"Pa, kapan kita ke makam Mama lagi?"
Pertanyaan ini menggemuruhkan dadanya, membuat adukan spatula Sudjana terhenti beberapa detik. Tak sampai di situ, pertanyaan lain membikin pria paruh baya itu makin tidak berdaya.
"Masa cuma sekali? Itupun kata Papa waktu usia Cori 2 tahun."
Sudjana berlagak tenang saat kembali mengaduk lipat adonan cheese cake kesukaan putrinya, demi menyamarkan tangannya yang tiba-tiba tremor.
"Kamu tahu kan, pekerjaan Papa almost twenty four-seven, Nak. Kalau kita ke kampung halaman Mutia, Papa butuh cuti panjang. Papa belum bisa sekarang ini. Apalagi sebentar lagi holiday season. Hotel akan sangat-sangat sibuk."
Apapun akan dilakukan untuk membuat anak gadis satu-satunya bahagia. Namun, mengunjungi makam Mutia? Sepertinya Sudjana terjebak dengan perkataannya sendiri.
"Cori kangen. At least, Cori mau bersihin makam Mama."
Tidak! Sudjana tidak menyukai menyaksikan anaknya berubah murung. Pria itu meninggalkan adonan tadi terbengkalai di atas meja dan segera duduk di sisi putrinya. Sudjana ingin memandang wajah putrinya dari dekat, mencoba menebak isi kepala gadis remaja yang sedang bermuram durja ini.
"Kamu tahu, salah satu bentuk bakti seorang anak pada orang tuanya yang telah meninggal adalah menjadi anak soleh dan terus mendoakannya."
"Aku tahu. Bu guru agama yang mengajarkannya."
"Good girl." Sudjana membelai rambut lurus anaknya dengan cinta. "Jadi untuk sekarang, terus doakan Mama Mutia. Mengerti ya, Coriander?"
"Baiklah. Tapi Papa harus berusaha untuk mengosongkan waktu.
"I'll try my best, Nak."
"Terima kasih, Pa."
Ia sendiri meragukan janjinya barusan. Sudjana serasa terkena serangan jantung dengan permohonan sederhana anaknya.
"Pa, Papa pernah kangen Mama?"
"Every single day," ucap Sudjana pasti.
"Me too. Kadang Cori suka khayalin Mama sama Cori jalan-jalan ke mal, beli baju, belajar makeup, sampai ajarin Cori bikin kue. Mama pasti akan ajarin Cori baking kan, Pa?"
"Tentu. Mamamu adalah murid terpintar waktu di akademi. Hasil kue buatan Tia selalu menakjubkan," puji Sudjana sambil menerawang entah ke mana. Cori membuntuti ke mana arah mata papanya menyasar. Ternyata ke foto mamanya di dinding yang memakai coat chef putih. Mutia sedang tertawa, seakan menertawai kesepian keluarga kecil itu.
Tapi, mengapa wajah Papa ... sendu? pikir Cori.
"Pa."
"Ya?"
"Cori tahu Cori belum cukup dewasa untuk mengatakan ini, tapi..." Gadis itu sampai menggigit bibir bawahnya kuat-kuat karena tiba-tiba dilanda grogi.
"Papa pernah bilang bahwa kita harus saling terbuka. Kita hanya punya satu sama lain untuk berbagi. So, tell me, apa yang ada dalam kepalamu, Nak?"
"Tapi Papa jangan marah, ya?" tuntut Cori.
Menatap wajah anaknya yang memerah malah mengundang tawa Sudjana.
"Papa nggak bisa marah karena belum ada satu pernyataan pun yang membuat Papa marah."
Masuk akal, sih, pikir Cori.
"Pa, iyain Cori langsung apa salahnya, sih?"
Sudjana terkekeh kecil. "Oke, oke. Papa ndak akan marah. I promise."
"Do I have your word, Pa?" tuntut Cori super serius.
"You have my word."
"Cori ... nggak mau Papa kesepian."
Sudjana diam, menanti ke mana pembicaraan ini akan bermuara.
"Kalau Papa mau ... menikah lagi, Cori nggak akan marah," ucap Cori pelan.
Sebelum menjawab, Sudjana memberikan senyum yang membuat Cori berpikir bahwa papanya tidak akan memarahinya.
"Sampai detik ini, posisi Tia tidak akan Papa gantikan dengan wanita manapun, Nak. Sebab, dia adalah yang pertama dan yang terakhir untuk Papa.
***
Ben duduk gelisah di atas hamparan rumput, di bawah naungan pohon tua mahoni sekolahnya. Sebab, ia sedang menunggu kedatangan seorang gadis yang namanya diambil dari bumbu masakan di dapurnya.
Demi Tuhan! Dia hanya gadis biasa, bukan model terkenal sampul majalah remaja, bukan pula artis papan atas. Dia adalah adik kelas yang baru dikenalnya beberapa hari dan tidak pernah merasa keberatan bermandikan matahari untuk mencari cincinnya yang hilang karena kecerobohannya sendiri.
Demi gadis ini, sudah tak terhitung kali Ben bolak-balik ke toilet untuk memastikan helai rambutnya tidak membuat wajahnya jelek, atau untuk memastikan apakah dirinya sudah cukup harum supaya gadis itu tidak mencium bau-bau misterius yang bikin hidung mengernyit.
Sepertinya Ben butuh konsultasi dengan guru BK gara-gara dadanya tak berhenti berdebar menunggu si Cewek Ketumbar berjalan ke arahnya sambil memegang rambutnya yang tertiup angin.
"Seperti mau kencan saja," gumamnya.
Ken ... can? ulang Ben lamat-lamat dalam hatinya.
Cowok itu memiringkan kepalanya ke kanan dan kembali menggumamkan kata kencan beberapa kali ketika dia melihat sosok yang membuat dirinya gelisah makin mendekat.
Ben ... menyukai kata kencan bila berhubungan dengan gadis yang sedang tersenyum padanya.
"Hai Kak Ben."
"H-Hai Cori."
Ben menepuk dadanya beberapa kali demi meredakan jedag-jedug jantungnya yang meliar.
"Maaf telat. Tadi wali kelasku kasih wejangan tentang ujian tengah semester sebelum kami benar-benar pulang."
"Oh, nggak apa-apa. Bener nih nggak ngerepotin lo?"
"Enggak."
Ben memang tidak menemukan keraguan dalam suara Cori, tapi ia ingin memastikan lagi.
"Beneran?"
"Beneran. Aku ikhlas bantu Kak Ben." Sebelum Ben protes lebih jauh, Cori cepat-cepat bicara. "Ayo mulai mencari cincin Kak Ben!"
Dua puluh menit membungkuk, jalan jongkok, mata fokus ke tanah, sela-sela rumput, hingga mengorek parit kecil milik sekolah, tapi benda kecil berkilau itu tidak jua memunculkan wujudnya. Dua manusia tadi kembali ke bawah naungan pohon mahoni dengan rupa lelah dan kecewa.
"Maaf ya, Kak. Aku belum berhasil menemukan cincin pemberian bunda Kak Ben," tutur Cori menyesal.
"Kok elo yang minta maaf? Jangan jadi aneh," sanggah Ben tak terima.
"Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Aku ... hanya nggak mau Kak Ben juga merasakan kehilangan walaupun hanya cincin. Nggak enak, tauk!"
Walaupun Cori terlihat bercanda, tapi mata Ben tak bisa ditipu. Untuk sejenak, binar mata si Gadis Ketumbar ... meredup. Ben tahu ada sesuatu yang Cori coba sembunyikan dari pernyataannya tadi.
"Gini aja. Gue beneran nggak masalah cincin itu nggak ketemu hari ini atau pun untuk seterusnya. Sebagai rasa terima kasih karena udah bantu gue selama ini, gue bakal traktir lo makan. Lo mau, kan?"
Bola mata si adik kelas melotot karena saking kagetnya.
"Kak Ben ajakin aku hangout?" tanyanya tak yakin.
"Hmm ... ya. Bisa dianggap begitu. Sambil makan-makan. Mau?"
"Kita hangout kayak temen-temenku? Kayak anak-anak SMA lain yang nongkrong di waralaba ayam goreng dan piza itu?"
"Iya."
"Whoaaa! Akhirnya ada yang ngajak aku."
Kening Ben jadi berlipat-lipat gara-gara respon Cori yang di luar ekspektasinya. Gadis ini sampai bertepuk tangan seperti anak TK.
"Lo kayak yang nggak pernah hangout aja."
"Hmm ... brutally honest, memang nggak pernah," ucap Cori malu-malu.
"Apa?!"
Maunya Ben tidak mau percaya dengan gadis yang sedang meringis ini, tapi ekspresi Cori memaksanya untuk percaya.
"Seriusan, lo?"
Cori mengangguk masam.
"Kenapa?"
"Pertama, selama aku sekolah akselerasi, aku nggak bisa main sebebas yang aku inginkan. Rasanya ada sebuah tuntutan tanggung jawab di pundakku untuk serius belajar karena waktu sekolah yang dimampatkan jadi dua tahun. Jadi aku nggak bisa menikmati main sehabis pulang sekolah. Kak Ben bisa memahaminya, kan?"
Lo dan pemikiran lo yang sangat dewasa. Cori, lo cewek keren! puji Ben dalam hati.
Cowok itu mengangguk. "Iya, gue paham. Tapi lo bertahan. Lo hebat. Pasti karena suka belajar."
Cori tergelak manis, sempat membuat Ben terkesima beberapa detik.
"Aku memang suka belajar, tapi alasan aku bertahan karena aku pengen buat papaku bahagia," katanya tulus.
Ben bisa merasakan apa yang Cori katakan benar dari hatinya.
"Lalu yang kedua?"
"Aku bukan tipe orang yang ideal dijadiin teman sama teman-teman sekelasku yang sekarang. Aku juga bukan murid populer. Mereka sedikit enggak menyukaiku, sejujurnya. Jadi ... begitulah." Gadis itu mengangkat kedua bahunya samar.
Ben tidak terima. Ia membenci teman-teman Cori.
"Jadi, gue orang pertama yang ngajak lo hangout?"
"Ya. Kak Ben orang pertama yang ajak aku hangout pulang sekolah."
Ben makin terpana ketika senyum Cori tertarik sempurna ke kiri dan kanan saat mengatakan kalimat tadi. Dadanya menggelembung bangga. Untuk sesaat, Ben ... merasa terhormat.
"Kalau gitu, gue akan ajak lo ke tempat-tempat yang sering didatengin anak-anak sekolahan kayak kita. Yuk!"
Ben bertekad, mulai detik ini ia akan membuat daftar tempat hangout anak muda yang paling populer dan dia akan membuat Cori mendapatkan semua pengalaman yang tak akan dia lupakan di masa remajanya.
***
"Bang Beeen." Si kecil Boni melambaikan tangannya girang ketika mendeteksi kedatangan abangnya di halaman rumah. Akhirnya! Abang satu-satunya datang setelah menunggu dengan gelisah di depan pintu.
"Boniii." sorak Ben. Bukannya memeluk adik kecilnya, Ben memilih menghenyakkan pantatnya di kursi teras. Kedua tangan Boni sia-sia merentang menyambut si lost brother yang pulang telat.
Ben kecapekan membawa Cori dari satu mamang penjual ke mamang penjual lain di pinggir jalan. Ben pikir, mereka akan nongkrong di kafe atau jalan-jalan ke mal atau nonton ke bioskop. Tahu-tahu, Cori mengajak Ben mencicipi semua jajanan pinggir jalan di sepanjang sekolah mereka hingga ke SMP dan SD tetangga. Cilor, pentol, cilok, mi ayam, hingga telur gulung. Tapi Ben bahagia melihat sisi lain Cori, si Cewek Ketumbar yang ternyata sangat menikmati jalan-jalan sederhana tadi.
Ben tak tahu saja, Boni cemberut dan merentak menuju kursi kosong. Dia sebal abangnya bertingkah seperti orang gila.
"Senyam-senyum sendiri. Orang nungguin dari tadi, jugak!"
Suara ngambek Boni menempelang kesadarannya detik itu juga.
"Bonita unyu-unyu. Maaf Abang cuma lelah."
"Ya tapi jangan cuekin Boni. Boni kesel tahu Abang telat pulang. Boni ketakutan sendirian di kamar," rengek bocah SD itu.
Suara dan mimik wajah adiknya membuat Ben benar-benar sadar dari euforia jalan-jalan bersama Cori. Ben memutar tubuhnya dan mulai fokus seratus persen pada adiknya.
"Ngapain takut? Nggak ada hantu, Dek. Terang benderang gini, kok."
"Bukan hantu Abang! Tapi suara teriak-teriak."
"Suara teriak?" Kerutan kening Ben beringsut dalam.
"Iya! Boni takut ada yang teriak-teriak di kamar Ayah sama Bunda."
Deg.
Perasaan Ben langsung kacau.
"Terus apa lagi yang Boni denger?" desak Ben.
"Boni denger Bunda nangis, terus Ayah pergi buru-buru pake mobil. Sampai sekarang Ayah belum balik."
Bersambung