang sabar menghadapi Tian yang terus mencecarnya dengan berbagai pertanyaan seputar donat.
Sementara bos mengawasi kami dengan tatapan mata tajam. Ia cukup sopan pada ibu, tetapi kembali dingin menatapku. Ibuku tidak percaya bahwa bos kafe gerimis yang selama ini kuceritakan pemarah dan sering menyulitkanku adalah lelaki yang berdiri di hadapannya.
Lelaki yang berusia 30-an, namun terlihat lebih muda dari usianya.
Di saat semua berjalan baik-baik saja, tourrete Tian kambuh, gelas terlepas dari genggamannya, pecahan kaca berhamburan, Tian terkejut serta menjerit.
Terlihat sekelabat senior hendak berlari namun terhenti membeku.
Apa kau tahu?
Yang terjadi kemudian adalah... bos lebih dulu menghampiri adikku dan langsung menggendong pada bahunya yang kuat. Mendudukan di kursi dengan hati-hati lalu meniup luka lutut Tian perlahan, penuh kasih sayang. Baru kali ini kulihat kelembutannya.
Ia seolah melepas topeng kemarahannya yang brutal. Menyihir kami melalui gerak tingkah laku tidak sedingin es seperti biasanya. Bos menampilkan wajah hangat dan bersahabat. Tatap matanya hanya fokus pada Tian, sama sekali tidak mempedulikan raut wajah kami yang bertanya-tanya.
Senior dan aku bertatapan dengan kejanggalan ini. Ibu tersenyum, ia menepuk bahuku penuh arti.
Lalu aku dan senior membersihkan pecahan kaca dengan hati-hati.
Salli, 2023
***
Canggung, rasanya itu kata yang tepat menggambarkan situasiku dan bos yang tak sengaja berpapasan di lorong panjang tempat tertempelnya poster bias kesayanganku 'Min Yoong' yang sedari tadi kutatap dengan mata berkaca-kaca. Sebelum akhirnya aku kembali mendatangi kotak pos merah.
Entahlah, kegundahan sedang melanda hatiku. Menguasai emosi juga menyerap banyak energi. Baru saja, aku kembali memasukkan surat pada kotak pos merah berharap suratku terbang melintasi lorong waktu dan ditemukan seseorang pada tahun 2001.
Bertepatan dengan rintik gerimis mulai membasahi tanah gersang, sisa sengatan matahari tadi siang. Bau menyengat petrikor menyadarkan aku untuk berlari kembali ke dalam kafe.
Lalu, aku menemukannya. Sepasang tatap tajam bos yang berdiri mengawasi. Aku mendekatinya ragu. Di sini, di depan poster Min Yoongi Kami bediri berhadapan.
Aku sibuk menyusun kata, bingung apa yang harus kuucapkan pada bos. Tidak mungkin bukan bila aku hanya akan melewatinya begitu saja tanpa berbasa-basi. Lalu terbitlah ide yang kuanggap cemerlang.
“Terima kasih, bos.” Tanganku menunjuk pada poster-poster BTS yang menghiasi dinding.
“Aaaaah,” ia mengangguk.
Apa aku salah lihat ya, sekilas ada kilatan cahaya di matanya.
“Sun yang meminta, katanya pengunjung akan senang.” ujarnya terlihat salah tingkah.
“Oooh.”
Senior memang sangat pengertian, bukan hanya pengunjung yang senang tetapi hal kecil seperti ini membuatku amat bahagia.
Bos memainkan poni rambutnya, mengusapnya ke arah belakang, memperlihatkan jidat paripurna yang membuat dadaku berdesir. Kenapa aku gugup ya?
Rasanya tak mampu berdiri berhadapan dengannya terlalu lama, aku hendak melanjutkan langkah ketika ia kembali mengeluarkan suara.
“Apa karena nyanyianku Salli?” Wajah Bos sangat dingin saat menanyakan itu.
“Hah.., apa?” aku mendongak menatap dagunya, tak berani tatap kedua mata bos. Entahlah, mungkin segan. Tentu saja karena dia bosku.
“Nyanyian gerimis yang rutin kunyanyikan untuk pengunjung kafe, apakah kau penasaran dengan kotak pos merah karena itu?” tanyanya lagi.
Hmm, apakah bos melihatku memasukkan surat? Cukup gawat jika ia akan mengejek dan menertawakanku. Aku sendiri meragukan rumor bertahun-tahun tersebut.
“Itu hanya rumor Salli.” lanjutnya kembali. Bos seolah mengerti apa yang sedang aku pikirkan.
Aku menggeleng cepat. Rasanya aku perlu meluruskan.Tetapi kutahan sejenak.
“Memang apa yang kulakukan?” tanyaku menyelidik.
“Kau mengintip ke dalam celahnya.” Dagu bos menunjuk kotak pos merah yang kini diterpa hujan lebat di antara gelap malam. Sementara gelegar petir menunjukkan gaungnya.
Sepertinya bos belum tahu aku benar-benar memasukkan surat ke dalam kotak pos merah itu. Ada perasaan lega, namun tak berlangsung lama. Wajah bos berubah sinis dan dengan pedas mengatakan ..
“Hanya orang bodoh yang percaya surat menembus waktu!”
Ucapannya membuat emosiku membuncah. Mulai menyesal mengapa aku cepat membuat kesimpulan bahwa bos telah berubah menjadi hangat atau memang ia hanya akan menunjukkan kehangatannya pada orang yang terpilih dan tidak terhadapku.
“Mereka tidak bodoh, manusia yang memiliki harapan tidaklah bodoh.” ujarku kesal, langsung melangkah pergi. Berhenti sejenak persis di sampingnya dan kukatakan padanya ....
“Bagaimana jika harapan itu adalah satu-satunya kesempatan untuk mengubah peristiwa yang disesali seumur hidup, apa kau masih mengira itu suatu kebodohan?” kata-kataku tajam tanpa melirik padanya.
Aku meninggalkannya, Bos yang masih termenung. Entah apa yang dia lakukan kemudian. Namun, semua pegawai kafe ini mengetahui kebiasaannya yang sering menyendiri di halaman belakang kafe sambil termenung menatap bulan.
***
Sehari setelah percakapan aku dan bos di hadapan poster Min Yoongi, setiap kali aku berhenti melangkah guna memandangi poster tersebut, aku jadi ingat bos.
Kadang aku gelengkan kepala tanpa sadar. Mencoba menghalau bayangan wajah dinginnya yang mengataiku bodoh.
Sebuah tepukan membuyarkan lamunku. Senyum hangat senior menyambut, menenangkan. Akh ya, senior memang selalu membuat perasaanku tenang. Sungguh berbeda dengan seseorang yang membuat rasa di hati campur aduk tidak karuan. Lalu aku mengingat sesuatu.
“Terima kasih Kak, kau meminta bos memasang ini.” Jari telunjukku menunjuk hidung poster Min Yoongi.
“Akh, kau ucapkan saja terima kasihmu pada Moon” ucap senior sambil mengibaskan tangan.
“ Ya, tentu saja dia yang memasang. Tapi bila senior tidak mengusulkan, mana mungkin terjadi.” ucapku sambil tertawa.
“Kau salah salli, aku tak tahu menahu, tiba-tiba terpasang.” ujarnya heran.
Tawaku memudar seketika. Ada yang janggal.
“Moon sibuk bertanya ini itu tentang BTS setelah mengetahui bahwa kau sering berlari untuk melihat ponsel sambil menangis,” lanjut senior.
Penjelasan senior membuatku tertegun. Cukup lama. Berdiri terpaku sampai akhirnya senior meninggalkan aku yang masih terdiam.
Bersambung