Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ben & Cori
MENU
About Us  

Seharusnya sebuah rumah menjadi tempat paling hangat, nyaman, dan aman bagi semua anggota keluarga. Apalagi bagi seorang anak yang masih memerlukan bimbingan, kekuatan, dan bekal menghadapi kejamnya dunia sebenarnya.

Seharusnya, figur pertama yang harus mengayomi dan membuat seorang anak yakin melangkah dengan percaya diri untuk memulai petualangan dirinya di tengah masyarakat asing adalah orang tua mereka sendiri.

Dan seharusnya, bagi seorang anak rumah adalah tempat pulang, bukan tempat menakutkan seperti rumah hantu di pasar malam.

Ben telah menemukan ketakutannya. Setiap pulang sekolah, napasnya sesak, perasaan tidak nyaman selalu muncul bila mobil Sang Ayah mencapai halaman rumah mereka. Bahkan suara mesinnya saja sudah membuat dirinya tidak nyaman. Otomatis ia langsung merancang entah pertengkaran apa lagi yang akan diributkan hari ini.

Setelah pengakuan Bonita tempo hari, pertengkaran demi pertengkaran terkuak ke permukaan bumi. Riak nan tenang telah menjadi gelombang pasang yang menghanyutkan jiwa-jiwa yang terombang-ambing di rumah yang seharusnya damai.

Ben jadi benci pulang ke rumah. Dan yang lebih Ben benci adalah kedua orang tuanya. Mengapa menikah kalau hanya untuk bertengkar? Apa mereka tidak memikirkan perasaan anak-anak mereka? Orang-orang dewasa itu ... makhluk paling egois di muka bumi. Namun, di penghujung hari, Ben tidak mampu sungguh-sungguh membenci orang tuanya. Kasih sayang Ben untuk mereka tak bisa tenggelam begitu saja. Dia tetap menyayangi mereka sampai kapan pun.

Dari hasil pertengkaran itu, kadang Ben memergoki Popy mengambil es batu dari freezer untuk ditempel ke matanya. Dan Ben bermain pura-pura tidak tahu lalu dengan santainya ia berkata, "Bunda, Ben mau dibuatin omelet keju."

Betapa bodohnya Ben. Ingin ia gigit lidahnya kuat setelah permintaan bodoh tadi terucap. Bukan itu yang ingin dia katakan. Ben ingin menghibur Sang Bunda. Ben ingin hadir menjadi 'teman' agar perasaan Popy sedikit lebih baik, bukan malah merepotkannya.

Justru yang Ben dapatkan adalah senyum Popy yang terkembang sempurna, menampilkan lesung pipi yang menurun padanya dan mengatakan, "Daripada omelet, bagaimana kalau kita makan piza? Bunda lagi capek masak. Bangunin Boni ya, Bang. Terus siap-siap pergi." Lalu Ben ditinggal sendiri untuk mencerna apa yang dia dengar barusan.

Hati remaja itu teriris sembilu. 

***
Di suatu minggu sore yang cerah, Popy menyibukkan diri membersihkan halaman rumahnya. Beberapa saat kemudian dia baru menyadari dirinya tidak kepanasan atau silau karena cahaya matahari, sebab ada sebuah bayangan yang menaunginya.

"Nak, ngapain pake payung segala?" ucapnya heran sambil mendongak ke si Tukang Payung.

"Ya payungin Bunda." Popy terkekeh dan meneruskan memotong rumput liar.

"Makasih."

Ben kemudian ikut jongkok, bersisian dengan Popy.

"Ben sering mergokin Bunda bertengkar sama Ayah."

Seketika tangannya berhenti bekerja menggerakkan gunting rumput dan menghela napas lelah.

"Bunda juga nggak banyak berharap pertengkaran kami tertutup rapat dari kalian. Suatu saat pasti akan ketahuan, kan?"

Lalu Popy melanjutkan pekerjaannya seakan pembicaraan pertengkarannya dengan suaminya bukan hal besar.

"Kok Bunda santai aja, sih? Kok Bunda mau aja dibikin nangis sama Ayah? Bunda pikir Ben terima aja, gitu?! Ben sakit hati lihat Bunda sedih! Ayah harus minta maaf karena bikin Bunda nangis!" Bergetar suara Ben menahan gejolak emosi yang sudah lama tertahan di kerongkongannya. Tangannya sampai gemetar meremas gagang payung.

Popy melepas sarung tangan berkebunnya dan menggenggam tangan Ben yang buku-bukunya mulai memutih.

"Duh, gemesnya lihat anak Bunda membela Bunda. Terus jadi gentleman seperti ini, ya?"

Ben memutar bola matanya dramatis.

"Nggak ada hubungannya, Bun. Ben mau Bunda melawan Ayah. Jangan mau disakitin Ayah terus! Bunda pikir hati Ben tenang lihat Bunda stres dengan mata sembab hampir tiap hari? Ben harus bicara sama Ayah!"

Popy langsung menggeleng seakan dengan wajahnya yang tenang dia berkata, Jangan pernah berpikir untuk melakukannya, Benjamin. Senyum Popy yang teduh membuat anaknya mengernyitkan keningnya.

Wanita itu meremas lembut tangan Ben dan berkata, "Bunda masih mencoba menjadi istri yang baik. Bunda akan bertahan sampai Bunda menemukan cara membuat Ayah kembali seperti dulu."

"Tapi DIA udah sakitin Bunda!" ucapnya di sela-sela gigi dan dengkusan emosinya.

"Dan DIA adalah ayahmu, Ben!"

Tak sadar Ben mendecih. Dadanya kembang kempis karena tak bisa menyalurkan emosinya yang terasa seperti gunung api siap meletus. Dia kesal dengan ayahnya. Dia kesal dengan pasifnya Popy. Dia kesal dengan dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa. Dan dia kesal dengan keadaan.

Popy cepat-cepat melepaskan gagang payung dari tangan Ben dan memeluk si sulung erat. Dada Ben masih saja bergerak cepat, dengusan berat keluar dari hidung anak lelakinya.

"Ben, calm down. Ada Bunda di sini," ucapnya menepuk-nepuk punggung anaknya.

Tak ada respon. Popy juga baru kali ini menghadapi kemarahan Ben yang sangat hebat di usia remaja. Ia merapalkan doa dapam hati agar anaknya segera tenang.

Lima menit? Sepuluh menit? Entah berapa lama mereka berada di posisi itu. Namun satu hal yang Popy pastikan. Pundaknya sedang menerima dahi si sulung yang sedang sesegukan menahan tangis.

"Maafin Ben, Bunda," bisik lelaki itu lirih.

Bola matanya mengabur, tapi bibirnya tidak bisa tidak tersenyum. Popy bangga karena telah membesarkan seorang anak lelaki yang menyayanginya dan mau melindungi ketidakberdayaannya sebagai seorang istri, seorang wanita.

“Nggak apa-apa. Terima kasih, Sayangnya Bunda."

"Sampai kapan kita akan kayak gini?" ujar Ben sambil mengurai pelukan mereka.

"Bunda nggak bisa memberi kepastian. Doakan kami, ya? Selipkan nama kami di setiap doamu, ya?" Popy mengusap rambut anaknya lembut.

“Ben selalu melakukannya.”

“Anak baik,” puji Popy. "Dan Bunda mohon, jangan tularkan kemarahanmu pada Bonita. Dia masih kecil. Suatu saat, kalau kami tidak ada, kalian hanya punya satu sama lain."

"Bunda jangan ngomong yang aneh-aneh, deh! Jangan dibawa bercanda hal-hal kayak gitu." Ben tidak menyukai kalimat tadi.

"Bunda tidak bercanda sama sekali. Bunda mengatakannya juga buat kamu. Lalu ... Bunda ingin kamu melakukan perintah Bunda."

"Apa?"

"Jadi anak penurut, ya."

"Hm? Bukannya selama ini Ben selalu menuruti Bunda?"

Popy tersenyum karena memang begitulah kenyataannya. Ben adalah anak yang sangat patuh dan jarang menyusahkannya. "Terima kasih. Bunda ingin kamu menjalankan peran sebagai Abang, pelindung, dan panutan bagi Boni. Jadilah pria kuat dan sukses untuk Bunda dan Boni, di mana pun kita berada. Urusan Bunda dan Ayah, biarkan kami yang menyelesaikannya."

Kata-kata Popy bagaikan sebuah ultimatum, yang bermakna, "Jangan campuri urusan kami orang dewasa!"

"Tapi, Bun—,"

"Ben," potong Popy. "Tolong ambilkan plastik untuk sampah-sampah daun ini. Oh iya, Bunda lupa bilang," Wajah Popy seketika menyeringai gembira. "ayahmu dapat promosi dari kantor."

***

Cori menyukai kegiatan barunya setelah pulang sekolah. Entah sejak kapan mencari barang hilang menjadi kegiatan seru dan mengasyikkan? Sayang, cincin bermata safir itu sepertinya masih ingin bersembunyi di suatu tempat. Padahal pencarian telah melebar ke kantin, lapangan bola, auditorium olah raga, hingga pustaka.

Cori sedikit menyesal ia sempat bersyukur cincin berharga itu belum ditemukan. Habisnya, dia bisa bertemu lagi dengan Ben. Entah itu untuk janjian di depan kantin saat jam istirahat, mengatur janji temu untuk pencarian sepulang sekolah, lalu bila tidak menemukan hasil, pencarian akan berlanjut di mamang penjual pinggir jalan, warung bakso, gerai waralaba, atau di depan supermarket untuk sekedar menikmati es krim atau sebotol limun dingin.

Ya, pertemanan mereka sudah sejauh itu. Pertemanan yang hanya berawal dari bantuan kecilnya dulu.

Tapi hari ini, Ben tidak muncul di depan kantin hingga waktu istirahat habis. Ben tidak berada di antara gerombolan teman-teman dekatnya. Ben juga tak terlihat di antara teman OSIS-nya. Cowok itu tidak ada di mana-mana! Cori mulai panik.

Entah kesambet jin apa, Cori mulai bertanya-tanya pada siapa pun yang kenal dengan Ben. Dalam hitung menit, Cori mendapatkan informasi yang dia butuhkan. Mudah, karena tidak ada yang tidak kenal Ben. Ben sepopuler itu.

Untuk pertama kalinya Cori melangkah ke lantai tiga, kelasnya anak tahun akhir. Tidak sulit mencari kelas 3 IPA 3—kelas di mana Ben belajar. Cori risih semua pasang mata memandangnya tajam, seakan bisa melumat eksistensinya yang berdiri menyandar di depan kelas Ben.

Belum sempat kakinya melangkah, seorang cewek cantik berambut panjang mendekatinya. Seketika Cori dikerubungi sekelompok cewek-cewek tipe populer di sekolah.

"Lo anak aksel, kan?"

"Iya, Kak." Aria, demikian nama cewek yang itu. 

"Dia kan anak yang belakangan deket sama Ben," bisik salah satu cewek di belakang.

"Oooh, jadi elo yang ngedeketin Ben?" Aria berubah sinis dan menakutkan. Bulu roma Cori berdiri, sekan memberi tanda bahwa ada bahaya yang akan terjadi.

"Ngedeketin gimana, Kak?" tanya Cori tak terima. Di dalam kepalanya, kata itu hanya bermakna negatif, dan Cori tidak suka.

"Ck." Aria mendengkus marah dan berjalan lambat ke arah Cori hingga mereka hanya dibatasi jarak sejengkal tangan. "Jangan sok lugu di depan gue!"

Telunjuk cewek itu menekan-nekan tulang selangka Cori, dalam, dan menyakitkan. Tapi Cori tidak mau memperlihatkan kesakitannya. Cori tidak mau memberi makan ego orang-orang macam Aria.

Bagaimanapun, Lama-kelamaan suara mengancam itu membuat Cori menunduk, ketakukan, dan merasa tersudutkan. Seketika Cori seperti impala tak berdaya yang dikelilingi sekelompok singa betina. 

"Ma-maaf, Kak."

"Gara-gara lo, Ben nggak mau gue ajak jalan. Gara-gara lo, Ben selalu nolak hangout sama gue. Sekarang, hilang kesempatan gue untuk jadi pacar Ben, se-la-ma-nya! Ugh!"

Tiba-tiba muncul keberanian entah dari mana. Cori tak terima. "Apa hubungannya denganku, Kak? Kenal Kakak aja enggak."

Aria makin memutus jarak, membuat Cori tak dapat ke mana-mana. Dinding sialan di belakangnya membuat Cori terpaksa diam.

"Tunggu, tunggu. Selamanya?" Cori menyuarakan keganjalan suara hatinya. "Maksud Kakak apa?"

"Gue kesel liat muka lo. Dan gue lebih kesel lagi Ben pindah sekolah terhitung hari ini!"

"Apa?!"

Putih Abu-abu, selesai.

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Temu Yang Di Tunggu (up)
19580      4084     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
The Eternal Love
21408      3252     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
4 Dimensions
428      291     1     
Short Story
Story for English
PETRICHOR
2521      1083     1     
Romance
Ingin tahu rasanya jungkir balik karena jatuh cinta? Novel ini menyuguhkan cerita cinta dengan cara yang berbeda. Membacanya membuatmu tahu cara memandang cinta dari 4 sudut pandang yang berbeda. "Bagi Anna, Harrys adalah kekasih yang hidup di langit. Di antara semua kekuasaan yang dimilikinya, dia tidak memiliki kekuasaan untuk menjadikan Anna miliknya." "Bagi Harrys, Ann...
Let Me Go
500      364     4     
Short Story
Little Do You Know
563      379     6     
Romance
Natasha Brooke fell in love with a charming young man of her age. But she was too shy to admit her feelings for him. What happened next?
Ilona : My Spotted Skin
625      439     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Maybe
426      300     1     
Short Story
Maybe I'll try. Maybe.
Ignis Fatuus
2094      794     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...
IMAGINE
386      275     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.