Padahal jam kantor sudah selesai sejak dua puluh menit yang lalu. Pintu rolling door pun sudah terkunci rapat, tapi tak ada satu pun anggota kru Cabang Mega Legenda yang beranjak dari pijakannya di teras kantor.
Ya, jelaslah! Bapak Yusuf terhormat, Sang Kepala Cabang pemilik jabatan tertinggi di kantor ini juga belum pulang. Mana ada yang berani mendahului beliau?
"Apa?! Kepala cabang di Tarakan affair sama penaksirnya?" teriak Moza tertahan. "Itu berita valid, Pak?"
Saat-saat pulang kantor diwarnai dengan berita panas dari pulau Kalimantan. Semua kru tertuju pada Yusuf, si sumber berita.
"Iya. Dia temen seangkatan Bapak." Yusuf menerawang ke langit senja, kemudian ia menghela napas lelah. "Padahal dia sudah punya istri dan anak."
"Saya denger penaksirnya janda kembang ya, Pak?" Agni ikut menimpali tanpa merasa bersalah. "Baru setahun cerai. Usianya juga masih muda."
Yusuf mengangguk sekali, cukup untuk membuat pendengar yang lain berbisik riuh rendah.
Cori mendengarkan dalam diam. Ia tidak berminat sama sekali dengan gosip murahan. Aib orang lain kenapa diumbar? Masalahnya, kalau pulang duluan dan meninggalkan forum ghibah atasannya dengan tiba-tiba akan terlihat aneh. Jadi Cori memutuskan menjadi pendengar yang tidak baik.
"Temen saya yang pergoki mereka lagi staycation di hotel. Padahal udah tutup mulut temen saya itu, Pak Yusuf. Tapi heran, kok bisa nyebar ya, beritanya?" Farida ikut nimbrung.
Jarum yang terjatuh di Tarakan langsung terdengar oleh warga Sejahtera Bersama di Batam. Benar-benar luar biasa! pikir Cori sebal.
Ben dari tadi juga diam dan memilih menyibukkan diri menekan-nekan layar gawainya.
Bzzzt.
Ponsel Cori berdengung di tangannya. Pop up pesan memunculkan nama yang membuat Cori tersenyum tipis. Buru-buru Cori baca pesan si tetangga nomor 4 yang berdiri tak jauh darinya.
Kenapa mereka nggak berhenti bergosip, sih?
Cori terkekeh kecil menatap layar dan segera membalas.
Mereka lagi seru, Abang, walaupun malesin denger mereka ngeghibah. Tapi kalau aku duluan pulang, yang ada aku yang jadi bahan gosip. Ajaib, bukan?
Ben spontan tersenyum. Ia membalas begini.
Aku juga mau cabut dari sini. Nggak ada gunanya nongkrong di depan kantor. Mending pergi makan. Apa bos kamu nggak merasa bersalah ngomongin teman sendiri?
Cori mengetik cepat.
Abang kayak nggak tahu aja budaya kerja Sejahtera Bersama. Nggak mau men-generalisasi, tapi mau temen atau sohib nggak akan terhindar dari yang namanya diomongin temen sendiri. Di depan banyak orang pula! Based on my very own experience.
Ben langsung mencari wajah si Gadis Chubby, tapi ia sedang menunduk. Tak jelas emosi apa yang sedang Cori perlihatkan di wajahnya. Ben rasanya ingin menghibur Cori saat ini juga.
Sehingga Ben mengirim ini.
Maaf, kamu harus mengalami hal buruk di perusahaan ini. Ini yang nggak aku suka kerja di sini.
Cori mengangkat kepalanya dan menemukan Ben juga sedang menatap dirinya dari kejauhan sana.
Aku nggak apa-apa, ucap Cori dengan gerakan bibirnya. Ia kemudian memberi isyarat untuk kembali ke ponsel. Cori mengirim ini.
Aku kan udah tahan banting di-bully dan di omongin orang lain sejak SMA.
Ben kembali mencari mata Cori dan saat mereka bertatapan, keduanya saling melempar senyum. Lalu pria itu mengatakan, Proud of you tanpa suara. Kemudian Ben beralih ke ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
Agni mendekati Ben karena dari tadi Ben terlihat terlalu sibuk dengan ponselnya.
"Ben, temenin aku ke Mega Mall, dong."
Yang dipanggil masih menatap ponselnya. Terlalu serius mengetik pesan atau tidak mau mendengarkan, nih?
"Ben."
Benjamin Malik Adriansyah
Kita makan di Angkringan Onthel, yuk?
Kirim.
"Ya? Kamu ngomong apa tadi?"
Agni memutar bola matanya. "Aku bilang, temenin aku ke Mega Mall."
Cori menunduk pada ponselnya. Tapi percayalah. Telinganya sangat sensitif ingin mendengar jawaban Ben.
"Sori Agni. Aku—,"
"Ayolah. Temenin aku hang out," potong mantannya. "Sumpek tahu nggak ada yang bisa diajak keluar."
"Mas Malik dan Mbak Agni ini kok ya masih deket walaupun udah jadi mantan?" Ujug-ujug Yusuf menimpali. "Gimana, Buk Farida? Kita jodohoin aja lagi mereka?" Yusuf terkekeh.
Agni tak dapat menahan senyum.
"Terserah Malik dan Agni, tho, Pak Yusuf. Gimana, Lik, Agni?" tanya Farida.
Kenapa malah aku yang jadi topik pembicaraan? tanya Ben tak habis pikir dalam kepalanya.
"Ben, kita udah ditanyain, tuh. Gimana?" Agni menambah pusing kepala Ben.
Cori gemas mengapa tidak ada jawaban dari si tetangga nomor 4. Maka dari itu, cepat-cepat Cori balas pesan Ben.
Yuk.
Satu pesan singkat itu membuat Ben yakin dengan jawabannya ini.
"Maaf, Pak Yusuf, Buk Farida. Sori Agni. Saya sudah sold out," ucap Ben tegas tanpa ada nada bergurau sedikit pun.
Tak dinyana, kata sold out memantik banyak tanya dan gumam kru Cabang Mega Legenda dalam hitungan detik.
Agni? Mukanya memerah seperti udang goreng. Tak tahu lagi mau disembunyikan di mana wajah cantiknya di depan karyawan lain.
Sedangkan Winnie justru melempar tatapannya bergantian pada Cori dan si Latoh Silong.
Beneran, nih? Tapi kenapa wajah Kak Cori tegang gitu? batin si Winnie the Pooh.
***
Tangan Cori bergerak impulsif ke sana kemari memilih makanan tadi di gerobak Angkringan Onthel hingga piring rotannya menggunung. Aksinya ini diiringi dengan mulutnya yang terkunci semenjak Brio putih Ben beranjak dari kantor Cabang Mega Legenda.
Ben tercengang dengan beberapa piring rotan yang terhampar di depan matanya. Ada sate telu puyuh, sate ati ampela, gorengan, kue-kue basah tradisional, kue moci, dan kwetiaw goreng. Plus sebaki teh poci dan gula batunya yang khas.
"Kamu yakin dengan semua makanan ini? Sanggup menghabisakan semuanya?" tanya Ben setelah mereka ngeleseh. Ben dan Cori memilih duduk tepat di bawah tiang lampu di sudut taman kompleks.
"Sanggup. Kalau nggak habis, Abang yang habisin," jawabnya cuek.
"Ada masalah tadi di kantor?"
"Nggak ada." Cori mengambil sate puyuh dan melahapnya satu per satu.
"Terus kenapa tiba-tiba jadi diam?"
Ben yakin tebakannya tepat sasaran, sebab Cori membeku sepersekian detik walaupun detik berikutnya, ia memilih melanjutkan kunyahannya.
Setelah minum teh poci dalam gelas tanah liat, Cori menjawab, "Aku nggak apa-apa, kok."
Lelaki itu mencebik tak percaya.
Cori memilih mengambil sebuah kotak perhiasan dari dalam tasnya dan meletakkannya di depan Ben daripada meladeni pertanyaan Ben yang tak berkesudahan.
"Ini apa?"
"Buka aja," perintah Cori.
Ben menurutinya. "Ini ...." Pria itu tak sanggup menahan keterkejutannya. "Ini cincin yang aku cari waktu di sekolah dulu!"
Cori meringis malu dan menggaruk pelipisnya. "Aku ... tetap mencarinya setelah Abang pindah sekolah," ucapnya pelan.
"Tapi, kenapa?" Ben mengeluarkan cincin itu dan mengangkatnya agar terkena lebih banyak sinar lampu. Sebab, langit Batam tak lagi mengeluarkan mataharinya. Ben ingin mengagumi lagi cincin berharga dari bundanya.
"Karena seingatku, cincin ini pemberian orang tua Abang. Jadi aku berusaha mencarinya sepulang sekolah setiap hari. Tapi setelah ketemu, aku nggak tahu cara menghubungi Abang."
Ben melengkungkan senyum terbaiknya. "Terima kasih, Cori," ucapnya tulus.
"Sama-sama."
"Kamu masih ingat ceritaku mengenai cincin ini di lapangan basket sekolah?"
"Hmm, kayaknya inget. Pemberian Bunda yang sangat berharga untuk masa depan Abang, kan?"
"Tepat sekali. Cincin ini Bunda kasih supaya aku bisa berikan ke pasanganku nanti. Terima kasih Cori, akhirnya aku bisa memberikan cincin ini pada pemilik barunya."
Cori mengangguk beberapa kali dan menyembunyikan wajahnya yang berubah sendu di dalam piring kwetiaw goreng.
Pemilik baru! Ya ya, apa yang Cori harapkan, sih?
Hati Cori terlalu lancang berpikir bahwa dialah pemilik barunya. Namun, mau dipikir seratus kali pun, tidak ada kemungkinan pria seperti Ben menyukai perempuan gendut dan tidak bernasab seperti dirinya.
Diamnya Cori membuat Ben terganggu. Nyatanya, kembalinya cincin bermata safir ini tidak mampu membuat rasa penasaran Ben terbendung. Maka Ben bertanya sekali lagi. "Kamu kenapa tiba-tiba diam, Cori? Aku berbuat salah?" ucap Ben lebih lembut.
Cori mendengkus kecil, lalu berkata tepat ke bola mata pria di depannya dengan tenang. "Katanya Abang sold out. Kenapa ajak aku makan segala? Kan aku nggak enak sama dia."
Sampai di titik ini, Cori merasa sudah melakukan kesalahan besar dengan makan bersama pasangan orang lain. Dan di saat yang sama, Cori ... patah hati.
Untuk sejenak, Ben memilih memperhatikan gadis yang sedang berlagak tenang ini mengunyah pelan kwetiaw seperti kehilangan nafsu makan. Sambil mengusap permukaan cincin bermata biru safir itu dengan ibu jarinya, Ben mengamati gurat lelah di wajahnya yang bekerja seharian, lalu rambut panjangnya yang diikat asal, menjulurkan beberapa helai surai di kedua sisi kepalanya. Entah bagaimana caranya justru membuat Ben tak bosan memandang pemandangan indah ini. Tapi sayang, kedua bola mata hitam segelap malam itu bergetar tak tenang, tidak sesuai dengan akting tenangnya.
Ben menumpukan kedua siku di meja, membiarkan bakmi jawanya tak tersentuh demi menatap Cori lebih lekat. "Apa yang ada dalam pikiran kamu, Gadis Ketumbar?"
Cori membelalak. "Gadis Ketumbar? Hah!" Cori spontan tertawa. Semua juga tahu tidak ada humor di dalamnya, hanya ... cemooh. "Sekarang Abang ikut-ikutan memanggilku ketumbar?!"
"Aku suka karena nama itu terdengar manis di telingaku."
"Manis," cebik Cori.
"Tapi ingat Cori! Aku bukan perundung yang mengejek nama kamu seperti teman-teman SMA-mu itu. Tapi aku memang menyukai namamu. Andai waktu itu aku bisa menghajar mereka yang mengejek namamu!" Ben menggertakkan giginya. Cori bisa melihat urat-urat bertonjolan di rahang pria itu.
Cori mesti berkejar-kejaran mengikuti ritme emosi Ben yang berubah-ubah dengan cepat. Tadi misterius, lalu berubah jenaka, sekarang amarah menguasainya.
"Are you ... okay?" tanya Cori lambat-lambat.
"Never been better, Coriander. Selama kita bersama-sama." Ben memamerkan senyum terlebarnya, meski kata-kata Popy membayangi keputusan besarnya nanti.
Ben berhasil membuat anak gadis Sudjana bersemu!
"Bang, aku serius!"
"Dengar, Cori! Aku nggak pernah ngejek namamu. Nama kamu begitu melekat di kepalaku sampai membuat aku kepikiran kamu terus." Kening Cori berkerut. "In a good way, tentunya," kata Ben cepat-cepat.
"Kenapa?" tanyanya lugu.
"Karena aku suka kamu. Sudah jelas, kan?"
Ya Tuhan. Aku mengatakannya. Diam-diam Ben mengepalkan kedua tangannya.
"A-apa, Bang?"
"Aku suka kamu, Coriander." Tak sadar Ben menahan napasnya.
Sayangnya Cori terlalu syok dan tidak menemukan suaranya selama setengah menit penuh.
"Abang jangan becandain aku," mohon Cori.
"Enggak! Mana mungkin aku bercanda untuk hal seperti ini, Coriander? Aku serius!"
"Tapi, bukannya Abang udah sold out? Dia gimana?" Cori masih bingung dan mencoba berpikir realistis. Karena, apa yang didengarnya barusan terlalu tidak mungkin. Terlalu, dreamy.
Ben tertawa kecil. Pernyataan Cori barusan membuat wajahnya rileks.
"Tentu. Aku sold out-nya sama si Gadis Ketumbar yang sedang kebingungan ini."
Bersambung