Read More >>"> Ben & Cori (34. Karma? ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Setelah membeli baju couple, lidah Ben seperti terlilit kabel telepon, membuat Ben hanya akan bicara seperlunya. Cori jadi keder. Maka dari itu, ia membawa Ben makan malam sup tulang sapi di Rumah Makan Cirebon supaya mood-nya membaik. Justru setelah kenyang, si tetangga lima langkah makin diam sejuta bahasa bahkan saat si Brio putih sudah di jalan menuju perumahan Nuri 1.

"Bang, kenapa bete terus mukanya? Aku buat salah, ya?" 

Ben menoleh, sedetik kemudian matanya kembali ke jalan. 

"Kamu mau pamer ke Arga kalau udah move on dengan datang ke pesta pernikahan mereka?" tanyanya tiba-tiba.

Aah, masih soal ini. Cori menghela napas lega. Ia pikir soal apa. 

"Iya."

Kening Ben mengusut seketika. "Kamu mau tunjukkin ke dia kalau kamu sudah dapat pengganti dengan memakai baju yang serasi denganku?"

Tanpa merasa bersalah, Cori menjawab, "Tentu."

"Kamu cuma manfaatin aku untuk balas dendam atau semacamnya, kan?"

Cori menyerong, mencari sesuatu pada Ben di temaram mobil. Yang ia dapati buku tangan Ben memutih di setir.

"Astaga. Abang mikir kejauhan. Ya enggak, dong. Untuk apa balas dendam? Nggak ada gunanya."

Ben membuka jendela, menghirup udara malam dan menjernihkan pikirannya dari gagasan menyebalkan: Cori masih menyukai mantannya. 

"Cori, aku nggak mau kamu datang hanya karena mau pamer sudah move on. Kamu pikir aku ikhlas jadi pasangan bohongan kamu ke pesta Riri?" geram Ben.

"Pasangan bohongan?"

"Ya apa lagi kalau bukan bohongan? Sampai detik ini kamu nggak memberiku jawaban apa pun, Cori. Udah seminggu kamu buat aku frustasi menunggu tanpa kejelasan!"

Cori hendak menjawab, tapi pertengkaran kecil ini diinterupsi getar ponsel Ben. Tanpa berpikir lama, ia membawa si Brio putih ke bahu jalan. Ben menarik tuas rem tangan.

"Papa nelepon?" tanya Ben. Dua manusia itu saling melempar tatapan penuh tanda tanya.

"Jawab, gih."

Ben mengangguk.

"Halo, Pa."

Cori mengulum senyum. Entah sejak kapan pria ini mengganti panggilan om menjadi papa pada papanya. Anehnya, ia menyukainya. 

"Ben, masih sama Cori?" tanya Sudjana to the point. 

"Masih, Pa. Kami lagi di jalan mau pulang. Ada apa, Pa?"

"Hati-hati nyetirnya. Antar anak Papa pulang selamat sampai rumah."

"Baik, Pa."

"Walaupun Cori sudah memutuskan untuk menerima kamu sebagai calon suami, tapi kalian belum menikah. Jangan berbuat macam-macam kalau belum halal!" peringat Sudjana.

Mata Ben membelalak. Berita ini membuat jantungnya berdebar kencang. Ia langsung mencari bola mata Gadis Ketumbarnya. 

"Jadi lamaran Ben sudah diterima, Pa?" tanya Ben, tapi matanya tak berpaling dari gadis yang sedang tersenyum lebar padanya. Ben seketika mengambil tangan Cori dan menyelipkan jemarinya di antara jemari Cori.

"Bang!" desis Cori kaget. Tangannya dipenjara dengan genggaman yang amat kuat, membuatnya tak bisa ke mana-mana, dan membuat jantungnya berdebar semena-mena.

"Lho, Cori belum cerita, tho? Gimana sih, kalian? Komunikasi itu penting. Masa hal sebesar ini nggak dibicarakan dengan terbuka? Nanti Papa tatar anak itu."

Tangannya yang bertaut dibawa ke dada Ben. Kencangnya detak jantung Ben merambat ke kulit tangannya. Ah, jantung Cori ikut-ikutan berdebar kuat. 

"Mungkin Cori memang belum kasih tahu Ben, Pa." Wajah Ben rileks serileks-rileksnya. Ben tak berniat menahan senyum dan mengerling pada si Gadis Ketumbar.

"Jadi Ben, tolong jaga anak Papa, ya?"

"Baik, Pa."

"Papa minta nggak boleh lama-lama ya, Ben. Lebih baik disegerakan nikahnya. Nggak bagus pacaran lama-lama sementara kalian belum sah di mata agama dan hukum."

"Baik, Pa. Akan Ben bicarakan dengan Cori dan keluarga Ben."

"Bagus."

Dan lima menit setelah dua laki-laki itu bicara, sambungan telepon berakhir dengan senyum mengambang di bibirnya.

"Cori..."

"Ya?"

"Kamu itu ya!"

Cori tertawa lepas. Dan tawa itu menular bagai virus membuat Ben ikut tertawa di sampingnya.

Sambil mengeratkan genggamannya, Ben berkata, "Terima kasih."

Si Gadis Ketumbar mengangguk.

"Jadi Abang percaya kan, kalau kita bukan pasangan bohongan? Soalnya aku memang mau pamer ke seluruh dunia bahwa sekarang aku adalah calon istri Benjamin Malik Adriansyah."

Ben membawa punggung tangan kekasihnya ke bibirnya dan membiarkannya di sana selama beberapa detik.

Kalau nasibnya sudah jelas begini, ngambek tadi terasa sia-sia. Ah, Ben jadi malu. Namun, tetap ada satu hal yang mengganjal pikirannya. 

"Coriander." 

"Apa, Abang?"

"Mengenai undangan Arga."

"Kenapa?"

"Jangan datang kalau niatnya hanya mau tunjukin 'sesuatu' ke Arga," tuturnya lebih lembut. Ben pastikan kali ini tidak ada emosi. Ia hanya ingin setiap keputusan Cori diambil dengan kepala dingin. 

"Sejujurnya, ide membeli baju couple demi pamer ke Mas Arga memang ... sedikit gegabah." Cori menggigit bibir bawahnya. 

Bukannya merespon Cori, tangan Ben yang bebas menjulur, mendekati wajah si kekasih yang sedang merasa bersalah. 

"Kan udah Abang bilang, jangan gigit bibir kamu."

Sentuhan itu ringan. Hanya seujung ibu jari Ben di bibir bawahnya. Suaranya bertambah serak dan mata Ben yang melegam hitam hanya fokus padanya. Apalagi saat Ben mulai memanggil dirinya ‘abang’. Semua itu sudah cukup membuat Cori meremang panas dingin.

"A-Abang..."

Detik berikutnya, seseorang beristigfar. Ben pelakunya. 

"Sial. Sial!" desisnya sambil menarik diri dari si kekasih. Ia meremas setir kuat-kuat. 

"Jadi, bagaimana dengan undangan Arga?" Ben mengalihkan pikirannya yang mulai 'ke mana-mana'.  

"A-aku nggak akan datang ke nikahan Mas Arga," jawabnya seperti robot rusak.

"Ya. Begitu lebih baik. Kita pulang. Sekarang!" Buru-buru Ben hidupkan mesin si Brio putih. "Bahaya lama-lama berdua dengan kamu di sini, Gadis Ketumbar," bisiknya untuk diri sendiri. 

***

Ben sepertinya kapok telah melampaui batas yang telah ia buat sendiri. Semua gara-gara Cori. Maksudnya gara-gara bibirnya yang lembut dan penuh yang membuatnya hampir kehilangan akal sehat. 

Demi Tuhan. Cori sudah menerima lamarannya. Hanya tinggal sejengkal lagi untuk mendapatkannya secara utuh. Dan Ben hampir tidak bisa menahan diri malam itu. 

Sekarang, ia harus menahan diri lagi untuk tidak memperhatikan lekat-lekat bagaimana menggemaskannya bibir Cori saat menyeruput mi Bakso Lapangan Tembak Senayan di Mega Mall.

"Bang, pesen bakso penyet juga, ya?"

"A-apa?" Kesenangannya terinterupsi. Untung Cori yang melakukannya, jadi ia tidak akan marah. 

"Aku bilang, pesen bakso penyet. Oh,  satu lagi. Mi goreng Jawa."

"Nanti nggak habis."

"Kan ada Abang yang bakal ngabisin." Cori menyeringai tak bersalah. 

"Cori, Cori."  Ben mengucek kepala kekasihnya gemas. "Ya Udah. Abang pesenin."

Belum jadi Ben memanggil pelayan, seorang ibu-ibu paruh baya terkesiap tepat di depan meja Cori dan Ben. Dua sejoli yang sedang dimabuk cinta ini terdiam sejenak. 

"Cori?"

Yang dipanggil berdiri terperanjat dan segera berdiri. "Mama?" Cori keluar dari kursinya demi menghormati mantan calon mertuanya. 

Mama Arga memberikan pelukan erat beserta elusan di punggung Cori, seakan elusan itu untuk anaknya sendiri.

Cori memeluknya tak kalah erat. Ternyata ia masih merindukan pelukan ini. Mama Arga telah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri, itu sebabnya masih ada perasaan sentimentil saat perempuan tua itu merengkuhnya.

"Mama apa kabar? Mama dan Papa sehat, kan?" Cori menarik tubuhnya tanpa benar-benar melepas diri. Ini bukan pertanyaan basa basi, melainkan bentuk rindu seorang anak karena putusnya komunikasi di antara mereka.

"Ya, sehatnya orang tua. Papa tuh, kada suka lupa minum obat tensinya. Tahu-tahu pusing karena tensi tinggi."

"Nanti Cori bakal telepon Papa buat ingetin beliau."

"Cori..."

Ah, Cori tak suka bila mama Arga memberikannya tatapan iba.

“Cori bahagia, Ma. Jangan khawatir,” jawabnya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. 

"Tapi perpisahan kalian ... Mama yakin bukan dengan cara baik-baik."

Jangan-jangan akting Cori gagal waktu itu. Diam-diam Cori meringis.

"Mama ... minta maaf ya, Cori," ucapnya menyesal.

"Buat apa Mama minta maaf? Ini yang namanya enggak jodoh, Ma."

Ben benar-benar lega, sebab tak sedikit pun ucapan Cori yang terdengar seperti lip service demi menyenangkan ibu itu. Dan yang lebih melegakan lagi adalah, Cori miliknya.

"Dengar, Nak. Mama dan Papa tidak pernah mempermasalahkan latar belakang kelahiranmu. Itu anak yang tiba-tiba buat alasan takut kami malu karena kamu," imbuh mama Arga.

"Gimana, Ma?!" Cori kaget bukan kepalang. Tak hanya Cori yang kaget, Ben juga.

"Dia tiba-tiba bilang kalian sudah putus, terus bawa Riri ke rumah. Justru kelakuan dia dan Riri yang bikin kami malu," keluhnya.

"Oh, ya?" Tak tahu Cori harus berkata apa.

"Atas nama Arga, Mama minta maaf, ya?"

"Ma..." Cori panik, dan meminta bantuan pada lelakinya. "Mama jangan terbebani dengan pisahnya kami. Dulu Cori memang kecewa dengan hubungan kami yang kandas di tengah jalan, tapi kalau sudah takdir, pasti itu yang terbaik bagi kami. Mama jangan khawatir lagi, ya?"

"Tapi Nak, Mama dan Papa merasa bersalah. Sangat."

Ben berdiri dan ikut bersisian dengan kekasihnya. "Ma, seperti yang Cori bilang tadi, Cori sudah bahagia, Ma. Bersama Abang. Dia ... calon Cori."

"Calon ... Cori?"

Dengan kesatrianya, Ben memperkenalkan diri sebagai calon suami Cori.

Mama Arga tersenyum pasrah dan mengelus lengan mantan calon menantunya. "Mama cuma bisa bilang semoga kamu langgeng dengan Ben."

"Mama..." Tak ayal Cori kembali memeluk mama Arga erat. "Makasih, Ma."

Ben meraup tangan kekasihnya diam-diam dan menggenggamnya erat. Ia hanya ingin Cori tahu bahwa Ben akan selalu ada untuknya.

"Sabeniiii," teriak Riri. Ben balas melambai.

"Sabeni?" gumam Cori. Tapi masih terdengar oleh Ben.

"Sabeni nama panggilan teman-teman SMA Abang," bisik Ben.

Ben dan Cori disambut pemandangan seorang wanita cantik yang sedang berjalan hati-hati memegangi perutnya yang menggelembung.

"Cori. Ben. Kangen kalian." Ketiga alumni SMA itu saling melepas rindu.

"Mana Mas Arga, Kak?"

"Dia lagi sama papaku, lagi sibuk sama mobil yang dipajang di lobi. Papa mau beli, katanya."

Ben dan Cori diam-diam saling lirik. Ben tahu apa yang ada di dalam pikiran kekasihnya.

"Sehat terus ya, bumil. Udah berapa bulan, Kak?" Cori membelai lembut perut kakak kelasnya.

"Mau jalan 6 bulan," ujarnya malu-malu.

Kalkulator di kepala Cori seketika bekerja.

***

Ben tak pernah melepas genggaman tangannya semenjak mereka meninggalkan restoran bakso Senayan. Ia merasa harus berada di sisi Cori dan memberi dukungan apabila diperlukan.

"Bang, apa Kak Riri tahu aku dan Mas Arga pernah bersama?" Mereka berjalan seperti siput menuju bioskop XXI.

"Dia enggak tahu."

"Syukurlah."

"Abang ... enggak akan meninggalkan aku seperti Mas Arga, kan?" mohon Cori dalam bisiknya yang putus asa.

Terpaksa Ben berhenti mengayun kaki. Ia menoleh tak terima.

"Tentu tidak, Cori!"

Apa balasan yang Ben dapat? Satu elusan singkat mendarat di garis rahangnya, membuat Ben tidak bisa berpikir jernih. Bukan, bukan. Pikiran Ben kosong gara-gara sentuhan tadi!

"Terima kasih, Abangnya Cori."

Senyuman menenangkan Cori tidak mampu meredam debar jantungnya yang sudah dibuat kocar kacir gara-gara sentuhan kecil tadi.

"Bang, bukannya Kak Riri menikah tiga bulan yang lalu?" Pertanyaan ini akhirnya keluar juga dari kepalanya.

Ben mengangguk. "Ingat kan, aku pernah bilang bahwa semua asumsi kamu salah besar. Kamu nggak akan pernah menyesal Arga meninggalkan kamu demi Riri karena—"

Cori terkesiap. "Oh, Tuhan."

Sekali lagi Ben mengangguk. "Riri sudah mengaku dia khilaf. Nggak tahu suaminya." Ben mengangkat bahunya.

Mungkin ini sebabnya Tuhan memisahkan mereka. Antara lega dan kesal. Lega karena ia tidak jadi berakhir dengan pria bejat dan berengsek. Kesal karena, ia sendiri pernah menjalin hubungan dengan pria macam itu.

"Apa karma itu beneran ada?" Cori kembali mengajak Ben berjalan dan mengalungkan lengannya ke lengan Ben. "Anak mereka nanti..." Dia sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.

“Entahlah. Terkadang Tuhan sering memperlihatkan balasan atas perbuatan makhluk-Nya langsung di dunia.”

"Bang."

"Hm?"

"Kok jadi pengen makan yang manis dan dingin?"

Hari ini terlalu banyak informasi yang mesti ia cerna. Cori ingin mendinginkan kepalanya sekaligus perutnya.

Ben tergelak. "Mau makan apa dan di mana?"

"Ke Es Teler 77, yuk? Nontonnya nanti aja."

"Your wish is my command, Coriander."

***

"Eeeh? Yang tadi itu bukannya Pak Malik sama Cori? Itu kenapa tangan mereka gandengan? Mereka berdua ... pacaran?"

Bersambung


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gerhana di Atas Istana
14222      4687     2     
Romance
Surya memaksa untuk menumpahkan secara semenamena ragam sajak di atas kertas yang akan dikumpulkannya sebagai janji untuk bulan yang ingin ditepatinya kado untuk siapa pun yang bertambah umur pada tahun ini
"Sparkle"
363      246     1     
Short Story
I stared in anguish as he stumbled in. The smell of alcohol and peculiar smell reeking his clothes. I had enough of all of this. I first just let that slip away because I knew deep down he still loved me but now he was driving me insane with his habits. He didn’t only flirt with but he slept with them, drinking jugs of alcohol until he was sober. He would disburse all my money for stinking tho...
Sekotor itukah Aku
19913      3165     5     
Romance
Dia adalah Zahra Affianisha. Mereka biasa memanggilnya Zahra. Seorang gadis dengan wajah cantik dan fisik yang sempurna ini baru saja menginjakkan kakinya di dunia SMA. Dengan fisik sempurna dan terlahir dari keluarga berada tak jarang membuat orang orang disekeliling nya merasa kagum dan iri di saat yang bersamaan. Apalagi ia terlahir dalam keluarga penganut islam yang kaffah membuat orang semak...
Ghea
429      277     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Friday Night Murder
436      294     10     
Short Story
Menceritakan malam valentine mencekam seorang lelaki yang sedang mengunjungi sang kekasih di rumahnya. Sang kekasih pun galau menghadapi kenyataan yang ada.
Seseorang Bernama Bintang Itu
477      327     5     
Short Story
Ketika cinta tak melulu berbicara tentang sepasang manusia, akankah ada rasa yang disesalkan?
Bilik Hidup
591      390     0     
Short Story
Malam itu aku mabuk berat usai menenggak sebotol vodka dan tempe mendoan. Bersama teman lamaku, aku bercinta dengan seorang gadis yang pernah kutemui beberapa waktu silam.
Hidup Lurus dengan Tulus
129      119     4     
Non Fiction
Kisah epik tentang penaklukan Gunung Everest, tertinggi di dunia, menjadi latar belakang untuk mengeksplorasi makna kepemimpinan yang tulus dan pengorbanan. Edmund Hillary dan Tenzing Norgay, dalam ekspedisi tahun 1953, berhasil mencapai puncak setelah banyak kegagalan sebelumnya. Meskipun Hillary mencatatkan dirinya sebagai orang pertama yang mencapai puncak, peran Tenzing sebagai pemandu dan pe...
The Tournament
490      301     1     
Short Story
it just takes one tournament to change it all
Desire Of The Star
1015      691     4     
Romance
Seorang pria bernama Mahesa Bintang yang hidup dalam keluarga supportif dan harmonis, pendidikan yang baik serta hubungan pertemanan yang baik. Kehidupan Mahesa sibuk dengan perkuliahannya di bidang seni dimana menjadi seniman adalah cita-citanya sejak kecil. Keinginannya cukup sederhana, dari dulu ia ingin sekali mempunyai galeri seni sendiri dan mengadakan pameran seni. Kehidupan Mahesa yang si...