Gerah. Aku mengusap leher yang sudah mulai basah karena keringat. Kemeja yang kukenakan kini terasa tidak nyaman, selain karena tidak terbiasa, bahan kemeja formal putih ini tidak adem sama sekali. Dengan menggulungkan lengan hingga siku aku berharap gerahnya berkurang, membiarkan angin menyentuh kulit.
Ares tampak sibuk memotret anak-anak lain, mereka berfoto bersama. Wajah mereka masing-masing tampak lega dan gembira karena telah berhasil melewati ujian, mempresentasikan dengan baik karya yang telah lama mereka kerjakan. Ares memberikan isyarat padaku agar segera bergabung. Aku mengangguk. Mataku masih menyisir areal kampus, mencari wajah yang katanya akan datang, yang katanya menunda berangkat ke Tangerang untuk menungguku ujian. Nyatanya sudah satu jam aku keluar dari ruangan, si pemilik katanya itu tidak tampak datang.
“Gam? Wih? Keren lu tadi. Selamat, ya!”
Tepukan pada pundak mengagetkanku. Salah satu temanku, Fahmi, hadir untuk memberi dukungan kepada teman-teman yang ujian, “doain gua nyusul.” Ucapnya sambil menepuk pundakku sekali lagi.
“Pasti.” Kini aku yang menepuk pundaknya.
“Lu gak ikutan foto bareng?” Fahmi menunjuk kerumunan teman-teman yang terlihat seru di sana, sekitar sebelas orang sedang berpose dalam barisan, sedangkan Ares, dia memegang kamera dan sesekali tampak menyeka keringat pada dahi, “Yok lah!”
Selama hampir dua semester aku mengerjakan karya ini, berdiri pada jam-jam macet Jakarta, merekam pagi, siang dan malam. Bertaruh dengan debu, panas dan hujan. Mengerjakan hingga begadang larut malam, kurang tidur dan istirahat. Semuanya terbayarkan. Dosen penguji dan teman-teman memberikan respons baik untuk karya motion graphic -ku.
Ares menutup studio karena akan memberikan dukungan, walau sebenarnya aku tahu dia datang untuk Trisna. Benar saja, alih-alih menyaksikan, Ares justru keluar ruangan saat aku baru mulai presentasi sekitar dua menit, dia menyusul Trisna yang sudah selesai duluan. Omong-omong Trisna, hasil karyanya menurutku luar biasa. Dengan pengambilan sudut pandang 360 derajat, dia berhasil memberikan pengalaman menonton menjadi lebih nyata dari sekedar video dokumenter. Kami dapat memilih arah pandangan, seolah-olah berada di tengah kejadian dan lingkungan yang dia rekam.
Aku bergabung dalam barisan, berfoto sekali dua kali. Mataku masih curi-curi menatap sekitar, mengawasi jika Aruna datang.
“Woy! Gantian napa? Pegel gua!” Seru Ares yang sedari tadi memangku kamera.
“Lu kan gak ujian, Res? Udah, lah. Ngalah sama yang ujian!” celetuk Galih di barisan paling kanan.
“Elah! Lu sini, gantian! Udah kayak perempuan dari tadi doyan bener di potoin!” Ares menunjuk Galih dan dengan telunjuknya itu dia meminta Galih beralih ke posisi ke tempat dia berdiri. Galih dengan wajah merengut dan malas-malasan menggantikan Ares.
“Nah, gitu dong! Nih!” Ares menyerahkan kamera yang di sambut kasar oleh Galih. Teman-teman yang lain menyoraki agar segera, matahari semakin tinggi, semakin panas.
Ares mengambil posisi tepat di sampingku, menatapku sebentar lalu berbisik, “Lu napa, dah? Celingukan kayak orang bego.”
“Gak tau, deh!” aku berdengus.
“Aruna? Gak jadi datang dia?” Ares belum berhenti menyelidiki.
Aku mengangkat bahu dengan bibir melengkung ke bawah, “Ntah, lah …”
“Berantem lu, ya?” Ares semakin penasaran, wajahnya mendekat dengan matanya melotot.
Aku menghembuskan nafas dengan berat, “Iya,” sambil menjauhi wajah Ares. Terdengar dari depan sana Galih memberikan kode berupa hitungan mundur untuk siap-siap berpose.
“Bisa juga ternyata,” lalu Ares tertawa pelan.
“Apaan?” Alisku bertaut.
“Berantem.”
“Halah!”
“WOIII! Lu berdua di belakang bisik-bisik apaan? Udah kayak orang pacaran!” teriak Galih sambil menunjuk, membuat semua kepala menoleh kepada kami berdua, lalu mereka tertawa, kecuali Trisna, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“GILA LU!” balas Ares sambil melempar tisu kering yang dia remas. Entah darimana dia dapatkan, mungkin sedari tadi sudah dia genggam untuk menyeka keringat.
Aku ikut tertawa melihat Ares begitu, lalu dengan mengabaikan perasaan dan memutuskan untuk fokus pada selebrasi kecil-kecilan ini, seturut berhenti mencari, aku juga berhenti berharap pada Aruna. Lagipula jika mengingat kejadian tadi malam sepertinya Aruna akan enggan datang.
-oOo-
(21 jam sebelumnya)
Aku dan Ares baru saja keluar dari kamar rawat inap –menjenguk Bu Dewi saat Aruna mengirimkan pesan mengatakan teman-temannya datang untuk melihat bersama hasil uji kompetensi mereka pada laman website kemendikbud. Bu Dewi sudah dua hari dirawat di rumah sakit karena kelelahan juga dehidrasi dalam kasus parah sehingga membutuhkan asupan cairan infus. Kejadiannya cukup dramatis, siang hari saat tengah siaran langsung memasak pada akun sosial medianya, Bu Dewi tiba-tiba pingsan, salah satu penontonnya adalah Gina –junior Aruna, tetangga lantai dua, segera berlari memanggil Pak Yahya sambil berteriak-teriak untuk meminta bantuan. Tentu saja penghuni kost saat itu terkejut dan segera beramai-ramai menuju lantai tiga. Pak Yahya bertindak sebagai pahlawan saat itu mendobrak pintu kamar 302 lalu dengan bantuan tetangga lain akhirnya Bu Dewi dibawa ke rumah sakit.
“Ada-ada aja kejadian di kost upil.” Celetuk Ares saat mendengar langsung ceritanya dari Pak Yahya yang sangat ekspresif bahkan sampai mempraktekan ulang bagaimana cara dia mendobrak pintu kamar Bu Dewi. Aku yang melihatnya mengatupkan bibir dengan kuat –menahan tawa.
Nama gedung kost ku sebenarnya biasa saja, khas nama kost-kost an selayaknya, ‘Rumah Pilar’. Cat biru tua yang melapisi huruf-huruf yang menonjol pada beton pagar itu sudah mulai pudar bahkan rontok. Hanya tersisa sedikit jelas pada huruf U dan PIL. Sebagian penghuni protes pada Pak Yahya yang pekerjaannya hanyalah petugas kebersihan, sebagian lagi tertawa saja, bahkan ada juga yang tidak terlalu memperdulikannya –itu aku. Pemilik gedung ini tinggal di Sumatera, seorang laki-laki yang sudah melewati usia paruh baya, terbaring lemah di kamarnya dengan segala selang-selang penunjang hidup, begitu kata Pak Yahya. Sehingga kami semua sepakat tanpa melalui proses pertemuan antar penghuni bahwa tentu saja pemilik kost ini sangat membutuhkan biaya sehingga tidak pernah mengirimkan dana untuk sekedar mengecat ulang nama kost. Sekitar dua tahun lalu, perbaikan dan pembaharuan utilitas pada gedung ini sempat dilakukan, seperti instalasi listrik dan mesin air. Jadi menurutku, selain namanya yang berubah menjadi eksentrik, kost ini masih aman dan nyaman ditinggali.
Kami kembali ke studio, melanjutkan pekerjaan. Dua hari belakangan pekerjaan menjadi banyak, Kak Amy mengantar barang sampel untuk segera dibuatkan materi. Serta beberapa toko lain datang untuk membuat kerja sama. Aku cukup kewalahan mengingat besok sudah harus ujian mempresentasikan karya tugas akhir.
“Lu balik aja, belajar. Gua masih bisa handle sendirian,” Ares dengan pengertian memahami situasiku.
“Iya, ntar sorean.”
Aku berusaha fokus, bekerja lebih cepat dari biasanya untuk menyelesaikan bagian. Ares juga tampak sungguh-sungguh memperhatikan setiap detail pada video yang sedang digarapnya untuk sebuah toko sepeda.
Saat tengah tenggelam dalam pekerjaan, tahu-tahu ponsel yang masih di dalam ransel berdering, aku segera mengambilnya, Aruna menelepon.
“Gam! Aku lulus!!” Serunya dari seberang sana.
Dari suaranya yang gembira itu, aku bisa memastikan bahwa saat ini dia sedang melompat kegirangan. Terdengar riuh oleh suara kegembiraan teman-teman lainnya.
“Wah?! Jadi nih sarung tinju nya,” balasku dengan candaan, ujung bibirku terangkat tinggi. Aku yang sudah yakin dia pasti lulus, tidak terlalu terkejut mendengar berita ini.
“Boleh aja, asal kamu sedia terus jadi samsak nya,” balas Aruna cepat.
Aku tertawa, toh selama ini selain sebagai pacar, aku juga bertindak sebagai samsak tinju, kelinci percobaan, boneka beruang dan segala hal yang dia butuhkan. Tapi selama ini, aku sendiri paling suka menjadi boneka beruang, tempat dia memberikan cubitan gemas, memberikan pelukan bahkan melepas tangisan. Aruna juga mengatakan dia akan ke kampus bersama teman-temannya untuk melihat peringkat lalu setelahnya mereka akan bermain bersama.
“Belum tau, mungkin ke mal,” ujar Aruna saat aku menanyakan akan main kemana. Ketika aku menawarkan akan menjemput, Aruna menolak. Dia mengatakan bahwa lebih baik aku belajar untuk persiapan ujian.
Pembicaraan kami berakhir dengan ucapan selamat olehku sekali lagi.
Aku kembali lebih awal, berencana menghabiskan sore hingga malam untuk belajar dan latihan menghadapi ujian, meninggalkan Ares di studio dengan beberapa pekerjaan yang tidak sempat aku selesaikan. Aku duduk pada meja kerja, beberapa kali aku merasa kurang puas dan terus-terusan mengulang untuk hasil yang maksimal. Aku mulai menuliskan kata-kata yang akan aku ucapkan besok. Tong sampah sudah penuh oleh bulatan-bulatan kertas yang aku lempar sebab salah tulis. Begitu terus hingga aku menemukan kata-kata terbaik.
Hujan turun, sambil menelepon ibu, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Cukup lama kami berbicara, ibu menyemangati dan mendoakan agar besok terlewati dengan lancar. Telpon itu berakhir diiringi suara petir. Hujan mulai lebat pada pukul sepuluh dan Aruna belum juga kembali. Aku mengirim pesan namun tidak mendapatkan balasan, sepertinya juga belum dibaca. Dering telepon selalu dialihkan. Aku tidak tahu harus menyusul kemana, dia bahkan tidak mengatakan tujuannya.
Gelapnya malam sesekali tampak terang dengan cara mengejutkan akibat kilatan dari langit. Melalui jendela yang sedikit buram terkena rembesan hujan aku memperhatikan kalau-kalau Aruna pulang. Bibirku tetap melafalkan script untuk presentasi, namun di dalam hati aku risau sendiri.
Pukul sebelas malam kurang sedikit, saat hujan sudah rintik-rintik, satu motor matic memasuki halaman. Bahkan dari lantai tiga dengan kaca jendela yang berkabut, aku bisa memastikan bahwa Aruna duduk pada kursi penumpang dengan seorang pria sebagai pengendara. Aruna tidak mengenakan jaket bahkan mantel. Dia tidak mengenakan pelindung apapun dari hujan.
Astaga!
Dengan meraih kemeja flanel, aku segera turun. Langkahku berebut berlari menuruni anak tangga. Tujuanku hanya satu, menjemput Aruna, menutupi lekuk tubuhnya yang terlihat jelas akibat basah kuyup. Aruna terkejut saat melihatku datang, kami bertemu pada tangga lantai satu. “Gam? Belum tidur?” kedua alisnya naik tinggi. Aku mengabaikan pertanyaan Aruna, “Pakai ini,” pintaku sambil menyerahkan kemeja yang kubawa. Tanpa banyak tanya Aruna mengenakannya, sepertinya dia juga menyadari tubuhnya terlihat jelas. Mataku menyipit memperhatikan Aruna yang sedang pelan-pelan mengenakan kemeja, kuyup tidak hanya membuat jelas lekukannya, namun juga memperlihatkan apa yang ada di balik kaosnya, menerawang, menampilkan warna pakaian dalamnya –ungu terang, sangat kontras dengan kaos yang dikenakannya sekarang, krem.
Sialan! Sialan! Sialan!
Darahku mendidih. Aku mengumpat dalam diam. Betapa kesalnya aku pada dirinya karena tampaknya Aruna tidak mampu menjaga diri. Amarahku begitu menggebu, hingga kepala terasa berdenyut-denyut. Nafas terhembus dengan kasar beberapa kali, membuat Aruna menyadari adanya perubahan suasana hati. Kami menaiki anak tangga, aku di depan selangkah karena tidak ingin memperlihatkan wajah masam kepada Aruna. Aruna yang mengetahui bahwa aku sedang tidak dalam keadaan baik, memilih bungkam, dia hanya mengikuti di belakang, tidak berusaha menyamai atau mendahului.
Suasana kost hening karena sudah larut malam, bahkan lantai tiga jauh terasa lebih sunyi sebab Bu Dewi dan Pak Rully berada di rumah sakit.
“Gam?” panggil Aruna saat aku membuka kamar, ingin segera masuk untuk menenangkan pikiran.
“Hm?” jawabku sambil menoleh. Dia berdiri di depan pintu kamarnya dengan sorot mata memohon.
“Handphone aku mati, lowbat,” jelasnya singkat. Aku mengangguk. Saat ini itu tidak lagi menjadi masalah berarti.
Aruna tampak berantakan, air menetes dari ujung rambutnya membuat bagian bahu kemeja lembab, tapi itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan baju kaos nya yang betul-betul basah, “Kamu masuk, beres-beres.” pintaku.
Aruna menunduk, menatap telapak tangannya, jari-jemarinya dia remas kuat. Aruna benar-benar tampak gundah, sesekali dia curi pandang dengan tatapan yang tidak bisa aku tentukan apakah ketakutan atau keraguan, “Gam? Kamu marah?” tanyanya pelan.
“Iya.” jawabku tanpa ragu, bahkan sambil mengangguk, menunjukkan bahwa situasi sekarang benar-benar serius.
“Maafin aku, pulang sama Rama,” Aruna kembali menunduk.
Mendengar itu, aku langsung membuang wajah, menghembuskan nafas –lagi. Menggelengkan kepala karena kesal.
Bukan cuma masalah laki-laki lain! Kamu gak lihat kondisi kamu sekarang?
Tentu saja itu aku ucapkan hanya dalam hati. Aku masih berusaha menahan emosi, memperhatikan kata-kata yang akan keluar.
“Jaket kamu mana?” ucapku datar dengan tatapan menghujam.
“Tadi pas pergi, kan gerah, jadi aku gak pakai,” Aruna masih setia menunduk, menatap lantai dimana tetesan air dari rambutnya jatuh. Alasan Aruna terdengar seperti guyonan di telinga. Sudah berulang kali aku mengingatkannya untuk selalu mengenakan jaket itu kemanapun dia pergi, tapi beberapa kali dia abai, bahkan untuk sekali ini menyebabkan hal yang merugikan dirinya sendiri. Aku mengepalkan tangan, “Kedepannya kamu harus tau batas dan harus bisa jaga diri. Sekarang kamu beres-beres. ” ujarku dengan suara berat. Kata-kataku bergema di lorong. Aku sendiri dapat merasakan ketegangan dalam situasi ini.
Dia yang sedari tadi menatap lantai kini dengan alis bertaut dan bola mata melirik tajam kepadaku, “Oh? Aku gak tau batas, ya? Murahan? Gak bisa jaga diri? Lemah? Gitu menurut kamu?” Aruna menaikkan dagunya, menantangku.
Aku terkejut, hampir tak bisa berkata-kata.
“Kamu tahu bukan itu maksud aku.” Jawabku cepat.
Aruna diam dengan wajah mulai merah. Bibirnya bergetar, entah karena kedinginan atau justru menahan amarah. Matanya yang coklat itu tampak lebih gelap saat menatapku penuh tekanan. Kini giliran Aruna yang mengepalkan kedua tangan.
“Aku gak tahu kalau bukan itu maksud kamu,” katanya lagi.
Astaga! Aruna!
Desakan dalam kepala ingin melontarkan kalimat kemarahan tapi hatiku justru berkata sebaliknya, lebih baik ditahan agar tidak menjadi lebih runyam. Aku mencoba berpikir sejenak, berusaha menemukan kalimat yang tidak ofensif, sambil mengalihkan diri dari tatapannya yang kian menghimpit.
“Diam aja, kan kamu? Kamu beneran mikir aku perempuan lemah yang mur–”
“KAMU PENTING! Karena kamu itu penting aku begini!” ucapku segera tidak ingin dia melanjutkan kata-katanya. Perasaanku meluap. Aku memegang erat kedua pangkal lengannya. Aruna terperangah. Mata kami bertemu saling memberikan sorot yang menekan. Tajam, dingin dan menyakitkan.
Suasana kembali sunyi saat setetes air melewati pipinya, itu bukan tetesan dari rambutnya. Wajahnya yang sudah basah, kini semakin basah akibat air yang turun dari matanya. Masih sambil memegang kedua lengannya, aku menunduk, menyadari bahwa dalam situasi ini kami tidak bisa berkomunikasi. Saat menunduk itu lah aku melihat bahwa sepatu kets yang dia kenakan juga basah, kulit jari-jarinya di dalam sepatu itu pasti sudah mengerut. Aku mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, “Runa, kita gak bisa bicara kalau lagi sama-sama marah. Sekarang kamu masuk, beres-beres, istirahat.”
Aku menatapnya, walau terlihat sedih, namun aku bisa melihat kilatan kemarahan dari sorot matanya. Dia menggerakkan kedua pangkal lengan agar aku melepaskannya. Lalu dia masuk dengan mulut terbungkam tanpa menoleh lagi ke belakang.
Setelah pintunya tertutup, aku bersandar pada dinding tepat di samping pintu kamarku.Di balik kelopak mataku yang terpejam gelombang-gelombang cahaya bergerak dalam warna merah dan hijau terkena rembesa cahaya lampu lorong yang kini terang, sudah di ganti Pak Yahya tiga hari lalu, tepat saat sore sebelum aku pulang muntah-muntah waktu itu. Aku mengepalkan tangan dan memukul pelan dahi sendiri beberapa kali, menyadari betapa aku tidak bisa menjaga Aruna dari kurang ajarnya laki-laki lain, menyesalkan kata-kata yang telah menyakiti hatinya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja jadi pilihan bagi Aruna jika dia mau: memesan taksi online, berhenti untuk sekadar membeli mantel, atau meminjam handphone temannya untuk meneleponku. Saat memikirkan mengenai meminjam handphone temannya, aku terkejut sendiri menyadari mungkin saja Aruna tidak hafal nomor ponselku. Lalu aku mengingat-ingat kembali bahwa aku juga begitu –tidak hafal nomor Aruna. Siapa zaman sekarang yang masih menghafal nomor ponsel seseorang?
Aku mendengus pelan, sepertinya nama Rama itu pernah terucap. Ah! Benar. Laki-laki yang menatap Aruna sangat lama waktu di kampus, mengikutinya dan menawarkan diri untuk mengantar Aruna pulang waktu itu. Jelas sekali dia menyukai Aruna. Aku tidak punya kendali untuk mengatur perasaan orang lain. Aku bahkan tidak marah mengetahui itu, sangat wajar jika dia menyukai Aruna. Tapi sepertinya dia sekedar menyukai, tidak lebih. Bahkan dia diam saja membiarkan badan Aruna diterpa angin dan hujan hingga basah dan berantakan. Aku semakin geram jika memikirkan kemungkinan lain di pikiran si Rama itu, bagaimanapun sesama laki-laki aku tahu. Tanganku memukul dahi lebih kuat untuk melepas rasa kesal.
Bajingan tengik!
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, aku yang sedari tadi berusaha tidur namun bayangan Aruna berantakan selalu berhasil mendistraksi. Lalu aku bangkit, berjalan menuju jendela dan membukanya, membiarkan udara sejuk sehabis hujan masuk. Merokok untuk menenangkan diri, sesekali menatap sarung tinju yang tadi siang sudah kubeli untuk Aruna dan sebuah bantal berbentuk strawberry sebagai hadiah yang sebenarnya. Dua benda merah itu menyala dalam temaram cahaya kamar. Entah Aruna sudah tidur atau belum, aku tidak tahu, enggan sekali menghubunginya, sisi lain diriku sangat kuat untuk bertahan tidak membujuknya. Berharap dia merenungkan dan menyadari kelalaian dalam melindungi diri sendiri.
“Dia bakalan demam,” gumamku sambil melepas asap rokok.
Pagi sekitar pukul delapan, saat aku bergegas menuju kampus, pintu kamar Aruna masih tertutup. Biasanya sekitar jam ini dia sedang membersihkan kamar, menyapu atau mengikat-ikat plastik sampah dan akan turun ke bawah, membuangnya. Kini kamar itu hening, membuatku kembali khawatir. Aku menatapnya sebentar, tanganku tergerak untuk mengetuk pintu kayu coklat tua itu, namun ada suatu perasaan yang akhirnya membuatku menahan ketukan. Aku hanya mengusap pintu itu pelan. Lalu segera turun, menuju parkiran, berkendara menuju kampus menghadapi ujian. Jika dia akan datang nanti, itu keputusan baik. Jika tidak, itu sangat wajar.
-oOo-
Dengan mengabaikan perasaan dan memutuskan untuk fokus pada selebrasi kecil-kecilan, aku berhenti berharap Aruna akan datang.
“Sore ntar ke bar biasa, gua traktir semua yang ujian hari ini!” Ajak Galih setelah menekan tombol shutter yang entah keberapa kali. Anak-anak lain berseru gembira. Aku menatap Ares, dia menaikkan dagunya menyuruhku untuk pergi.
“Gua aja yang di studio. Lagian itu ajakan cuma buat yang ujian. Ya kan, Fam!” Ares meminta dukungan Fahmi yang sama-sama belum ujian. Fahmi mengangguk sedih, “Kalau bayar sendiri boleh gabung gak, sih?” bisik Fahmi lagi. Lalu kami tertawa.
“Lu boleh pergi, kalau mau.” jelas Ares sekali lagi sambil menyikut pelan, “kali di sana nemu cewek ganti Aruna,” dia menaikkan kedua alisnya dengan cepat dan tersenyum usil.
“Ya liat ntar, deh. Lagian masih banyak kerjaan. Keteteran ntar,” jawabku santai mengabaikan candaan Ares tentang perempuan. Jujur saja, aku sedang berat hati, tidak ingin kemana-mana. Hanya ada dua tempat yang benar-benar ingin aku datangi saat ini: kamar Aruna dan studio.
“Yuk, lah balik.” ajakku sesaat setelah melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang, dua jam setelah aku keluar ruangan ujian. Sudah cukup selebrasi dan sudah cukup menunggu Aruna di sini. Layar ponsel menunjukkan notifikasi pesan dari ibu dan Marwa, tidak ada Aruna.
Oke lah!
Dengan sedikit gontai aku berjalan melewati lorong. Secara harfiah aku sendirian, terasa begitu walau Ares dan Trisna berjalan di belakangku bersisian.
Tidak lama, derap langkah cepat terdengar mendekati dari arah belakang. Ares menepuk pundakku pelan membuatku berhenti.
“Gam! Aruna, tuh!” Ares menggoyangkan kepalanya ke arah Aruna. Aku memutar badan, menghadap ke arah tatapan Ares. Benar saja, Aruna datang, senyum itu selalu dia tampilkan saat berlari kecil ke arahku, senyum riang seperti anak-anak.
“Aruna, hai! Udah lama gak ketemu!” Sapa Trisna sesaat Aruna sampai.
“Hai, Tris! Oh iya. Aku bawain ini buat kamu. Selamat udah ngelewatin ujian,” Aruna justru berbicara dulu dengan Trisna dengan napas tersengal. Dia membawakan hadiah kecil yang diterima Trisna dengan ucapan terima kasih. Aku tidak tahu Aruna memberikan apa, hadiah itu terbungkus oleh paper bag putih, “Gamma cerita kalau jadwal ujian kalian sama,” jelas Aruna lagi. Aruna melirik saat menyebut namaku. Aku kaku, lidahku kelu sehingga tidak satu kata pun keluar untuk menyambut kedatangannya. Ares tampak bingung, berkali-kali dia memberikan isyarat dengan menggerakkan bola mata. Nafasku terasa memburu. Bukan, ini bukan karena amarah. Ini kebahagiaan. Justru di saat aku ingin melepaskan harapan, Aruna datang. Setelah selesai berbincang dengan Trisna, Aruna tampak takut-takut menatapku. Dia bahkan ragu untuk mendekat, kakinya dia tahan di tempat.
“Gam? Hadiah kamu ketinggalan, aku bur–,”
Tanpa pikir panjang, aku meraih tangan Aruna, membawanya ke dalam pelukan. Mendekapnya. Badannya terasa panas, aku memastikan sekali lagi dengan mengusap dahinya.
“Kamu demam.”
Aruna mengangguk.
“Kenapa maksain datang?” aku mengusap titik-titik keringat dari dahinya.
“Aku…gak mau kecewain kamu kayak tadi malam.”
Mendengar itu, aku menelan ludah. Perasaan mengganjal tiba-tiba menjalar ke seluruh rongga dada. Entah bagaimana aku mengatakannya namun berbagai macam emosi, mulai dari kebahagiaan, kecemasan, kesedihan, kebingungan menyatu membentuk perasaan tidak menentu.
“Maafin aku, ya?” aku kehilangan kata-kata, hanya maaf yang mampu aku ucapkan.
Aku kembali mendekapnya. Menyandarkan kepalaku pada kepalanya dengan lembut. Rambutnya ikut terasa hangat.
Aruna mengangguk, “aku juga minta maaf, Gam,” ujarnya sambil melingkarkan tangan pada pinggangku dan memeluk lebih erat.
“Spada! Anda-anda sekalian, bisa kita lanjutkan perjalanan? Parkiran masih jauh di depan,” Ares menggoda kami. Nada bicaranya terdengar iri, namun aku tahu pasti dia seluruhnya hanya bercanda.
“Aaaa! Lucu banget sih, kalian!” ujar Trisna sambil menutup mulutnya serta menahan dirinya agar tidak melompat-lompat gemas.
Siang itu, kami makan bersama di studio. Aku dan Trisna mentraktir. Menciptakan atmosfer bahagia sehingga tidak ada satupun dari kami yang mengingat ajakan Galih. Sore menjelang malam, Aruna ketiduran di lantai dua, di kasur yang Ares gunakan untuk tidue selama tidak pulang ke rumah.
“Gak apa-apa tuh Aruna di sana?” tanya Ares memastikan.
“Yaa mau gimana, gak mungkin di lantai atau di sofa depan juga,” ujarku. Kami tengah sibuk memotret pakaian-pakaian sampel dari Kak Amy. Trisna membantu mengatur pakaian tersebut agar rapi.
“Ntar bau gua pindah ke dia, lu marah,” guyon Ares.
“Urusan gua itu biar dia balik jadi bau gua lagi,” jawabku santai.
“Sialan!” ujar Ares. Lalu kami berdua tertawa.
Untung saja kami berbisik-bisik sehingga Trisna tidak mendengarkan dengan baik, lagi pula dia sedang fokus pada pekerjaannya.
“Bagi-bagi, dong ketawanya!” Seru Trisna.
“Halah! Ini obrolan pria dewasa,” jawab Ares cepat.
“Dih!” Trisna cemberut.
Hari ini ujian telah terlewati. Walau sedikit terlambat dari rencana awal namun aku tetap bersyukur mengingat ini sudah selesai dengan baik, benar-benar melegakan. Bentuk perjuangan yang tidak sia-sia dengan hasil memuaskan. Aku menelpon ibu sesaat setelah sampai studio, mengabarkan semuanya berjalan dan terlewati dengan lancar, mengucapkan terima kasih atas dukungan dan do’a yang telah ibu berikan. Dalam hati, aku menyampaikan terima kasih kepada bapak sejak sejak tahu aku menyukai kamera, bapak selalu berusaha memberikan fasilitas terbaik yang dia mampu. Adikku, Marwa juga sangat senang dengan kabar ini dan memintaku pulang sebentar, dengan mengatakan rindu dia menyembunyikan alasan sebenarnya —traktiran. Ares, seorang teman yang walau bagaimana pun tak acuh sikapnya, aku tahu dia akan selalu hadir untuk memberikan dukungan. Lalu Aruna, hampir setahun ini kami sibuk masing-masing menata pendidikan, mempersiapkan ujian-ujian, menyusun rencana masa depan. Aku dan Aruna saling memberikan semangat di saat mulai lesu, saling menguatkan di saat mulai lemah, saling mengingatkan di saat mulai lengah. Kesulitan-kesulitan yang telah kami lalui mampu bertransformasi menjadi penguat, membawa kami menjadi lebih dekat. Aku mulai tamak dengan membayangkan diri bersama Aruna hingga tua.
“Woi! Kerja! Bengong doang. Magabut lu!” Ares menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku. Membuatku tersadar akan lamunan, “Magabut?” tanyaku.
“Makan gaji buta.” ujar Ares.
Mendengar itu Trisna tertawa. Aku dan Ares saling berpandangan, entah kenapa Trisna tertawa saat tidak ada kejadian lucu. “Jangan-jangan kesurupan!” seru Ares sambil berlari menuju Trisna. Memeriksa.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)