Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

"Sumpah! Dia maunya apa, sih?" dumelnya ngos-ngosan. Ternyata kesalnya tidak mau hilang. Padahal hari sudah berganti semenjak undangan itu datang ke kantornya.

Bukan hanya karena undangan saja Cori sebal, tapi juga gara-gara selembar surat bertulisan tangan Arga yang terselip di dalam amplop. 

Bunyinya begini. 

Dear, Cori. 

Kamu pasti kesal dengan undangan pernikahan Mas, tapi kamu harus tahu bahwa pernikahan Mas dengan Riri nggak mengubah perasaan sayang Mas ke kamu. Mas memang pernah mencintai kamu, tapi nggak akan pernah berhenti menyayangi kamu. You know,  I'll never forget our fantastic days together. 

Terakhir, Mas tulus minta maaf. Please, forgive me.

PS. Datanglah ke pernikahan Mas, untuk menunjukkan kamu nggak marah sama Mas. 

Arga. 

By the way, Cori langsung membuat surat itu menjadi bola dan melemparnya ke tong sampah sedetik setelah ia membacanya. 

"Kamu mau memenuhi permintaan dia?" tanya Ben kalem.

"Ya enggaklah! Buat apa? Nggak ada gunanya aku datang!"

Hidung Cori sampai kembang kempis seperti banteng siap seruduk!

"Kamu ... masih suka si berengsek itu?" tanya Ben pelan.

"Aku? Tentu saja enggak, Abang."

Cori berjalan merentak mendahului Ben dengan cepat. Tak sadar kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya dan napasnya memburu. Padahal mereka baru menapaki aspal Kompleks Nuri 1 sepuluh menit yang lalu saat masih matahari malu-malu menyinari bumi. 

Jalan pagi ini diprakarsai Ben meskipun tadinya Cori menolak dengan rupa-rupa alasan, seperti mencuci baju, setrikaan menggunung, sampai mau memasak rendang. Tapi kemampuan persuasi Ben begitu mumpuni sehingga membuat Cori mengiyakan 'permohonan konyol' Ben untuk menemaninya olahraga pagi. Kompensasi karena telah mengambil waktu pagi berharga Cori adalah ia harus mau menuruti semua keinginan si Gadis Ketumbar. 

Untuk Cori, apa sih yang enggak? ucapnya enteng dalam hati.

Dan ternyata, ia mendapati tetangga nomor limanya mengomel tiada henti sejak keluar dari Kluster Kepodang. Salah sendiri, Ben mengungkit perkara undangan pernikahan mantan kekasihnya!

Ben mulai ketar-ketir. Gundah menyapa kalbu. Keinginan untuk membakar kalori dengan berlari sudah menguap dari tubuhnya oleh sebab bayang-bayang mantan si calon kekasih seakan masih belum menyingkir sempurna.

Cori terus berjalan hingga pada satu titik ia menyadari Ben tak lagi berada di sisinya. Dan betapa terkejutnya Cori ketika berbalik badan, ia mendapati si tetangga 5 langkah terlihat seperti kehilangan roh. Yang dilakukan selanjutnya adalah mempersingkat jarak di antara mereka hingga hanya sejauh satu hasta.

"Abang kenapa jalannya kayak siput? Katanya mau lari pagi. Aku udah bela-belain keluar dari selimut di hari sabtu yang berharga ini."

"Kamu marah, si berengsek itu menikah dengan Riri?"

Cori mengernyit pertanyaannya tak digubris. "Enggak."

“Lalu, kenapa sejak tadi uring-uringan, Cori? Kamu bikin aku over thinking! Jangan-jangan kamu masih menyukai dia."

Si Gadis Ketumbar melipat bibirnya. Bukannya apa-apa, ia hanya tidak mau tertawa di depan Ben karena wajahnya begitu ... menggemaskan kalau sedang cemberut. 

“Aku uring-uringan karena Mas Arga nekat kirimin aku undangan. Padahal aku udah mewanti-wanti dia untuk enggak menghubungiku untuk alasan apa pun. Dan enggak. Aku udah mati rasa sama dia.”

"Benar?"

"Hm-m." Gadis itu mengangguk yakin.

Ben menghembuskan napas lega.

"Memangnya kenapa, sih? Kok tegang gitu mukanya?"

"Aku pikir kamu masih belum bisa melupakan Arga." Suaranya tercekat. Dan percayalah, Ben telah kehilangan aura seorang auditor yang tegas, percaya diri, dan mengintimidasi.

Sebuah senyum tipis mendahului suaranya, kemudian Cori berkata, "Well, aku memang belum bisa melupakan Mas Arga sepenuhnya."

"Cori..." Wajahnya memelas kasihan. Nyawa Ben lagi-lagi berada di ujung tanduk.

"Tapi..."

"Tapi?" Ben membeo.

"Tapi bukan berarti aku belum move on dari dia. Aku hanya enggak bisa melupakan kebohongannya. Rasanya masih sakit di sini." Ia menunjuk dadanya sambil mengangkat bahunya ringan. "Kalau Mas Arga nggak mau melanjutkan hubungan kami, dia nggak perlu membuatku terus menumpuk harapan untuk membangun sebuah keluarga bahagia. Kenapa harus berbohong? Kenapa dia nggak melepaskan aku sejak awal? Aku beneran sakit hati dibohongi orang-orang yang telah aku beri cinta dan sayangku yang tulus."

"Maaf. Aku egois nggak mikirin perasaan kamu."

"Nggak apa-apa. Aku hanya masih penasaran dengan isi kepalanya. Mengapa Mas Arga sampai selingkuh? Apa menurut dia aku nggak cantik? Apa karena aku gemuk? Atau karena ... status nasabku?"

"Cantik hanya masalah persepsi. Kamu. Wanita. Cantik. Coriander. Aku jamin itu!" Ben bersikeras. 

Cori terkekeh. "Makasih, Abang."

"Dan dia manusia picik kalau menilai kamu karena masa lalumu."

Cori diam-diam terharu. Pria di depannya terlihat seperti pahlawan berkuda putih yang akan melakukan apapun untuknya.

"Terima kasih juga karena telah menghargaiku sedemikian tinggi."

Ben melangkah sekali hingga mereka makin tak berjarak. "Kamu tahu? Segala hal tentang kamu dan Arga bikin aku nggak bisa berpikir jernih, Cori. Aku harap kamu ngerti posisiku."

Cori kini tersenyum sedikit lebih lebar. Ia menepuk lengan Ben yang sekal.

"Mungkin karena Abang belum sarapan. Makan bubur ayam di gerobak Mang Sutisna yang di ujung kompleks, yuk?"

Pada gerbang kedua Kompleks Nuri 1, ada sebuah sudut yang digunakan para pedagang sarapan menjajakan makanannya. Segala jenis menu khas sarapan pagi ada di sini, walaupun tidak selengkap sarapan di Pasar Mega Legenda. Dan ke sinilah Cori membawa Ben makan bubur ayam. 

Niat lari pagi benar-benar hilang. Kepalanya sudah cukup pusing karena seenaknya saja menyimpulkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya. Ilmu sebagai auditor yang berbicara dengan fakta, analisis, dan bukti tidak terpakai sama sekali pada urusan percintaan. Ben benar-benar tenggelam dalam pusaran tak berujung bernama romantika.

Pria itu mendengkus mengingat semua tindakan tidak masuk akalnya sejak tadi sambil mengaduk sambal dan toping si bubur ayam sampai tercampur rata.

"Lho, kok diaduk?! Mana enak?" protes Cori.

"Supaya semua bumbu, sambal, dan toping bisa langsung aku nikmati dalam sekali suap."

"Kalau diaduk, bentukannya udah nggak beres, Abang."

"Yang penting rasa, Coriander."

"Tapi kita nggak akan bisa menikmati rasa berbeda setiap jenis toping-nya."

"Lha, kalau sudah sampai di dalam perut—,"

"Stooop!" sergah si Gadis Ketumbar cepat-cepat. "Aku mau makan dengan tenang. Abang nggak perlu jelasin dengan detail!"

Kekehan dan tawa teredam mulai bergumam di tenda biru Mang Sutisna. Drama picisan tadi menjadi tontonan gratis pelanggan bubur ayam yang datang dan pergi.

"Iiih, kan malu," bisik Cori di dalam mangkuk buburnya.

"Kan kamu yang protes barusan," balas Ben tak kalah lirih.

"Mau diaduk atau enggak, belinya tetep di tempat Mamang yah, Neng." Mang Sutisna tak tahan ingin turun tangan.

"Selalu atuh, Mang," timpal Cori meringis malu.

Setelah menyelesaikan drama bubur ayam, Ben mengajak Cori duduk di bawah pohon ketapang sambil menyeruput jus dingin segar dan sebungkus jajanan cilor pedas. Masih di Kompleks Nuri 1.

"Aku penasaran, sudah berapa lama ya, Mas Arga dan Kak Riri bersama?" tanya Cori sambil mengunyah olahan si aci kenyal. Tatapannya menerawang pada langit pagi yang sepertinya sedang malas mengeluarkan sinar matahari.

"Dua tahun."

"Kok Abang tahu?"

Respon Cori terlalu tenang, pikir Ben.

"Kebetulan aku teleponan dengan Riri. Sambil kasih selamat."

"Abang nggak bikin mereka putus, kan?"

"Kenapa aku harus melakukannya?"

Nada suara Ben sangat tidak terima. Cori maklum, kok. Secara, mereka berdua sohib sejak SMA sampai sekarang.

"Yaaa, mana tahu Abang mau jadi pahlawan kesiangan dan ingin menyelamatkan teman Abang dari orang macam Mas Arga, lalu mendongengkan kebodohan hubungan menyebalkan kami."

Ben tertawa kecil. "Percaya atau tidak, aku hampir menceritakannya pada Riri. Tapi sebelum aku mengatakannya, Riri justru memberiku sebuah cerita yang jauh lebih menarik."

"Apa itu?" Cori bahan tidak menyembunyikan keingintahuannya. 

Ben memutar tubuhnya dan menghadap Cori sepenuhnya. Cori membeo sehingga lutut mereka pun beradu.

"Maaf." Ben menggeleng pelan. "Itu bukan cerita yang menyenangkan, juga bukan cerita yang membahagiakan yang bisa aku bagi sembarangan. Tapi aku pastikan, kamu nggak akan pernah menyesal Arga meninggalkan kamu demi Riri. Waktu saja yang akan membuktikannya. Tuhan sepertinya lebih sayang kamu dan lebih tahu wanita baik-baik seperti kamu nggak pantas bersanding dengan pria berengsek macam dia. God, dia benar-benar berengsek kurang ajar!" geram Ben.

"Bang, sejujurnya aku nggak ngerti Abang ngomong apa," akunya.

Spontan Ben tertawa lepas, membuat beberapa perempuan muda yang sedang lewat menoleh ke arahnya. Terpesona lebih tepatnya pada tawa Ben. Efek itu sebenarnya juga berlaku pada Cori. Sebab, dadanya berdebar liar gara-gara tawa tadi, sampai membuat Cori melupakan cerita Ben yang sok misterius.

Setelah tawa Ben reda, gadis itu berkata, "Kalau begitu, sore ini kita harus mempersiapkan diri sebelum mendatangi pesta pernikahan mereka."

"Lho, kok? Bukannya tadi nggak mau pergi?" Ben terkaget-kaget. Perubahan emosi Cori seperti gelombang longitudinal: naik turun. "Kamu ... yakin?"

"Seratus ... bukan," ralatnya. "Seribu persen yakin!"

***

Ben tidak menyangka persiapan yang dimaksud oleh Cori adalah mengelilingi mal Nagoya Hill berjam-jam hanya untuk mencari baju couple!

"Abang udah janji lho untuk menuruti semua keinginanku."

"Tapi nggak beli baju couple juga, Cori."

"Emang Abang nggak mau couple-an sama aku?"

"Ya mau. Tapi—"

"Bagus nggak?" potong Cori. Ia tidak peduli kegundahan Ben dan melanjutkan mematut-matut sebuah rok floral sebetis berbahan katun.

“Hm, bagus." Suaranya begitu datar. 

"Berarti nggak bagus," simpulnya cepat. Cori kemudian mengeluarkan rok batik bercorak mega mendung. "Yang ini?"

"Bagaimana kalau ini?" Ben mengeluarkan rok batik biru dongker dengan motif bambu dan burung merak. "Batik Pring Sedapur dari Magetan. Aku punya kemeja batik yang sama."

"Ya udah. Ini aja!" Cori tersenyum lebar sampai-sampai matanya menghilang saking senangnya.

"Cori, Cori," gumamnya mengikuti tetangga spesialnya ke kasir. Tapi tetap saja, Ben tidak bisa lepas dari penyakit over thinking-nya.

Ben berpikir, ada yang tidak beres dengan perubahan suasana hati si Gadis Ketumbar. 

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tanah Gersang yang Tak Terjangkau oleh Waktu
782      448     3     
Science Fiction
-||Undetermined : Divine Ascension||- Pada sebuah dunia yang terdominasi oleh android, robot robot yang menyerupai manusia, tumbuhlah dua faksi besar yang bernama Artificial Creationists(ArC) dan Tellus Vasator(TeV) yang sama sama berperang memperebutkan dunia untuk memenuhi tujuannya. Konflik dua faksi tersebut masih berlangsung setelah bertahun tahun lamanya. Saat ini pertempuran pertempuran m...
FAYENA (Menentukan Takdir)
355      260     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
THE QUEEN OF ROBOT : ZEIT
997      518     2     
Science Fiction
Cling...Tar....' Sebuah pistol laser lurus menempak tepat diwajah sang Ratu, membuat separuh bagian tengkorak kepala yang terbuat dari besi dan metal terlihat dengan jelas. Zeit meluruskan kepalanya dan bibirnya tercengir sinis, "Apa yang kau lakukan Zack?" tukasnya menantang. Partikel nano kembali beterbangan menutup lubang bekas tembakan yang mengenai wajahnya. "Kau lihat ...
Simbiosis Mutualisme
306      203     2     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.
D.R
521      361     0     
Short Story
Dia. Aku menyukai salah satu huruf di antaranya.
Cinta Tak Terduga
5194      1646     8     
Romance
Setelah pertemuan pertama mereka yang berawal dari tugas ujian praktek mata pelajaran Bahasa Indonesia di bulan Maret, Ayudia dapat mendengar suara pertama Tiyo, dan menatap mata indah miliknya. Dia adalah lelaki yang berhasil membuat Ayudia terkagum-kagum hanya dengan waktu yang singkat, dan setelah itupun pertemanan mereka berjalan dengan baik. Lama kelamaan setelah banyak menghabiskan waktu...
Dissociative Identity Disorder
560      313     2     
Short Story
Melanie pindah ke luar kota karena harus melanjutkan studi di kota tersebut. Di sanalah Melanie bertemu dan berkenalan dengan seorang pria. Bukan pria biasa, melainkan pria yang ditakuti oleh semua orang. Namun, Melanie justru tertarik padanya. Begitupun sebaliknya. Namun, ada sesuatu yang tidak diketahui oleh semua orang, yang akan membahayakan Melanie jika terlibat lebih dalam lagi dengannya…
Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
3666      1395     3     
Inspirational
Ini bukan kisah roman picisan yang berawal dari benci menjadi cinta. Bukan pula kisah geng motor dan antek-anteknya. Ini hanya kisah tentang Surya bersaudara yang tertatih dalam hidupnya. Tentang janji yang diingkari. Penantian yang tak berarti. Persaudaraan yang tak pernah mati. Dan mimpi-mimpi yang dipaksa gugur demi mimpi yang lebih pasti. Ini tentang mereka.
Menjadi Aku
412      323     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
576      323     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...