Hari Sabtu adalah hari ekskul sedunia. Begitulah aku menyebutnya. Saudariku, Erica, ikut ekskul PMR bersama ketiga teman satu gengnya. Sedangkan aku ikut ekskul fotografi. Beberapa anggota ekskul fotografi membawa kamera DSLR, yang lainnya hanya menggunakan kamera ponsel. Aku salah satu yang membawa kamera.
Pekan ini kami belajar teori komposisi rule of thirds. Posisikan objek di sepertiga bingkai untuk membuat hasil fotomu menarik. Setelah mendengarkan paparan teori, kami pun praktik.
“Silakan menyebar ke seluruh penjuru sekolah dan kembali ke ruangan ini setengah jam lagi. Ambil foto sebanyak-banyaknya dengan menerapkan teori yang baru kita pelajari. Nanti pilih satu foto yang menurut kalian paling bagus, presentasikan, dan akan kita bahas bersama-sama. Let’s go!”
Aku telah mengambil beberapa foto. Saat aku mendekati musala, aku mendengar suara-suara orang mengaji. Musala menjadi tempat dilaksanakannya ekskul rohis. Kurasa memotret kegiatan manusia akan menarik. Dari tadi aku hanya memotret benda-benda mati.
Pintu kanan dan kiri musala terbuka. Aku bisa melihat kegiatan di dalamnya. Musala sekolah kami tidak terlalu besar. Pada hari sekolah biasanya dipakai bergantian. Aku berdiri di pintu kanan musala dan membidikkan lensa ke arah anak-anak cowok yang duduk melingkar sambil masing-masing memegang mushaf. Beberapa cowok melirik ke arahku dan langsung menunduk. Mereka berbisik-bisik, membuatku risih.
Aku memutuskan pergi ke sisi yang lain. Saat aku tiba di pintu kiri, pemandangan yang menyapaku adalah siswi-siswi yang juga pada posisi yang sama seperti para cowok tadi. Mereka duduk melingkar dalam dua kelompok, memegang mushaf, dan bergantian membacanya. Aku memotret mereka beberapa kali.
“Lysa!” Panggil seseorang. Aku mendongak dan mengarahkan wajahku ke asal suara. Ternyata itu Adiba, teman sekelasku. Dia salah satu siswi berkerudung yang tengah duduk melingkar di dalam musala itu. “Sini masuk.”
Aku mengarahkan telunjuk ke hidungku dan menggerakkan bibir, “aku?”
Adiba mengangguk semangat. Dia bahkan melambaikan tangannya dengan isyarat memanggilku mendekat.
Kenapa aku disuruh masuk, ya?
Aku menunduk melihat pakaian yang kukenakan. Kaus lengan pendek dan jins. Pada hari Sabtu kami memang dibebaskan memakai apa saja yang penting sopan. Namun, aku tidak memakai kerudung. Sementara itu, semua cewek di dalam musala mengenakan kerudung dan gamis atau kemeja lengan panjang dan rok. Aku merasa tidak pantas duduk bersama mereka.
Karena tidak enak dengan Adiba yang sedari tadi menungguku, akhirnya aku melepas sepatu kets dan masuk ke musala. Apakah aku harus mengucapkan salam? Atau membaca doa tertentu? Ih, aku tidak tahu.
Mengapa aku jadi self conscious begini, sih?
Saat aku mendekat ke kelompok Adiba, cewek-cewek itu menggeser duduk mereka untuk memberi ruang kepadaku. Aku pun duduk di samping Adiba. Aku berbisik, “Ada apa?”
“Ikut ngaji.”
“Hah?”
“Lo lagi gak halangan, kan?”
Aku menggeleng. Adiba tiba-tiba menyerahkan mushaf kepadaku. “Baca, satu ayat aja.”
Aku menatap berkeliling. Cewek-cewek lain sedang memandangiku dan menungguku dengan sabar. Bahkan ada yang tersenyum menyemangati. Lalu aku menyadari ada seseorang yang lebih tua duduk di antara kami.
Dengan ragu-ragu, aku memulai membaca. “Bismillahirrahmanirrahim--”
“Ta’awudz dulu,” bisik Adiba di sebelahku.
“Eh? Iya. A’udzubillahi minasy syaithanir rajim. Bismillahirrahmanirrahim. Tabat yada abil lahabiw watab.”
“Tabbat yadaaaa,” seseorang mengoreksiku. Aku mendongak. Ternyata itu suara cewek yang lebih tua tadi. Mungkin dia semacam mentor yang bertugas mengoreksi bacaan.
“Tabat yadaaaa,” aku mengikuti.
“Tabbat. Tabbat.”
Oh, iya. Aku lupa, kalau ada tasydid di atas sebuah huruf, membacanya harus ditahan dulu di huruf itu. Aku lupa-lupa ingat teorinya. Aku pun mengulanginya sesuai arahan mentor.
Berulang-ulang aku membaca, tapi selalu saja ada yang salah. Aku merasa malu. Bukan malu karena bacaanku salah, tapi karena selalu ditegur di hadapan orang lain. Saat akhirnya aku bisa membaca satu ayat itu dengan benar, aku sangat bersyukur. Akhirnya selesai juga. Orang di sebelah kananku giliran berikutnya yang membaca.
Ternyata, orang di sebelahku juga mendapat banyak teguran dari mentor. Begitu pun orang di sebelahnya, dan di sebelahnya. Ada, sih, yang sudah lancar. Namun, sebagian besar bacaannya juga belum benar seperti aku. Aku tidak jadi malu. Kurasa, mereka di sini masih sama-sama belajar.
Dengan menyimak bacaan teman-teman yang lain, aku sendiri jadi banyak belajar. Aku mengenali pola-pola bacaan. Misalnya kalau huruf mim atau nun bertaysdid, membacanya ditahan lebih lama dengan dengungan. Selama ini aku belajar teori-teori BTA di kelas hanya untuk bisa menjawab ujian, lalu terlupakan. Padahal seharusnya aku menerapkannya dalam membaca Al-Qur’an.
Karena waktuku hampir habis, aku pamit pada Adiba dan teman-teman. Ada tugas fotografi yang harus kukumpulkan.
***
Sabtu berikutnya, aku kembali menyelipkan diri di kelompok Adiba. Entah kenapa aku merasa ketagihan. Meski aku tidak kenal sebagian besar yang ada di situ, tapi aku merasa tenang duduk bersama mereka. Suasananya santai, hangat, dan menenangkan.
Rasa ingin belajar mengaji dengan lebih baik bangkit dalam diriku. Aku merasa terpanggil untuk terus mampir ke musala tiap Sabtu. Tak terasa sudah hampir dua bulan aku menjadi penyusup di tengah mereka. Namun, aku tidak puas.
“Dib, bisa gak, ya, les privat mengaji sama Kak Maira?” Tanyaku pada Adiba suatu kali di kelas. Kak Maira adalah mentor yang mengajari kami mengaji tiap Sabtu itu.
“Nanti gue tanyain, ya. Tapi, emang lo yakin?”
Pertanyaan Adiba membuat keningku berkerut. “Maksudnya?”
“Kak Maira, kan, hmm… Bisu.”
“HAH?”
“Iya, takutnya kalian susah komunikasi nanti.”
Apa itu benar? Bukankah Kak Maira bisa membaca Al-Qur’an dengan indah. Dia bisa melafalkan setiap ayat Al-Qur’an dengan jelas, bahkan membantu kami memperbaiki bacaan Al-Qur’an kami. Memang, aku tidak pernah mendengar Kak Maira mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan, ketika bacaanku salah, dia tidak menjelaskan dengan kata-kata, hanya mencontohkan bacaan yang benar seperti apa.
“Masa, sih, dia bisu?”
Aku masih tak percaya.
Adiba mengangguk. “Dia bisa bicara, tapi tidak sejelas orang pada umumnya.”
“Tapi ngajinya lancar banget, lo. Gak kayak orang bisu.”
“Iya, itu, sih, keajaiban.”
Adiba lalu menceritakan kepadaku tentang Kak Maira. Ternyata, Kak Maira dulu siswi di sekolah kami. Empat angkatan di atasku. Dia jago Fisika dan pernah mewakili sekolah pada olimpiade Fisika. Kini, dia sedang kuliah jurusan Fisika Murni.
Wow, batinku. Keren banget! Keterbatasan fisiknya tidak menjadi penghalang untuk meraih prestasi dunia maupun agama. Aku jadi makin semangat ingin belajar privat dengan Kak Maira, siapa tahu aku jadi ketularan pintarnya.
***
“Kak Maira pasti punya orang tua yang sangat dekat dengan agama, sehingga Kakak bisa seperti ini, pintar mengaji dan juga berprestasi,” ujarku sambil menerawang. Aku berandai-andai, bagaimana jika orang tuaku orang yang religius.
“Nebenarnha… eng-hak.” Jawab Kak Maira. Sebenarnya… enggak.
Aku mengembalikan perhatianku kepada Kak Maira. Kami sedang duduk di sofa di ruang tamu rumahku, baru saja menyelesaikan satu sesi belajar mengaji. Ternyata Kak Maira mau memberikan les privat. Mama dan Papa juga setuju saja untuk membayar les privatku. Sekarang, sudah hampir dua bulan aku belajar mengaji privat dengan Kak Maira. Jadwal les kami dua kali dalam seminggu. Aku merasa kemampuanku membaca Al-Qur’an sudah lebih baik.
Awalnya Mama terkejut karena Kak Maira ternyata orang dengan disabilitas. Aku sendiri juga awalnya kesulitan mengobrol dengan Kak Maira, tapi lama-kelamaan aku jadi terbiasa. Ucapannya memang agak sulit dipahami, tapi kalau aku sabar mendengarkan dan memahami konteks yang sedang dibicarakan, aku bisa bercakap-cakap dengannya seperti orang normal.
“Ayahku tidak ada. Ibuku jadi TKW di Hong Kong sejak usiaku 7 tahun. Aku dititipkan pada tanteku. Tante yang menyekolahkanku.”
Ternyata, kehidupan Kak Maira jauh dari kata nyaman.
“Berarti, Tante Kakak yang mendorong Kakak untuk mengaji dan belajar dengan giat, sehingga jadi pintar, ya?” Tebakku.
“Eng-hak. Malahan…”
Tante Kak Maira punya tiga anak yang jaraknya dekat-dekat. Kondisi ekonomi keluarga tantenya bisa dibilang pas-pasan. Beliau juga tidak memiliki pengetahuan agama yang luar biasa. Beliau hanya menyuruh salat dan mengaji ke TPA. Tidak ada yang istimewa.
“Jadi, apa yang membuat Kakak semangat belajar agama dan menuntut ilmu?”
“Suatu kali aku pernah membaca terjemahan sebuah ayat. Aku semacam mendapat inspirasi. Itulah hidayah dari Allah. Ayatnya berbunyi begini…”
Kak Maira membaca taawudz dan membaca ayat itu dengan indah. Aku mendengarkan dengan khidmat meski tidak tahu itu dari surah apa dan apa artinya. Setelah membacakannya, Kak Maira menyuruhku membuka terjemahan Surah Al Baqarah ayat 216, ayat yang barusan dibacanya.
Aku pun membuka mushafku dan membaca artinya.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kami tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
“Aku merenungkan ayat itu. Kondisiku dalam segala aspek jauh dari kata ideal. Dulu, aku orang yang rendah diri, pemalu. Minderan. Tidak percaya diri. Jangankan berprestasi, mengungkapkan pendapat saja aku tidak berani, karena waktu SD aku pernah diolok-olok sekelompok orang. Tapi karena ayat itu, aku jadi terpacu untuk belajar agama. Aku jadi terpacu untuk mengenal Allah lebih jauh.”
“Seiring berjalannya waktu, aku jadi mengerti, Allah tidak pernah menciptakan manusia sia-sia. Allah juga tidak membebani seseorang melebihi kesanggupannya. Maka, aku pun bertekad untuk berusaha sampai batas kemampuanku menjadi orang yang lebih baik. Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat.”
Saat Kak Maira belajar mengaji dengan lebih baik, dengan niat yang baru, bukan lagi karena rutinitas semata atau karena disuruh Tante, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk beribadah kepada-Nya, Kak Maira mendapati bahwa dia dimudahkan untuk membaca Al-Qur’an. Bahkan, orang-orang tidak akan percaya bahwa dia tidak bisa bicara dengan normal, karena lancarnya dia membaca Al-Qur’an. Kak Maira menjadi bukti bahwa Al-Qur’an memanglah mukjizat yang luar biasa.
Aku terhanyut dalam cerita Kak Maira. Di dalam diriku, muncul keinginan untuk mengikuti jejak Kak Maira.
“Kak, aku ingin jadi orang yang lebih baik,” ujarku. “Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat. Aku ingin punya tujuan hidup. Tapi, aku harus mulai dari mana, Kak?”
Kak Maira tersenyum.
Besok-besoknya, Kak Maira meminjamkan kepadaku buku-buku Islami. Dia juga mengoreksi salatku dan menasihati tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan dewasa. Kak Maira mengatakan, “orang yang sudah baligh itu artinya sudah siap memikul tanggung jawab dan kewajiban orang dewasa.”
Itu adalah masa paling ajaib dalam kehidupan remajaku, bahkan mengubah seluruh arah kehidupanku. Aku yang tumbuh besar di keluarga yang gersang dari agama, seakan mendapat oase. Aku meyakini tidak ada yang kebetulan. Pertemuanku dengan Kak Maira adalah takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah, sebagai karunia dari-Nya.
Akhirnya, pada kenaikan kelas itu aku memutuskan untuk berhijab. Semoga Allah rida kepadaku.