Aku terbangun dan langsung meraih jam weker persis di atas meja kecil di samping dipan, mematikan deringnya yang sangat tajam dan lantang. Hadiah kelulusan dari Aruna. Di Jepang, jam weker dan jam-jam jenis lainnya merupakan hadiah haram bagi pasangan. Mitos yang beredar adalah jarum jam yang terus berputar melambangkan perpisahan. Entah itu benar atau tidak. Nyatanya tidak satupun dari kami memiliki garis keturunan Jepang sehingga kemungkinan besar mitos itu tidak berpengaruh. Aku bahkan menerima jam itu dengan mata berbinar. Itu model jam weker analog klasik pada bagian luarnya berbahan logam berwarna hitam. Loncengnya sengaja Aruna pilih yang paling besar kiri kanan dengan logika: semakin besar, semakin nyaring. Pada dial berwarna putih terdapat inisial nama ku dan Aruna, GA & AG, terukir indah berwarna senada dengan bahan logam. Walau kesal karena terbangun dengan kondisi mengejutkan, aku tetap senang setiap melihat inisial itu. Bahkan saat tidak terlalu terkejut, aku tersenyum simpul saat mematikan dering alarm.
Aruna pulang hujan-hujanan waktu itu untuk menjemput jam ini pada toko aksesoris custom milik kakak seorang temannya. Jika aku tahu kejadiannya begitu, aku akan sangat rela tidak menerima apa-apa dari Aruna daripada dia harus melewati hujan dan berakhir berantakan. Bahkan sejujurnya aku tidak mengharapkan hadiah apapun dari Aruna. Dia saja sudah hadir sebagai hadiah dari Tuhan.
Aku bangkit berjalan ke pantry, minum segelas air lalu menyalakan teko listrik, memasukkan dua sendok kopi dan satu sendok gula ke dalam cangkir. Sekarang meja pantry mungil ini sudah sesak dengan barang-barang yang dititipkan Aruna: setoples gula,kopi dan teh. Air belum mendidih, aku ke kamar mandi, menyikat gigi, mencukur bulu-bulu halus pada wajah, membilas wajah. Sesekali aku melirik barang yang lagi-lagi dititipkan Aruna: sebuah gelas kaca bening dengan sikat gigi berdiri miring di dalamnya berwarna biru muda lengkap dengan odol warna serupa. Aku tersenyum. Lalu dengan jahil sengaja meletakkan sikat gigi milikku berdempetan dengan miliknya. Kini mereka tampak berdiri miring berdua, bersisian. Aku tertawa.
Keluar kamar mandi, air sudah mendidih, aku menyeduh kopi dan membawa cangkir itu ke meja kerja, meletakkannya di samping komputer yang sedang aku nyalakan. Jam pada kanan bawah layar menunjukkan pukul setengah delapan, sudah setengah jam aku bangun dan sudah segar. Mouse mulai bergerak bergesekan dengan permukaan meja, aku mencari file yang diminta Ares sebuah materi video untuk konten sosial media babyshop yang baru buka. Ponselku berdering singkat, sebuah pesan masuk.
‘Udah bangun?’
Aku tersenyum, itu pesan dari Aruna.
‘Udah. Mungkin Bu Dewi juga kebangun.’
Balasku. Aku terkekeh sambil mengetik pesan itu.
‘Dasar! Gak sekenceng itu juga suaranya.’
Balasan dari Aruna kembali membuatku terkekeh.
Saat aku ingin membalas lagi, suara bip bip bip dari dapur mengusik. Aku lupa mematikan teko listrik yang kini sudah overheat. Nyaris saja.
Tepat jam delapan, aku mandi dan setelahnya hanyalah rentetan rutinitas biasa dari kost hingga sampai ke studio. Saat aku membuka pintu studio, suara dengungan terdengar, sebuah penghisap debu kecil menyala di tangan Ares yang sedang membersihkan sofa. Studio sudah rapi, pendingin ruangan sudah menyala dan wangi segar menyeruak ke seluruh ruangan, nyaman. Bukan. Bukan Ares yang datang lebih pagi untuk mempersiapkan studio. Dia memang belum pulang sejak memutuskan menginap. Sudah hampir sebulan.
“Pas banget! Laper gua.” Ujar Ares ketika melihatku datang membawa dua bungkus sarapan, bubur ayam yang tampilannya sudah berantakan sebab guncangan di jalan, tapi tetap kami makan tanpa keluhan. Perut perlu diisi tanpa basa-basi.
Ares mandi, aku lanjut mempersiapkan studio. Tepat pukul sepuluh, tanda closed sudah dibalik ke open di pintu kaca. Nyaris tanpa briefing, kami berdua selalu tahu apa yang menjadi bagian dan apa yang akan dikerjakan, sudah seperti memiliki kemampuan telepati. Ares shooting, aku mengerjakan editing.
Semua pekerjaan berjalan baik, tidak ada komplain selain Bu Lin dulu, juga tidak ada kritik dan aduan lain yang memberatkan. MoU kerjasama semakin bertambah setiap minggu. Semua client merasa puas dengan hasil yang kami berikan. Beberapa diantara mereka dengan senang hati meninggalkan komentar baik pada akun sosial media Gammares VisualCraft bahkan pada google maps di bagian review. Secara keseluruhan hidup terasa semakin baik.
Siang itu, pekerjaan sudah hampir selesai, hanya menyisakan proses polesan akhir yang tidak rumit. Aku dan Ares duduk santai di sofa, istirahat sambil sibuk dengan pegangan masing-masing: aku pada ponsel dan Ares pada sebuah novel. Itu novel bergenre thriller-kriminal berjudul American Psycho, yang menjadi bacaan favorit pembunuh dua perempuan WNI di Hongkong pada Oktober 2016, Rurik Jutting. Bahkan terdakwa meniru adegan di novel tersebut yaitu mendokumentasikan aksi pembunuhan. Salah satu media online menjulukinya sebagai ‘Pembunuh yang Narsis dan Sadis’, sebab salah satu korbannya ditemukan membusuk dalam sebuah koper dan yang lainnya penuh luka tusuk di sekujur tubuh.
“Baca doang.” Ujar Ares setelah sesaat aku memberikan tatapan mau bunuh siapa?
Aku mengangguk singkat lalu melanjutkan memainkan ponsel, menggulir-gulirkan layar pada galeri foto, melihat foto Aruna, beberapa diantaranya kami selfie berdua.
“Pergilah kasih~ Kejarlah keinginanmu~ Selagi masih ada waktu~” Ares yang masih menatap novelnya, tiba-tiba menyanyikan salah satu lagu Chrisye.
Aku tahu, dia menyindirku karena Aruna sudah di Tangerang cukup lama. Aku meliriknya, ketika dia diam aku kembali menatap layar ponsel. Aku memilih untuk tidak acuh.
“Aku rela berpisah~ Demi untuk dirimu~ Semoga tercapai segala keinginanmu~” Sambungnya lagi. Melanjutkan nyanyiannya. Lalu melirik dan tertawa sambil menutup kuat novelnya. Ares berdiri, meninggalkan novel pada meja reservasi lalu mengambil minuman pada show cool case, “Udah berapa lama?” tanyanya sambil mengisyaratkan minuman apa yang aku ingin dia bawakan.
“Cola.” jawabku.
Ares duduk di sebelahku, memberikan cola dan setelahnya dia menghempaskan punggung ke sandaran sambil menenggak kopi dinginnya.
“Lima hari, ya?” tanya Ares lagi sebab tadi hanya aku hiraukan pertanyaan itu.
“Tiga.”
“Tiga hari doang lu udah lenje.”
“Tiga minggu,” aku menghela nafas setelah meminum cola seteguk.
“Hah?” Ares meneguk kopi lagi, “tahan juga lu, ya? Gak kering tuh?”
“Apaan?”
Kemudian dia menatapku jahil.
“Kering.” jawabku santai.
Ares tertawa. Aku tertawa. Pak Adimas yang baru saja masuk ikut-ikutan tertawa.
Kami berdua terkejut.
Pak Adimas –orang yang mengurusi perizinan studio, datang siang itu membawa pekerjaan yang membuatku berpikir bahwa langit ikut andil dalam kisahku dan Aruna. Dalam lima hari, tepatnya hari Minggu, aku dan Ares akan berada di Tangerang untuk membuat materi in-room TV advertising untuk sebuah hotel. Setelah dua tahun, hotel itu memperbarui foto dan video untuk keperluan promosi. Pak Adimas yang baru saja kembali dari hotel itu untuk urusan perizinan, langsung singgah ke studio dengan berita yang baik, bahkan secara personal mendebarkan untukku.
“Nih,” Pak Adimas memberikan selembar kartu nama bertuliskan nama seorang wanita menjabat sebagai Kepala Pemasaran.
Ares memfoto kartu nama itu berjaga-jaga jika hilang.
“Kontak kalian juga udah sama Mbak Mala, tadi udah saya kasih,” lanjut Pak Adimas. Irmalasari, nama yang tertera pada kartu nama yang terlihat mewah itu. Kami berdua mengucapkan terima kasih, setelahnya hanya perbincangan basa-basi dan saling menanyakan kabar. Pak Adimas sedikit-sedikit bercerita tentang keluarganya, bahwa dia hanya berdua saja dengan istrinya di rumah, kedua anaknya di luar kota. Anak pertama sudah menjadi seorang suami yang kini tinggal dan bekerja di Pekanbaru, sedangkan anak kedua seorang mahasiswi di Yogyakarta. Sedikit-sedikit dia juga membahas keponakannya, Trisna yang akan pergi berlibur ke Pulau Seribu bersama pacarnya, minggu ini, tepat saat kami berada di Tangerang nanti. Kabar itu dengan segera merubah raut wajah Ares menjadi kecut. Lalu Pak Adimas tanpa tahu bahwa dia telah merubah suasana, dengan intens mengulang-ulang rencana berlibur Trisna, mengulang-ulang betapa akan bahagianya Trisna jika menikah dengan pacarnya, mengulang-ulang kata mapan tepat di wajah Ares. Mendapatkan serangan secara masif, membuat telinga Ares mulai merah, tangannya perlahan mengepal. Aku yang awalnya santai, tiba-tiba teringat bahwa Ares baru saja membaca American Psycho ingin segera menghentikan derasnya ujaran Pak Adimas tentang Trisna dan pacarnya. Bola mataku bergerak liar, mencari-cari sesuatu yang bisa mengalihkan pembicaraan.
“Pak?!” aku memanggil Pak Adimas sedikit berseru.
“Ya?” jawab Pak Adimas terkejut karena pembicaraannya aku sela.
“Anak bapak yang di Yogya jurusan apa?”
Pak Adimas diam sebentar.
“Ilmu Komunikasi.” jawab Pak Adimas, “kenapa?”
“O…” jawabku seadanya lalu menggeleng, “nanya aja, Pak.”
Pak Adimas tersenyum, mungkin dia mengira aku penasaran dengan anak perempuannya, padahal hanya untuk mengalihkan pembicaraan agar Ares tidak semakin geram. Tegukan terakhir kopi Pak Adimas sudah habis, lantas ia pamit pulang.
“Gak bilang apa-apa dia ke gua, Gam,” Ares bergumam pelan saat aku baru saja masuk setelah mengantar Pak Adimas keluar. Tangannya tidak mengepal lagi, begitu juga dengan telinganya, sudah tidak merah pekat lagi. Kini dia berdiri dan berjalan menuju meja reservasi, kembali membuka novelnya, duduk, membaca. Hening. Terlalu hening sehingga aku bisa mendengar suara desiran pendingin ruangan dan cool case.
-oOo-
Malam saat aku baru saja memarkirkan kendaraan, Pak Yahya melambaikan tangan dari pos nya dan aku menghampiri. Dia sedang duduk bersama seorang pria yang tampak lebih tua. Pria itu kurus tinggi, mengenakan kacamata dengan gagang plastik tebal berwarna hitam, kelihatan sangat berat untuk wajahnya yang tirus. Kulitnya cerah dan senyumnya ramah, mengingatkanku pada senyum seseorang. Sepertinya aku pernah melihat pria ini, wajahnya tidak asing.
“Ini paket buat Mas Gamma,” ujar Pak Yahya sambil menyerahkan kotak seukuran dua kamera DSLR ditumpuk. Aku membaca tulisan pada kotak, pengirimnya adalah ibu.
“Nah, kalau yang ini punya Mbak Aruna,” Pak Yahya memberikan sebuah kotak seukuran telapak tangan terbungkus kertas coklat dan diselimuti bubble wrap, “tadi saya udah telpon Mbak Aruna, katanya kasih ke Mas aja.” Itu adalah pesanan online Aruna, casing baru untuk handphone nya. Bapak yang menemani Pak Yahya ini sedikit mencondongkan badannya ke arahku untuk melihat paket Aruna. Aku meliriknya, lalu dia kembali mundur sambil memperbaiki kacamata yang bahkan tidak berubah posisi. Salah tingkah.
“Makasih, Pak. Saya langsung naik. Masih ada kerjaan,” ujarku pada Pak Yahya.
“Monggo, monggo. Anak muda harus gitu, semangat kerja,” Pak Yahya menepuk lenganku beberapa kali, wajah puas dia perlihatkan kepada pria di sampingnya. Seolah membanggakanku yang justru bukan siapa-siapa baginya.
Aku menoleh sekali lagi kepada bapak ini. Pernah lihat dimana ya?
Setelah bersih-bersih, aku membuka kiriman dari ibu sambil melakukan panggilan video. Ibu meminta begitu sebab telah meninggalkan pesan yang baru aka baca sesampainya di kamar , ‘video call ibu kalau buka paketnya, ibu tunggu malam ini juga.’, begitu isi nya. Sangat penting sepertinya sehingga membuatku penasaran.
“Hallo, Bu?” sapaku sesaat ibu mengangkat panggilan video itu.
“Iya, baru pulang, Nak?” jawab ibu dari balik layar. Ibu sepertinya selesai shalat, dia masih memakai mukena.
“Enggak juga, bu. Baru selesai beres-beres aja.”
“Udah sholat?”
“Isya belum, ntar pas mau tidur aja.” Jawabku sambil berdiri mengambil cutter, lalu duduk kembali pada lantai persis di depan kotak besar dan berat dari ibu, “ini apa isi nya, Bu? Kepala orang?” ujarku bercanda sambil menepuk kardus itu.
Ibu terkekeh, “Kepala badak.”
“Widih … Serem amat!” Aku tertawa lalu mulai membuka kotak itu. Isinya beberapa kotak kecil yang aku keluarkan satu per satu. Tiap aku keluarkan, aku dekatkan kotak itu pada kamera agar ibu melihat dan mulai menjelaskan apa isinya.
“Itu asinan Bogor”
Aku mengeluarkan satu kotak lagi.
“Yang itu dodol, kemarin Marwa beli kebanyakan.”
Satu kotak lagi lebih kecil.
“Itu makaroni goreng, kamu suka kan?”
Pada bagian ini aku mengangguk kuat.
“Nah, itu buku yang kamu minta bawain dari rumah.”
Aku membuka kotak yang berisi buku untuk memeriksa apakah sesuai atau tidak. Saat aku memeriksa buku, ibu berujar, “semua tadi itu bukan cuma buat kamu, bagi dua sama Aruna kecuali buku.”
Aku tersenyum, namun aku sembunyikan dengan masih pura-pura sibuk memeriksa buku, “iya? Kecuali makaroni boleh, gak, Bu?”
“Kamu pakai pura-pura segala, paling abis ini kamu ke kamar depan, kan?” Ibu senyum.
“Aruna di Tangerang, Bu. Kerja.”
“Oh, ya?”
“Iya.”
“Bagus lah. Dimana?” ibu terlihat antusias.
“Tangerang.”
“Iya tau kamu udah bilang, maksudnya di klinik atau rumah sakit mana?” Ibu terdengar jengkel. Aku terkekeh.
“Ooh, puskesmas, masih tenaga relawan gitu, Bu. Nambah pengalaman.”
“Gak masalah, jadi nanti dia udah siap kerja. Biar bagus karir nya.”
“Iya. Aamiin.”
“Kamu jangan mau kalah, juga harus semangat.”
“Pasti, Bu.”
“Kamu baik-baik, jaga makannya, jaga kesehatan. Ibu mau baringan,ya.”
“Iya, Makasih banyak, Bu.”
Telepon aku tutup dan mulai mengemasi barang-barang yang dikirim ibu.
Tepat pukul dua belas malam aku merebahkan badan, meletakkan bantal strawberry yang aku beli untuk Aruna di atas perut, memeluknya. Wangi Aruna tinggal di sana. Malam ketika aku selesai ujian, Aruna memutuskan untuk tidur bersama di kamarku hingga keberangkatannya ke Tangerang. Saat itu aku terperangah mendengar keputusannya, sungguh diluar dugaan mengingat sikapnya yang pemalu. Empat hari kami habiskan malam hingga pagi bersama. Berbaring bersisian, bercerita hal-hal kecil hingga hal besar yang semakin dilanjutkan semakin terdengar sebagai bualan, lalu tertawa. Di sela-sela itu aku mengecup pipi atau kening atau kepalanya, sesekali kami berciuman, lalu tertidur dengan keadaan paling romantis yang pernah aku rasakan –berpelukan, walau bangun-bangun kami sudah saling berjauhan: Aruna menghadap dinding dan aku berakhir dengan memeluk guling. Tapi yang pasti bantal strawberry ini selalu berada di dekatnya. Dering jam weker tidak pernah menyala selama Aruna di sini. Aruna menyalakannya diam-diam saat akan ke Tangerang. Besok paginya aku terkejut setengah mati saat terbangun karena deringan tajam dan lantang. Aku mengirimkannya pesan saat itu juga, protes besar-besaran berbalut kelucuan. Lalu tanpa disangka, Aruna membalas dengan melakukan panggilan video. Dia tertawa. Dalam panggilan itu dia tampak sudah siap mulai bekerja, itu hari Senin. Dia memakai seragam perawat, wajahnya segar, angin lembut yang menggerakkan rambutnya membuatnya terlihat menawan. Dia sedang berjalan kaki menuju puskesmas. Katanya jarak puskesmas hanya berkisar lima ratus meter dari panti asuhan. Aku menyampaikan agar dia berhati-hati di jalan, lalu dia mengatakan bahwa dia sudah punya bakat menjadi atlet tinju dan sekarang sudah memiliki sarung tinju walau ketinggalan di Jakarta. Kini giliranku tertawa.
Selama Aruna di Tangerang, kami hanya tiga kali melakukan panggilan video, empat atau lima kali bertelepon dan setiap hari saling mengirimi pesan, walau terkadang aku dan dia sama-sama lama mendapatkan balasan karena masing-masing tengah fokus pada pekerjaan.
Awalnya aku percaya diri tidak akan serindu ini pada Aruna, ternyata aku salah. Aku rindu, benar-benar rindu bahkan belum genap sebulan. Berbeda sekali rasanya jika Aruna tidak berkeliaran di sekitar. Sejak gedung sebelah di renovasi, kamar ini selalu menjadi tempat kedua bagi Aruna, atau bahkan bisa aku sebut sebagai tempat utama. Selama aku di studio, dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamarku, entah belajar, entah menonton, atau lanjut membaca novelnya sambil berbaring. Dia akan kembali ke kamarnya hanya untuk mandi atau tidur. Pernah suatu malam saat tidur lelap, Aruna tiba-tiba mengetuk kamarku, lalu saat aku bukakan pintu, dia buru-buru masuk dan mengatakan bahwa jendela kamarnya di ketuk-ketuk tukang yang sedang bekerja. Aku segera ke kamarnya, membuka jendela dan sengaja merokok di sana sambil berpura-pura sibuk pada ponsel. Sejak saat itu tidak pernah lagi terdengar ketukan-ketukan jahil pada jendela Aruna dan semenjak itu juga aku tidak lagi mengunci pintu kamar saat malam, mengingat ternyata Aruna berusaha lama untuk membangunkanku saat itu. Sejak aku muntah-muntah dulu Aruna semakin perhatian, mendekati perhatian seorang ibu. Dia selalu mempersiapkan makan malam sederhana dan meninggalkannya di pantry dengan sticky notes tertera ‘selamat makan, walau hanya telur dadar’ atau pilihan menu sederhana lainnya, seperti tempe dan terasi. Itu juga yang membuat Aruna menyeretku ikut ke pasar membeli bahan makanan pagi-pagi sekali, bahkan matahari saja masih mengintip. Hal-hal yang terjadi kurang dari seminggu sebelum dia berangkat telah benar-benar menjalin intimasi di antara kami.
Pukul 12.20, aku mengirimkan pesan berupa foto paket pesanannya dan foto-foto kiriman ibu dengan keterangan singkat. Setelah beberapa menit menunggu, pesan itu belum dibaca oleh Aruna, jelas saja, dia pasti sudah tidur. Lalu aku mematikan ponsel dan mencoba memejamkan mata. Tidur.
-oOo-
Sabtu malam, jam menunjukkan pukul delapan kurang sedikit. Aku dan Ares masih di studio, menyelesaikan pekerjaan yang sudah dekat dengan waktu tenggat karena mulai besok siang kami sudah harus sampai di Tangerang pada hotel yang diperkenalkan Pak Adimas. Setelah pembicaraan yang cukup singkat dengan Mbak Mala mengenai teknis pekerjaan, akhirnya kami menemukan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan. Kami bahkan diberikan satu kamar untuk menginap satu malam.
“Minum, yok!” ajak Ares saat dia tengah shooting beberapa skateboard, bisnis milik seorang kenalan saat mengerjakan karya tugas akhirnya.
Aku mengangguk sebagai jawaban karena tengah fokus pada layar kontrol kamera.
“Di lounge biasa aja, sambil liatin live band.”
“Tumben, biasanya EDM. Jedag jedug.”
Ares tertawa terbahak, “Lagi pengen santai. Sumpek gua.”
“Trisna?”
“Ck! Sampai hari ini belum ngomong apa-apa dia. Gua gak nanya juga,” ujar Ares sambil mengacak rambutnya dengan kasar.
“Besok dia berangkat, kan kalau dari cerita oom nya?”
“Iya. Yah… udah lah, nasib gua, Gam.”
Aku nyengir melihatnya.
Pukul sepuluh malam, kami sampai pada lounge sebuah hotel. Suasana cukup ramai karena malam minggu. Kami memesan beer dan assorted platter yang berisi potongan daging, sayur dan kacang-kacangan. Lampu yang redup, sofa yang empuk, band mengalunkan musik jazz tahun 90an membuat suasana nyaman. Orang-orang juga terlihat menikmati suasana. Aku mulai merokok, begitupun Ares.
“Minta api, dong…”
Aku menoleh, seorang perempuan dengan potongan rambut pendek seperti Aruna berdiri dengan posisi menunduk ke arahku. Sebatang rokok tergantung di bibirnya. Aku tersenyum, mengambil korek dari saku dan menyalakan untuknya. Kemudia dia duduk persis di sampingku, aku bergeser mendekat ke Ares. Ares dengan sengaja membalas bergeser mendekat ke arahku. Mau tidak mau aku hanya diam, diapit oleh dua manusia usil.
“Gamma, kan?” Perempuan itu menatapku.
“Iya,” aku menjawab dengan menahan agar alis tidak bertaut. Aku tidak kenal perempuan ini. Dia mengangguk-angguk pelan sambil menghembuskan asap rokok. Aku menoleh ke kiri segera, menatap Ares. Ares hanya menaikkan bahu tanda tidak tahu. Melihat kami, perempuan ini terkekeh sambil mengetuk-ngetuk ujung rokoknya pada asbak.
“Voni, senior kalian. Setahun di atas kalian,” ujarnya santai di antara senyum setelah terkekeh, kembali menghisap dalam-dalam rokoknya.
Aku dan Ares secara bersamaan merasa tidak enak dan segera mengangguk.
“Apa kabar, kak?” tanya Ares basa-basi.
“Gak baik, makanya kesini,” jawabnya tersenyum, “Minggu lalu gua bareng Trisna, kerja. Trisna teman kalian, kan?”
“Iya…” jawabku. Ares diam, dia sedang makan cemilannya.
“Iya, gua liat lu yang antar, Res. Tapi pulangnya dijemput orang lain, cowok,” sambung Voni.
Kini giliran Ares yang mencoba untuk tidak terkejut, selain tahu namanya, Voni juga tahu situasinya. Voni geleng-geleng kepala melihat raut yang ternyata tidak bisa Ares sembunyikan, “Gak ada yang gak tau, lu, Res. Cewek lu gonta-ganti. Termasuk adek sepupu gua, si Kani, yang lu putusin karena bau kaki.”
Ares tersedak.
Aku tertawa.
Voni diam saja namun tampak tidak mempermasalahkannya. Aku senang dengan keterusterangannya, tidak banyak basa-basi.
“Kalau lu, gimana, Gam? Ada pacar?” tanya Voni, dia mengambil botol beer milikku dan menuangkannya ke gelas yang juga milikku lalu dengan santai meminumnya tanpa permisi.
“Gak. Lagi gak ada pacarnya, Kak …” jawab Ares yang ikut–ikutan menuang beer ke gelasnya, “kasian, kan?” Ares mendramatisir.
Voni tertawa.
Ares terkekeh.
Aku melotot kepada Ares yang menampilkan raut seolah berkata lah? kan bener?
Sambil merokok dan melihat band pada panggung, Voni menepuk-nepuk pelan pahaku mengikuti tempo lagu.
Aku yang tidak nyaman meminta pertolongan Ares. Tidak memberikan pertolongan justru Ares tampak bersemangat, dia tersenyum nakal, matanya seolah berkata, kapan lagi coba?
Tidak tahan dengan keadaan, aku segera berdiri.
“Eh? Kemana, Gam?” tanya Voni sedikit terkejut.
“Toilet.” jawabku datar.
Ares menggelengkan kepala sambil mengetuk-ngetuk abu rokoknya. Dia melotot ke arahku, aku membalas dengan lebih melotot. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Beberapa menit terakhir kami pelotot-pelototan untuk saling bicara.
Di toilet, aku membasuh wajah dengan menampung banyak air pada tangan, tahu-tahu kaosku ikut basah pada bagian lehernya.
Aku meraih tisu dengan kasar, mengusap wajah dan mengeringkannya dengan lebih kasar. Setelah itu aku menatap pantulan diriku pada cermin, rambutku sudah rapi. Setelah dari pasar dulu, Aruna mendadak minta berhenti pada sebuah ruko yang ternyata barbershop. Sudah tidak bisa lari, akhirnya aku menuruti, pangkas. Walau sebenarnya aku juga tidak ada niat memanjangkan rambut, hanya saja aku merasa sayang sekali waktu sia-sia digunakan untuk diriku, lebih baik saat ada Aruna, kami menghabiskan waktu berdua. Potong rambut bisa kapan saja. Dengan wajah sedikit cemberut, aku duduk pada kursi pangkas. Aruna tersenyum membujuk saat itu. Menungguku dengan sabar, sambil sesekali berbalas pandangan dari pantulan cermin di depan kami.
Aruna, bahkan saat begini dia tetap ada dalam ingatan. Ah! Rindu.
Aku kembali setelah merokok dua batang. Lounge terdengar riuh oleh suara pekikan perempuan dalam kerumunan. Aku segera menghampiri, Ares dan seorang pria tengah berkelahi dan saling memberikan pukulan. Ares di tahan oleh Voni dengan cara menarik rambut dan baju nya, sedangkan pria yang menjadi lawan Ares di tahan dengan cara dipeluk oleh seorang wanita.
Kalau diperhatikan, Ares secara fisik akan menang. Ares lebih tinggi dan lebih besar. Lawannya sudah tampak lebam dan terdapat luka pada sudut bibir dan pelipis. Walau Ares kesusahan karena rambut dan bajunya ditarik, dia masih bisa memukul lawannya hingga tersudut ke meja bar. Tanpa disangka, lawannya mengambil botol beer dan akan memukul kepala Ares.
Aku bergegas menahan tangan pria ini. Saat itu lah aku menyadari bahwa pria yang menjadi lawan Ares adalah pacar Trisna –si dokter muda.
Aku terkesiap. Saat berusaha mencerna situasi, aku ditarik oleh seseorang dan dihempaskan. Aku terhempas pada meja kaca yang kini pecah. Pinggangku terasa sakit dan aku masih berusaha bangkit. Ares masih bisa dikatakan menang, dia ingin menyudahi perkelahian saat pacar Trisna terduduk lemah. Tiba-tiba saja pacar Trisna kembali menyerang dari belakang dengan melemparkan botol beer yang sempat aku tahan. Botol itu mengenai punggung Ares. Ares segera berbalik dan saat itu juga aku melihat Ares dengan murka berusaha mengangkat satu kursi besi untuk dilemparkan ke pacar Trisna. Sekelebat ingatan mengenai novel yang dia baca membuat perasaanku kacau. Secepatnya aku bangkit dengan melupakan rasa sakit dan berlari untuk menghadang Ares berbuat lebih jauh.
“SYAHREZA!!!” Aku berseru, mataku menatapnya tajam. Kedua tanganku walau gemetar berhasil menahan tangannya yang sudah mengangkat tinggi kursi besi.
Ares balas menatapku. Tidak lama, kami bertiga –termasuk Voni, ditarik paksa dari lounge, diseret hingga keluar hotel oleh security. Alasannya sederhana, Ares yang memulai perkelahian.
Voni pulang dengan kesal tanpa menoleh lagi ke arah kami. Dia tampak dongkol, sekilas aku mendengar dia bergumam telah menyesal menghampiri kami. Aku dan Ares kembali ke studio, mengobati lebam masing-masing dengan menempelkan kaleng minuman dingin ke luka.
Pinggang bagian kiriku luka terkena pecahan kaca, tidak parah, hanya saja darah terus mengalir walau sudah dibersihkan. Luka ini harus ditutup.
“SIALAN SIALAN SIALAN!” umpat Ares berkali-kali. Setelah bercerita kepadaku asal mula perkelahiannya.
Saat Ares menatapku berjalan menuju toilet, tanpa sengaja dia melihat si dokter muda sedang bermesraan dengan wanita lain pada sofa di sudut belakang. Ares datang menghampiri mereka untuk memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Saat sudah yakin, Ares langsung memukul si dokter muda tepat pada wajah dan dimulailah perkelahian. Ares tidak terima Trisna dibohongi. Bagi Ares, posisinya saja sudah sulit mendapatkan Trisna seutuhnya, justru di depannya ada pria yang bermain-main dengan hubungan yang dia inginkan. Ditambah ingatan Ares mengenai rencana liburan Trisna dan pacarnya, kata-kata pantas dan mapan serta betapa bahagianya Trisna jika bersama pacarnya, semua hal berkaitan tersebut semakin membuat Ares geram dan akhirnya murka.
“Mana rambut gua di tarik sama si Voni! Sakit goblok!” ujar Ares masih dengan nada kemarahan sambil mengusap-ngusap minuman kaleng dingin pada wajahnya.
“Lu gimana? Ke rumah sakit aja gua antar,” ujar Ares ketika melihatku membuka kaos dan mengikatkannya pada pinggang agar darah tidak terus mengalir.
“Ntar lah, gua juga capek.” jawabku, “pinjem baju.”
Aku yang sekarang bertelanjang dada mulai kedinginan sebab AC menyala.
“Ambil, deh, di atas.”
Saat aku turun dan telah mengenakan kaos, pintu studio terbuka kasar oleh seseorang yang terburu-buru masuk.
“Ares!”
Itu Trisna. Datang dengan penuh kekhawatiran dan langsung duduk dekat Ares dan memeriksa wajah Ares kiri dan kanan. Trisna membawa tas besar, berisi P3K dan juga dua buah ice bag sebesar telapak tangan.
Dia mulai mengompres lebam pada wajah Ares dengan hati-hati.
Ares diam saja, sepertinya dia tidak tahu harus bicara apa.
“Gam, lu gimana?” tanya Trisna saat aku duduk.
Aku baru saja ingin mengatakan baik-baik saja, saat Ares menjelaskan apa adanya, “Luka dia, darahnya ngalir mulu, tuh diiket pake baju.”
“Hah!? Tuh tutup, ada alkohol sama perban, bersihin dulu,” Trisna menunjuk dengan mulutnya tas besar yang dia bawa.
“Pas begini Aruna justru gak ada,” sambung Trisna masih mengompres wajah Ares.
“Jangan kasih tau. Biar aja. Gak apa-apa, kok.” jawabku cepat sambil berusaha menutup luka.
“Kak Voni, dia nelpon, bilang dia di usir gara-gara kamu berantem di lounge,” ujar Trisna sambil menempelkan plester luka pada pipi Ares.
Tanpa kami tanya Trisna menjelaskan.
“Berantem sama Mas Rian,” sambung Trisna dengan suara pelan.
Ares diam namun dia memijat dahinya. Mengalihkan pandangan dari Trisna. Lalu hening cukup lama. Aku melihat mereka berdua dalam keadaan canggung. Entah Trisna tahu atau tidak sebab mereka berkelahi.
“Udah, Tris. Udah gak sakit,” kata Ares sambil menghentikan tangan Trisna yang mengompres pelipis matanya.
Trisna menyimpan ice bag nya.
“Makasih, Res,” kata-kata Trisna terdengar tertahan.
“Untuk bikin muka cowok kamu luka-luka?” Jawaban Ares penuh kekesalan.
Trisna menggeleng cepat, “untuk belain aku.”
Ares membuang wajah sambil menghela nafas kasar.
“Ya..” jawab Ares seadanya, tampaknya kembali marah.
“Res?”
“Ya?”
“A-aku minta maaf,” Trisna menunduk.
“Kamu sayang sama dia?”
“Aku justru ke sini, Res, nemuin kamu.”
“Kamu cinta sama dia, Tris?”
“Aku ngebut ke sini.”
“Itu bukan jawaban, Tris.”
“Aku batalin pergi liburan sama dia.”
“Itu juga gak kasih jawaban apa-apa.”
“Maaf, Res…” Trisna lagi-lagi tercekat, matanya berkaca-kaca.
Ares menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya melalui mulut, lalu memukul sofa dengan kekesalan sepenuhnya. Sangat jelas terlihat di wajahnya bahwa dalam hati dia penuh umpatan.
Trisna menahan isakannya.
“Ya udah, gak apa-apa. Gak perlu nangis, Tris.”
Air mata Trisna semakin deras dan berulang kali mengatakan maaf sambil sesegukan. Tangannya bergetar menyusun kembali kotak P3K-nya.
“Tris, gak perlu nangis!”
Ares memegang kedua lengan Trisna, menatap lekat-lekat kedua matanya. Anehnya perempuan semakin dilarang menangis, justru tangisannya semakin besar.
Ares mengusap air mata Trisna lalu wajah Ares mendekat. Trisna juga hanya diam saja. Suasana hening.
Astaga! Gak mungkin mereka lupa kalau aku di sini, kan?
“Ekhem! Bisa tolong gua masang perban dulu? Ini dari tadi gua kesusahan sendiri. Nanti kalau udah kelar gua keluar. Aman. Silahkan lanjutkan yang tertunda,” ujarku melihat mereka berdua nyaris berciuman. Seolah aku tidak berada di ruangan yang sama dengan mereka.
Ares tersenyum kecut dan Trisna dengan kikuk mengambil perban lalu membantuku menutup luka.
Sialan lu!
Begitu gerakan mulut Ares saat melihatku. Aku tersenyum usil.
Setelah perban terpasang, sesuai ucapanku, aku keluar. Merokok dan minum sambil menghirup udara segar. Jam tangan menunjukkan pukul dua belas malam lebih sedikit, aku mengirim pesan pada Aruna, mengatakan aku rindu. Tanpa disangka Aruna membalas dengan menelepon. Tidak pernah terjadi sebelumnya Aruna menelepon larut malam.
“Hallo…” suara di seberang sana menghangatkan malam yang terasa dingin.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)