Loading...
Logo TinLit
Read Story - Evolvera Life
MENU
About Us  

Semuanya tetap siaga di posisi. Velarius, periksa bangunan minimarket di depan," perintah Cedric dengan suara pelan tapi mengandung tekanan kuat. Ia merapatkan tubuh ke balik dinding bata yang setengah runtuh, matanya tajam menelisik arah depan.

"Oke, Kapten. Shadow: Shadow coat," bisik Velarius, lalu tubuhnya seperti ditelan bayangan. Ia lenyap ke balik puing seperti hantu malam.

"Luna, siapkan kemampuan ilusimu," lanjut Cedric cepat.

"Siap, Kapten," jawab Luna sambil menarik napas dalam, tangannya sudah mulai bergetar perlahan, mungkin karena hawa serangan yang terasa menekan dari kejauhan.

Aku menatap mereka satu-satu. Haruskah aku? Mungkin ini waktunya menggunakan kemampuanku. Aku bisa bantu. Aku memejamkan mata, mencoba meniru pola ucapan seperti mereka. Tipe kekuatan, lalu jurus.

"Imagination: Pathography," bisikku pelan. Segera, tekanan kuat menghantam bagian dalam kepalaku. Peta energi muncul di benakku—abstrak, berwarna-warni. Nafasku tercekat, pandanganku menghitam di pinggirannya.

"Arg..." Desahku keluar lirih. Jantungku berpacu, otakku terasa seperti diperas.

"Kenapa, Rika?" suara Freya terdengar cemas.

"Nggak apa-apa," jawabku cepat, berusaha menyembunyikan rasa mual yang mengaduk dari dalam perut. Aku pegang dahi, mataku berkunang-kunang.

"Kapten, ini Velarius. Ada beberapa makanan yang bisa kita ambil," suara Velarius muncul di HT.

Kami semua saling bertatapan. Senyum pelan menyelinap di wajah masing-masing. Akhirnya sesuatu yang bisa dianggap kabar baik.

"Bagus. Tetap di posisi. Kami akan segera ke sana," sahut Cedric.

Kami segera bergerak. Langkah kami ringan tapi cepat, menghindari puing dan lubang retak di aspal. Minimarket itu tinggal beberapa meter lagi. Mataku melirik ke arah barat—tidak ada aura asing.

Bum!

Ledakan keras meledak satu meter di depan kami. Dunia seperti pecah dalam satu kedipan. Tubuhku terpental ke belakang, punggung menghantam tanah keras. Asap, panas, dan suara bising menghantam telinga seperti palu.

"Ahck... Ledakan?!" teriak Cedric. Tubuh kami berserakan. Cedric terguling, tangannya... terbakar.

Darahku membeku. Kulitnya mengelupas, melepuh merah tua.

"Luna, cepat gunakan kemampuanmu!" seru Cedric sambil mengangkat tangan yang tersisa, membentuk perisai transparan tipis kekuningan. Udara panas mengalir menembusnya.

"Illusion: Thick fog!" Luna mengucap mantra, dan kabut tipis mulai menyelimuti area. Pandangan tertutup. Nafas terasa berat.

Freya segera berlutut di samping Cedric, kedua tangannya memancarkan cahaya hijau menenangkan, menyentuh luka yang masih mendesis di kulit Cedric.

"Velarius, bawa yang lain pergi dan cari jalan terbaik. Aku akan menahan mereka sebentar di sini!" perintah Cedric keras.

Semuanya terasa diam. Waktu seperti membeku di tengah asap dan reruntuhan. Aku berdiri membatu, mata menatap Cedric yang tetap tegak walau tubuhnya setengah luka bakar. Dunia seolah kehilangan warna, hanya gema napas dan dengung darah di telingaku yang terdengar.

Apa ini realita sekarang? Misi makanan berubah jadi barisan mayat dan ancaman bunuh diri?

Dia serius. Cedric akan jadi tameng. Sendirian.

Kenapa semua orang begitu mudah menerima hal ini? otakku menjerit dalam diam. Apakah nyawa di dunia ini sudah semurah itu? Apakah hanya aku yang merasa ini salah?

Tanganku mengepal. Dada panas seperti dibakar dari dalam.

"TIDAK!" Aku akhirnya berteriak, suaraku pecah. Tubuhku gemetar. "Itu gila! Ini cuma misi makanan! Ini bukan... ini bukan harga satu nyawa!"

Freya menarik tanganku, berusaha menjauh.

"Sudahlah, Rika. Ini prosedur..."

"Prosedur?! Kita akan selamat? Terus Cedric mati? Itu prosedurmu?!"

Aku melepaskan tarikan Freya.

"Aku tetap di sini. Kalau kalian mau pergi, pergilah. Aku akan bertahan bersama Cedric!"

Suasana senyap. Hanya suara embusan asap dan napas berat. Luna menarik napas panjang.

"Baiklah. Aku juga akan ikut, Rika," katanya tenang.

"Mau bagaimana lagi," Freya mengangguk pelan.

"Mungkin kita harus merombak prosedur penyelamatan kita, Kapten," ujar Velarius, menepuk bahu Cedric. Tak ada emosi di wajahnya. Kosong. Datar.

Cedric menatap kami satu per satu. Dia menghela napas. Tangan yang tadinya terbakar perlahan pulih berkat penyembuhan Freya.

"Lakukan formasi penyerangan," katanya akhirnya.

Mereka membentuk segi empat saling membelakangi. Aku berdiri di tengah, tubuhku tegang seperti tali busur.

"Eh, aku bagaimana?"

"Kamu di tengah, Rika. Kami akan melindungimu," jawab Freya.

Mereka benar-benar tenang. Tidak ada panik. Hanya tatapan yakin dan fokus.

"Rika, bisakah kamu lacak lagi?" Cedric bertanya.

"Eh? Sejak kapan Kapten tahu aku bisa itu?"

"Aku bisa merasakan aura yang keluar saat kamu aktifkan kemampuan itu. Rasanya... mengusik, seperti diawasi oleh sesuatu tak kasatmata."

Aku mengangguk. Mengatur napas. "Imagination: Pathography."

Peta energi kembali muncul. Gelombang panas menekan dari ubun-ubun hingga dada. Tapi kali ini, aku paksa diriku bertahan.

"Musuh terlacak. Tiga... lima... delapan... empat belas... tujuh belas!"

"Tujuh belas?!" Luna terdengar terpukul.

"Angkat kepala kalian! Mereka hanya tujuh belas! Kita bisa mengalahkan mereka!" seru Cedric.

"Hanya itu?" Freya tertawa kecil, seolah itu hiburan.

Aku menegang. "Bola api datang dari arah utara!"

"Barrier: One side!" Cedric mengaktifkan penghalang, bola api menghantamnya keras. Suhu membakar, terdengar jeritan Cedric saat bola itu mendorongnya mundur.

"Aaaaaa panas... Hiyaaaa!" Ia berteriak, mendorong bola api kembali. Bola itu terpantul, menghantam gedung depan, meledak seperti granat berat.

"Velarius, lakukan sekarang. Luna, beri ilusi. Freya, sembuhkan tanganku!"

"Laksanakan, Kapten!" seru kami serempak.

Formasi bergerak cepat. Velarius mengaktifkan bayangannya, tubuhnya seolah larut dalam kabut. Dalam diam mutlak, ia meluncur rendah di antara puing beton dan kendaraan terbakar, hanya bayangannya yang sesekali tampak seperti siluet ular mematok musuh nya dengan cepat. Setiap gerakannya presisi—nafas ditahan, langkah menyentuh tanah nyaris tanpa suara. Ketika ia mendekati satu musuh dari belakang, tangannya muncul dari gelap, menusuk cepat ke titik vital. Korban jatuh tanpa suara, tubuhnya segera ditarik masuk ke balik reruntuhan.

Sementara itu, Luna memekatkan kabut, menciptakan tirai tebal yang membatasi pandangan. Freya terus mengalirkan energi penyembuh ke luka Cedric yang menghitam. Aku tetap di tengah, berusaha fokus, membaca aliran energi musuh yang berubah-ubah. Nafasku dangkal, keringat dingin membasahi pelipis.

Satu per satu, musuh hilang dari radar—tenggelam oleh kabut yang tak memberikan mereka waktu untuk melihat siapa yang hendak mencabut nyawa mereka satu per satu.

"Kapten, ini Velarius. Semua musuh sudah dibunuh."

"Bagus. Freya, Rika, Luna, kembali berkumpul. Kita mulai tahap berikutnya."

Kami kembali ke posisi. Nafasku berat. Kakiku lemas. Tapi kami menang.

Velarius duduk di sudut ruangan. Peluh menetes dari rambutnya. Aku berjalan menghampiri.

"Nih, Velarius." Aku sodorkan minuman kaleng.

Ia menoleh. "Apa?"

"Minuman. Masih segel."

"Ouh... terima kasih."

"Iya. Sama-sama." Aku tersenyum. Tak yakin ia paham maksud isyarat sosial.

Di kejauhan, Cedric, Luna, dan Freya saling menatap, tersenyum konyol.

"Apa nanti mereka bakal... He-he..." gumam Luna, lalu—

Plak!

"Kenapa kamu pukul kepala ku pakai cangkir, woi, Cedric!"

"Ssst, udah. Woi, yang berduaan di pojok. Merapat! Kita belum selesai."

"Iya, kapten!" Aku cepat-cepat kembali ke barisan.

Kami mengelilingi peta. Kota Nusantara tampak seperti labirin rusak.

"Kita di sini, sisi barat. Kita butuh markas baru dan bahan makanan. Velarius, kamu sisakan satu orang, kan?"

"Iya, Kapten. Tunggu..."

"Astaga, kenapa dimasukin ke karung."

"Biar aman."

Cedric membuka karung. Seorang pria terikat, setengah badannya keluar, wajahnya kotor dan memar. Matanya menatap liar.

"Jawab. Di mana markas kalian. Siapa penjaga."

"Hmm-mmhmm!"

"Hey, buka dulu selotipnya lah," omel Freya.

"Eh, haha," Cedric buka selotip. Pria itu langsung ribut.

“Siapa kalian, aku tidak akan kasih tau apapun.” Baru saja dilepas, pria berumur 26 tahun ini langsung ribut dengan suaranya yang besar, menggeliat seperti cacing, setengah badannya masih di dalam karung dengan tangan terikat. Hanya kepalanya tampak bebas menyentuh udara.

“Hayyah... Lu orang suara bising sangat loh.” Jika posisinya sedang santai, aku akan tertawa dengan lelucon aksen dari Cedric, tapi sayangnya semua orang sedang serius sekarang.

Cedric membentak tidak sabaran, 

“Sudah cukup bercandanya, atau kami tidak akan membiarkan kau mati dengan mudah.” Aura penekanan begitu kuat keluar dari tubuhnya. Aku merasa takut berada tetap di belakangnya.

”Silahkan.” Pria itu tidak peduli, membalas dengan tatapan sombong.

“Luna, lakukan tugasmu,” perintah Cedric, Luna maju tanpa perlu disuruh dua kali.

Tangannya menjulur tepat ke atas kepala pria itu. Aku berbisik bertanya sesuatu yang terbesit di pikiranku.

“Shtt, hey Freya... Sini.”

“kenapa?”

“Itu, Luna mau ngapain?”

“Luna mau membaca ingatan laki-laki itu,” jawab Freya.

“Jadi dia bisa melihat semua ingatannya?”

“Iya, tapi tidak semua, karena hanya 1-2 jam yang lalu saja. Setelah itu, kekuatan Luna akan habis,” jelas Freya dengan ikut membisik.

“Ouh, begitu, eh, lihat, udah mau dimulai.” Mataku membesar karena penasaran, berusaha tidak berkedip untuk tidak melewatkan satu momen pun.

Tangan Luna tepat menyentuh ubun-ubun kepala pria itu, tangannya yang lentik, putih, dan kecil terlihat begitu mungil di atas kepala pria yang besar.

“Wahai alam, berikan aku kekuatanmu untuk memperlihatkan kebenaran yang sebenarnya....”

Aku terdiam, begitu juga yang lain. Kalimat perintahnya begitu panjang seperti mantra sihir; aku baru pertama kali melihat penggunaan kalimat perintah sepanjang itu. Sebelumnya, aku hanya berfikir kalimat perintah wajib disebut sesuai nama jurus dan tipe kekuatan yang digunakan saja. Berselang 5 detik, cahaya biru kegelapan menyinari tangannya saat menyentuh ubun kepala pria itu.

“Illusion: Mnemosine....”

Kalimat perintah terakhir diucapkan. Cahaya ungu fantastis keluar meninggi sekitar 1 meter di atas ubun-ubun, kemudian bergerak jatuh menusuk ubun-ubun kepala pria itu, dan sesaat kemudian Luna pingsan, Cedric menangkap dari belakang.

“AHHHHHCCKKKKKKKK.”

“Hah, dia kenapa?” tanyaku. Pria itu kejang-kejang dengan posisi bergelut di dalam karung putih. Aku sedikit kasihan melihatnya, sepertinya itu sangat sakit hingga seperti kesurupan.

“Salah satu efek yang dirasakan target adalah sakit yang menusuk di ubun-ubun kepalanya,” jawab Freya sembari terus menyaksikan penderitaan pria itu.

“Terus kapan rasa sakit itu selesai?” Aku tetap bertanya memastikan semua ini selesai dengan cepat.

“Sampai Luna mendapatkan informasi yang kita perlukan lalu keluar, akan tetapi banyak korban yang mati karena tidak bisa menahan rasa sakit sebelum Luna keluar sehingga informasi yang didapatkan Luna akan berkurang.”

“Aku harap Luna cepat keluar.” Aku menunduk, sesekali melihat dan memalingkan wajah karena takut.

“Arghhhhh, tolong aku!” Pria itu terus merintih kesakitan dengan tangan dan kaki terikat di dalam karung, hanya kepalanya yang bisa keluar menghirup udara. Aku mengusap pipi yang basah, aku melirik Cedric—kadang dia terlihat baik, suka membantu, perhatian, dan suka menolong, tetapi hari ini aku melihatnya seperti seseorang yang kejam, dia tidak berpaling sedetikpun dari pria yang merintih kesakitan, matanya melebar menatap kesal, sesekali berkedip tapi bukan karena air mata

Tujuh menit berlalu, Luna sepertinya mendapatkan informasi yang diperlukan karena cahaya yang sama keluar bersamaan dengan Luna yang sadar dari pingsan.

"Luna, kau tak apa-apa?" tanyaku.

"Aku baik. Tapi info-nya terbatas. Aku cuma tahu rute mereka dari markas ke sini. Jumlah dan jadwal penjaga, aku tak dapat."

Cedric mengangguk. "Kalau begitu kita bergerak. Siapkan perlengkapan. Laksanakan."

"Siap!" jawab kami.

Semua bersiap. Aku menoleh ke Cedric. Ia melihat pria yang kejang itu.

"Maaf..." bisiknya. Pisau terangkat.

Darah muncrat.

Aku terdiam. Tubuhku mundur. Dia bukan manusia. Dia monster.

***

Lima belas menit berlalu. Suasana mencekam masih menggantung di udara. Kami semua sudah lengkap dengan perbekalan penuh di tas masing-masing. Tidak ada tawa, tidak ada celoteh, hanya bunyi gesekan senjata dan gesekan sol sepatu di lantai rusak yang berbicara.

Kami mulai menelusuri rute yang telah didapatkan dari ingatan musuh sebelumnya. Di ujung jalan yang dipenuhi kerangka kendaraan tua, berdiri sebuah gedung besar dengan kaca-kaca pecah dan dinding kusam menghitam bekas terbakar.

Cedric memberi isyarat tangan padaku—tiga jari lurus di dada, lalu satu gerakan cepat ke arah depan.

Aku balas dengan anggukan... yang sejujurnya palsu.

Aku melirik ke Freya. Berbisik lirih, “Huh, itu tadi maksudnya apa?”

“Kapten tanya jumlah musuh di dalam,” jawab Freya singkat, tetap fokus.

“Ouh... Oke.” Aku menutup mata, menarik napas. “Imagination: Pathography.”

Ledakan visual muncul di benakku. Warna-warna asing menggurat lorong energi. Aku menahan muntah, menyeimbangkan diri.

“Enam orang, Kapten,” bisikku ke Freya. Ia menerjemahkannya dengan kode tangan.

Cedric langsung mengangguk. Isyarat penyerangan diberikan.

Velarius bergerak pertama. “Shadow: Shadow coat,” gumamnya. Dan seolah tubuhnya meluruh ke tanah, ia menghilang.

Langkahnya cepat, nyaris tak berbunyi. Ia menyusup lewat sisi gedung, lalu memanjat reruntuhan beton setinggi dua meter, berpindah bayangan dari satu penyangga ke puing lainnya seperti bayangan kucing malam yang lapar.

Luna berdiri di tengah jalan, menutup mata. “Illusion: Fog Spiral.” Kabut mulai bergulung, turun dari atap-atap gedung yang pecah. Aku bisa merasakan uap airnya menyentuh kulit.

Freya menyentuh bahu Velarius tepat sebelum dia melesat, “Enhance: Fire Shield,” bisiknya. Aura oranye hangat membungkus tubuh Velarius tanpa menyala terang.

Teriakan muncul di kejauhan.

“Ahck…!”

Lalu senyap. Hanya suara angin yang kembali terdengar.

Aku menggigit bibir, menatap bayangan gedung. Bunuh-membunuh kini sudah jadi bagian hidup. Apakah benar dunia ini sudah tidak punya ruang untuk belas kasih? Jantungku berdetak lebih keras daripada suara ledakan barusan.

“Kapten. Semuanya aman,” suara Velarius muncul dari HT, tenang, seperti baru selesai menyiram tanaman, bukan membunuh enam orang.

Cedric memberi kode gerakan cepat.

Kami mendekat, menyusuri lorong menuju parkiran bawah tanah. Bau karat dan darah menyeruak lebih dulu sebelum bayangan atap terlihat.

“Jangan ada suara. Perhatikan langkah,” bisik Cedric, setenang peluru sebelum ditembakkan.

Kami merayap masuk dalam satu garis. Tanganku menggenggam senjata, kaki melangkah di sisi dinding, tubuh menyempil dalam bayangan.

Baru enam langkah.

Kakiku tersandung sesuatu.

Aku menunduk. Jantungku hampir berhenti.

Potongan tangan.

Tidak... lebih dari satu. Ada potongan lengan, kaki, bahkan kepala, berserakan. Darah sudah mengering tapi baunya menusuk seperti tumpahan besi panas dan amis ikan busuk. Lantai ini... adalah ladang jagal.

“Aku tidak tahan.” Suaraku pelan, tertahan. Aku menutup mulut. Napas memburu.

Freya menoleh cepat. Tangannya langsung terulur, menyentuh keningku.

Cahaya hijau lembut mengalir dari telapak tangannya, menyentuh dahiku seperti embun sejuk di pagi buta. Rasanya dingin, bukan hanya di kulit, tapi seperti meresap jauh ke dalam tengkorak, meredakan gejolak mual yang sejak tadi menekan dada.

Degup jantungku mulai mereda. Aku menarik napas perlahan. “Terima kasih,” bisikku hampir tak terdengar.

Tak sempat beristirahat lebih lama, suara Cedric terdengar dari depan.

“Rika, gunakan sekali lagi untuk memastikan.”

Aku langsung mengangguk. “Laksanakan, Kapten. Imagination: Pathography.”

Mataku terpejam. Dunia kembali terisi garis-garis warna dan aliran panas. Energi tipis membentuk seperti jaring laba-laba di dalam gedung. Aku menelusuri simpul-simpulnya. Mendeteksi gelombang. Mencari denyut.

Hening.

“Negatif, Kapten. Tidak ada lagi.”

Cedric tak bicara, hanya mengangguk cepat lalu berbalik ke kami.

“Bagus. Sekarang kita bagi kelompok. Freya, Luna, dan Velarius bersama. Aku dengan Rika. Pukul 12.00 kita kembali ke titik ini. Hubungi HT jika ada hal darurat. Bubar.”

“Laksanakan, Kapten,” jawab kami bersamaan, nyaris tanpa suara.

Kami berpencar. Langkah kami berpisah dengan cepat—ke kanan, kiri, dan lorong tengah. Suasana menegang kembali menjadi sunyi. Aku berjalan di sisi Cedric. Diam. Hanya suara sepatu dan gesekan kain yang sesekali terdengar dari ransel kami.

Lorong mulai menyempit. Atap rendah. Lampu mati. Bau jamur menyusup dari sela beton lembab. Aku menoleh ke arah Cedric sekilas.

Astaga. Canggung banget.

Kenapa harus aku yang satu tim dengan cowok paling cool di tim? Oke, aku nggak naksir... tapi... dia tinggi, putih, atletis, dan... kepala ku cuma sampai bahunya. Gimana nggak ngerasa kecil?

Aku curi-curi pandang. Dan...

Matanya menangkapku balik.

“Rika, kenapa?” tanyanya ringan. Tapi suaranya seperti membongkar dinding pertahananku.

“A-a-a itu, nggak. Aku cuma... ngawasin sekitar.” Senyumku kaku. Panik.

Cedric malah tertawa. Tawa ringan, tapi jujur. Tawa orang yang melihat sesuatu yang lucu, bukan mengejek. “Kamu canggung?”

Aku pasrah. “Iya... ya... mungkin dikit.”

Tawanya malah makin keras. Aku menatapnya dengan heran. “Apa yang lucu sih?”

“Kamu mirip adikku,” katanya sambil mengusap sudut matanya yang berair. “Pemalu, tapi ekspresif. Tapi senyummu itu... aku suka. Kayak senyum adikku waktu akhirnya bisa nyalip nilai ulangan IPA-ku.”

Aku diam.

Ada jeda. Hening.

“Aku nggak tahu... dia sekarang di mana,” lanjutnya pelan.

Hatiku ikut tenggelam dalam diamnya.

“Terakhir, dia di Sumatera. Setelah semuanya kacau, aku nggak bisa hubungi dia lagi. Sinyal hilang. Semua kanal darurat juga lumpuh.”

Aku menatapnya. Ingin bicara. Tapi suara tertahan.

“Ma-maaf... Aku nggak tahu.” Rasanya klise. Tapi cuma itu yang keluar.

“Santai aja. Aku yakin dia masih hidup. Dia sekuat aku... dan aku nggak akan mati sebelum nemuin dia.”

Kata-kata itu...

Mataku membesar. Itu kalimat yang hampir persis abangku ucapkan. Hatiku mencelos. Rasanya terlalu dekat.

“Kurasa... kamu benar,” kataku pelan.

“Aku nggak cuma nyari dia,” Cedric menatap ke depan. “Aku pengen ketemu keluargaku. Setelah aku mutusin ke Kalimantan, aku nggak pernah balik ke kampung. Sekarang satu-satunya cara untuk menyambung semua... ya cuma bertahan hidup dan cari mereka satu-satu.”

“Dirimu juga pasti punya tujuan kan?” ucap Cedric sembari tersenyum lebar.

Aku menunduk. Langkahku melambat.

“Aku... nggak punya tujuan.”

Kalimat itu akhirnya keluar. Berat dan dingin.

Cedric berhenti. Tiba-tiba lalu memelukku.

Aku kaget. Tubuhku kaku. Tapi pelukannya hangat. Nggak norak. Nggak berlebihan. Cuma... penuh kasih sayang dan pengertian.

“Jangan bilang gitu lagi...” bisiknya serak. “Aku nggak tahu seberapa parah hidupmu, tapi kalau kamu mau cerita, aku akan dengar. Kamu nggak sendirian. Kamu layak punya tujuan. Dan kamu pasti akan nemuin itu... asal kamu hargai dirimu sendiri dulu.”

Pelukan itu menguat. Tangannya menggenggam punggungku dengan mantap. Dan... tanpa bisa kucegah... Air mataku jatuh lebih dulu.

Aku nggak bisa jawab. Tenggorokanku penuh. Aku hanya berdiri. Diam merasa terlindungi.

“Jangan ditahan. Nggak apa-apa,” bisiknya lagi. “Udah terlalu lama kamu tahan semua itu. Keluarkan. Aku tunggu.”

Aku tidak menjawab. Tapi... aku tahu, di pelukannya, untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu berlalu, aku merasa... tidak sendirian.

Suara dari HT mendadak menyela momen sunyi kami.

“Kapten—kapten... tolong jawab—kapten—!”

Suara Luna terdengar putus-putus, penuh desah napas dan jeda di antara ledakan-ledakan keras di latar belakang. Gema dentuman logam dan gesekan cepat seperti langkah orang berlari melatarinya.

Aku langsung mengangkat kepala.

“Suara Luna!” seruku panik, menoleh ke Cedric.

Cedric segera melepaskan pelukan, tanga

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • silvius

    Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.

  • silvius

    Halo pembaca. Ini merupakan novel pertama saya. Saya sangat senang jika mendapatkan kritikan atau saran atau mungkin hal bagus yang membangun. Mari bersama membangun komunitas terbaik. Terimakasih telah membaca dan memberikan tanggapan yang jujur

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
A Poem For Blue Day
233      180     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Selfless Love
4680      1317     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Melihat Tanpamu
160      128     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Harapan Gadis Lavender
3051      1331     6     
Romance
Lita Bora Winfield, gadis cantik dan ceria, penyuka aroma lavender jatuh cinta pada pandangan pertama ke Reno Mahameru, seorang pemuda berwibawa dan memiliki aura kepemimpinan yang kuat. Lita mencoba mengungkapkan perasaannya pada Reno, namun dia dihantui oleh rasa takut ditolak. Rasa takut itu membuat Lita terus-menerus menunda untuk mengungkapkan perasaa...
TRISQIAR
8886      1729     11     
Fantasy
Aku memiliki sesuatu yang berbeda. Ibuku bagaikan monster yang memelihara anak iblis. Teman hanyalah kata kiasan untuk mengutuk mereka Manusia bagiku hanyalah bayangan yang ingin aku musnahkan aku tidak pernah sama sekali memperdulikan hidupku karena aku tidak akan pernah bisa mati dan hal itu membuatku senang membunuh diriku sendiri. tapi karena kebiasaanku, sesuatu itu memberikanku kek...
Lantas?
41      41     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Surat untuk Tahun 2001
5409      2198     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1357      893     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Rembulan
1232      694     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
LINN
13697      2059     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...