Wanita itu memilin-milin rambutnya salah tingkah, roknya terlalu pendek untuk dikenakan di musim hujan. Bola matanya bergerak lincah menyapu perabot kafe dan tentu saja mencari sosok bos Kafe Gerimis yang ingin ditemuinya.
Rupanya ia ingin menawarkan diri bernyanyi di kafe ini. Bos bersedia menemui dan bernegosiasi dengannya. Meninggalkan aku dengan sosok ayah yang hampir tak pernah kujumpai selama setahun ini.
Pertemuan tak terduga. Tiba-tiba saja ayah muncul di hadapanku bersama kekasihnya, tanpa kata maaf, tanpa wajah penyesalan. Ia sama terkejutnya denganku, melihat pembuat kopi di kafe ini adalah anak gadisnya yang ia tinggalkan setahun lalu.
Ia hanya menatapku dalam diam. Tanganku bergetar menyentuh teko panas. Menuangkannya pada ayah hati-hati. Pria di hadapanku ini terlihat beruban juga lebih kurus tak terurus.
Ini yang membuatku heran sekaligus sedih. Bukankah seharusnya ia bahagia mendapatkan cintanya?
Bersama wanita itu adalah keinginannya. Ia tak perlu lagi membuat kebohongan untuk menutupi petualangan cintanya. Ibuku tidak pernah menghalangi kisah asmara mereka. Bahkan ibu berkata untuk tidak menghakimi.
Ibu melepaskan ayah dengan rela karena baginya orang yang ingin pergi tetaplah akan pergi, jika bukan raganya maka hatinya. Tapi maafkan aku ibu, ini terlalu sulit untuk tidak mendendam.
Kulirik wanita itu sekilas, apakah dulu di masa kecilnya orang itu senang merebut boneka milik temannya?
Untuk memenuhi ego pribadinya, apa ia tahu?
Seorang anak kecil telah kehilangan sosok ayah karenanya, seorang istri kehilangan pria yang mencintainya dan seorang gadis memiliki trauma yang menetap sepanjang masa.
Semua hal itu karena ia yang memaksakan kehendak. Bersembunyi di balik cinta, menabrak norma dan etika. Menghalalkan segala cara, lantas mengapa ia tak memiliki empati? Apakah ayah kami boneka yang ingin ia mainkan lalu dibuang ketika bosan?
Senior berkali-kali menepuk bahuku, menanyakan apakah perasaanku baik-baik saja. Aku sekuat tenaga menahan air mata agar tidak meluncur deras. Berkali-kali bos melirik ke arahku, memperhatikan perubahan mimik wajahku dari jauh. Aku hampir tak mendengar apa yang dibicarakan bos dengan kekasih ayah. Sepertinya bos sengaja mengajak wanita itu berbicara di dekat radio yang menyala. Tentunya agar aku tak mendengar isi pembicaraan mereka.
Ayah masih membisu, entah apa yang berkecamuk di hatinya. Aku tak dapat menebak isi jalan pikirannya, sebenarnya malas mereka-reka. Rasa percaya padanya telah lenyap. Semua yang ia katakanpun akan berupa pembelaan dirinya, sifatnya yang tak mau disalahkan dan justru selalu menyalahkan orang lain di sekitarnya-lah yang menyakiti.
Sungguh di luar nalar dan logika. Bahkan keputusannya meninggalkan keluarga demi bersama wanita culas itu amat tidak terduga.
Kami tahu ayah kami adalah pria yang sering bermain gila dengan wanita. Namun dulu ia selalu menyayangi kami, setidaknya ia masih mencintai anak-anaknya meskipun terus membuat ibu kami menderita. Tetapi, kehadiran wanita itu mengubah segalanya. Tabiat ayah yang temperamen semakin menjadi, bahkan kami kehilangan sinar kasih sayang dari sepasang netranya untuk kami.
Sengaja aku membuat kopi panas untuk ayah, kopi hitam yang pahit. Tetapi ia tidak meminumnya. Setengah jam kami hanya duduk terdiam berhadapan. Senior menawarkan mengganti minuman kami, lalu aku sengaja berkata dengan keras ..
“Ayahku tak bisa meminum es atau meminum minuman yang menjadi dingin, tolong kami pesan coffee latte hangat saja.” ucapku pada senior sambil mencari respon pada wajah ayah.
“Salli.” Kembali senior mengangsurkan segelas susu hangat untukku dan secangkir coffee latte untuk menggantikkan kopi hitam ayah yang menjadi dingin.
Sayangnya ayah tak menghiraukan. Ia masih saja terdiam. Tertunduk, membisu. Sungguh respon yang tidak kusangka. Coffee latte yang tersaji hangatpun tidak disentuhnya.
Aku masih berharap ayah akan menanyakan kabar adik, lagi-lagi aku kecewa. Ayah hanya tertunduk. Saat tak sengaja kami bertemu pandang, ia akan langsung melengos membuang pandangaan lalu melihat keluar jendela.
Detik dan menit berlalu. Satu jam, dua jam. Anehnya aku sama sekali tidak penasaran dengan isi obrolan bos dan wanita itu. Entahlah, aku sepenuhnya mempercayai bos. Aku tahu, bos yang mengerti bagaimana kondisi keluargaku, terlebih kemarin ia telah banyak bercerita dengan adik dan ibuku, tentunya tidak akan membuat keputusan yang akan menyakiti kami.
Memang aneh, sikap bos yang sangat dingin terhadapku tidak membuatku sedikitpun meragukannya. Ada rasa percaya yang begitu besar terhadapnya.
Seperti ada intuisi dalam diriku bahwa aku dapat mengandalkannya.
Negosiasi selesai, bos menolak lamaran kerja wanita itu. Wajah wanita itu memerah, entah apa yang bos katakan padanya, bos hanya tersenyum tipis padaku. Ayah terperanjat saat wanita itu menghardiknya di hadapanku. Bergegas ia mengikuti wanita itu ke arah pintu tanpa menoleh, tanpa berpamitan.
Aku melihat punggung yang seharusnya menjadi tulang punggung kami berlari menjauh, rasa iba menyeruak. Ia tetap ayahku, aku kasihan melihatnya, terlihat menyedihkan seperti boneka yang terbuang.
***
Bersambung