Aku merasakan kesepian merayap membelenggu setiap serat jiwaku. Dua pekan terakhir, keheningan menyelimuti rumahku seolah menjadi penjara tanpa pintu keluar. Siaran televisi mati, listrik padam, dan aku terjebak dalam dunia gelap yang tak berujung. Setiap langkahku di sekitar rumah hanya menambah kekosongan dalam hatiku, terutama setelah kepergian seluruh keluarga ku sebulan yang lalu.
Kegelapan telah menguasai ruangan, merangkulku dalam pelukannya yang dingin dan menakutkan. Di malam hari, aku terdampar di lantai ruang tamu, dibiarkan terlena oleh cahaya remang bulan yang redup. Lilinku telah habis, tak lagi mampu menerangi kehampaan ini. Suara-suara aneh menyusup ke dalam telingaku, membuatku gemetar dalam ketakutan yang menyiksa. Malam bukan lagi tempat penenang, melainkan penjara bagi batin yang terluka.
Saat pagi menjelang, aku terbangun dalam kebingungan dan kekosongan. Tidak ada makanan yang tersedia, hanya soup kalengan yang kian sering menjadi santapanku. Aku berusaha bertahan dengan sisa-sisa kekuatan yang kian merosot, mencari makanan di luar rumah dengan harapan menemukan makanan kaleng atau air yang bisa kugunakan untuk mempertahankan nutrisi di tubuh ku.
Pada malam yang kembali menjemput, aku terdiam dalam kekosongan yang membelenggu. Dikelilingi oleh dinginnya ruang gelap, aku hanya bisa merangkul tubuhku sendiri, mencoba menghangatkan diri dengan pelukan yang rapuh. Tembok-tembok ruangan menyiratkan kesedihan yang mendalam, dan aku hanya bisa menatap kehampaan di luar jendela, mati rasa oleh kesedihan yang membeku dalam hatiku. Aku yakin itu adalah tatapan kosong, aku tidak berpikir apapun saat itu hingga jatuh terpejam di atas lantai pualam.
***
Ketika aku terjaga dari tidurku yang gelap, mataku terpejam meresapi cahaya remang yang menyoroti wajahku. Suara langkah lembut menyusup masuk, mengganggu keheningan yang kian menyiksaku. Saat aku membuka mata, mataku terbelalak kaget melihat cahaya hijau yang memancar dari tubuhku.
“tenanglah, biarkan aku menolong mu.” Aku mendengar suara perempuan, kepala ku gerakan ke kiri padangan ku tertuju pada wanita yang pakaiannya terlihat hijau tapi lembut dan membentuk bentuk tubuhnya.
Aku menghela nafas “Ouh begitu....” Lalu lengang sejenak “HEEEEEEE, Mengapa kamu berani masuk ke rumah orang sembarangan?” Aku menyadarinya ada
seorang wanita muda yang cantik tiba-tiba berada di rumah ku. Tangan ku hendak tergerak untuk menolaknya berserta tubuh ku yang berusaha berdiri melawan tetapi tidak kuat untuk menopang.
“Sudah, berbaring aja, kau baru demam tinggi, perlu penyembuhan!” seru tegasnya, aku menurut kembali melemaskan tubuh di atas sofa.
“Maaf aku masuk tanpa izin, aku hanya kebetulan lewat jalan ini dan tidak sengaja melihat melihat ada alas kaki di depan pintu tadi. Aku mencoba memanggil orang di dalam, tapi tidak ada jawaban, jadi aku curiga ada sesuatu yang terjadi, itulah mengapa aku masuk tanpa memberitahukan.”
“Begitu ya. Terima kasih atas bantuannya. Lalu, tubuhku sudah merasa lebih baik, apa ini kemampuan penyembuhan?” tanyaku.
“Bisa dibilang begitu. Setiap Hyper biasanya bisa menggunakan kemampuan dasar penyembuhan. Kalau untuk kasus ini, kemampuan penyembuhan tingkat lanjut yang ku gunakan.” Jelas sosok gadis dengan rambut sedikit pirang di dikuncir kuda, tinggi badannya sekitar 170cm, wajahnya cantik dan menawan, kulitnya mulus dan putih dan matanya lebar menatap ku perhatian.
“Bisa? Aku baru tahu tentang ini.” Aku kaget bertanya dan memastikan informasi baru yang ku dengar barusan, wanita itu hanya mengangguk membenarkan kalimat ku.
Suasana sedikit canggung setelahnya.
“Oh iya, nama kamu siapa?” Wanita itu membuka topik.
“Nama? Apakah itu penting?” Tanya ku memastikan sekali lagi.
“Tentu saja.” Jawab wanita itu dengan semangat.
“Namaku Rika.”
“Rika? Nama yang bagus, kalau namaku Freya. Senang bertemu denganmu, Rika. Semoga kita bisa menjadi rekan.” Ucap Freya dengan ceria dan tersenyum kemudian mengulurkan tangannya kepada ku bermaksud memberikan jabat tangan dan membantu untuk duduk.
“Rekan? Apa maksudmu?” Tanya ku dengan kalimat penasaran.
“Ya rekan. Eh.” Freya tiba-tiba tampak kaget menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
“Jangan bilang kamu sendirian sejak peristiwa Evolvera.” Freya balik bertanya, lalu aku mengangguk dan menjelaskan dengan singkat.
“Benar, aku selalu melakukan semuanya sendiri.”
“Jadi begitu...” Freya yang mendengarkan tampak merenung sejenak, hingga dia kembali memecah keheningan dengan senyum canggung.
“Apakah Rika mau bergabung dengan kelompokku? Pikirkanlah seperti tim petualang dalam serial fantasia,” ujarnya sambil memperagakan gerakan epik dengan tangan.
Suasana menjadi hening sejenak, menyusul pertimbangan-pertimbangan di hati. Begitu ya, Aku merasa ini tidak terlalu buruk. Saat-saat terakhir stok makanan di sekitar rumah ini mulai habis. Aku harus pergi ke daerah lain, dan ini berbahaya jika aku melakukannya sendirian dengan kemampuan yang kumiliki sekarang. Renungku.
“Iya, aku mau,” ucapku dengan mantap, walaupun hatiku berdebar-debar.
“Nah, ayo ikut aku dan temui yang lain,” ajak Freya sambil mengayunkan tangannya dengan semangat.
“Yang lain? Apa ada orang lain selain kita berdua?”
“Tentu saja. Kamu pikir dunia ini begitu sepi? Lebih baik diam dan jangan terlalu banyak bertanya. Kamu akan kaget nanti,” ujar Freya sambil tersenyum misterius, seperti memiliki rahasia besar yang belum terungkap.
Aku mengikuti Freya ke tempat yang sepi di pinggiran kota, di mana hutan lebat menyambut kami dengan kerinduan alaminya. Di sana, terdapat sebuah rumah kayu yang tampak buruk, desainnya kuno dan sudah ditinggalkan sejak 50 tahun lalu.
***
“Aku pulang, teman-teman,” ucap Freya sambil membuka pintu rumah.
“Eh Freya, tumben sekali pulang sore-sore— Eh, siapa ini?” tanya seorang gadis berambut hitam mengkilap tergerai panjang. Wajahnya putih mulus dengan mata lebar, senyumannya lebar memikat siapapun yang melihatnya, tangannya lentik dan mulut serta tingginya 150cm. Matanya menatapku langsung dengan penasaran, seolah melihat barang langka.
“Ouh, dia. Aku menemukannya sakit di rumah dan membawanya ke sini. Katanya dia mau bergabung dengan kita,” jelas Freya sambil menunjukku, memberi penjelasan dengan penuh kegembiraan.
“Wah-wah ada orang baru sepertinya ini, ayo perkenalkan diri masing-masing,” ucap seorang pria berbadan kekar dengan otot tangan yang besar, rambutnya hitam pendek, kulitnya sawo matang dengan mata elang yang tajam, datang dari dapur, tangan kanannya masih memegang spatula.
“Ayo, Rika, perkenalkan dirimu. Semua orang sudah berkumpul di sini,” dorong Freya dengan ramah, memberiku semangat untuk berbicara.
Namun aku gugup, suaraku terbata-bata. Aksen ku tidak jelas. Seolah baru keluar dari gua primitif.
“Per-perkenalkan, nama saya Rika,” kataku gemetar, mencoba menenangkan diri di tengah sorotan perhatian mereka.
“Salam kenal, Rika. Namaku Luna, idol berbakat yang akan menyinari dunia ini,” kata Luna dengan senyum manisnya.
Aku tertawa kecil, menghargai keceriaan Luna. Mungkin dulu cita-citanya jadi idol.
“Aku Cedric, dan yang terakhir adalah si pendiam,” kata pria berbadan kekar dengan suara tenang, menunjukkan sikapnya yang penuh kepercayaan diri.
“Valerius,” pria terakhir berbicara dengan suara yang lembut, tapi tatapannya penuh misteri.
“Jangan terlalu memikirkan itu Rika. Valerius memang tidak terlalu menunjukkan ekspresi,” jelas Cedric dengan ramah seolah tahu apa yang terpikirkan di kepala ku sekarang.
Freya menyikut lagi sembari tersenyum, mengisyaratkan agar aku tidak perlu terlalu tegang.
“Oke semua, karena kita kedatangan anggota baru. Maka malam ini kita makan lebih banyak sedikit, ayo kembali ke tugas masing-masing.” Seru Cedric, ia kembali balik kanan mengerjakan masakannya.
“Yaaaa!” Seru Luna dengan semangat, memecah keheningan dengan kegembiraannya.
“Sudah mau malam, lebih baik sekarang kamu mandi dan ber-beres di kamarmu, ayo aku antar,” ajak Freya sambil tersenyum lembut. Aku mengangguk balas tersenyum segera mengikuti langkahnya.
Freya ini wanita dewasa tapi periang seperti gadis SMA. Dia terus menarik tangan ku melawati tangga kayu yang berdecit di setiap injakan, rasanya ngeri dan ngilu ketika melawati tangga ini. Ia menarikku terus sampai ke depan sebuah pintu kayu tua. Sebenarnya aku terkejut kenapa ada rumah kayu yang amat tua dan kuno di sekitar kota. Seharusnya kota IKN tidak didesain dengan rumah berkayu kumuh tetapi dengan bahan berkualitas tinggi dan didesain modern minimalist dengan gaya arsitektur city forest.
Freya berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu yang sama buruknya dengan dinding.
“Selamat datang di kamarmu,” sambut Freya dengan ramah, membuka pintu dengan lembut.
“Untungnya kami punya kamar kosong, kalau tidak, kita harus berbagi kamar yang sempit ini,” tambahnya dengan senyum hangat, memberiku rasa nyaman di tengah kegugupan yang baru saja kualami.
“Terima kasih Freya,” ucapku sambil menatap langsung ke dalam kamar yang kumuh dengan debu dan perabotan tua terbuat dari kayu. Hanya terdapat 1 kasur, 1 lemari kecil, dan 1 lemari besar di sudut ruangan. Kondisi kamar juga gelap, hanya ada cahaya masuk dari jendela.
Freya segera meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengerti dia juga sedang sibuk dan aku juga harus segera menata kamar ini sebelum kupakai malam nanti untuk tidur. Aku berkeliling sebentar di kamar ini, membersihkan beberapa kotoran dan debu. “Walaupun kamar ini buruk sekali, setidaknya aku tidak kesepian lagi di malam hari,” gumamku sambil menatap lemari kosong yang sedikit berdebu.
***
Aku tidak tahu jam berapa sekarang, tapi dari gelap ruangan ini tanpa ada cahaya sedikit pun dari luar jendela dan melihat posisi bulan. Aku yakin ini sekitar jam 7 malam. Aku turun ke bawah memastikan apakah makan sudah dimulai atau belum. Sekali lagi melawati anak tangga kayu yang berdecit membuatku ngilu.
Luna menyambutku dengan tingkah riangnya, dia yang paling cantik dan imut di tempat ini. Cahaya lilin saja membuatnya lebih memesona, bagaimana jika ia dilihat di bawah rambut berkualitas. “Ayo sini, makan malam sudah siap Rika,” ajaknya dengan suara ceria.
Aku mengangguk, masih fokus berhati-hati menuruni anak tangga yang berdecit. Anak tangga ini terlihat berbahaya, mungkin saja bisa jebol ketika aku menginjaknya tidak hati-hati. “Bagaimana? Apakah sulit turun tangga?” tanya Freya sambil menyiapkan makanan.
“Tidak terlalu. Kemampuanku cukup berguna di sini,” ucapku sambil duduk di kursi.
“Wah, terdengar keren. Ceritakan nanti kepada kami ya,” kata Freya dengan mata melebar tanda penasaran juga terlihat aktif banget mengajak bercerita.
Di depanku tersedia ikan bakar dan beberapa potong ayam. Aku sempat ditanya beberapa hal yang menurutku tidak terlalu penting. Aku merasa mereka menganggapku seperti teman, mereka tidak waspada sedikit pun. Aku menghela nafas tersenyum lega dan melanjutkan makan, meja makan lengang sejenak kecuali dengan suara ketukan sendok dan garpu dari piring, suara jangkrik juga terdengar dengan udara dingin terasa ke dalam rumah. Aku tahu penyebab udara dingin itu masuk dengan leluasa, aku melihat perapian mati dan dinding terbuat dari kayu masih terdapat celah kecil membuat angin kencang bisa saja berhembus masuk ke dalam ruang ini kapan saja.
“Baiklah, semua sudah selesai makan?” Cedric memecah suasana. “Malam ini kita akan membahas kemampuan masing-masing untuk kerja sama ke depan dengan Rika.”
Cedric berdiri, mengeluarkan aura kuning terang yang membuat ruangan diterpa cahaya kuning. “Sebagai pemimpin kelompok ini, aku, Cedric, memiliki kemampuan Barrier dan tergolong dalam super human karena tubuh dan fisikku yang kuat.”
Disusul Freya ikut berdiri dan mengeluarkan cahaya hijau tosca di tangan kanannya saat mengangkat setinggi dada. “Aku, Freya, memiliki kemampuan penyembuhan dan peningkatan buff.”
Luna ikut berdiri, aku merasakan aura biru gelap seolah malam ada padanya sekarang. “Aku, Luna, memiliki kemampuan ilusi.”
“Dan aku, Valerius, memiliki kemampuan pengintai dan penyamaran,” pria misterius itu juga ikut berdiri, wajahnya tampak tidak berekspresi. Terlalu dingin pria ini dan auranya terasa ungu gelap, aura gelap yang terasa sangat jahat.
Ruangan hening, mereka semua menatapku dan kadang bergantian menatap penuh rasa tanya, seolah mengisyaratkan untuk lebih dulu memberitahu kekuatan yang kumiliki. Tetapi, aku tetap menunggu mereka yang bertanya lebih dulu.
“Lalu, apa kemampuanmu, Rika?” Cedric memecah lenggang lagi.
“Aku?” Aku memastikan menunjuk diriku sendiri.
“Iya.”
“Aaaaa, itu... Aku belum tahu namanya, tapi aku menyebutnya manipulasi objek melalui imajinasi.”
“Namanya panjang sekali hahaha.” Tawa Luna pecah di sebelah meja makan, Freya terlihat menyikut Luna kemudian berhenti dengan menutup mulutnya.
“Ya, bagaimana lagi? Aku tidak pernah benar-benar mengerti kemampuanku sendiri.” Wajahku merah padam, aku malu menutup wajahku.
“Apa kamu bisa menunjukkannya di sini?” Cedric bertanya dengan nada yang lebih bersemangat.
“Sebenarnya bisa, tetapi aku takut rumah ini....” Kepalaku mendongak ke atas, mereka mengerti maksudku dan sedikit tertawa kecil.
“Kurasa kau benar.” Sahut Luna. Suara tawa pecah malam itu mengisi ruang kosong yang remang dan sepi di tengah hutan buatan. Aku ikut tertawa kecil, tetapi mereka melanjutkan pembicaraan dengan tawa yang lebih kencang seolah dunia baik-baik saja, seolah hidup mereka baik-baik saja.
Pembicaraan di meja makan selesai, aku mulai naik ke lantai kamar. Bersama dengan lentera tua yang menyala. Aku sempat ingin bertanya dari mana mereka mendapatkan benda tua ini, seharusnya ini sudah hilang sejak tahun 2000an, tetapi aku memutuskan untuk menutup rasa penasaran itu dan berfikir positif. Pukul 10 malam, mungkin jika aku melihat posisi bulan dari jendela tua yang bisa kubuka di kamar. Rasanya dingin untung ada selimut dengan aroma tua sedikit berdebu. Ini tidak sehat sebenarnya. Aku menghela nafas. “Aku tahu interior rumahku jauh lebih bagus dari pada ini, tapi aku senang di sini. Aku merasa punya keluarga baru yang bisa kujaga. Walau aku kurang dekat sekarang dan masih waspada, tapi aku yakin mereka orang baik kecuali Velarius itu.
Aku terus melamun di tempat tidur hingga akhirnya tertidur pulas hingga terbangun di pagi hari. Seseorang mengetuk pintu sambil berteriak, “Rika bangun, saatnya sarapan.” Semuanya terbangun tepat jam 7 pagi. Kemudian mereka yang kebagian jadwal piket masak sarapan, bangun lebih pagi. Kebiasaan kelompok ini setelah sarapan adalah diskusi pagi sebelum melakukan pembagian tugas atau kegiatan lainnya di hari ini.
Seperti pada umumnya pemimpin yang membuka rapat dan menjadi tolak ukur keputusan.
“Selamat pagi teman-teman,” pembukaan Cedric.
“Pagi,” semua serentak membalas.
“Kita mendapatkan anggota baru, tentunya kita harus segera mencari villa baru dan tempat logistik yang baru.
Rencananya kita akan melakukan penelurusan di pusat distrik kota Nusantara utama untuk mencari bahan makanan dan secara bersamaan mencatat kondisi geografi terbaru untuk mencari tempat pelarian jika sewaktu-waktu kita mendapatkan penyergapan.
“Penyergapan? Maksudnya apa?” tanyaku heran, itu terdengar buruk.
“Sebagai orang baru tentu wajar Rika tidak tahu, jadi yang kumaksud adalah kelompok Hyper yang berhasil menguasai pusat kota. Sehingga banyak hyper lainnya terpaksa hidup di pinggiran kota dengan minim makanan dan teknologi yang tersisa.”
“Terus kita akan melawan mereka?” tanyaku.
“Ya, kalau ketahuan,” ucap Luna.
“Udah santai aja, Rika hanya perlu ikut rencana dan kami yakin kita akan pulang dengan pesta besar,” sahut Freya.
Keputusan telah diambil, aku hanya menatap ragu pada diriku. Apa aku punya kekuatan bertarung melawan musuh di luar sana. Aku baru sehari keluar dari lingkungan rumah yang sudah seperti goa tempatku berlindung dari mara bahaya di luar dan sekarang justru aku mendatangi mara bahaya itu.
“Jadi semuanya apa kalian siap untuk misi mencari villa baru dan makanan buat pesta penyambutan Rika!”
“SIAAAAP,” sentak mereka.
“Ayo sekarang gerak, ambil persenjataan kalian dan Alat komunikasi.”
Setiap orang mengambil satu senjata, tetapi bukan senjata api, dan satu alat komunikasi.
“Nih Rika, saat ini hanya HT yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi, lalu kamu terampil dalam hal apa?” Tanya Cedric.
“Aku tidak yakin, mungkin panahan,” jawabku ragu.
“Kalau begitu Velarius ambilkan stok busur dan anak panahnya.”
“Oke,” jawab Velarius tanpa ekspresi, langsung melaksanakan perintah. Aku mulai berpikir dia hanya robot yang berbentuk manusia.
“Rika, kami percaya padamu. Tidak usah merasa terbebani di hari pertama di party ini ya,” Cedric memegang bahu ku seolah memberikan rasa tenang dan perlindungan.“
Semuanya sudah siap, kapten,” laporkan Freya.
“Ayo semua gerak sekarang.”
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22