Read More >>"> Ben & Cori (29. Hai, Ma) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Taksi Burung Biru membawa Popy dan Cori menuju Nagoya, yaitu pusatnya hiburan, pertokoan, dan kawasan pecinan di Batam. Warga Batam menyebut daerah Lubuk Baja ini dengan nama Nagoya bukan karena orang Jepang pernah menguasai kawasan ini, tapi karena perusahaan Jepang pernah bekerja membangun sarana vital di daerah Lubuk Baja pada tahun 1970-an. Para pekerja Jepang menyebut tempat hiburan, makan, dan minum di Lubuk Baja sebagai Nagoya. Sampai detik ini, penyebutan itu tetap dipakai warga Batam meskipun nama Nagoya sendiri tidak pernah masuk dalam penamaan daerah secara resmi di Batam.

"Teman Bunda udah lama tinggal di Nagoya?"

"Hm, 10 tahun ada kayaknya. Dia pindah ke sini ikut suaminya," cerita Popy. "Setelah itu dia nggak pernah lagi pulang ke Jakarta walaupun papanya si Miko meninggal di sini. Bunda pengen temu kangen sama dia. Mumpung lagi di sini," tutur Popy semangat.

"Temen Bunda pasti seneng didatengin Bunda."

"Tentu. Dia pengen traktir Bunda sama roti dan kue buatan tokonya, lho." 

"Oh, beliau punya toko kue di Batam, Bun?"

"Iya. Terkenal, lagi."

"Nama tokonya apa, Bun? Mana tahu Cori pernah ke sana."

"Romaine Bakery. Pernah beli? Tia itu chef pastri lulusan luar negeri. Kue buatannya? Enak banget!"

Cori mendesah kecil.

Dunia memang benar sesempit daun kelor. Mau menghindar, justru takdirlah yang membuat Cori bertemu ibu kandungnya.

Tuhan, Engkau pasti telah merencanakan ini bagi kami, kan? Ini ... pasti yang terbaik bagi kami berdua, kan? rapal Cori dalam hati. 

"Belum, Bunda. Mungkin ... nanti akan Cori coba."

Mungkin...

Ah, Cori pasrah takdir akan membawanya ke mana. 

"Bu, kita sudah sampai," ujar supir taksi.

Cori kembali disambut dengan bangunan ruko dua lantai yang terkesan sangat homey. Kaca lebar dan bersih dipasang sebagai jendela, membuat lampu kuning hangat berpendar hingga ke halaman meski langit Batam belum kehilangan sinarnya.

Beberapa kali Cori larikan tangannya ke dada agar mengusir kegugupan yang tiba-tiba mendera.

The moment of truth.

Akhirnya ia menginjakkan kaki di Romaine Bakery. Matanya langsung menjelajahi interior toko, menelisik sentuhan tangan ibunya. Hasil penilaian singkat Cori adalah, ibunya menyukai kesederhanaan nan elegan. Mutia ingin menonjolkan karya baking-nya daripada interiornya. Beberapa rak kayu berisi berbagai macam roti berjejer di dinding kiri dan kanan. Ada meja kecil di tengah sebagai tempat display kue-kue kering.

Sebagai pertunjukan utama, di bagian ujung berdiri sebuah etalase pendingin cukup besar berisikan kue-kue cantik penuh kreasi seni seorang pastry chef. Isi pajangannya membuat ngiler siapa pun yang beruntung menoleh ke etalase kaca itu.

"Mbak Popy. Maaf baru bisa bertemu hari ini."

Deg.

Suara itu membuat Cori meningkatkan level kewaspadaannya. Tubuhnya tiba-tiba menegang. Ia tahu dua wanita itu berada di belakangnya dan ia sama sekali tidak bisa menggerakkan badan.

Popy menyambut Mutia dengan sebuah pelukan hangat, bagaikan pelukan seorang kakak pada adiknya.

"Sukses kamu sekarang, Tia."

"Berkat doa Mbak Popy. Lagian, untuk apa lagi aku hidup kalau bukan untuk pastry dan anakku?"

Untuk anakku... cebik Cori dalam kepalanya. Ia langsung teringat sebuah nama: Miko. 

Cori tersenyum kering. Ia sampai menggigit bibirnya amat keras hingga perih terasa. Seberkas amarah tiba-tiba menyerang saat Mutia membicarakan 'anaknya'. 

"Itu yang penting," timpal Popy.

"Mbak Popy sendirian aja?"

"Astaga, aku sampai lupa. Aku ke sini ditemenin sama teman anakku. Cori? Sini, Nak."

"Tuhan, kuatkan hatiku," bisik Cori. 

Cori berbalik pelan setelah mempersiapkan senyum profesionalnya yang sering muncul di meja front liner.

"Selamat sore Bu Mutia," sapa Cori ramah. "Kita bertemu lagi."

Hai, Ma. Apa kabar? gemanya di kepala.

Mutia terkejut luar biasa. Ia tidak pernah mempersiapkan hatinya untuk bertemu darah dagingnya secepat ini. Dan terlebih di tokonya sendiri.

Cori melihat jelas perubahan kecil di wajah ibunya. Tapi mengapa Mutia harus terkejut melihat dirinya? Apa karena mereka pernah bertemu di kantor Sejahtera Bersama tempo hari? Atau, dia sudah tahu siapa Cori sebenarnya?

Cori tidak mau berharap banyak. Sebab, kalaupun tahu, lalu apa?

"Tia, kenapa bengong begitu? Cantik banget ya, Corinya?"

"Oh, hm ya. Tentu." Mutia gelagapan. "Mbak Cori sangat cantik dan ... ayu," ucap Mutia tulus dalam suaranya yang bergetar dan ujung tangannya gemetar.

"Terima kasih, Bu Mutia. Bu, cukup panggil Cori aja, nggak usah pakai mbak," koreksi Cori. 

"Baiklah... Cori."

Cori lagi-lagi menampilkan senyum profesionalnya. Namun, sedetik kemudian gadis itu mengerjap cepat. Air matanya dengan tidak sopan mengaburkan sosok Mutia di depannya. Ia segera menoleh, menyembunyikan emosinya. 

"Mbak, bagaimana kalau kita duduk di kafe sebelah toko rotiku? Aku mau ... melepas rindu."

***

Cori menyeruput lemon tea sambil menyimak dan merekam apapun yang keluar dari mulut ibu kandungnya. Dari obrolan kecil Mutia dan Popy, Cori mengetahui Mutia langsung pergi meninggalkan Jakarta setelah melahirkan dirinya untuk tinggal di Semarang, kota kelahirannya. Tak sadar Cori remas gulungan tisu malang di tangannya.

Mama benar-benar membenciku, ya?

"Lalu sampai kapan Mbak Popy di sini?"

"Besok atau lusa, nunggu Ben pulang dari Natuna. Dia pengin Bundanya lebih lama dengannya."

"Ben anak yang baik."

"Tentu. Dan sangat sayang keluarga. Apalagi setelah kami bercerai, Ben sangat protektif pada kami berdua."

Mutia meresponnya dengan anggukan.

"Besok pesawat Ben jam berapa, Cori?" tanya Popy.

"Jam sepuluh, Bunda. Mendaratnya jam 11.45 siang."

"Bunda?" Mutia tak sadar mencicitkan isi kepalanya.

Popy tertawa kecil. "Aku yang suruh Cori memanggilku Bunda."

"Aah..." Mutia tak banyak memberi respon.

"Dia ini anak temenku. Kamu tahu Chef Sudjana yang restorannya sering masuk TV?"

"Y-ya?" Mutia tergagap. 

"The Coriander Taste? Cori adalah anaknya Djana, Tia. Cori itu udah nggak punya ibu sejak lahir. Jadi aku bilang padanya, 'kenapa enggak panggil Bunda ke aku'. Cori seneeeng banget. Iya kan, Nak?" Popy merangkul lengan Cori dengan hangat dan makin merapatkan tubuh sehingga nyaris tak ada celah di antara mereka.

"Iya, Bu Mutia. Bunda sudah Cori anggap orang tua sendiri."

"O-oh. Begitu." Suara Mutia hilang entah ke mana. Tercekat oleh sesuatu yang mengganggu dan membengkak di kerongkongannya. Saat itu juga Mutia mengerti, sensasi itu timbul karena perasaan bersalah yang telah ia timbun dan sembunyikan selama puluhan tahun. Kini perasaan itu kembali muncul ke permukaan bagai air pasang yang memorak-porandakan pertahanannya, menghancurkan kepura-puraannya.

Sebelum berpisah, Mutia menyerahkan tas berisi roti dan kue buatan Romaine Bakery pada Cori dan Popy.

"Terima kasih Bu Mutia. Kalau enak, saya rekomendasikan pada teman-teman di kantor," ucap Cori tulus dana ramah, layaknya Cori di balik meja front liner yang profesional. Ia berusaha keras menyembunyikan gurat kecewa dan sedih meski emosi itu meronta-ronta minta dilepaskan.

"Ya. Terima kasih, Nak Cori."

Untuk beberapa detik, ibu dan anak itu saling bertatap, meradukan bola mata untuk menelisik jiwa masing-masing tanpa bicara. Kemudian tanpa sepatah kata, tatapan tadi melepaskan diri dari jeratannya, meninggalkan ribuan pertanyaan yang tak terjawab. 

***

Selembar sticky note ditempel di atas di kotak kemasan cupcake krim blueberry—hadiah Mutia dari Romaine Bakery. Bunyinya begini:

Ini adalah kue kesukaanku sepanjang masa. Asam, manis, dan segarnya butter cream ini akan membuat malammu menyenangkan. Semoga kamu menyukainya, Nak.

MA.

Cori sampai membaca catatan kecil itu untuk ketiga kalinya.

Tak sadar bulir air mengalir di pipinya. Lagi-lagi dia tak mampu mengenyahkan perasaan sakit itu. Segala hal mengenai Mutia membuatnya kembali mengulang memori pahit masa lampau. Namun, di saat yang sama ada gelayut rindu yang mengerubung, rindu akan pelukan seorang ibu. 

Ponselnya berdering. Spontan Cori mencari jam di dinding. Pukul sembilan malam. Ini adalah waktunya si pria setengah manja meneleponnya.

Ajaibnya, Ben selalu menghubunginya ketika ia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Anehnya, setelah bicara dengan Ben, perasaan Cori langsung membaik. Cori bagai mendapat penawar luka dari Tuhan.

Cepat-cepat ia geser tombol hijau.

"Hai," sapa suara yang dirindukannya di seberang sana. Terdengar riang di telinga Cori. Tentu saja, sebab besok Ben akan kembali padanya. Ah, bolehkah ia sesombong itu dengan hubungannya yang masih di awang-awang? 

"Hai Abang."

"Kamu kenapa? Ada masalah?" tebak Ben tanpa tedeng aling-aling. 

"Nggak ada."

"Beneran?" Ben tidak percaya. Sebab, suara Cori tak seriang biasanya.

Dan lagi, Ben tidak mudah percaya dengan kata-kata 'nggak adanya' wanita. Dua wanita penting di dalam hidupnya telah mengajarkan banyak pelajaran berharga mengenai makhluk bernama wanita. Ya meskipun sampai saat ini Ben masih belum berhasil memahami teka-teki pikiran wanita yang sangat ... kompleks.

"Iya, Abang. Aku nggak apa-apa."

"Baiklah," ucap Ben. Bukan berarti ia menyerah. "Tapi kamu harus tahu. Aku bisa jadi kontainer untuk menampung hal-hal tak berguna di kepala. Supaya kamu plong." Cori mendengkus menahan tawa.

Ben mendengar tawa kecil itu. Pertanda bagus, pikir Ben di Natuna sana.

"As for the record, aku sangat pintar menjaga rahasia."

Kali ini Cori benar-benar tertawa lepas. 

"Iya Abang, iya. Noted!"

"Aku masih bisa belanja sebentar sebelum berangkat ke bandara. Mau dibawakan apa? Bunda minta kerupuk ikan sama ikan asap."

Abang pulang dan kembali mengisi rumah nomor 4 saja aku udah seneng, batinnya

"Ngerepotin Abang nanti," ungkap Cori jujur. "Nggak perlu."

"Aku nggak pernah merasa direpotkan oleh kamu, Coriander."

"Masa?"

"Bener. Aku malahan senang melakukannya."

"Kenapa Abang senang melakukannya?"

"Karena bikin aku bahagia."

"Kenapa Abang bahagia?" kejar Cori. Gadis itu masih belum menemukan jawaban yang diinginkannya.

"Aku bahagia bisa membahagiakan kamu. Puas?" ucapnya lembut.

Nyesss.

Darahnya memompa lebih cepat ke wajah. Cori bisa merasakan pipi dan kedua telingnya memanas. Jantungnya berdebar dengan cara yang menyenangkan.

Namun, sedetik kemudian semua euforia hormon dopamin yang Cori rasakan menguap, karena ia langsung dibombardir dengan perasaan sedih, kecewa, malu, kalut, dan ... takut kehilangan, lagi.

"Kenapa ... Abang mau membahagiakanku?" tanya gadis itu meragu.

"Kamu pantas untuk mendapatkannya," jawab Ben tegas.

"Kalau ... kalau aku nggak pantas, gimana? Apa Abang akan lari dariku? Apa Abang juga akan meninggalkanku seperti Mas Arga dan ... mamaku?" Suaranya mulai tercekat dan parau. Cori membaca lagi catatan Mutia sambil merebahkan tubuhnya di kasur. Sebab, kepalanya makin berat, seiring dengan beratnya beban di dada.

"Kamu bicara apa, Cori?!" Suara Ben berubah gusar.

"Entahlah. Kata-kata Abang terlalu indah. Rasanya bagai digiring masuk ke dunia mimpi. Aku takut membangun harapan tinggi yang terlalu muluk, ternyata semu. Lalu terbangun dengan hati didera pilu." Suara Cori semakin melemah. "Aku nggak mau ... ditinggalkan lagi ketika aku ... telah menaruh semua harapan, mencurahkan semua perasaan, dan memberi kepercayaan pada kata-kata Abang."

Gadis itu menekan tangannya di dada. Nyeri. Dadanya terasa sakit karena emosi yang menggerogoti hati.

"Kamu sangat pantas karena aku yang akan memantaskannya. Aku yang akan membuat kamu nggak menangis lagi. Aku orang yang akan membahagiakan kamu, Cori. Jadi aku mohon, jangan bilang kamu nggak pantas aku bahagiin."

Cori diam beberapa saat. Kemudian gadis itu menarik napas dan menghembuskannya pelan. Sebab, kata-kata berikutnya mungkin saja menjadi kata terakhir dari percakapan manis mereka selama ini.

"Kalau aku adalah anak yang lahir di luar nikah dan nggak bernasab sama papa, apa Abang masih mau membahagiakan aku?"

Bersambung

I caaaaaan't 😭

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Menepi
974      631     10     
Short Story
When You Reach Me
6729      1808     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Bukan Sekedar Kata
11638      2513     3     
Inspirational
Ini bukan sekedar kata yang tak terucap, melainkan sebuah ungkapan dari perasaan yang dituangkan dalam bentuk tulisan
IZIN
2748      1008     1     
Romance
Takdir, adalah sesuatu yang tidak dapat ditentukan atau disalahkan oleh manusia. Saat semua telah saling menemukan dan mencoba bertahan justru runtuh oleh kenyataan. Apakah sebuah perizinan dapat menguatkan mereka? atau justru hanya sebagai alasan untuk dapat saling merelakan?
Penantian Terakhir
542      379     4     
Short Story
Dan apapun itu, yang kulakukan adalah demi kebahagiaanmu. Percayalah. Pedihku tidaklah lagi penting.
Gloria
3183      972     3     
Romance
GLORIA, berasal dari bahasa latin, berarti ambisi: keinginan, hasrat. Bagimu, aku adalah setitik noda dalam ingatan. Namun bagiku, kamu adalah segumpal kenangan pembuat tawaku.
Kisah Alya
231      181     0     
Romance
Cinta itu ada. Cinta itu rasa. Di antara kita semua, pasti pernah jatuh cinta. Mencintai tak berarti romansa dalam pernikahan semata. Mencintai juga berarti kasih sayang pada orang tua, saudara, guru, bahkan sahabat. Adalah Alya, yang mencintai sahabatnya, Tya, karena Allah. Meski Tya tampak belum menerima akan perasaannya itu, juga konflik yang membuat mereka renggang. Sebab di dunia sekaran...
Who Is My Husband?
13566      2477     6     
Romance
Mempunyai 4 kepribadian berbeda setelah kecelakaan?? Bagaimana jadinya tuh?! Namaku.....aku tidak yakin siapa diriku. Tapi, bisakah kamu menebak siapa suamiku dari ke empat sahabatku??
Takdirku
1859      1151     16     
Short Story
Takdir bukanlah masalah kesempatan. Takdir adalah masalah pilihan. Takdir bukan sesuatu yang harus ditunggu. Takdir adalah hal yang harus dicapai !!!
Seiko
440      331     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...