(Elysa)
Sebagai seorang desainer grafis, kami memiliki keleluasaan untuk bekerja lepas ataupun bekerja kantoran. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Saat aku lulus dengan gelar sarjana desain, aku memang memilih ngantor dulu di kota tempatku berkuliah itu. Alasannya, aku ingin menjalin relasi dan menambah pengalaman. Lagipula, halooo! Yogya kota seni. Di mana lagi aku bisa terekspos dengan energi kreatif seintens di sini? Setelah merasa puas, mungkin aku akhirnya akan kembali ke rumah orang tuaku di Jakarta dan bekerja freelance dari rumah.
Salah satu kelebihan kerja kantoran, aku bisa libur di akhir pekan. Aku punya prinsip: semua pekerjaan harus diselesaikan di kantor, tidak boleh dibawa pulang. Dan aku dengan disiplin memegang prinsip itu. Jadi, akhir pekan buatku benar-benar hari untuk beristirahat, menyegarkan tubuh dan pikiran, waktu untuk diri sendiri setelah lima hari bertemu orang-orang. Akhir pekanku dimulai sejak Jumat sore begitu aku melangkahkan kaki dari kantor.
Kamis sore, Mbak Almy menyapaku. Dia terlihat gelisah.
“Oh iya, kamu sibuk nggak besok malam?” Tanya Mbak Almy.
Ah, Jumat malam. Tentu saja aku tidak sibuk, itu kan waktu untuk diriku sendiri. Tapi itu waktu untuk diriku sendiri! Aku tidak ingin berbohong, tapi aku juga merasa tidak ingin dimintai tolong di waktu tersebut. Aku berpura-pura sibuk dengan sesuatu di layar komputer, untuk mengulur waktu memikirkan jawaban yang pas.
“Maaf, kenapa tadi, Mbak?” Tanyaku. Kali ini aku tersenyum ke arah Mbak Almy.
“Kamu sibuk besok malam?”
“Besok malam? Aku… sudah ada agenda, sih.” Ujarku mantap. Ya, aku tidak bohong! Aku memang ada agenda: agenda refreshing.
“Oh, gitu ya… Mmm…”
Mbak Almy mengatupkan kedua bibirnya. Dia terlihat gugup. Dari tadi jalinan jari jemarinya membuka dan menutup. Ada aura kesedihan memancar dari bahasa tubuhnya. Kau tahu, kalau seseorang bersedih, seakan-akan ada nuansa kelabu yang meliputinya? Aku seakan-akan bisa merasakannya. Sangat tidak nyaman. Aku saja merasa tidak nyaman, apa lagi seseorang yang mengalaminya sendiri, kan? Mbak Almy yang biasanya ceria dan ceriwis, memang akhir-akhir ini terlihat agak pendiam.
Karena tidak tega melihat Mbak Almy yang tak juga beranjak, aku pun bertanya, “Kenapa memangnya, Mbak?”
Aku tahu, kemungkinannya aku harus mendengarkan jawaban Mbak Almy, lalu aku merasa kasihan dan berkewajiban harus menolongnya, sehingga mengorbankan akhir pekanku. Egois sekali kamu, El! Astaghfirullah. Bukankah kata Rasulullah SAW kalau kita menemani seorang muslim untuk mengurus keperluannya, itu lebih baik dari pada beritikaf semalaman di Masjid Nabawi?
“Besok ulang tahunku. Biasanya aku menghabiskan waktu sama teman-teman di hari ulang tahunku, tapi hmm… banyak yang gak bisa. Mungkin kamu mau, eh bisa, menemaniku? Gak ada acara-acaraan, kok, cuma makan-makan.”
Seiring tiap kata yang keluar dari mulut Mbak Almy, mata perempuan yang usianya lebih tua tiga tahun dariku itu perlahan memancarkan harapan. Dia pasti berharap aku mau menemaninya merayakan ulang tahunnya. (Di saat teman-temannya yang lain sibuk!)
“Maaf, El, kedengarannya memang kayak aku mengundangmu setengah hati atau hanya pelarian karena teman-temanku yang lain gak bisa, tapi… sebenarnya… aku gak bisa melewati hari ulang tahun sendirian.”
Tidak bisa melewati hari ulang tahun sendirian? Pemikiran macam apa itu! Aneh banget. Hus, aku menegur diri sendiri. Aku mencoba berpikiran lebih terbuka. Sesuatu yang menurut kita aneh pada diri orang lain, bisa jadi memiliki alasan mengapa dia begitu. Aku jadi penasaran apa maksudnya.
Tapi… ulang tahun, ya? Aku bukan jenis orang yang merayakan atau menganggap penting hari ulang tahun. Itu bukan budayaku. Setahuku, itu juga bukan budaya Islam.
“Please…” Kali ini Mbak Almy tersenyum dengan memelas ke arahku.
Ah, baiklah. Cuma satu kali ini.
“Oke, Mbak. Insyaallah bisa, aku akan menemanimu.”
“Agendamu bagaimana?”
“Eh… Ah, itu bisa ditunda.”
Mbak Almy tiba-tiba memelukku, singkat, tapi aku terkejut. Wajahnya berbinar. “Terima kasih, El. Terima kasih banyak! Besok kukasih tahu jadinya kita ke resto mana, ya.”
Aku mengangguk mengiakan. Mbak Almy pamit untuk kembali ke ruangannya. Saat berjalan pergi, dia seperti melompat-lompat karena gembira. Aku menggeleng melihat moodnya yang dengan cepat berganti.
***
Rasa letih setelah bekerja terhapus dengan segarnya air dari pancuran. Bukannya menonton film horror atau membaca novel thriller di kamar kosku, malam Sabtu ini aku akan keluar untuk menemani Mbak Almy. Karena badanku segar, aku merasa relaks dan mood-ku sangat baik. Nggak apa-apalah, sekali-sekali malam Sabtu keluar rumah. Menikmati kota seribu angkringan yang dipenuhi jiwa-jiwa muda.
Aku mengenakan kemeja putih, overall dress warna moka sebagai luaran dan kerudung berwarna senada. Setelah salat Magrib aku langsung memanggil taksi online menuju sebuah kedai kopi kekinian tempat Mbak Almy menungguku.
Sepanjang perjalanan, aku meniatkan di dalam hati bahwa perjalananku ini bukan untuk merayakan ulang tahun, tapi sekadar makan-makan dengan teman yang kebetulan berulang tahun hari ini. Ini hanya makan-makan biasa, bukan untuk mengagungkan hari tertentu. Semoga dengan begitu aku tidak berdosa.
Saat aku tiba di kafe bernama Sudut Temu itu, aku mencari-cari sosok Mbak Almy, tapi tidak menemukannya. Aku pun mengeluarkan ponsel dan memberi tahunya bahwa aku sudah di tempat. Tak lama kemudian, Mbak Almy muncul dari dalam.
“Ayo, El, aku tadi pilih meja di luar, di belakang.” Ujar Mbak Almy, wajahnya terlihat cerah.
Kami berjalan melintasi bagian tengah kafe menuju area luar ruangan di belakang. Ternyata ramai juga, batinku. Kafe itu punya area luar yang cukup luas. Terdapat beberapa bangku dan meja dari beton. Ada pohon-pohon berbatang ramping di sisi-sisi halaman. Lampu gantung warna kuning yang hangat bersusun sejajar di atas kami.
Kami duduk di salah satu meja di sisi terjauh dari pintu kafe. Mbak Almy memanggil waitress supaya aku bisa memesan makanan. Sambil menunggu pesanan, kami pun mengobrol. Aku mengomentari kafe pilihan Mbak Almy.
“Oh iya, kamu gak bawa kado, kan?” Tanya Mbak Almy.
“Eh… Enggak, Mbak.”
“Baguslah. Soalnya aku gak mau merepotkan. Aku cuma mau ditemani…”
Wajah Mbak Almy berangsur terlihat murung. Biasanya, orang akan bergembira di hari ulang tahun mereka. Entah kenapa sejak kemarin Mbak Almy sepertinya bersedih.
“Biasanya bagaimana kamu merayakan ulang tahun?” Tanya Mbak Almy lagi.
“Aku sudah lama tidak merayakan ulang tahun, sih, Mbak.”
“Kenapa?”
“Dulu, waktu kecil, ulang tahunku sering dirayakan, diadakan pesta. Mengundang teman-teman sekelas, tetangga, dan sepupu-sepupuku. Trus saat usia kami sebelas tahun, tidak ada lagi perayaan ulang tahun. Kata orang tuaku, ‘Kalian sudah besar. Tidak perlu lagi pesta-pesta ulang tahun, itu hanya untuk menyenangkan anak-anak yang usianya lebih kecil.’ Sejak saat itu, tidak pernah lagi merayakan ulang tahun. Selain itu, aku belajar bahwa perayaan ulang tahun itu bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan seorang muslimah. Karena itu seperti membuat hari raya baru, padahal hari raya kita cuma dua: idulfitri dan iduladha.”
Mbak Almy mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Kuharap, dengan bercerita seperti itu, dakwahku bisa diterima oleh Mbak Almy. Dakwah itu kan tidak harus berceramah di mimbar atau di forum khusus. Seandainya ada seseorang yang terinspirasi melakukan hal baik menurut syariat, meski itu hal kecil, karena dakwahku, maka itu saja sudah sangat bagus.
“Mbak Almy berapa usianya sekarang? Dua puluh enam, ya?”
Mbak Almy tersenyum sendu. “Iya. Ngomong-ngomong, aku juga, waktu usia sepuluh tahun adalah kali terakhir ulang tahunku dirayakan sama orang tuaku. Setelah itu…”
Mbak Almy terdiam. Pandangannya terpaku pada satu titik di belakangku, tapi aku yakin sebenarnya dia sedang tidak menatap apa-apa. Wajahnya terlihat mengenang sesuatu di masa lalu. Aku tidak menduga ucapan Mbak Almy selanjutnya.
“Setelah itu, aku tidak pernah lagi melihat kedua orang tuaku bersama-sama.”
Maksudnya? Orang tuanya bercerai? Aku mengulurkan tangan ke atas meja dan meletakkannya di atas tangan Mbak Almy, menepuknya pelan.
“Bagiku, hari ulang tahun adalah pengingat kejadian yang sangat menyakitkan. Karena itulah aku tidak ingin sendirian di hari ulang tahunku. Aku tidak ingin kesepian. Kalau aku sendirian, aku akan terus teringat kejadian di hari ulang tahunku yang kesepuluh itu…”
***
(Almy)
Pesta telah berakhir. Ruang tamu Almy penuh sesak oleh hadiah-hadiah dari teman-temannya. Pesta ulang tahunnya yang kesepuluh ini bertema Minnie Mouse. Dekorasi ruangan, taplak meja, topi dan goodie bag, serta kue ulang tahun bergambar Minnie Mouse. Bahkan, seorang badut berkostum Minnie Mouse hadir untuk memeriahkan acara.
Almy senang sekali, layaknya anak sepuluh tahun yang berulang tahun. Hanya satu hal kurang: ayahnya tidak hadir di pesta itu. Padahal, pesta dilaksanakan di sore hari, supaya ayahnya bisa ikut sepulang kerja. Namun, sampai pesta berakhir, ayahnya tak jua pulang.
Bahkan sampai malam datang.
Almy bersiap untuk tidur. Dia sangat kelelahan karena pesta dan kesibukannya membuka sebagian kado. Ada yang memberinya kotak pensil, tas, boneka, kotak musik bergambar princess, dan entah apa lagi! Dia belum sempat membuka semuanya. Kini, setelah mandi dan memakai piyama, Almy berbaring di kamarnya. Mama sudah menyuruhnya masuk kamar sejak setengah jam yang lalu, tapi dia masih belum mengantuk meski kecapaian. Pikirannya tak bisa berhenti bekerja, mengingat-ingat keseruan pesta hari ini. Dia sungguh bersenang-senang dengan teman-temannya.
Pukul 9 malam, Almy sempat mengecek jam di samping tempat tidurnya, ayahnya pulang. Dia mendengar Mama membuka pintu dan suara orang tuanya bercakap-cakap. Tak seperti biasanya, suara orang tuanya kali ini terdengar tegang. Kian lama nada suara mereka naik beberapa oktaf.
Dengan mengendap-endap, Almy berjalan ke pintu kamarnya dan membuka pintu perlahan hingga tercipta celah kecil di mana dia bisa mengintip. Kamar Almy yang tepat menghadap ke ruang tamu membuat Almy kecil bisa langsung melihat kedua orang tuanya.
“Kamu memang tidak peduli lagi sama anakmu, ya! Aku tidak peduli kalau kamu tidak lagi menghargai ikatan pernikahan kita, tapi jangan abaikan anakmu. Hari ini ulang tahunnya, tapi kamu malah main sama perempuan itu.”
Plak!
Almy terkesiap dan melompat mundur. Tangan ayahnya melayang cepat mengenai pipi mamanya.
“Jangan atur-atur aku,” geram ayah Almy. “Aku sudah membelikan hadiah mahal buat Almy. Dia akan memaafkanku. Aku hanya tidak ingin berpura-pura harmonis denganmu di depan para tamu.”
Almy melihat ke arah rumah boneka lengkap dengan meja pajangan yang ada di kamarnya. Itu hadiah mahal dari Ayah. Rumah boneka Sylvanian Family yang versi lengkap.
“Sudahlah. Aku tidak akan tidur di sini malam ini.”
Ayah Almy kembali ke pintu, keluar dan membanting pintunya tertutup. Mama Almy berdiri terpaku, memandangi kepergian Ayah sambil terisak.
Ayah mau ke mana? Kenapa Mama tidak mencegah Ayah pergi? Kenapa Ayah jahat, menampar Mama dan berkata kasar seperti itu? Kenapa Mama juga berteriak kepada Ayah?
Pertanyaan-pertanyaan itu baru menemukan jawabannya seiring Almy beranjak dewasa. Tidak seperti ucapan Ayah bahwa Almy akan memaafkannya karena hadiah mahal itu, Almy justru tidak pernah menyentuh rumah boneka itu sama sekali.
Setelah itu, orang tuanya resmi bercerai. Almy tak pernah lagi bertemu ayahnya. Setiap Almy bertanya kepada Mama di mana Ayah, Mama selalu mengatakan hal-hal buruk tentang Ayah. Padahal Almy hanya ingin bertemu sesekali. Seburuk apa pun ayahnya, dia ayah satu-satunya bagi Almy. Sikap ibunya membuat Almy tidak hanya memendam kebencian kepada ayahnya, tapi juga kepada ibunya sendiri. Sejak saat itu, Almy merasa tidak pernah ada lagi tempat bernama ‘rumah’.
***
(Elysa)
“Tahu gak lucunya apa, El?” Tanya Almy sambil mengunyah. “Aku memang selalu minta temani orang setiap ulang tahunku. Ngobrol, karaokean, ke konser, ke wahana bermain, apa pun itu, yang penting rame dan aku tidak sendirian. Tapi, sepulangnya ke kos-kosan, aku tetap teringat lagi dengan kejadian itu. Tetap aja pulangnya aku nangis sendiri.”
Jeda sejenak.
“Bahkan, beberapa tahun lalu, aku pernah hampir mengakhiri hidup.”
Aku terbelalak. “Serius, Mbak?”
“He-em,” jawab Mbak Almy enteng. “Tapi, tepat saat aku akan menelan 8 butir paracetamol, pintu kamarku diketuk. Aku tersadar dengan apa yang akan kulakukan, cepat-cepat aku membuang obat-obat itu. Saat aku membuka pintu, ternyata tetangga kosku di kamar sebelah. Dia memberikan kado, ucapan ulang tahun, dan mendoakanku agar panjang umur. Aku langsung menangis di hadapannya. Dia tidak tahu apa yang baru saja akan kulakukan, tapi dia menyelamatkan hidupku.”
Aku menelan ludah. Selama ini aku hidup di dalam gelembungku sendiri, tidak menyadari ada orang-orang di sekitarku yang mendapat cobaan begitu berat.
“Alhamdulillah, ya, Mbak. Allah masih berikan Mbak hidup,” ujarku, karena aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Ya, tapi ujung-ujungnya, kan, kita akan mati juga.”
Aku tersenyum kalem. “Iya, sih. Tapi, Mbak diberi kesempatan untuk meninggal husnul khatimah, bukan meninggal dengan bunuh diri. Lagi pula, kalau Mbak mengakhiri hidup, Mbak tidak akan tahu kebaikan apa yang Allah simpan untuk Mbak di masa depan. Aku yakin Mbak pasti punya harapan bahwa masa depan Mbak akan lebih cerah.”
Mbak Almy menyesap kopinya. Aku juga melakukan hal yang sama. Sepertinya kami butuh jeda dari pembicaraan yang berat ini.
“Oh iya, terima kasih sudah mendengarkan, ya. Aku belum pernah menceritakan ini ke siapa pun sebelumnya. Mereka tahunya aku senang-senang aja di hari ulang tahunku.”
Setelah itu kami membicarakan hal-hal lain. Malam kian larut. Saatnya kami menutup hari dan mengucapkan sampai jumpa lagi. Namun, cerita Mbak Almy tadi membuatku gelisah. Aku tidak ingin meninggalkan Mbak Almy sendirian. Saat kami bersiap-siap meninggalkan meja, aku membuat keputusan.
“Mbak, bagaimana kalau malam ini aku nginap di tempat Mbak? Supaya Mbak ada yang nemenin.”
Ketika wajah Mbak Almy berbinar mendengar ucapanku, aku tahu telah membuat tindakan yang tepat.
Aku tidur di kamar kos Mbak Almy malam itu. Mbak Almy tidak sendirian sampai hari ulang tahunnya berakhir. Saat itu aku menyadari, untuk menolong orang lain kita tidak perlu menyelesaikan semua masalah orang itu. Kita bisa menolongnya meski dengan hanya mendengarkan curhatnya atau menemaninya melewati malam.