Aku bukan orang yang sebentar-sebentar healing, sebentar-sebentar self-reward. Namun, tak ada salahnya sekali-sekali staycation, ‘kan? Di Bandung. Itulah yang akan kulakukan akhir pekan nanti, insyaallah. Itupun sekalian kerja. Ada job jadi MC di sebuah talkshow hari Sabtu pagi. Jumat sore aku berangkat, nanti pulangnya hari Senin pagi. Sekalian aja lama-lama, gak apa-apa, ‘kan? Biar kayak orang-orang, isi Instagramnya sarapan di hotel, duduk di samping kolam renang, atau nongkrong di kafe dengan pemandangan pegunungan. Gile, keren abis. Padahal kalau dipikir-pikir, jika semua orang postingannya seragam seperti itu, apa yang menjadikannya istimewa, ‘kan? Hahaha.
Yang menjadikannya istimewa, bukan apakah tempat itu bisa dijadikan konten. Yang istimewa adalah kebebasan untuk bisa menikmatinya. Kalau aku staycation, lalu mengkhawatirkan berapa likes atau komentar yang kudapat, justru itu akan merusak ketenangan.
Kamis malam aku mempersiapkan barang-barang yang akan kubawa. Aku akan membawa satu duffle bag dan satu tas tangan saja. Sekarang, yang perlu kupikirkan adalah pakaian apa saja yang perlu kubawa? Pakaian apa yang akan kupakai untuk hari Sabtu pagi? Berapa yang perlu kubawa? Pakaian dalam? Peralatan sanitasi? Mukena? Ini pertama kalinya aku akan pergi sendirian ke luar kota untuk menginap. Eh, bahkan rasanya sudah lama aku dan keluargaku tidak pergi ke luar kota, ya? Aduh, jadi repot begini. Aku takut membawa terlalu banyak barang, tapi juga khawatir kalau tidak cukup.
Berapa kerudung yang perlu kubawa? Apakah aku akan memakai style berhijab akhir pekan ini, atau tidak? Jelas aku akan berhijab saat membawakan acara Sabtu pagi, tapi setelahnya? Membawa beberapa kerudung jelas akan membuat bawaanku tambah berat. Aku memandangi kerudung-kerudung yang sudah kusiapkan di atas tempat tidur, menimbang-nimbang apakah akan kubawa ataukah tidak.
Di tengah kebimbanganku, aku teringat percakapanku dengan teman-temanku sekitar dua minggu yang lalu.
Waktu itu, aku dan teman-teman satu gengku ketika SMA memutuskan untuk bertemu dan saling bertukar cerita. Girls time. Aku, Yasmin, Heni, dan Julia bertemu di sebuah kafe di daerah Tebet. Kebetulan aku yang pertama datang, karena aku suka saja datang lebih awal. Sebagai seorang MC, penting untuk datang tepat waktu, dan itu artinya lebih awal dari yang lain.
“Eh, Erica? Gue lihat tadi dari jauh. Gue kira sama Elysa. Ternyata elo pakai hijab sekarang,” ujar Yasmin begitu datang ke mejaku sebagai sapaan. Yasmin memesan minuman dan kami mengobrol. Kemudian Heni dan Julia datang bersamaan. Mereka juga menanyakan hal yang sama seperti yang dilakukan Yasmin.
Jawabanku juga sama, “Hehe, masih lepas-pasang, kok. Doain aja.”
Aku tidak mau dianggap berbeda hanya karena mengenakan kerudung. Namun, ternyata bukan hanya aku yang memakai kerudung hari itu. Si Julia itu juga berkerudung. Dia pun menceritakan awal mula dia hijrah dan memakai kerudung sejak kuliah. Kami bercerita banyak hal. Memang kami ini kompak sekali, bukan tipe orang yang suka bercerita lewat chat, sukanya ngomong langsung. Kayak sekarang ini!
“Eh, gue ke belakang bentar, ya,” pamit Julia.
Cukup lama Julia pergi. Apakah WC sedang antre? Aku berinisiatif mengecek Julia tapi WC kafe itu dalam keadaan lowong. Saat aku kembali, ternyata Julia sudah ada di meja kami.
“Ke mana lo tadi?” Tembakku.
Dengan entengnya Julia menjawab, “Salat.”
Aku terperangah. Memang, dia sudah memakai kerudung. Seharusnya aku tidak perlu heran kalau dia salat tepat waktu. Hanya saja aku merasa tersinggung karena tidak diajak salat. Apa sih susahnya bilang pada kami bahwa dia mau salat? Siapa tahu kami mau ikut, ‘kan? Tapi yang keluar dari mulutku bukan itu. Kadang-kadang mulutku tidak bisa dikontrol.
“Widih. Tepat waktu banget, Bu. ‘Kan, waktunya masih panjang. Kita nungguin dari tadi.”
Julia menyesap milkshake cokelatnya dengan perlahan. Dia lalu tersenyum. “Ya, maaf. Kalian lagi seru banget tadi ngobrolnya. Sedangkan gue udah biasa salat di awal waktu.”
Heni dan Yasmin menyorakinya. Untungnya Julia tidak ambil hati. Eh, atau sebenarnya dia merasa tidak nyaman diperlakukan seperti itu, ya? Hanya saja dia menyimpannya sendiri. Hati orang mana ada yang tahu. Duh, harus lebih hati-hati bicara, nih. Dasar aku!
“Sekali-kali telat dikit gak papa kali, Jul. Supaya kita-kita ini gak terlalu merasa berdosa, hahaha.” Heni berkata. Kalo ngomong gak mikir dulu tuh anak.
“Ya, gimana, ya. Sudah kebiasaan. Gak enak rasanya kalo menunda-nunda,” jawab Julia kalem. Dia melanjutkan, “Gini, guys, gue menganggap hidayah dari Allah itu istimewa. Hidayah, hadiah. Mirip-mirip, ‘kan? Jadi kalau gue udah dikasih hidayah buat salat tepat waktu, ya gue ngerasa rugi aja kalo ngelepas hidayah itu. Kayak dikasih hadiah spesial, trus gue buang lagi. Padahal yang ngasih hidayah ini Tuhan yang membuat gue bernyawa dan yang memberi gue rezeki sampai hari ini. Malu dong gue. Gak bersyukur!”
“Iya, iya, Bu Ustadzah,” ledek Heni.
Julia lalu menatapku penuh arti. “Begitu pun kerudung, hijab yang gue pake. Ini tuh hidayah alias hadiah dari Allah. Jadi gue gak mau lepas-lepas lagi.”
Aku hanya tersenyum kecil.
Obrolan kami berlanjut membahas banyak hal. Namun, ucapan Julia mengenai hidayah tertancap kuat di pikiranku.
Aku kembali menatap gulungan kerudung di atas tempat tidurku. Yap. Hatiku mantap. Aku akan membawa dan mengenakan kerudung-kerudung itu. Lagi pula, kita tidak tahu kapan usia kita berakhir. Bagaimana jika malaikat maut mencabut nyawaku saat aku sedang dengan sengaja tidak memakai kerudung padahal aku sudah tahu itu kewajibanku? Bukankah itu artinya aku meninggal dalam keadaan sedang menentang Allah? Apa kata Allah nanti? Hiii.
Semua barangku sudah masuk tas, termasuk kerudung-kerudungku.
Baiklah. Bandung, aku datang!