Satu meeting, tidak akan begitu susah, kan? Masalahnya aku harus melaksanakan meeting itu di kafe dengan seorang pria, sendirian. Rekan kerjaku, Mbak Juwita, seharusnya ikut rapat, tetapi dia ada urusan penting. Sepenting apa? Dia punya ibu yang sudah sepuh yang perlu ditemani, perawat yang disewa Mbak Juwita hanya menunggui sampai jam 5 sore. Usai jam kerja, waktunya Mbak Juwita menemani ibunya.
Bagiku, urusan berbakti kepada orang tua itu hal yang sangat penting. Aku tidak tega merengek pada Mbak Juwita agar mau menemaniku.
“Tunjukin aja desain yang sudah kukasih. Semua detailnya sudah ada, kok. Sudah jelas semua. Kamu tinggal jelasin aja yang ditanyain Pak Ramos,” ujar Juwita sebelum dia pulang dari kantor. Sementara aku harus ke kafe ‘Kopi Tuan’ nanti malam.
Sebenarnya aku tidak khawatir mengenai presentasi progres proyek desain kami. Aku lebih khawatir harus berduaan dengan lelaki asing. Memang, akan ada banyak orang di kafe, bukan hanya kami. Namun, tetap saja aku cemas harus mengobrol berdua saja dengan Pak Ramos.
Pak Ramos orang sibuk. Beliau sering canvassing tidak hanya di Jogja, tapi sampai ke luar kota. Banyak pebisnis muda yang antre ingin dimentori oleh beliau karena bisnisnya bertahan dengan sangat baik melewati badai pandemi corona, padahal bisnis beliau itu di bidang distribusi offline. Namun, beliau sekarang ingin memperkuat eksistensi bisnisnya secara online. Hal itulah yang membuat beliau bekerja sama dengan agensi manajemen periklanan tempatku bekerja.
Karena saking sibuknya beliau, akhirnya baru bisa rapat secara tatap muka malam ini. Beliau sendiri yang menawarkan untuk bertemu di Kopi Tuan, sebuah kafe agak eksklusif yang kontras dengan warkop-warkop di sekitarnya, di Jalan Margo Utomo, arah selatan Tugu Jogja.
Aku datang lebih awal naik taksi online. Lebih baik datang lebih awal dari pada terlambat meski satu menit. Itu prinsipku. Aku memesan cappucino dan mengecek kembali bahan presentasiku. Sekitar setengah jam kemudian Pak Ramos datang. Tepat waktu sesuai janji.
“Halo, Elysa. Sudah lama menunggu?” Pak Ramos berjalan ke arahku dengan senyum lebar. Beliau pasti mengenaliku karena kami memang sudah pernah bertemu sebelumnya di kantor. Aku berdiri untuk menyambutnya. Beliau mengenakan kaus polo biru tua, celana jins, dan sepatu kulit. Jam tangan mahal melingkari pergelangan tangan kirinya. “Silakan, silakan. Sendirian saja?”
“Iya, Pak. Mbak Juwita ada urusan lain yang tidak bisa diganggu.”
“Jangan panggil ‘Pak’. Panggil Mas Ramos saja, begitu, hehehe…”
Aku mengangguk kecil dan fokus pada tablet di hadapanku, tidak repot-repot mengoreksi sapaanku. Pak Ramos memanggil waiter dan memesan minuman serta makanan ringan. Dari tadi beliau tersenyum sambil mengamati wajahku lekat-lekat. Aku jadi risih. Rasanya pakaianku kurang tertutup. Padahal aku mengenakan gamis, outer kardigan, dan kerudung yang menjulur sampai ke bawah dada. Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan pertemuan ini.
“Sambil menunggu pesanananya, kita mulai aja, ya, Pak,” ujarku, melawan kecanggungan dan ketidaknyamanan. Makin cepat membicarakan bisnis, makin baik.
“Wah, mau langsung mulai aja. Tidak foreplay dulu, nih? Hehehe.”
Ingin kurenggut cengiran di wajahnya.
Aku tetap bersikap formal dan tidak menanggapi candaannya. “Mengenai desain yang Bapak minta. Jadi begini…”
Aku tidak memberikan kesempatan Pak Ramos untuk menanggapi ucapanku dengan ambigu dan nada cabulnya. Aku tidak memberi jeda sampai semua bahan selesai kupaparkan.
Ternyata, bisa serius juga dia.
Aku cukup mengapresiasi ketika Pak Ramos bertanya sesuatu yang memang berhubungan dengan pekerjaan. Akhirnya, meeting itu selesai dalam tiga puluh menit. Alhamdulillah.
“Mari, habiskan rotinya,” ujar Pak Ramos. Beliau tadi memesan roti panggang berbagai rasa, kentang goreng, pisang goreng keju dan coklat juga. Sangat banyak, padahal kami hanya berdua. Untuk menghargai beliau, aku mengambil sepotong roti dan menikmatinya. Tiba-tiba Pak Ramos berkata, “Oh iya, bisa tunjukkan lagi timetable launching iklannya?”
Aku cepat-cepat membuka file di tabletku dan menunjukkan yang beliau minta. Beliau terlihat serius, entah apa yang dipikirkannya. Jadi aku kembali menikmati makananku. Tiba-tiba aku menyadari beliau duduk makin dekat dan makin dekat denganku.
Aku terlonjak saat lutut beliau mengenai pahaku.
“Tolong jaga jarak, Pak,” ujarku dengan nada agak tinggi karena terkejut.
Beberapa orang di meja sekitar kami menatap, lalu kembali melanjutkan urusan mereka masing-masing.
“Lho, kok jaga jarak? Pandemi sudah berlalu, tidak apa-apa, dong, dekat-dekat. Hehehe.”
Aku menatap nanar. Wajahnya tidak menunjukkan rasa malu sedikit pun. Sementara itu, aku merasa sangat tidak nyaman dengan sikapnya.
Aku mengedikkan daguku ke arah tablet. Tidak peduli lagi dengan sopan santun. “Itu ada yang perlu diperjelas lagi, tidak?”
“Yah. Saya rasa… sudah jelas semua.”
“Baik,” ujarku sambil mengatupkan gigi. “Boleh saya minta tablet saya kembali, Pak? Karena sudah sesuai, Bapak tinggal tunggu saja. Progres akan kami laporkan secara berkala.”
Pak Ramos mengulurkan tabletku. Namun, saat aku mengulurkan tangan untuk mengambil tablet itu, dia malah meletakkan tangannya di pergelangan tanganku. Aku tersentak.
“Pak, tolong tangannya dijaga, ya. Saya tidak suka disentuh.”
Aku sadar orang-orang mulai menatap lagi. Kali ini mereka terang-terangan menonton. Wajahku terasa panas. Aku malu sekali. Aku tidak suka jadi tontonan. Lebih baik aku mengakhiri pertemuan ini secepatnya. Namun, rasanya lidahku kelu. Tubuhku terasa kaku. Aku tidak tahu bagaimana menyikapi perlakuan Pak Ramos.
“Lepaskan!” Perintahku dengan gigi terkatup.
“Ayolah, jangan ribut. Dilihat orang-orang, tuh,” ujar Pak Ramos.
Aku melirik ke sekelilingku. Beberapa orang yang bertemu tatap denganku langsung menunduk atau menatap ke arah lain. Sepertinya tidak ada yang mau ikut campur. Aku merasa sangat gelisah, berharap ada seseorang yang menolongku.
“Pak, cukup. Dia tidak mau dipegang-pegang. Lepaskan.”
Suara lantang seorang lelaki membuatku menoleh. Suara itu milih seorang lelaki yang duduk di meja di belakangku. Ada seorang perempuan bersamanya. Mereka berdua menatap ke arah meja kami. Baik lelaki maupun perempuan itu terlihat marah.
“Iya, ganjen banget jadi bapak-bapak. Ingat anak istri di rumah, Pak!” seru si perempuan. Dia melotot kepada Pak Ramos.
Pak Ramos melepaskan tanganku dan dia mengusap wajahnya. Orang-orang diam-diam menonton.
“Ada apa ini, ya?” seorang waiter menghampiri meja kami.
“Bapak itu melakukan pelecehan kepada Mbak itu,” ujar lelaki tadi dengan mantap.
“Apa itu benar?” Tanya waiter itu kepadaku. Aku mengangguk cepat, tidak bisa menggerakkan lidahku untuk menjawab dengan benar.
“Bapak, silakan keluar. Pelaku pelecehan tidak diterima di kafe ini,” ujar waiter tadi tegas.
Pak Ramos merenggut kunci mobilnya dari atas meja dan bergegas pergi. Rupanya punya malu juga dia. Apa harus dikeroyok seperti itu baru malu? Apakah dia tidak malu dengan Allah Yang Maha Melihat?
Tanpa sadar, tanganku gemetar di pangkuanku. Bibirku kering. Aku ketakutan betul. Waiter tadi kembali ke mejaku membawa segelas air dan menyuruhku minum. Waiter itu juga bertanya lebih detail kepada si perempuan yang membelaku.
“Mbak, pulang ke mana? Kami antar, ya. Kami naik mobil tadi,” ujar si perempuan. Aku mengangguk. Setelah membereskan barang-barangku, aku mengikuti perempuan dan laki-laki itu. Kami berjalan beberapa puluh meter untuk mencapai mobil mereka. Aku duduk di bangku belakang sendirian.
“Aku Selma. Ini abangku, Faldo.” Perempuan itu memperkenalkan. Setelah aku memperkenalkan diri dan menyebutkan alamatku, terjadi percakapan singkat di antara kami. Selma berkata, “Aku sudah curiga, tapi gak mau bersikap gegabah. Sejak pertama muncul, aku sendiri sudah kesal dengan candaannya yang sangat menjurus. Ya, aku dengar ucapannya tadi.”
“Iya, Selma. Dia itu klien di tempat kerjaku,” ujarku. Suaraku lemah.
“Lain kali, jangan berduaan saja sama laki-laki gak dikenal,” timpal Faldo. “Banyak laki-laki yang gak bisa jaga mata, jaga sikap.”
“Untung pakaian kamu seperti ini, Elysa,” ujar Selma lagi. “Gak kebayang, kalau kamu berpakaian terbuka, tangannya pasti sudah ke mana-mana, tuh!”
“Makasih, ya, Selma, Mas Faldo. Saya malu banget tadi.”
“Lo? Kenapa malu? Kamu tidak salah. Harusnya pria itu tadi yang merasa malu!”
Aku membiarkan kakak beradik itu mengobrol berdua, mengisi kesunyian, sementara aku memulihkan diri dari syok. Saat mereka menurunkanku di depan rumah kos, aku mengucapkan terima kasih dengan tulus. Entah bagaimana jika tadi mereka tidak menolongku.
Saat bersiap tidur, aku masih memutar ulang kejadian barusan di benakku. Benar kata Selma, untunglah aku mengenakan pakaian yang menutup auratku, karena hal itu menjaga diriku. Juga benar kata Faldo, meski pakaianku sudah tertutup, laki-laki tetaplah harus menjaga pandangan.
Aku teringat pada Kak Maira. Beliau yang mengenalkanku pada hijab. Beliau pernah menjelaskan bahwa aturan-aturan Islam mencegah perbuatan kriminal. Seperti dalam hal interaksi dengan lawan jenis, ada adab-adab yang harus ditegakkan, yang tujuannya untuk melindungi manusia dari potensi kejahatan.
Baik laki-laki maupun perempuan wajib menutup aurat sesuai ketentuan. Bagi perempuan, memang aurat yang harus ditutup lebih banyak, karena perempuan itu pada dasarnya indah dan manusia senang pada hal-hal indah. Kalau perempuan tidak menutup auratnya, akan ada lelaki yang tidak bertanggung jawab yang akan tergoda dan berbuat sesukanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Selain itu, baik laki-laki maupun perempuan beriman juga wajib menjaga pandangan. Kalau menutup aurat itu untuk menjaga diri sendiri, maka menundukkan pandangan adalah untuk menjaga orang lain.
Alhamdulillah. Aku menyadari Allah telah dan masih menjagaku malam ini.