Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Apa isi kepala Ben sebenarnya? Gara-gara pertanyaan itu, Cori tidak fokus bekerja menunggu kedatangan Ben dari Natuna. 

Semalam Cori mendadak cengeng setelah mengatakan kejujuran mengenai dirinya. Bagaimana Ben menanggapinya? Ben tidak mengeluarkan sepatah kata pun, seakan memberi waktu sampai tangis Cori reda, lalu ia berkata:

"Aku enggak tahu apa yang telah kamu lalui hari ini. Sepertinya emosi sedang menguasi kamu, Coriander. Tenangkan diri, minta kesabaran dan keikhlasan pada Tuhan karena Dia yang Maha membolak-balikkan hati kita. Karena, apa pun yang akan aku katakan malam ini, mungkin kamu enggak mau percaya dan enggak mau mendengarnya. Tidurlah lebih cepat. Besok kita akan bicara lagi. Tunggu aku. Mengerti?"

Senggolan di lengan membuat Cori terperanjat di kursinya dan memutus lamunnya.

"Jangan ngagetin, Winnie."

"Kakak itu ngelamun sejak tadi pagi. Udah siang lho, ini. Udah sampai mana khayalan lo, Kak?"

Cori mendecih kecil. "Lagi banyak pikiran aja." Cori melambai tangannya malas.

"Mikirin si Latoh Silong, yaaa?" goda Winnie. 

Daripada menjawab pertanyaan Winnie, Cori lebih penasaran dengan satu hal. "Emang latoh silong apa sih, Win?"

"Itu lho kak, sejenis rumput laut yang bentuknya kayak anggur, tapi anggurnya kecil-kecil segede biji ketumbar. Warnanya hijau segar."

"Maksud lo anggur laut?"

"Nah!" Cori sampai kaget. "Bener banget. Jadi Kak, latoh silong itu..."

"Ya?"

"Asalnya dari..." Winnie sok-sokan misterius.

"Dari?"

"Na-tu-na."

"Aaah!" Cori menjentikkan jarinya. Jadi Abang mau ajak aku makan rumput laut? pikirnya. "Latong silong itu makanan khas Natuna ya ... Pantas aja ...."

"Hm?" gumam Winnie curiga.

"Lupakan," tutur Cori cepat-cepat.

"Jadi bener kan, lo lagi mikirin si Latoh Silong?" tembak Winnie tanpa ba bi bu lagi.

"Apa sih, Win? Gue lagi mikirin cuti yang masih full dua belas hari bakal gue habisin untuk apa," ucap Cori asal.

"Ya udah sih, habisin aja cuti lo buat makan latoh silong noh, langsung ke Natuna. Deket ini," ucap Winnie enteng.

"Winnie!"

Si kasir malah terbahak-bahak. Untung nasabah sedang tidak ada. Habisnya, kulit wajah Cori yang putih langsung semerah semangka. Dia lebih memilih mengerjakan laporan di buku manual.

Latoh silong sialan! kutuk Cori di kepalanya

"Kak, Kak!" Winnie mengguncang bahu partner-nya kencang-kencang.

"Apa, Win?" jawab  Cori tanpa menoleh.

"Itu!"

"Apaan, sih?" Kapok diledek Winnie lagi, Cori memilih masa bodo dan melanjutkan apa yang tertunda beberapa detik yang lalu.

"Si Latoh Silong jalan ke sini, Kak!" desis Winnie.

"Lo jangan becandain gue."

"Ah, elah. Beneran, Kakak zheyenk. Ituuu!" gemas Winnie.

Tepat saat Cori memutar kepalanya menuju arah telunjuk Winnie, seorang pria tampan bertopi baseball dengan baju kemeja kotak-kotak, celana denim biru muda, dan sepatu kets yang mengisi kepalanya seharian ini masuk ke ruangan pelayanan. Pria itu tersenyum lebar kepadanya.

Spontan Cori berdiri dari kursi. "Pak Malik kenapa masuk kantor?" tanya Cori. Keningnya mengernyit heran. "Bukannya hari ini libur? Pak Malik baru landing..." Cori melihat jam di dinding. "sejam yang lalu, kan?"

Sedetik kemudian Cori mengumpat pelan atas informasi yang berlebihan ini. Sudah bisa dipastikan ia akan jadi bulan-bulanan si kasir rese tapi kesayangan.

"Mau nge-drop oleh-oleh buat kru cabang aja. Aku ditunggu taksi di depan."

Ben meletakkan banyak kantong plastik di meja bagian belakang. Langsung dong, diserbu Winnie dan Gusti.

Ketika kantong oleh-oleh sedang dibongkar muat, diam-diam Ben meletakkan satu bungkus coklat di meja Cori dan berbisik di telinganya, "Bagus untuk naikin mood. Tapi jangan kasih Winnie, ya. Khusus buat kamu. Aku akan hubungi nanti."

Lalu pria itu pun pergi meninggalkan Cori yang tiba-tiba sesak napas gara-gara betapa dekatnya Ben berbisik di telinganya. Ditambah bau parfum Ben tertinggal di rongga hidungnya, membuat dadanya berdebar dengan cara yang berbeda.

***

Ben memang bertingkah aneh hari ini, tapi tingkah Winnie lebih aneh lagi. Membuat kepala Cori makin pusing. Sediki-sedikit latoh silong. Sedikit-sedikit Natuna. Kuping Cori panas. Cori yakin wajahnya lebih panas dan pasti memerah seperti kepiting rebus.

"Wah, kayak oleh-oleh, tuh," celetuk Priyono. Agni mengikuti di belakang.

Dua tim legal itu baru turun dari lantai dua, setengah jam setelah jam pelayanan selesai. Wujud mereka memang tidak ada sejak tadi karena berkutat di kantornya saja menyelesaikan sebuah kasus baru.

"Iya Pak, Pri. Oleh-oleh dari Natuna," timpal Winnie.

"Ben udah datang?" tanya Agni terburu-buru. Wanita itu sampai meninggikan suaranya.

"Maksud Mbak Agni, Pak Malik?" konfirmasi Winnie.

"Iya."

"Beliau cuma anterin oleh-oleh terus pergi lagi, Mbak."

"Yah, nggak ketemu." Agni tidak berniat menyembunyikan kekecewaannya pada semua orang yang hadir di lantai satu.

Cori? Ia memutar bola matanya dramatis. Lebih baik menyusupkan sepotong coklat istimewanya ke mulut daripada memikirkan si mantan calon istri orang. Coklat itu bahkan tidak mau ia bagi ke Winnie dan memilih membelikan rekannya coklat yang lain di mini market dekat kantor.

Tiba-tiba sebuah ingatan membuat dadanya kembali berdebar riuh rendah.

"Cincin safir Bang Ben! Cincin itu harus segera diberikan kepada pemilik aslinya," desis Cori. Dia hendak menelepon Ben ketika layarnya lebih dahulu memunculkan nama Benjamin Malik Adriansyah.

"Iih, kok bisa samaan, sih? Telepati kali, ya." Gadis itu menahan senyum. Walaupun Ben membuatnya over thinking, tapi Ben juga yang membuat hatinya nyaman dan tenang. Sungguh aneh.

"Halo," ucap Cori setengah berbisik pada ponselnya.

"Hai. Udah pulang?"

"Belum. Masih di kantor."

"Laporan udah selesai?"

"Udah. Tinggal nunggu Pak Yusuf balik dari Cabang Batu Aji."

Suara Agni yang gusar memaksa Cori menoleh dan mendengarkan ocehannya.

"Pri, kenapa setiap gue nelepon Ben ponselnya selalu sibuk, sih?" Agni tak sadar mengomel di depan banyak orang.

"Lo lagi nggak beruntung aja, kali. Mending lo icip-icip kerupuk atom ini. Datangnya jauh, ini. Dari Natuna."

"Lo nggak membantu, Pri!" Agni kembali berkonsentrasi pada ponselnya dan mendesah kesal.

Cori harus menggigit bibirnya kuat-kuat menahan senyum dan memilih keluar kantor demi melanjutkan ngobrol dengan Ben tanpa rasa was-was.

"Lagi rame, ya?"

Suara Ben membawa Cori kembali. "Eh gimana, Bang?"

"Kayaknya rame banget di kantor."

"Pada ngerubungin oleh-oleh Abang."

Ben ber 'oo' ria. "Aku jemput kamu ya? Sekalian makan malam sama Bunda di luar."

Cori segera menganalisa situasi di kepalanya dengan cepat.

Jemput aku berarti membiarkan temen-temen kantor berpikir yang macam-macam tentang kami? Enggak. Itu nggak boleh terjadi. Dan lagi ... kenapa rasanya nggak siap bicara dengan Abang, ya? Aku takut dengan apapun yang akan Abang bilang nanti. Aaargh! Pengecut kamu Cori!

Cori langsung lemas. Keberaniannya untuk bertemu Ben surut seperti kelomang yang bersembunyi dalam cangkangnya yang indah.

"Hm, Abang quality time berdua gih, sama Bunda. Kapan lagi berduaan sama beliau di Batam, kan?" kilahnya. Dada Ciri dipenuhi perasaan bersalah. 

"Aku tahu. Tapi sudah seminggu lebih aku nggak ketemu kamu, Cori. Kenapa nggak bisa?"

Suara Ben nyaris terdengar putus asa di pendengarannya. Untuk sesaat, Cori membiarkan hatinya terlena oleh pesan sarat kerinduan Ben.

"Nanti ya, Bang. Kita akan bicara panjang lebar. Sekalian, ada sesuatu yang harus aku berikan ke Abang. Seharusnya sejak pertama kita bertemu aku serahkan ke Abang, tapi aku lupa. Maaf." Cori meringis malu.

"Apa itu?"

"Hm, pokoknya sesuatu yang sangat berharga untuk Abang."

"Kamu bikin aku tambah penasaran, Coriander."

Cori terkekeh. "Sabar. Lagian rumahku masih di depan rumah Abang. Jadi, Abang tahu di mana harus mencari aku."

***

Walaupun lelah, tidak menyurutkan semangat Ben untuk membawa sang Bunda jalan-jalan, mengarungi satu toko baju ke toko baju lain, berlama-lama di toko tas—Batam memang terkenal dengan pusat aksesoris berupa tas-tas lucu berbagai merek, mulai dari tas asli, hingga tas kualitas nomor sekian, dan menikmati berbagai macam kuliner.

"Bunda mau belanja baju? Perhiasan?"

"Bunda udah capek, Ben. Kita duduk aja, yuk?"

"Oke."

Kafe Malaya menjadi tujuan Ben dan Popy beristirahat sambil mengisi tenaga untuk destinasi berikutnya. Rencananya, Popy mau Ben ajak ke Lucky Plaza, pusat penjualan barang elektronik di Batam.

"Bunda mau jalan-jalan ke Jembatan Barelang? Waktu Om Djana ke Batam, kami ke sana dan setelahnya makan seafood yang dimasak dari bahan baku segar. Pokonya Bunda pasti suka."

"Oh, ya?" Popy terlihat antusias, kemudian menuntaskan minum lemon tea hangat.

"Iya, Bun. Seru banget, Bunda. Apalagi waktu itu Cori nggak berhenti mengoceh betapa ngilernya dia kalau melihat laut. Itu anak benar-benar cinta laut." Ben tak tahan melengkungkan senyumnya. Segala hal tentang Cori membuat Ben selalu bersemangat.

Tapi wajah Popy justru berubah sendu. "Bunda kasihan sama anak itu."

"Kenapa memangnya, Bun?"

"Cori tumbuh tanpa ibu. Djana yang cerita."

Abang juga akan meninggalkanku seperti Mas Arga dan ... mamaku? Ingatan itu kembali berulang di kepala Ben. 

"Tanpa ... ibu? Maksud Bunda?"

"Ibu Cori meninggal."

"Meninggal?!"

"M-hm." Popy mengangguk.

Ben meringis pilu. Gadis Ketumbarnya yang malang...

"Kapan, Bun?"

"Waktu Cori dilahirkan. Kamu tahu, Djana membesarkan anaknya sendiri, Ben. Tidak mudah menjadi orang tua tunggal dengan bayi yang masih merah."

Kalau aku adalah anak yang lahir di luar nikah dan tidak bernasab pada Papa ....

Potongan kalimat itu sungguh mengganggu Ben.

"Bunda yakin mama Cori ... sudah meninggal? Bukan pergi meninggalkan Cori?"

"Mama Cori sudah meninggal. Djana yang cerita ke Bunda."

"Ooh, begitu."

Ben menganggukkan kepalanya. Mungkin ia yang terlalu berlebihan mengartikan maksud Cori.

"Tidak ada sosok istri baginya dan ibu bagi anaknya. Namun, Djana berhasil mendidik Cori menjadi anak yang baik dan pintar dengan segala kekurangan pengasuhannya. Dia selalu mengelukan anaknya yang loncat kelas." Popy terkekeh kecil.

"Ya. Cori memang sepintar itu." Ben tersenyum bangga.

Ben mendehem gugup. Ada sebuah pertanyaan penting yang ingin ia dapatkan jawabannya dari Popy.

"Bun, teman Ben menyukai seorang wanita," tanya Ben hati-hati.

"Lalu?" Ah, sudah lama tidak ada sesi bertukar pikiran dan curhat dengan anak lelakinya. Popy memajukan tubuhnya lebih dekat pada Ben. 

"Wanita itu punya latar belakang yang nggak biasa."

"Nggak biasa bagaimana?"

"Dia ... hm, lahir di luar nikah. Menurut Bunda bagaimana?"

"Ohw." Kening Popy mengernyit dan menggeleng pelan. "Sayang sekali."

"Memangnya kenapa, Bun?" Perasaan Ben mulai tidak enak.

"Kalau Bunda jadi orang tuanya, Bunda nggak akan setuju. Lebih baik segera akhiri hubungan mereka sebelum melangkah ke jenjang yang lebih jauh."

Berdesir darah Ben. Tengkuknya panas dingin mendengarnya. Pernyataan Popy seakan-akan telah memvonis rencananya yang masih diawang-awang, yang bahkan belum ia utarakan pada si empunya pipi chubby.

"Apa yang salah dengan latar belakang kelahirannya, Bun?"

"Bibit bebet bobotnya sudah rusak, Ben."

"Tapi wanita itu tidak bisa memilih dengan cara apa untuk lahir ke dunia." Ben tidak terima.

"Apa kata orang kalau tahu misalnya mantu Bunda tidak berbinti ke ayahnya? Bikin orang berpikir yang tidak-tidak. Sebaiknya kamu tidak mencari pasangan yang seperti itu. Sebelum memulai hubungan baru, tanya dengan jelas bibit bebet bobot calon mantu Bunda. Mengerti ya, Ben?"

Dada Ben sesak serasa dipenuhi air Laut Cina Selatan.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sebungkus Kado untuk Arila
693      447     3     
Short Story
\"Mimpi adalah juga seperti mewakili sebuah takdir\"
MAMPU
7093      2365     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
ASA
5074      1627     0     
Romance
Ketika Rachel membuka mata, betapa terkejutnya ia mendapati kenyataan di hadapannya berubah drastis. Kerinduannya hanya satu, yaitu bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi. Namun, Rachel hanya diberi kesempatan selama 40 hari untuk memilih. Rachel harus bisa memilih antara Cinta atau Kebencian. Ini keputusan sulit yang harus dipilihnya. Mampukah Rachel memilih salah satunya sebelum waktunya ha...
A Poem For Blue Day
204      153     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Goresan Luka
665      504     10     
Short Story
Cerpen ini menceritakan tentang kisah nyata hidupku. Aku memiliki kakak yang mempunyai kecacatan mental yang bernama Ina. Meskipun mempunyai kekurangan, aku sangat menyayanginya. Aku sangat takut kehilangannya. Hingga pada suatu hari ia meninggalkanku ketika pulang les menari. Aku dan keluargaku benar-benar khawatir padanya. Akankah kak Ina dapat ditemukan? Akankah kak Ina benar-benar pergi menin...
Dua Warna
646      445     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Horses For Courses
11696      2331     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Satu Nama untuk Ayahku
8461      1810     17     
Inspirational
Ayah...... Suatu saat nanti, jikapun kau tidak lagi dapat kulihat, semua akan baik-baik saja. Semua yang pernah baik-baik saja, akan kembali baik-baik saja. Dan aku akan baik-baik saja meski tanpamu.
The Diary : You Are My Activist
14661      2482     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
KILLOVE
4460      1397     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...